• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR’AN SURAT AL ISRA 23-25 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR’AN SURAT AL ISRA 23-25 SKRIPSI"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-

QUR’AN

SURAT AL ISRA 23-25

SKRIPSI

Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Disusun Oleh :

FATKHUL MANAN JAZULI 111 10 130

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

Dan orang mukmin yang paling sempurna imannya

adalah mereka yang paling baik akhlaknya

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Kedua orang tuaku tercinta, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang,

mendidik dari kecil sampai sekarang, dan doa restunya yang tak pernah putus serta nasihat-nasihatnya.

2. Adikku tercinta Istighfaroh Tsaniah, terimakasih atas dukungan dan selalu

mendo‟akan.

3. Kepada Bapak Muh.Hafidz, selaku pembimbing skripsi.

4. Sahabat-sahabatku tercinta, Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo,

Aan, Ismi terimakasih atas motivasi dan kebersamaan kita selama ini

karena kalian telah mengajarkan makna indahnya sebuah persahabatan.

5. Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010,

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan

segala sifat kesempurnaan-Nya. Dzat yang mengatur segala apa yanga ada di

dunia dengan kekuasaan-Nya, Dzat yang telah menetapkan antara yang hak dan

bathil, Dzat yang telah menganugerahkan kepada manusia akal berfikir dan

memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dialah Allah yang tak pernah lepas

pengawasannya terhadap apa yang dilakukan manusia dan kepada-Nya lah kita

mempertanggungjawabkan tiap apa yang kita kerjakan.

Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi besar

Muhammad SAW, untuk keluarga serta para sahabat beliau yang senantiasa

istiqamah dalam perjuangan Islam. Semoga kita menjadi hamba-hamba pilihan

laksana mereka.

Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini dengan

segala pengorbanan dan rintangan lahir batin telah dapat penulis lalui. Tak ada

penggambaran lain yang dapat penulis utarakan selain ucapan syukur yang tiada

tara pada Allah SWT karena hanya atas ridha dan pertolongan-Nya penulis dapat

melalui semua ini.Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dandukungan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

tulus dan ikhlas kepada :

1. Bapak Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Dr. Rahmat

Hariyadi, M.Pd.

2. Kepala Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Ruhayati

3. Dosen pembimbing Bapak Muh.Hafidz, M.Ag. atas bimbingan, arahan dan

(8)

viii

4. Kedua orang tuaku tercinta yang telah mencurahkan pengorbanan dan do‟a

restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.

5. Adikku tercinta Istghfaroh Tsaniah yang telah mencurahkan do‟a dan

motivasi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat tercinta,Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo, Aan,

Ismi terimakasih atas indahnya kebersamaan kita selama ini, kalian telah

mengajarkan arti sebuah persahabatan yang tidak akan pernah berakhir,

Amiin.

7. Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010,

terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.

8. Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam

penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a, semoga amal dan kebaikan semua

pihak dapat diterima dan dicatat oleh Alloh sebagai amal sholeh dan mendapatkan

balasan sebaik-baiknya.

Tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini melainkan Ia yang Maha

Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak

untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis

berharap semoga tulisa ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca umunya.

Salatiga, April 2015

(9)

ix

ABSTRAK

Jazuli, Fatkhul Manan. 2015. Konsep Pendidikan Akhlak Anak Terhadap Orang Tua Dalam Al-Qur‟an Surat Al Isra 23-25. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program studi pendidikan agama islam. Institut agama islam negeri salatiga. Pembimbing: Muh Khafid, M. Ag.

Kata Kunci : Pendidikan Akhlaq, Pendidikan Islam.

Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul

walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan:(1)

Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23 -25? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir kontemporer.

Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua, Pendidikan

birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan

(10)

x

DAFTAR ISI

JUDUL...i

PERTANYAAN KEASLIAN SKRIPSI...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN KELULUSAN...iv

MOTTO...v

PERSEMBAHAN...vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAK...ix

DAFTAR ISI...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Fokus Penelitian...3

C. Tujuan Penelitian...3

D. Manfaat Penelitian...3

E. Kajian Pustaka...4

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian...5

2. Metode Analisis Data...7

(11)

xi BAB II DESKRIPSI SURAT AL ISRA 23-25

A. Surat Al Isra dan Terjemahan...9

1. Redaksi Ayat dan Terjemahan...9

2. Munasabah...10

3. Asbabun Nuzul...12

B. Pendapat Mufassir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al Isra 23-25....15

C. Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al Isra 23-25...21

BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SURAT AL ISRA 23-25 A. Pendidikan Tauhid...27

1. KeEsaan Zat...30

2. KeEsaan Sifat...30

3. KeEsaan Perbuatan...31

4. KeEsaan dalam Beribadah KepadaNya...31

B. Pendidikan Birrul Walidaini...34

BAB IV INTEGRASI AKHLAK DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Penguatan Akidah Peserta Didik...46

B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini...60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...67

B. Saran...69

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran merupakan kalam Allah yang mu‟jiz, yang diturunkan

kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantara

malaikat Jibril ditulis dalam lembaran-lembaran (mashahif) sampai kepada

umat manusia secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah, diawali

dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas(As Shabuny,1985 :

8). Al-Quran juga sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya

mencakup ajaran tentang I‟tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta

amaliyah (tindakan praktis) (Naim, 2009 : 56).

Al-Qur‟an merupakan lukisan atau gambaran fitrah manusia, dan

Rasulullah merupakan idealisasi dari fitrah manusia seperti yang tertulis

dalam hadits yang menyatakan : Kaana khuluquhu Al-Quran (Hadits shahih)

“Akhlak Muhammad adalah Al-Quran itu sendiri. Juga ditulis dalam ayat Al

Qur‟an : Wa innaka la‟alaa khuluqin „azhiim. “Dan sesungguhnya kamu

(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”(Q.S Al-Qalam, 68

ayat 4) (Sangkan, 2006 : 13).

Al-Quran merupakan peraturan bagi umat sekaligus sebagai way of

lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu, kewajiban umat Islam

adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Al-Quran baik dengan cara

membacanya,menghafalkan atau mempelajarinya. Dalam Al-Quran tidak

(13)

2

keasliannya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (As Siraji, 2010 : 16).

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 berikut:

بَّوِإ

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Departemen Agama RI,

2008 : 515).

Al-Quran diturunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk (hudan)

dan pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya di dunia

sampai akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat

sebagaimana mestinya, jika tidak dibaca, dipahami maknanya (kognitif),

dihayati kandungannya (afektif), dan kemudian diamalkan dalam kehidupan

sehari-hari (psikomotor) (Al-Qattan, Terj. Mudzakir, 2007 : 19). Al Quran

bukanlah merupakan kitab undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains

dan teknologi.

Menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran

moral. Jika melihat kebelakang, keadaan dimana pertama kali Al-Quran

diturunkan, maka akan ditemui keadaan masyarakat Makkah yang penuh

dengan berbagai problem sosial. Dari yang paling kronis berupa

praktek-praktek polyteisme penyembahankepada berhala-berhala, eksploitasi terhadap

orang miskin-miskin, penyalahgunaandalam perdagangan, sampai pada tidak

adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Merespon situasi

masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajarantauhid atau ketuhanan

Yang Maha Esa, dimana setiap manusia harusbertanggungjawab kepadanya,

dan pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi daritingkat yang paling

(14)

3

Selain pelajaran mengenai aqidah, dapat juga diidentifikasi masalah

lain yang menjadi pokok kandungannya, yaitu aspek akhlak yang

menjelaskan tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua orang tua).

Dimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua saat-saat merekasangat

membutuhkan yakni disaat kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana

seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut

usiaperilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk

bagiandari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua

(Shihab, 2007 : 45).

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap orang

tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25?

2. Bagaimanakah aktualisasi pendidikan akhlak terhadap orang tua

berdasarkan surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia penidikan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap

orang tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25.

2. Untuk mengetahui aktualisasi berakhlak terhadap orang tua berdasarkan

surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia pendidikan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah

(15)

4

1. Bagi STAIN Salatiga, untuk memperkaya referensi kajian keislaman dan

khazanah keilmuan bagi mahasiswa.

2. Untuk khalayak umum, manfaat dari penelitian yang dibuat ini, bisa

mempermudah untuk memahami pendidikan Islam dalam berakhlak

terhadap orang tua sebagaimana tertera dalam surat Al-Isra‟ 23-25.

3. Buah kinerja bagi peneliti sendiri, selain memberikan secarik wawasan

baru dalam dunia pendidikan, peneliti juga akan lebih memahami sejauh

mana interpretasi dan ekspektasi dari ayat-ayat tentang akhlak yang telah

diteliti tersebut.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan unsur yang penting dalam sebuah

penelitian yang akan dilakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal.

Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tentang literatur yang relevan

dengan bidang atau topik tertentu (Setyosari, 2010 : 72)

Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang

benar-benar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian

tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, tema karya ilmiah ini harus

berbeda dengan kajian ilmiah lain yang telah dibuat sebelumnya. Adapun

telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah menggunakan prior

research (penelitian terdahulu). Prior research yaitu penelitian terdahulu

yang telah membahas nilai-nilai pendidikan.

Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan

skripsi ini,adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek

(16)

5

sebagainya. Di antara prior research yang dimaksudkan di antaranya adalah

sebagai berikut :

1. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah al-A‟raf ayat 199. Dalam

kajian ilmiah dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola

pendidikan Qurani yang diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam

kehidupan sehari-hari, diantaranya melalui metode-metode pendidikan

yang dicontohkan oleh beliau. Metode pendidikan Qurani adalah suatu

cara atau tindakan-tindakan dalam lingkup peristiwa pendidikan yang

terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah. Jadi metode dalam

pendidikan akhlak seharusnya menganut kepada pendidkan yang

diajarkan oelh Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan

As-sunnah (Muchtar, 2005 : 216)

2. Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin

ayat 20. Di sini dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman,

sesorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu

mengingat keagungan dan kebesaran Illahi. Ilmu yang dimaksud

tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang

agama Allah SWT (dinullah), sebab keduanya merupakan kebenaran

yang datangnya dari Allah (Sueb, 1996 : 63)

Dari beberapa kajian pustaka di atas, maka jelaslah bahwa

tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan dalam

Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 belumlah ada yang membahasnya. Dari hal

(17)

6

nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan

Aktualisasinya dalam dunia modern.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu library research,

penelitian tersebut dengan mungumpulkan data-data yang berhubungan

dengan objek penelitian, bahwa Jenis penelitian yang dilakukan

menggunakan metode library research. Dengan mengumpulkan data-data

yang diperlukan, baik yang primer maupun yang skunder, dicari dari

sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel dan jurnal)

)kuswaya, 2009: 11).

2. Pendekatan

Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode

tematik, tafsir tematik yaitu sebuah penelitian paada tema tertentu untuk

dikaji. Langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir mawdhu‟iy ini dapat

dirinci sebagai berikut:

a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara

mawdhu‟iy (tematik).

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa

turunnya, disertai pengetahuan menegenai latar belakang turunnya

(18)

7

d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam

masing-masing suratnya.

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna dan utuh (out line).

f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila dipandang

perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin

jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompromikan antara pengertian „am da khash, antara muthlaq

dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak

kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua

ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan

kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada

makna-makna yang sebenarnya tidak tepat (Al-Farmawi, 1996:

45-46).

3. Teknik Pengumpulan Data

Dikarenakan metode ini menggunakan penelitian yang bersifat

library research dalam pengumpulan data yang akan digunakan penelitian,

maka penulis membagi sumber data menjadi dua bagian:

a. Sumber data primer, yaitu al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw yang

berkaitan dengan berbakti kepada orang tua.

b. Sumber data skunder, yaitu tafsir-tafsir al-Qur‟an yang berkaitan

(19)

8

membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan pembahasan

pokok.

4. Metode Analisis Data

Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau data textular.

Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu

analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)(Suryabrata,

1995:85).Disini peneliti menggunakan metode content analysis dalam

menguraikan makna yang terkandung dalam redaksi al-Qur‟an, setelah itu

dari hasil interpretasi tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan

seksama guna menjawab dari rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh

penulis.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian, maka penelitian

ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa subsub bab yang masih

bersifat saling keterkaitan antara satu bab dengan yang lainnya,

sistematikanya disusun sebagai berikut:

Bab pertama, dalam bab ini merupakan pendahuluan studi,

memaparkan tentang latar belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian.

Selain itu juga membahas tentang manfaat penelitian yang diangkat dalam

topik pembahasan, dan diteruskan dengan sistematika pembahasan yang

digunakan dalam membuat penelitian ini agar lebih terstruktur dan sistematis.

Bab kedua, merupakan kelanjutan dari bab awal yang lebih spesifik

(20)

Al-9

Isra ayat 23-25 menurut para mufassir yakni menurut mufassir klasik dan

mufassir kontemporer.

Bab ketiga tentang Pendidikan Islam sebagaimana tertera dalam Q.S

Al-Isra ayat 23-25. Terkait pula akan di uraikan hadits-hadits yang berkatan

dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut.

Bab keempat, bab ini peneliti lebih memfokuskan dalam inti

pembahasan tentang Integrasi Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Islam

(Analisis Qur‟an Surat AL-Isra‟ Ayat 23-25).

Bab kelima, merupakan bab yang terakhir ini memaparkan tentang

kesimpulan atas pembahasan yang telah diuraikan dalam penelitian,

diteruskan dengan penutup.

BAB II

DESKRIPSI SURAT AL-ISRA 23-25

A. Surat Al-Isra dan Terjemahan

1. Redaksi Ayat dan Terjemahan

(21)

10

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia

24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"

25. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu

orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat

26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,

kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros

27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya

28. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka

ucapan yang pantas (Somad, Dkk,1993 : 550-551.).

(22)

11

Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah)

dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga bisa berarti

hubungan atau persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu

Al-Quran yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau

surat dalam Al-Quran secara keseluruhan dan latar belakang

penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab sebagaimana

dikutip Baidan bahwa munasabahadalah kemiripan-kemiripan yang

terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun

ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya(Baidan,

2010 : 184-185). Pendapat lain mengatakan bahwa

munasabahmerupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui

alasan-alasan penertiban bagian-bagian dari Al-Quran. Bahkan

pendapat lain mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran

manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang

dapat diterima oleh akal. Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan

aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau surat Al-Quran baik

sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan

am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit,

antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan yang irasional, atau

bahkan antara dua hal yang kontradiktif.

Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan

macam-macam munasabahini dikembalikan kepada derajat kesesuaian

(tamatsul atautasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya.

(23)

12

dan ada kaitan antara awal dan akhirnya, maka munasabahini dapat

dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika munasabahitu terjadi pada

ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya tidak ada keserasian

antara satu dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan berhubungan

(tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:Munasabahadalah suatu

urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap

akal, niscaya akal menerimanya” (Usman, 2009 : 161).

Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabahtermasuk hasil ijtihad

mufasir, bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap

kemukjizatan (i‟jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna) yang

dikandungnya(Supiana dan M. Karman, 2002 : 161-162.). Adapun

letak persesuaian antara surat ini dengan surat an-Nahl dan sebabnya

surat ini diletakkan sesudahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Allah SWT. pada surat An-Nahl menceritakan tentang

perselisihan umat Yahudi mengenai hari Sabtu, sedang pada surat ini

Allah menunjukkan Syari‟at Ahlus-Sabti (Syariat Yahudi) yang telah

allah syari‟atkan dalam Taurat. Menurut riwayat yang dikeluarkan

dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas, bahwa dia pernah mengatakan:

Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat pada lima belas ayat

dari surat Bani Israil.

2. Bahwa setelah Allah SWT. memerintahkan Nabi SAW. supaya

bersabar dan menahan agar jangan bersedih dan jangan bersempit

(24)

13

maka pada surat ini Allah menyebutkan tentang kemuliaan Nabi-Nya

dan keluhuran di sisi Tuhannya.

3. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan beberapa nikmat yang

banyak, sehingga karenanya surat itu disebut surat An-Ni‟am. Maka,

di sini pun Allah menyebut beberapa nikmat khusus maupun umum.

4.

Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan bahwa lebah mengeluarkan

dari dalam perutnya suatu minuman yang bermacam-macam dan

mengandung obat bagi manusia. Maka Allah berfirman dalam surat

Al-Isra‟ ayat 82 yaitu:

ِم ۡؤ مۡيِّى تَم ۡدَزََ ءٓبَفِش َُ ٌ بَم ِناَء ۡس قۡىٱ َهِم هِّصَى وََ

دٌِصٌَ َلَََّ َهٍِى

ازبَعَخ َّلَِّإ َهٍِمِيَّٰظىٱ

٢٣

82. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar

dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu

tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

5. Pada surat yang lalu, Allah SWT menyuruh supaya menyantuni

kepada kerabat. Hal yang sama juga diperintahkan oleh Allah di

samping diperintahkan pula agar memberi sesuatu kepada orang

miskin dan ibnu sabil( Al-Maragi,1993 : 1-2.).

3. Asbabun Nuzul

Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya

ayatayat Al-Quran. Al-Quran di turunkan Allah SWT. kepada

(25)

14

tahun. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah

dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Sebab

turunnya ayat atau asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) di sini

dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan

turunnya ayat-ayat tertentu.

Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab turun suatu ayat

adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan.

Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang

berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap

pertanyaan tertentu (Syadali dan Rofi‟i, 2000: 89-90). Surat ini

mempunyai beberapa nama, antara lain yang paling populer adalah

surat Al-Isra‟ dan surat Bani Isra‟il. Surat ini dinamakan al-Isra‟ karena

awal ayat ini berbicara tentang Al-Isra‟ yang merupakan uraian yang

tidak ditemukan secara tersurat selain pada surat ini. Demikian juga

dengan nama Bani Isra‟il, karena hanya di sini diuraikan tentang

pembinaan dan penghancuran Bani Isra‟il. Surat juga dinamakan

dengan surat subhana karena awal ayatnya dimulai dengan kata

tersebut. Nama yang populer bagi kumpulan ayat ini pada masa Nabi

SAW. adalah surat Bani Isra‟il. Pakar hadits at-Tirmidzi meriwayatkan

melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi SAW tidak akan tidur

sebelum membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra‟il.

Surat ini menurut mayoritas ulama turun sebelum Nabi SAW

berhijrah ke Madinah, dengan demikian ia merupakan salah satu surat

(26)

15

Makkah, setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan yang ada di

dalam Al-Quran, surat Al-Isra‟ berada setelah surat Al-Nahl dan

memiliki 111 ayat (Khalid, 2009: 339). Ada yang mengecualikan dua

ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan ada yang menambahkan juga ayat 60

dan ayat 80. Masih ada pendapat lain menyangkut

pengecualian-pengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian itu disebabkan

karena ayat-ayat yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang

membicarakan tentang keadaan yang diduga terjadi pada periode

Madinah, namun pemahaman tersebut tidak harus demikian. Karena itu

penulis cenderung mendukung pendapat ulama yang menjadikan

seluruh ayat surat ini Makiyyah.

Memang peristiwa hijrah terjadi tidak lama setelah peristiwa

Isra‟ dan Mi‟raj Nabi SAW, yakni sekitar setahun lima bulan dan ini

berarti turunnya surat ini pada tahun XII kenabian, di mana jumlah

kaum muslimin ketika saat itu relatif banyak, walau harus diakui bahwa

dibukanya surat ini dengan uraian tentang peristiwa Isra‟, belum tentu

ia langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada ayat-ayat yang

turun sebelumnya dan ada juga yang turun sesudahnya (Shihab,:

401-402).

Imam Al-Biqa‟i berpendapat bahwa tema utama surat ini adalah

ajakan menuju ke hadirat Allah SWT., dan meninggalkan selain-Nya,

karena hanya Allah pemilik rincian segala sesuatudan Dia juga yang

mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang dinamakan taqwa yang

(27)

16

juga menjadi pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan puncaknya adalah

ihsan yang merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan

mengandung makna fana‟, yakni peleburan diri kepada Allah SWT.

Semua nama-nama surat ini mengacu pada tema itu. Namun

subhana yang mengandung makna penyucian Allah SWT. Merupakan

nama yang paling jelas untuk tema itu, karena siapa yang Maha Suci

dari segala kekurangan, maka dia sangat wajar untuk diarahkan

kepada-Nya semata-mata hanya untuk pengabdian dan berpaling dari

selain-Nya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa yang mengetahui rincian

keadaan mereka dan perjalanan mereka menuju negeri suci yaitu Bait

Al-Maqdis yang mengandung makna isra‟, yaitu perjalanan malam,

akan menyadari bahwa hanya Allah yang harus dituju. Dengan

demikian, semua nama surat ini mengarah kepada tema utama yang

disebut dengan aqidah.

Thabathaba‟i sebagaimana dikutip Shihab berpendapat bahwa

surat ini memaparkan tentang Keesaan Allah SWT dari segala macam

persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi pensucian Allah dan sisi

pujian kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di sini kata

subhana (Maha Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan

penutup surat ini memuji-Nya dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki

anak, tidak juga sekutu dengan kerajaan-Nya dan Dia tidak

membutuhkan penolong(Shihab, 402-403).

(28)

17

Menurut bahasa kata “tafsir” diambil dari kata “

fassara-yufassirutafsiran” yang artinya adalah keterangan, penjelasan atau

menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Tafsir Al-Quran

adalah penjelasan atau keterangan-keterangan tentang firman Allah SWT.

yang berhubungan dengan makna dan tujuan kandungan atau keterangan

dan penjelasan tentang sesuatu kata atau kalimat yang digunakan di

dalamnya (Yusuf, 2003: 79).

Adapun pengertian tafsir secara istilah seperti yang diungkapkan

oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh

para pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna

yang mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu petunjuknya

(dilalahnya). Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan

ayat-ayat Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan tujuan yang

dikehendaki oleh nash atau teks Al-Quran tersebut.

Dari pengertian tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah

suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, atau pemahaman manusia dalam

menyikapi nilai-nilai samawi atau nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di

dalam Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dalam penafsiran

Al-Quran sangat mungkin terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang,

disiplin ilmu, metode dan corak yang digunakan oleh para penafsirnya

sendiri (Yusuf, 2003.: 79-80).

(29)

18

Maksud dari potongan ayat di atas adalah Tuhanmu memerintahkan

agar kamu jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak

pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan yang dari

padanyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hamba-Nya, dan

tidak ada yang dapat memberi nikmat kecuali Dia(Al-Maraghiy,: 58.).

Dalam tafsir Imam Qurthubi dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu

artinya memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan

(awjaba). Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah berkata: “Qodhoo di sini

bukanlah qodhoo yang berarti memutuskan suatu perkara (qodho‟uhukmin),

melainkan qodhoo yang berarti memerintahkan suatu perkara (qodho

amri)”(Al-Fahham, 2006: 133). Kata ”qodhoo” Maksudnya memerintahkan,

semua perintah mengandung konsekuensi hukum wajib (Ya‟kubi dan

Shadik,; 18). Menurut Imam Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid tafsir

an-Nawawi perintah di sini adalah perintah yang mewajibkan(An-an-Nawawi,

2009: 476.). Menurut Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah, Allah telah

memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan

(mengesakan) Dzatnya. Selanjutnya Allah telah menjadikan perbuatan

berbakti kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang berkaitan dengan

hal itu, sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur (berterima kasih)

kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya(Al-Fahham,: 133-134).

ۚبًى َٰع ۡدِإ ِهٌَۡدِى َُٰۡىٲِبََ

Maksud dari potongan ayat di atas adalah agar kamu berbuat baik

(30)

kamu(Al-19

Maraghiy,:58). Yang dimaksud dengan kata “ihsan” atau berbuat baik

dalam ayat tersebut adalah berbakti kepada keduanya yang bertujuan untuk

mengingat kebaikan orang tua karena sesungguhnya dengan adanya orang

tua seorang anak itu ada dan Allah menguatkan hak-hak orang tua dengan

memposisikan di bawah kedudukan setelah beribadah kepada Allah yakni

mengtauhidkan Allah(Al-Ansari, 375.). Allah mengurutkan kedua amal

tersebut dengan menggunakan lafazh tsumma yang memberikan pengertian

“tertib” atau “teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban Az-Zuhaili

dijelaskan bahwa Allah sering mengaitkan antara perintah untuk beribadah

kepadanya dengan perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua

orang tua dengan cara memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan

yang baik dan sempurna. Hal itu disebabkan karena kedudukan mereka

berdua di bawah kedudukan Allah. Yang merupakan sebab hakiki (yang

sesungguhnya) dari keberadaan manusia (di muka bumi). Adapun mereka

berdua (keduanya) hanyalah merupakan sebab zhahiri (yang nampak) dari

keberadaan anak-anak, di mana mereka berdua akan mendidik mereka

dalam suasana yang penuh dengan cinta, kelembutan, kasih sayang, dan

sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka berdua.

Oleh karena itu, di antara sikap yang menunjukkan kesetiaan dan

muru‟ah seorang anak adalah membalas kebaikan mereka berdua itu, baik

dengan cara memperlihatkan perilaku yang baik dan akhlak yang disenangi

maupun dengan memberikan bantuan berupa materi jika mereka berdua

memang membutuhkannya dan jika sang anak memang mampu melakukan

(31)

20

ِإ

ف أ ٓبَم ٍَّى و قَح َلََف بَم ٌ َلَِم ََۡأ ٓبَم ٌ دَدَأ َسَبِنۡىٱ َكَدىِع َّهَغ يۡبٌَ بَّم

َلَََّ

بَم ٌ ۡسٍَۡىَح

Maksud dari potongan ayat di atas adalah apabila kedua orang tua

atau salah seorang di antaranya berada di sisimu hingga mencapai keadaan

lemah, tidak berdaya dan tetap berada di sisi mereka berdua pada awal

umurmu, maka kamu wajib belas kasih dan sayang terhadap keduanya.

Kamu harus memperlakukan kepada keduanya sebagaimana orang yang

bersyukur terhadap orang yang telah memberi karunia kepadanya. Ibnu Jarir

dan Ibnu Munzir telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu AI-Haddaj

yang katanya: Pernah saya berkata kepada Sa‟id bin Al-Musayyab, segala

apa yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain,

saya telah tahu, kecuali firman-Nya:

ٌِْسَم لَّ َُۡق بَم ٍَّى و قََ

ًم

ب

Apa yang dimaksud perkataan yang mulia di sini?

Maka, berkatalah Ibnu AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan

seorang budak yang berdosa di hadapan tuannya yang galak(Al-Maraghiy, :

61-62.) Menurut imam Jalalain dalam kitabnya tafsir jalalain yang dimaksud

dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang yang baik dan sopan

(jamilan layyinan), (Jalalain: 230.) begitu juga menurut imam Nawawi

perkataan yang mulia yakni perkataan yang lembut dan baik yang bertujuan

untuk menghormati (An-Nawawi: 476). Setelah Allah melarang

(32)

21

menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya (Ishaq Alu

Syaikh,1994: 238).

ِتَم ۡدَّسىٱ َهِم ِّهُّرىٱ َحبَىَج بَم ٍَى ۡضِف ۡخٱََ

Maksud potongan ayat di atas adalah rendahkanlah dirimu terhadap

mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah hendaknya seorang anak

selalu menyenangkan hati kedua orang tuanya berapapun besarnya, baik itu

dengan perkataan, dengan sikap dan perangai yang baik, dan jangan

sekali-kali menyebabkan mereka itu murka atau benci atas putra-putrinya (Hasan,

2000: 86-87.). Dalam Kitab Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan Allah SWT

telah menyebutkan aspek pendidikan (yang dilakukan oleh kedua orang tua)

itu secara khusus dengan maksud agar seorang hamba mau mengingat akan

kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya serta rasa letih yang telah

dirasakan oleh mereka berdua dalam mendidik anaknya. Hal ini dapat

menambah rasa sayang dan cinta dalam hati seorang hamba kepada orang

tuanya(Al-Fahham,: 135-136).

اسٍِغَص ًِوبٍََّبَز بَمَم بَم ٍ ۡمَد ۡزٱ ِّةَّز

٣٢

Maksud dari potongan ayat di atas adalah ucapkanlah: "Wahai

Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah

mendidik aku waktu kecil” adalah janganlah kamu merasa cukup dengan

(33)

22

kasih sayangmu itu tidaklah kekal. Akan tetapi, hendaklah kamu berdoa

kepada Allah agar dia mengasihi keduanya dengan kasihnya yang kekal, dan

jadikanlah do‟a itu sebagai balasan atas kasih sayang dan pendidikan yang

telah mereka berikan kepadamu saat kamu masih kecil.

َهٍِب َََّٰ ۡلِۡى َنبَم ۥ ًَّوِئَف َهٍِذِي َٰص ْاُ وُ نَح نِإ ۚۡم نِظُ ف و ًِف بَمِب مَي ۡعَأ ۡم نُّبَّز

ازُ فَغ

٣٢

Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa

yang ada dalam hatimu, baik berupa perasaan berbakti dan menyakiti jika

kamu orangorang yang baik yakni orang-orang yang taat kepada Allah,

maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang orang yang bertaubat

yakni orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berbuat taat

kepada-Nya(Abu Bakar,1990: 1137).

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang

terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut mufasir klasik yaitu

berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan akhlak

birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Di sini Allah

menempatkan posisi berbuat baik kepada orang tua langsung di bawah

posisi pengesaan Allah dan penghambaan kepada-Nya tanpa disela dengan

apapun. Menurut Imam An Naisaburi dalam tafsirnya bahwa Allah sengaja

menempatkan berbuat baik kepada orang tua langsung setelah ibadah

(34)

23

1. Keduanya adalah fasilitator kelahiran mereka di muka bumi sekaligus

fasilitator pendidikan mereka. Tidak ada persembahan yang lebih

agung setelah persembahan Allah daripada persembahan orang tua.

2. Pemberian mereka mirip seperti pemberian Allah karena keduanya

tidak meminta pujian maupun pahala dibalik pemberiannya.

3. Allah SWT tidak pernah jemu memberi kenikmatan pada hamba,

mesti hamba-Nya melakukan dosa besar sekalipun. Begitu juga orang

tua, mereka tidak akan memutuskan aliran kemurahan mereka pada

anaknya meskipun ia tidak berbakti kepadanya.

4. Sama seperti Allah yang hanya menginginkan kebaikan bagi

hamba-Nya, orang tua pun hanya menginginkan kesempurnaan bagi anaknya.

Seorang anak tidak akan bisa sempurna kecuali berkat peran dan

obsesi ayahnya. Buktinya, orangtua tidak pernah iri pada anaknya

meskipun ia diungguli dan anak lebih baik dari pada diri mereka,

bahkan justru mereka senang dan mendambakannya. Sebaliknya

seorang anak tidak menginginkan jika ada orang lain yang lebih baik

dari pada dirinya.

C. Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra

23-25

Menyikapi tentang perkembangan zaman yang semakin maju dan semakin

beraneka ragamnya problematika sosial yang terjadi, para mufassir

(35)

24

pemahaman wahyu, melihat dari semua apa yang terjadi di dunia ini pasti

akan selalu berhubungan dengan sebab dan akibat, seperti kata berikut:

ْا

Artinya: Hukum selalu berhubungan dengan ada dan tidaknya sebab.

Melihat dari keberadaan kaidah tersebut maka inovasi dalam penafsiran ayat

wajib hukumnya. Seperti yang dituturkan para ulama berikut:

يبٌَِّإ ٓ َّلَِّإ ْآَ د ب ۡعَح َّلََّأ َلُّبَز ٰىَضَقََ

Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu telah menetapkan

sesuatuketetapan yang harus dilaksanakan yaitu jangan engkau

menyembah selain Dia (Ash-Shiddieqy,: 812). Agar tidak menyembah

tuhan-tuhan yang lain selain Dia. Termasuk pada pengertian menyembah

tuhan selain Allah yakni mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat

mempengaruhi jiwa dan raga, selain kekuatan yang datang dari Allah.

Semua benda yang ada yang kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk

Allah(Menteri Agama Republik Indonesia: 343). Thahir Ibn Asyur

menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan perincian tentang

syari‟at Islam yang ketika turunnya merupakan perincian pertama yang

disampaikan kepada kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut Sayyid

Quthb sebagaimana dikutip Shihab, ayat ini berkaitan dengan tauhid

(mengesakan Allah), bahkan dengan tauhid itu dikaitkan dengan segala

ikatan dan hubungan, seperti ikatan keluarga, kelompok, bahkan ikatan

hidup (Shihab: 62). Menurut Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman

(36)

25

memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada

sekutu bagi-Nya (Ishaq Alu Syaikh, 1990: 238).

Begitu juga menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah

(HAMKA) dalam bukunya Tafsir Al-Azhar pada ayat 22 di atas tujuan

hidup dalam dunia ini telah dijelaskan yaitu mengakui hanya satu Tuhan

itu yakni Allah SWT. barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang

lain maka akan tercela dan terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan

tiada bersyarikat dan bersekutu dengan yang lain. Bahwasanya Tuhan

Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah dan memutuskan

bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji dan dipuja. Dan tidak boleh dan

dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu, maka cara beribadah

kepada Allah, Allah sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah

ibadah kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk

menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia

mengutus Rasul-rasul-Nya. ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah

(HAMKA), 1999 : 4030).

ۚبًى َٰع ۡدِإ ِهٌَۡدِى َُٰۡىٲِبََ

Maksud dari ayat di atas adalah supaya berbuat ihsan kepada ibu

bapak (Hasbi Ash-Shiddieqy, tt : 812) yakni berbuat baik kepada keduanya

dengan sikap sebaik-baiknya. Allah memerintahkan kepada manusia agar

berbuat baik kepada ibu bapak sesudah memerintahkan untuk beribadah

kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia memahami betapa pentingnya

(37)

26

betapa besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan pada saat

melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan

dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka dengan penuh kasih

sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak,

dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting diantara

kewajiban-kewajiban yang lain dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah

kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Menurut Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa berbuat

baik kepada kedua orang tua merupakan tugas yang pertama sesudah

beriman (Ash-Shiddieqy, tt : 817) Menurut Haji Abdul Malik Karim

Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan ayat ini terang sekali bahwasanya

berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati kedua orang tua yang telah

menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban

yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.( Haji Abdul Malik Karim

Amrullah,: 4031.) Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Quran

bahwa sebuah ikatan yang pertama sesudah ikatan akidah adalah ikatan

keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat mengaitkan berbakti kepada

kedua orang tua dengan pengabdian kepada Allah, sebagai deklarasi akan

tingginya nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah( Quthb, 2003: 248).

ِإ

قَح َلََف بَم ٌ َلَِم ََۡأ ٓبَم ٌ دَدَأ َسَبِنۡىٱ َكَدىِع َّهَغ يۡبٌَ بَّم

ــــــــــــ

ّف أ ٓبَم ٍَّى و

(38)

27

Maksud dari ayat di atas adalah jika usia keduanya atau salah

seorang di antara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meninggal tua

sehingga tak kuasa lagi hidup sendiri sudah sangat bergantung kepada

belas kasih puteranya hendaknya sabar dan berlapang hati memelihara

orang tua. Bertambah tua terkadang bertambah dia seperti kanak-kanak

seperti dia minta dibujuk, mintabelas kasihan anak. Terkadang ada juga

bawaan orang tua membosankan anak, maka janganlah keluar dari mulut

seorang anak walaupun itu satu kalimat yang mengandung rasa bosan atau

jengkel disaat memelihara orang tua(Amrullah,: 4031).

مٌِسَم لَّ َُۡق بَم ٍَّى و قََ

ب

Maksud dari ayat di atas adalah hendaklah katakan kepada kedua

orangtua dengan perkataan yang mulia, yang pantas, kata-kata yang keluar

dari mulut orang yang beradab, sopan dan santun (Amrullah,: 4033).

تَم ۡدَّسىٱ َهِم ِّهُّرىٱ َحبَىَج بَم ٍَى ۡضِف ۡخٱََ

Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan agar

merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih sayang.

Yang dimaksud dengan merendahkan diri dalam ayat ini adalah mentaati

apa yang mereka perintah selama perintah itu tidak bertentangan dengan

ketentuanketentuan syara‟. Taat anak kepada kedua orang tuanya

merupakan tanda kasih sayang kepada kedua orang tuanya yang sangat

diharapkan terutama pada saat keduanya sangat memerlukan

(39)

28

tidak membedakan antara ibu dan bapak. Memang pada dasarnya ibu

hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir

Ibn Asyur sebagaimana dikutip Shihab menulis bahwa Imam Syafi‟i pada

dasarnya mempersamakan keduanya sehingga bila ada salah satu yang

hendak didahulukan, sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat

guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits

yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga

dibanding satu, penerapannya pun harus setelah memperhatikan

faktor-faktor yang dimaksud (Shihab, : 67).

اسٍِغَص ًِوبٍََّبَز بَمَم بَم ٍ ۡمَد ۡزٱ ِّةَّز

Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan untuk

mendoakan kedua orang tua mereka, agar diberi limpahan kasih sayang

Allah sebagai imbalan dari kasih sayang kedua orang tua itu dengan

mendidik mereka ketika masih kanak-kanak (Menteri Agama Republik

Indonesia: 556-557). Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada

orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih

hidup maupun telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak

beragama Islam telah meninggal terlarang bagi anak untuk mendoakannya.

Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum

muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim As (Shihab, 68).

(40)

29

Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa

yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, maka

sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat,

mengenai seseorang yang terburu nafsu mengucapkan kata-kata yang tidak

sopan terhadap ayah ibunya, padahal bukan bermaksud menyakiti hati

mereka, atau melakukan sesuatu perbuatan yang keliru, padahal dalam

hatinya bermaksud baik dengan perbuatan itu, maka allah berfirman:

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu”(Salim dan Said

Bahreisy, 1990: 34).

Syu‟bah menceritakan dari Yahya bin Sa‟id dari Said bin al

-Musayyab, ia mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat

dosa lalu bertaubat, berbuat dosa lalu bertaubat.” Demikian juga yang

diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ma‟mar, Atha‟ bin Yasar, Said bin Jubair

dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang kembali

kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara pendapat-pendapat

tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa

awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan

maksiat menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah

menuju kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.” Apa yang dikatakan

Ibnu Jarir inilah yang benar karena kata awwaabiin (orang-orang yang

kembali) diambil dari kata al-aub yang berarti kembali (Ishaq Ahlu

Syaikh,: 241).

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang

(41)

30

yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan

birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Keyakinan akan

keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah

dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu kewajiban

pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah dan beribadah

kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah

memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua dikarenakan

sebab-sebab sebagai berikut :

1. Wajib berbakti kepada kedua orang tua karena kedua orang tua itulah

yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah bersusah payah dalam

memberikan kebaikan kepadanya dan menghindarkan dari bahaya.

2. Wajib bersyukur kepada kedua orang tua karena merekalah yang telah

memberikan kenikmatan kepada anak, yang dalam keadaan lemah dan

tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu, wajib hal itu di balas dengan

(42)

31

BAB III

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Surat Al-Isra’ 23-25

A. Pendidikan Tauhid

Secara bahasa tauhid berasal dari kata

wahhada-yuwahhidu-tauhiidan, yang berarti menjadikan sesuatu satu(Ristianto, 2010 : 1). Secara

syara‟ tauhid berarti mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan,

mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan ibadah kepada

yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat yang Mulia bagi-Nya, dan

membersihkan-Nya dari sifat kurang dan tercela (Ristianto, 2010 : 1). jadi

pengertian tauhid adalah meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya,

yakni agama yang disampaikan oleh para rasul Allah yang berisi tentang

tauhid untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam ayat-ayat-Nya memerintahkan

untuk menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi

kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra‟ ayat 23 yaitu:

يبٌَِّإ ٓ َّلَِّإ ْآَ د ب ۡعَح َّلََّأ َلُّبَز ٰىَضَقََ

Maksud dari potongan ayat di atas adalah dan Tuhanmu

memerintahkan agar kamu (manusia) jangan menyembah selain Dia, karena

ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali

terhadap Tuhan (Allah). Dari pada-Nyalah keluar kenikmatan dan anugerah

atas hamba-hambanya dan tidak ada yang dapat memberi kenikmatan

kecuali Dia (Allah) (al-Maraghi, 1993 : 59). Allah SWT melarang manusia

(43)

32

dan arwah nenek moyang dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri

kepadanya. Termasuk yang dilarang itu ialah meyakini adanya tuhan selain

Allah mengakui adanya kekuasaan yang lain selain Allah yang dapat

mempengaruhi dirinya, ataupun kekuatan ghaib yang lain. Larangan ini

ditujukan kepada seluruh manusia, agar mereka tidak tersesat dan tidak

menyesal karena melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan terhadap

penciptanya. Padahal mereka seharusnya mensyukuri nikmat Allah yang

telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengada-adakan Tuhan yang lain,

yang lain sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk memberikan

pertolongan kepada mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi mudarat

(Departemen Agama, 1993 : 553).

Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam

ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan

Allah dengan apa pun atau siapa pun (al-Qarni, 2007 : 488). Oleh sebab itu,

yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan

alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan

kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang

memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti

ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang

tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan

serta tak berhak disembah (Departemen Agama, 1993 : 545).

Ini merupakan perintah untuk mengesakan Allah dalam

penyembahan sesudah larangan berlaku syirik. Perintah yang diungkapkan

(44)

33

sebuah keputusan pengabdian. Dalam ayat ini memberi frame pada perintah

yang ada berupa penekanan, disamping menekan khusus atas masalah ini,

yang dapat dilihat peniadaan, pengecualian dan penekanan masalah tauhid

dalam kehidupan(Quthb, 2003 : 248). Seseorang dinyatakan iman bukan

hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan keyakinan tadi. Oleh karena

itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara

utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan (Taufiq dan

Rohmadi, 2010 : 12).

Pengakuan atas keesaan Allah mengandung kesempurnaan dan

kepercayaan kepadanya dari dua segi, yakni segi rububiyyah dan segi

uluhiyyah. Rububiyyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai

Dzat Yang Maha Pencipta, Pemelihara dan memiliki semua sifat

kesempurnaan. Sedangkan uluhiyyah ialah komitmen manusia kepada Allah

sebagai satu-satunya Dzat yang dipuji dan disembah. Komitmen kepada

Allah itu terwujud dalam sikap pasrah, tunduk dan patuh sepenuh hati

sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan mati seseorang

semata-mata hanya untuk Allah Swt (Achmadi, 2010 : 87). Manusia yang beriman

dan bertaqwa terhadap Allah Swt. dalam konteks ini menyadari sepenuhnya

bahwa dibalik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain

Yang Maha Besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup

dan kehidupan manusia di dunia ini. Ia akan selalu berbuat kebajikan dalam

kehidupan ini, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap masyarakat dan

terhadap alam di sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah

(45)

34

Zat Allah jelas tidak dapat kita tangkap dengan indera, akan tetapi

Al-Quran memberikan informasi tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya

yang sempurna. Dari ayat-ayat yang bertebaran di dalam Al-Quran

disimpulkan bahwa ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma‟ al-husna) yang

menggambarkan sifat-Nya Yang Sempurna. Memperhatikan sifat-sifat

Tuhan itu semua dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki

berbagai sifat yang tidak ada bandingannya. Sebagai Tuhan, Dia tidak

bekerja sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan karena itu semua

makhluk hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau makhluk tidak

berhak untuk dengan Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa, berilmu dan

dapat bertindak apa saja jika Dia menghendaki.

Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ajaran inti

agama (Islam). Sikap tauhid adalah meyakini dan mempercayai bahwa

Allah Esa Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa

Memberi Hukum, Esa Menerima Ibadah, Esa dalam Memberi Perlindungan

kepada makhluk-Nya. Kepercayaan dan amal-amal ibadah akan menjadi

rusak bila sikap tauhid (akidah) labil dan lemah. Menurut Shihab dan ulama

tafsir bahwa Keesaan Allah itu mencakup :

1. KeEsaan Zat

Keesaan Zat-Nya mengandung pengertian bahwa seseorang

harus percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian,

karena jika zat yang mana kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih,

(46)

35

semua unsur yang ada, Dia tidak membutuhkannya. Ini yang

dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat Faatthir ayat 15 yaitu:

دٍِمَذۡىٱ ًُِّىَغۡىٱ َُ ٌ َّللّٱََ ِِۖ َّللّٱ ىَىِإ ءٓاَسَق فۡىٱ م خوَأ ضبَّىىٱ بٌٍََُّأٌَٰٓ

Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan

Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha

Terpuji”

2. Keesaan Sifat

Adapun Keesaan sifat-Nya antara lain berarti bahwa Allah

memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi (isi) dan kapasitasnya

dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan

untuk menunjukkan sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim

merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjukkan

rahmat atas kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.

Allah berfirman dalam surat Al-A‟raaf ayat 180 yaitu:

ْاَ زَذََ ِۖبٍَِب يُ ع ۡدٲَف ٰىَى ۡع ذۡىٱ ءٓبَم ۡظَ ۡلۡٱ ِ َّ ِللََّ

َهٌِرَّىٱ

َنُ يَم ۡعٌَ ْاُ وبَم بَم َن ََۡص ۡج ٍَظ ۚۦًِِئَٰٓم ۡظَأ ًِٓف َنَ دِذۡي ٌ

180. “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah

kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah

orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)

nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang

telah mereka kerjakan”

(47)

36

Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada

di alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya

semuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang

dikehendaki-Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-dikehendaki-Nya tidak akan terjadi,

tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk

menolak moderat) kecuali bersumber dari Allah SWT. Allah berfirman

dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu:

َنُ عَج ۡس ح ًٍَِۡىِإََ ٖء ًَۡش ِّو م ثُ نَيَم ۦِيِدٍَِب يِرَّىٱ َه َٰذۡب عَف

83. “Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas

segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”

4. Keesaan dalam Beribadah Kepada-Nya

Kalau ketiga Keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus

diketahui dan diyakini, maka Keesaan keempat ini merupakan

perwujudan dari ketiga makna Keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka

ragam dan bertingkat-tingkat, salah satu ragamnya yang makin jelas

adalah amalan yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung oleh Allah

atau melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah ibadah mahdhah.

Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala

macam aktivitas yang dilakukan karena Allah. Allah berfirman dalam

surat Al-An‟aam ayat 162 yaitu:

(48)

37

Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,

hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(

Mumi Jamal, Dkk, 2005 : 754-758).

Adapun cara-cara untuk memelihara ketauhidan adalah pertama,

Dengan selalu menambah ilmu pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama).

Kunci dari semua kehidupan dan iptek tentu ada di dalam kandungan

Al-Quran. Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa

yang ada dalam kandungannya, agar kita tidak menjadi manusia yang lemah

imannya dan sombong. Firman Allah dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11:

َزَد َمۡيِعۡىٱ ْاُ حَ أ َهٌِرَّىٱََ ۡم نىِم ْاُ ىَماَء َهٌِرَّىٱ َّللّٱ ِعَف ۡسٌَ

بَمِب َّللّٱََ ٖۚج َٰج

سٍِبَخ َنُ يَم ۡعَح

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah

Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Banyak gambaran dari Al-Quran dan As-Sunnah yang

mengungkapkan tentang keagungan Allah. Jika seseorang Muslim mau

memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya

akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Agung, anggota-anggota

jasmaniahnya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan

Maha Berkuasa, serta kekhusu‟annya akan semakin bertambah kepada Allah

SWT. Jelaslah bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman seseorang akan

(49)

38

keagungan dan kebesaran Ilahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu

tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT(dinnullah),

sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah.

Kedua, Memperbanyak amal shaleh (terutama shalat). Dalam tarikh,

para sahabat Nabi SAW akan mempergunakan dengan sebaik-baiknya pada

setiap kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh. Seperti apa yang

dituturkan Abu Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh Rasulullah SAW

“Siapakah diantara kamu sekalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakar

menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di antara kamu yang

menjenguk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab lagi, “Saya.”

Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu dalam diri

seseorang melainkan dia akan masuk Surga(Sueb, 1996 : 60-66).

Dalam tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar

As-Siddiq ra, sangat antusias dalam mempergunakan setiap kesempatan

untuk memperbanyak ibadah. Jadi, bukan hanya dari amalan-amalan

shalatnya, meskipun shalat adalah perkara fardhu. Dalam Al-Quran Surat

Thaha ayat 14, Allah berfirman:

ٓيِس ۡمِرِى َة َُٰيَّصىٱ ِمِقَأََ

Artinya: “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”

Nabi muhammad Saw telah mengatakan dengan tegas, bahwa shalat

itu baru akan membawa hasil jika apa yang dibaca di dalam shalat

dimengertinya. “tidaklah dari seseorang muslim yang berwudhu maka

(50)

39

adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa). Allah

SWT tidak melarang kita dalam meraih kesenangan duniawi. Dan dalam

pengejaran tersebut kita harus menyesuaikan dengan tuntunan norma ajaran

agama yang telah ditetapkan nya serta didasari karena ketaatan kita kepada

Allah SWT. Jadi, kita dalam mencari rizqi di dunia ini bukan semata-mata

rakus duniawi dalam segi harta benda dan yang sejenisnya, yang

memabukkan.

Ketiga, Menjauhi Segala yang dilarang Allah dan Rasulnya. Allah

SWT menyerukan kepada manusia agar menjauhi apa-apa yang dilarang

oleh Allah karena dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis yang

telah ditentukannya. Jangankan menyimpang, mendekati

laranganlarangannya pun maka dikhawatirkan manusia akan terperosok di

dalamnya. Terperosoknya manusia kepada hal-hal yang ingkar, tentu saja

akan banyak membawa kepada kehidupan kelak di akhiratnya (Sueb,

60-66.).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan tauhid pada ayat ini

adalah Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan

menyembah kepada-Nya, serta melarang menyekutukan Allah dengan

apapun oleh sebab itu yang berhak disembah hanyalah Allah yang telah

menciptakan alam dan semua isinya. Maka apabila ada manusia yang

memuja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib berarti ia telah sesat,

karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa

memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak

Referensi

Dokumen terkait

Gugus fenolik pada antioksidan berfungsi juga sebagai pencegah pembentukan radikal bebas pada lemak yang telah teroksidasi dengan cara memberikan H• sehingga terbentuk

Dari sekian perangkat gamelan lainnya hanya hidup dan berkembang menjadi bagian dari kegiatan – kegiatan keraton, terutama kepentingan upacara ritual yang di

Masyarakat yang akan membuat KTP, KK atau yang lainnya harus membawa belangko yang sudah ditandatangani oleh Kepala desa atau sekdes serta dari pihak kecamatan kalau tidak

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau

Pemeriksaan hanya dilakukan terhadap bahan baku dan cara pengolahannya saja; (3) tidak adanya jaminan bahwa dengan diperolehnya sertifikat halal, akan menjamin

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SUBTEMA 4 KEBERSAMAAN DALAM KELUARGA MENGACU KURIKULUM SD 2013

Menurut Pidada (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial adalah : kecerdasan, penalaran moral dan kecerdasan emosional. Berdasarkan uraian yang telah

La duración media del plano en cada videoclip –obtenida mediante la división de la duración total de la pieza audiovisual por el número de planos contabilizados– da cuenta