i
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-
QUR’AN
SURAT AL ISRA 23-25
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh :
FATKHUL MANAN JAZULI 111 10 130
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
v
MOTTO
Dan orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah mereka yang paling baik akhlaknya
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tuaku tercinta, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang,
mendidik dari kecil sampai sekarang, dan doa restunya yang tak pernah putus serta nasihat-nasihatnya.
2. Adikku tercinta Istighfaroh Tsaniah, terimakasih atas dukungan dan selalu
mendo‟akan.
3. Kepada Bapak Muh.Hafidz, selaku pembimbing skripsi.
4. Sahabat-sahabatku tercinta, Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo,
Aan, Ismi terimakasih atas motivasi dan kebersamaan kita selama ini
karena kalian telah mengajarkan makna indahnya sebuah persahabatan.
5. Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010,
vii
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan
segala sifat kesempurnaan-Nya. Dzat yang mengatur segala apa yanga ada di
dunia dengan kekuasaan-Nya, Dzat yang telah menetapkan antara yang hak dan
bathil, Dzat yang telah menganugerahkan kepada manusia akal berfikir dan
memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dialah Allah yang tak pernah lepas
pengawasannya terhadap apa yang dilakukan manusia dan kepada-Nya lah kita
mempertanggungjawabkan tiap apa yang kita kerjakan.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi besar
Muhammad SAW, untuk keluarga serta para sahabat beliau yang senantiasa
istiqamah dalam perjuangan Islam. Semoga kita menjadi hamba-hamba pilihan
laksana mereka.
Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini dengan
segala pengorbanan dan rintangan lahir batin telah dapat penulis lalui. Tak ada
penggambaran lain yang dapat penulis utarakan selain ucapan syukur yang tiada
tara pada Allah SWT karena hanya atas ridha dan pertolongan-Nya penulis dapat
melalui semua ini.Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dandukungan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus dan ikhlas kepada :
1. Bapak Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Dr. Rahmat
Hariyadi, M.Pd.
2. Kepala Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Ruhayati
3. Dosen pembimbing Bapak Muh.Hafidz, M.Ag. atas bimbingan, arahan dan
viii
4. Kedua orang tuaku tercinta yang telah mencurahkan pengorbanan dan do‟a
restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.
5. Adikku tercinta Istghfaroh Tsaniah yang telah mencurahkan do‟a dan
motivasi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat tercinta,Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo, Aan,
Ismi terimakasih atas indahnya kebersamaan kita selama ini, kalian telah
mengajarkan arti sebuah persahabatan yang tidak akan pernah berakhir,
Amiin.
7. Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010,
terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.
8. Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam
penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a, semoga amal dan kebaikan semua
pihak dapat diterima dan dicatat oleh Alloh sebagai amal sholeh dan mendapatkan
balasan sebaik-baiknya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini melainkan Ia yang Maha
Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak
untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis
berharap semoga tulisa ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umunya.
Salatiga, April 2015
ix
ABSTRAK
Jazuli, Fatkhul Manan. 2015. Konsep Pendidikan Akhlak Anak Terhadap Orang Tua Dalam Al-Qur‟an Surat Al Isra 23-25. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program studi pendidikan agama islam. Institut agama islam negeri salatiga. Pembimbing: Muh Khafid, M. Ag.
Kata Kunci : Pendidikan Akhlaq, Pendidikan Islam.
Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul
walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan:(1)
Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23 -25? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua, Pendidikan
birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan
x
DAFTAR ISI
JUDUL...i
PERTANYAAN KEASLIAN SKRIPSI...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
PENGESAHAN KELULUSAN...iv
MOTTO...v
PERSEMBAHAN...vi
KATA PENGANTAR...vii
ABSTRAK...ix
DAFTAR ISI...x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Fokus Penelitian...3
C. Tujuan Penelitian...3
D. Manfaat Penelitian...3
E. Kajian Pustaka...4
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian...5
2. Metode Analisis Data...7
xi BAB II DESKRIPSI SURAT AL ISRA 23-25
A. Surat Al Isra dan Terjemahan...9
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan...9
2. Munasabah...10
3. Asbabun Nuzul...12
B. Pendapat Mufassir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al Isra 23-25....15
C. Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al Isra 23-25...21
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SURAT AL ISRA 23-25 A. Pendidikan Tauhid...27
1. KeEsaan Zat...30
2. KeEsaan Sifat...30
3. KeEsaan Perbuatan...31
4. KeEsaan dalam Beribadah KepadaNya...31
B. Pendidikan Birrul Walidaini...34
BAB IV INTEGRASI AKHLAK DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Penguatan Akidah Peserta Didik...46
B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini...60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...67
B. Saran...69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan kalam Allah yang mu‟jiz, yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantara
malaikat Jibril ditulis dalam lembaran-lembaran (mashahif) sampai kepada
umat manusia secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah, diawali
dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas(As Shabuny,1985 :
8). Al-Quran juga sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya
mencakup ajaran tentang I‟tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta
amaliyah (tindakan praktis) (Naim, 2009 : 56).
Al-Qur‟an merupakan lukisan atau gambaran fitrah manusia, dan
Rasulullah merupakan idealisasi dari fitrah manusia seperti yang tertulis
dalam hadits yang menyatakan : Kaana khuluquhu Al-Quran (Hadits shahih)
“Akhlak Muhammad adalah Al-Quran itu sendiri. Juga ditulis dalam ayat Al
Qur‟an : Wa innaka la‟alaa khuluqin „azhiim. “Dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”(Q.S Al-Qalam, 68
ayat 4) (Sangkan, 2006 : 13).
Al-Quran merupakan peraturan bagi umat sekaligus sebagai way of
lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu, kewajiban umat Islam
adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Al-Quran baik dengan cara
membacanya,menghafalkan atau mempelajarinya. Dalam Al-Quran tidak
2
keasliannya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (As Siraji, 2010 : 16).
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 berikut:
بَّوِإ
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Departemen Agama RI,
2008 : 515).
Al-Quran diturunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk (hudan)
dan pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya di dunia
sampai akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat
sebagaimana mestinya, jika tidak dibaca, dipahami maknanya (kognitif),
dihayati kandungannya (afektif), dan kemudian diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari (psikomotor) (Al-Qattan, Terj. Mudzakir, 2007 : 19). Al Quran
bukanlah merupakan kitab undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains
dan teknologi.
Menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran
moral. Jika melihat kebelakang, keadaan dimana pertama kali Al-Quran
diturunkan, maka akan ditemui keadaan masyarakat Makkah yang penuh
dengan berbagai problem sosial. Dari yang paling kronis berupa
praktek-praktek polyteisme penyembahankepada berhala-berhala, eksploitasi terhadap
orang miskin-miskin, penyalahgunaandalam perdagangan, sampai pada tidak
adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Merespon situasi
masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajarantauhid atau ketuhanan
Yang Maha Esa, dimana setiap manusia harusbertanggungjawab kepadanya,
dan pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi daritingkat yang paling
3
Selain pelajaran mengenai aqidah, dapat juga diidentifikasi masalah
lain yang menjadi pokok kandungannya, yaitu aspek akhlak yang
menjelaskan tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua orang tua).
Dimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua saat-saat merekasangat
membutuhkan yakni disaat kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana
seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut
usiaperilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk
bagiandari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua
(Shihab, 2007 : 45).
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap orang
tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25?
2. Bagaimanakah aktualisasi pendidikan akhlak terhadap orang tua
berdasarkan surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia penidikan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap
orang tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25.
2. Untuk mengetahui aktualisasi berakhlak terhadap orang tua berdasarkan
surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia pendidikan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah
4
1. Bagi STAIN Salatiga, untuk memperkaya referensi kajian keislaman dan
khazanah keilmuan bagi mahasiswa.
2. Untuk khalayak umum, manfaat dari penelitian yang dibuat ini, bisa
mempermudah untuk memahami pendidikan Islam dalam berakhlak
terhadap orang tua sebagaimana tertera dalam surat Al-Isra‟ 23-25.
3. Buah kinerja bagi peneliti sendiri, selain memberikan secarik wawasan
baru dalam dunia pendidikan, peneliti juga akan lebih memahami sejauh
mana interpretasi dan ekspektasi dari ayat-ayat tentang akhlak yang telah
diteliti tersebut.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan unsur yang penting dalam sebuah
penelitian yang akan dilakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal.
Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tentang literatur yang relevan
dengan bidang atau topik tertentu (Setyosari, 2010 : 72)
Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang
benar-benar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian
tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, tema karya ilmiah ini harus
berbeda dengan kajian ilmiah lain yang telah dibuat sebelumnya. Adapun
telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah menggunakan prior
research (penelitian terdahulu). Prior research yaitu penelitian terdahulu
yang telah membahas nilai-nilai pendidikan.
Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan
skripsi ini,adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek
5
sebagainya. Di antara prior research yang dimaksudkan di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah al-A‟raf ayat 199. Dalam
kajian ilmiah dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola
pendidikan Qurani yang diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam
kehidupan sehari-hari, diantaranya melalui metode-metode pendidikan
yang dicontohkan oleh beliau. Metode pendidikan Qurani adalah suatu
cara atau tindakan-tindakan dalam lingkup peristiwa pendidikan yang
terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah. Jadi metode dalam
pendidikan akhlak seharusnya menganut kepada pendidkan yang
diajarkan oelh Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan
As-sunnah (Muchtar, 2005 : 216)
2. Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin
ayat 20. Di sini dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman,
sesorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu
mengingat keagungan dan kebesaran Illahi. Ilmu yang dimaksud
tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang
agama Allah SWT (dinullah), sebab keduanya merupakan kebenaran
yang datangnya dari Allah (Sueb, 1996 : 63)
Dari beberapa kajian pustaka di atas, maka jelaslah bahwa
tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan dalam
Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 belumlah ada yang membahasnya. Dari hal
6
nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan
Aktualisasinya dalam dunia modern.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu library research,
penelitian tersebut dengan mungumpulkan data-data yang berhubungan
dengan objek penelitian, bahwa Jenis penelitian yang dilakukan
menggunakan metode library research. Dengan mengumpulkan data-data
yang diperlukan, baik yang primer maupun yang skunder, dicari dari
sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel dan jurnal)
)kuswaya, 2009: 11).
2. Pendekatan
Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode
tematik, tafsir tematik yaitu sebuah penelitian paada tema tertentu untuk
dikaji. Langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir mawdhu‟iy ini dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara
mawdhu‟iy (tematik).
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya, disertai pengetahuan menegenai latar belakang turunnya
7
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh (out line).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila dipandang
perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin
jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian „am da khash, antara muthlaq
dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua
ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat (Al-Farmawi, 1996:
45-46).
3. Teknik Pengumpulan Data
Dikarenakan metode ini menggunakan penelitian yang bersifat
library research dalam pengumpulan data yang akan digunakan penelitian,
maka penulis membagi sumber data menjadi dua bagian:
a. Sumber data primer, yaitu al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw yang
berkaitan dengan berbakti kepada orang tua.
b. Sumber data skunder, yaitu tafsir-tafsir al-Qur‟an yang berkaitan
8
membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan pembahasan
pokok.
4. Metode Analisis Data
Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau data textular.
Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu
analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)(Suryabrata,
1995:85).Disini peneliti menggunakan metode content analysis dalam
menguraikan makna yang terkandung dalam redaksi al-Qur‟an, setelah itu
dari hasil interpretasi tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan
seksama guna menjawab dari rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh
penulis.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian, maka penelitian
ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa subsub bab yang masih
bersifat saling keterkaitan antara satu bab dengan yang lainnya,
sistematikanya disusun sebagai berikut:
Bab pertama, dalam bab ini merupakan pendahuluan studi,
memaparkan tentang latar belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian.
Selain itu juga membahas tentang manfaat penelitian yang diangkat dalam
topik pembahasan, dan diteruskan dengan sistematika pembahasan yang
digunakan dalam membuat penelitian ini agar lebih terstruktur dan sistematis.
Bab kedua, merupakan kelanjutan dari bab awal yang lebih spesifik
Al-9
Isra ayat 23-25 menurut para mufassir yakni menurut mufassir klasik dan
mufassir kontemporer.
Bab ketiga tentang Pendidikan Islam sebagaimana tertera dalam Q.S
Al-Isra ayat 23-25. Terkait pula akan di uraikan hadits-hadits yang berkatan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut.
Bab keempat, bab ini peneliti lebih memfokuskan dalam inti
pembahasan tentang Integrasi Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Islam
(Analisis Qur‟an Surat AL-Isra‟ Ayat 23-25).
Bab kelima, merupakan bab yang terakhir ini memaparkan tentang
kesimpulan atas pembahasan yang telah diuraikan dalam penelitian,
diteruskan dengan penutup.
BAB II
DESKRIPSI SURAT AL-ISRA 23-25
A. Surat Al-Isra dan Terjemahan
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
10
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"
25. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu
orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya
28. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang pantas (Somad, Dkk,1993 : 550-551.).
11
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah)
dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga bisa berarti
hubungan atau persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu
Al-Quran yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau
surat dalam Al-Quran secara keseluruhan dan latar belakang
penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab sebagaimana
dikutip Baidan bahwa munasabahadalah kemiripan-kemiripan yang
terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun
ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya(Baidan,
2010 : 184-185). Pendapat lain mengatakan bahwa
munasabahmerupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui
alasan-alasan penertiban bagian-bagian dari Al-Quran. Bahkan
pendapat lain mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran
manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang
dapat diterima oleh akal. Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan
aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau surat Al-Quran baik
sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan
am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit,
antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan yang irasional, atau
bahkan antara dua hal yang kontradiktif.
Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan
macam-macam munasabahini dikembalikan kepada derajat kesesuaian
(tamatsul atautasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya.
12
dan ada kaitan antara awal dan akhirnya, maka munasabahini dapat
dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika munasabahitu terjadi pada
ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya tidak ada keserasian
antara satu dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan berhubungan
(tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:Munasabahadalah suatu
urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap
akal, niscaya akal menerimanya” (Usman, 2009 : 161).
Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabahtermasuk hasil ijtihad
mufasir, bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap
kemukjizatan (i‟jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna) yang
dikandungnya(Supiana dan M. Karman, 2002 : 161-162.). Adapun
letak persesuaian antara surat ini dengan surat an-Nahl dan sebabnya
surat ini diletakkan sesudahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Allah SWT. pada surat An-Nahl menceritakan tentang
perselisihan umat Yahudi mengenai hari Sabtu, sedang pada surat ini
Allah menunjukkan Syari‟at Ahlus-Sabti (Syariat Yahudi) yang telah
allah syari‟atkan dalam Taurat. Menurut riwayat yang dikeluarkan
dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas, bahwa dia pernah mengatakan:
Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat pada lima belas ayat
dari surat Bani Israil.
2. Bahwa setelah Allah SWT. memerintahkan Nabi SAW. supaya
bersabar dan menahan agar jangan bersedih dan jangan bersempit
13
maka pada surat ini Allah menyebutkan tentang kemuliaan Nabi-Nya
dan keluhuran di sisi Tuhannya.
3. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan beberapa nikmat yang
banyak, sehingga karenanya surat itu disebut surat An-Ni‟am. Maka,
di sini pun Allah menyebut beberapa nikmat khusus maupun umum.
4.
Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan bahwa lebah mengeluarkandari dalam perutnya suatu minuman yang bermacam-macam dan
mengandung obat bagi manusia. Maka Allah berfirman dalam surat
Al-Isra‟ ayat 82 yaitu:
ِم ۡؤ مۡيِّى تَم ۡدَزََ ءٓبَفِش َُ ٌ بَم ِناَء ۡس قۡىٱ َهِم هِّصَى وََ
دٌِصٌَ َلَََّ َهٍِى
ازبَعَخ َّلَِّإ َهٍِمِيَّٰظىٱ
٢٣
82. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
5. Pada surat yang lalu, Allah SWT menyuruh supaya menyantuni
kepada kerabat. Hal yang sama juga diperintahkan oleh Allah di
samping diperintahkan pula agar memberi sesuatu kepada orang
miskin dan ibnu sabil( Al-Maragi,1993 : 1-2.).
3. Asbabun Nuzul
Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya
ayatayat Al-Quran. Al-Quran di turunkan Allah SWT. kepada
14
tahun. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah
dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Sebab
turunnya ayat atau asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) di sini
dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan
turunnya ayat-ayat tertentu.
Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab turun suatu ayat
adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan.
Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang
berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap
pertanyaan tertentu (Syadali dan Rofi‟i, 2000: 89-90). Surat ini
mempunyai beberapa nama, antara lain yang paling populer adalah
surat Al-Isra‟ dan surat Bani Isra‟il. Surat ini dinamakan al-Isra‟ karena
awal ayat ini berbicara tentang Al-Isra‟ yang merupakan uraian yang
tidak ditemukan secara tersurat selain pada surat ini. Demikian juga
dengan nama Bani Isra‟il, karena hanya di sini diuraikan tentang
pembinaan dan penghancuran Bani Isra‟il. Surat juga dinamakan
dengan surat subhana karena awal ayatnya dimulai dengan kata
tersebut. Nama yang populer bagi kumpulan ayat ini pada masa Nabi
SAW. adalah surat Bani Isra‟il. Pakar hadits at-Tirmidzi meriwayatkan
melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi SAW tidak akan tidur
sebelum membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra‟il.
Surat ini menurut mayoritas ulama turun sebelum Nabi SAW
berhijrah ke Madinah, dengan demikian ia merupakan salah satu surat
15
Makkah, setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan yang ada di
dalam Al-Quran, surat Al-Isra‟ berada setelah surat Al-Nahl dan
memiliki 111 ayat (Khalid, 2009: 339). Ada yang mengecualikan dua
ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan ada yang menambahkan juga ayat 60
dan ayat 80. Masih ada pendapat lain menyangkut
pengecualian-pengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian itu disebabkan
karena ayat-ayat yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang
membicarakan tentang keadaan yang diduga terjadi pada periode
Madinah, namun pemahaman tersebut tidak harus demikian. Karena itu
penulis cenderung mendukung pendapat ulama yang menjadikan
seluruh ayat surat ini Makiyyah.
Memang peristiwa hijrah terjadi tidak lama setelah peristiwa
Isra‟ dan Mi‟raj Nabi SAW, yakni sekitar setahun lima bulan dan ini
berarti turunnya surat ini pada tahun XII kenabian, di mana jumlah
kaum muslimin ketika saat itu relatif banyak, walau harus diakui bahwa
dibukanya surat ini dengan uraian tentang peristiwa Isra‟, belum tentu
ia langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada ayat-ayat yang
turun sebelumnya dan ada juga yang turun sesudahnya (Shihab,:
401-402).
Imam Al-Biqa‟i berpendapat bahwa tema utama surat ini adalah
ajakan menuju ke hadirat Allah SWT., dan meninggalkan selain-Nya,
karena hanya Allah pemilik rincian segala sesuatudan Dia juga yang
mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang dinamakan taqwa yang
16
juga menjadi pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan puncaknya adalah
ihsan yang merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan
mengandung makna fana‟, yakni peleburan diri kepada Allah SWT.
Semua nama-nama surat ini mengacu pada tema itu. Namun
subhana yang mengandung makna penyucian Allah SWT. Merupakan
nama yang paling jelas untuk tema itu, karena siapa yang Maha Suci
dari segala kekurangan, maka dia sangat wajar untuk diarahkan
kepada-Nya semata-mata hanya untuk pengabdian dan berpaling dari
selain-Nya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa yang mengetahui rincian
keadaan mereka dan perjalanan mereka menuju negeri suci yaitu Bait
Al-Maqdis yang mengandung makna isra‟, yaitu perjalanan malam,
akan menyadari bahwa hanya Allah yang harus dituju. Dengan
demikian, semua nama surat ini mengarah kepada tema utama yang
disebut dengan aqidah.
Thabathaba‟i sebagaimana dikutip Shihab berpendapat bahwa
surat ini memaparkan tentang Keesaan Allah SWT dari segala macam
persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi pensucian Allah dan sisi
pujian kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di sini kata
subhana (Maha Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan
penutup surat ini memuji-Nya dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki
anak, tidak juga sekutu dengan kerajaan-Nya dan Dia tidak
membutuhkan penolong(Shihab, 402-403).
17
Menurut bahasa kata “tafsir” diambil dari kata “
fassara-yufassirutafsiran” yang artinya adalah keterangan, penjelasan atau
menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Tafsir Al-Quran
adalah penjelasan atau keterangan-keterangan tentang firman Allah SWT.
yang berhubungan dengan makna dan tujuan kandungan atau keterangan
dan penjelasan tentang sesuatu kata atau kalimat yang digunakan di
dalamnya (Yusuf, 2003: 79).
Adapun pengertian tafsir secara istilah seperti yang diungkapkan
oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh
para pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna
yang mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu petunjuknya
(dilalahnya). Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan
ayat-ayat Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan tujuan yang
dikehendaki oleh nash atau teks Al-Quran tersebut.
Dari pengertian tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah
suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, atau pemahaman manusia dalam
menyikapi nilai-nilai samawi atau nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di
dalam Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dalam penafsiran
Al-Quran sangat mungkin terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang,
disiplin ilmu, metode dan corak yang digunakan oleh para penafsirnya
sendiri (Yusuf, 2003.: 79-80).
18
Maksud dari potongan ayat di atas adalah Tuhanmu memerintahkan
agar kamu jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak
pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan yang dari
padanyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hamba-Nya, dan
tidak ada yang dapat memberi nikmat kecuali Dia(Al-Maraghiy,: 58.).
Dalam tafsir Imam Qurthubi dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu
artinya memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan
(awjaba). Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah berkata: “Qodhoo di sini
bukanlah qodhoo yang berarti memutuskan suatu perkara (qodho‟uhukmin),
melainkan qodhoo yang berarti memerintahkan suatu perkara (qodho
amri)”(Al-Fahham, 2006: 133). Kata ”qodhoo” Maksudnya memerintahkan,
semua perintah mengandung konsekuensi hukum wajib (Ya‟kubi dan
Shadik,; 18). Menurut Imam Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid tafsir
an-Nawawi perintah di sini adalah perintah yang mewajibkan(An-an-Nawawi,
2009: 476.). Menurut Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah, Allah telah
memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan
(mengesakan) Dzatnya. Selanjutnya Allah telah menjadikan perbuatan
berbakti kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang berkaitan dengan
hal itu, sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur (berterima kasih)
kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya(Al-Fahham,: 133-134).
ۚبًى َٰع ۡدِإ ِهٌَۡدِى َُٰۡىٲِبََ
Maksud dari potongan ayat di atas adalah agar kamu berbuat baik
kamu(Al-19
Maraghiy,:58). Yang dimaksud dengan kata “ihsan” atau berbuat baik
dalam ayat tersebut adalah berbakti kepada keduanya yang bertujuan untuk
mengingat kebaikan orang tua karena sesungguhnya dengan adanya orang
tua seorang anak itu ada dan Allah menguatkan hak-hak orang tua dengan
memposisikan di bawah kedudukan setelah beribadah kepada Allah yakni
mengtauhidkan Allah(Al-Ansari, 375.). Allah mengurutkan kedua amal
tersebut dengan menggunakan lafazh tsumma yang memberikan pengertian
“tertib” atau “teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban Az-Zuhaili
dijelaskan bahwa Allah sering mengaitkan antara perintah untuk beribadah
kepadanya dengan perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua
orang tua dengan cara memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan
yang baik dan sempurna. Hal itu disebabkan karena kedudukan mereka
berdua di bawah kedudukan Allah. Yang merupakan sebab hakiki (yang
sesungguhnya) dari keberadaan manusia (di muka bumi). Adapun mereka
berdua (keduanya) hanyalah merupakan sebab zhahiri (yang nampak) dari
keberadaan anak-anak, di mana mereka berdua akan mendidik mereka
dalam suasana yang penuh dengan cinta, kelembutan, kasih sayang, dan
sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka berdua.
Oleh karena itu, di antara sikap yang menunjukkan kesetiaan dan
muru‟ah seorang anak adalah membalas kebaikan mereka berdua itu, baik
dengan cara memperlihatkan perilaku yang baik dan akhlak yang disenangi
maupun dengan memberikan bantuan berupa materi jika mereka berdua
memang membutuhkannya dan jika sang anak memang mampu melakukan
20
ِإ
ف أ ٓبَم ٍَّى و قَح َلََف بَم ٌ َلَِم ََۡأ ٓبَم ٌ دَدَأ َسَبِنۡىٱ َكَدىِع َّهَغ يۡبٌَ بَّم
َلَََّ
بَم ٌ ۡسٍَۡىَح
Maksud dari potongan ayat di atas adalah apabila kedua orang tua
atau salah seorang di antaranya berada di sisimu hingga mencapai keadaan
lemah, tidak berdaya dan tetap berada di sisi mereka berdua pada awal
umurmu, maka kamu wajib belas kasih dan sayang terhadap keduanya.
Kamu harus memperlakukan kepada keduanya sebagaimana orang yang
bersyukur terhadap orang yang telah memberi karunia kepadanya. Ibnu Jarir
dan Ibnu Munzir telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu AI-Haddaj
yang katanya: Pernah saya berkata kepada Sa‟id bin Al-Musayyab, segala
apa yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain,
saya telah tahu, kecuali firman-Nya:
ٌِْسَم لَّ َُۡق بَم ٍَّى و قََ
ًم
ب
Apa yang dimaksud perkataan yang mulia di sini?
Maka, berkatalah Ibnu AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan
seorang budak yang berdosa di hadapan tuannya yang galak(Al-Maraghiy, :
61-62.) Menurut imam Jalalain dalam kitabnya tafsir jalalain yang dimaksud
dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang yang baik dan sopan
(jamilan layyinan), (Jalalain: 230.) begitu juga menurut imam Nawawi
perkataan yang mulia yakni perkataan yang lembut dan baik yang bertujuan
untuk menghormati (An-Nawawi: 476). Setelah Allah melarang
21
menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya (Ishaq Alu
Syaikh,1994: 238).
ِتَم ۡدَّسىٱ َهِم ِّهُّرىٱ َحبَىَج بَم ٍَى ۡضِف ۡخٱََ
Maksud potongan ayat di atas adalah rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah hendaknya seorang anak
selalu menyenangkan hati kedua orang tuanya berapapun besarnya, baik itu
dengan perkataan, dengan sikap dan perangai yang baik, dan jangan
sekali-kali menyebabkan mereka itu murka atau benci atas putra-putrinya (Hasan,
2000: 86-87.). Dalam Kitab Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan Allah SWT
telah menyebutkan aspek pendidikan (yang dilakukan oleh kedua orang tua)
itu secara khusus dengan maksud agar seorang hamba mau mengingat akan
kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya serta rasa letih yang telah
dirasakan oleh mereka berdua dalam mendidik anaknya. Hal ini dapat
menambah rasa sayang dan cinta dalam hati seorang hamba kepada orang
tuanya(Al-Fahham,: 135-136).
اسٍِغَص ًِوبٍََّبَز بَمَم بَم ٍ ۡمَد ۡزٱ ِّةَّز
٣٢
Maksud dari potongan ayat di atas adalah ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil” adalah janganlah kamu merasa cukup dengan
22
kasih sayangmu itu tidaklah kekal. Akan tetapi, hendaklah kamu berdoa
kepada Allah agar dia mengasihi keduanya dengan kasihnya yang kekal, dan
jadikanlah do‟a itu sebagai balasan atas kasih sayang dan pendidikan yang
telah mereka berikan kepadamu saat kamu masih kecil.
َهٍِب َََّٰ ۡلِۡى َنبَم ۥ ًَّوِئَف َهٍِذِي َٰص ْاُ وُ نَح نِإ ۚۡم نِظُ ف و ًِف بَمِب مَي ۡعَأ ۡم نُّبَّز
ازُ فَغ
٣٢
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa
yang ada dalam hatimu, baik berupa perasaan berbakti dan menyakiti jika
kamu orangorang yang baik yakni orang-orang yang taat kepada Allah,
maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang orang yang bertaubat
yakni orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berbuat taat
kepada-Nya(Abu Bakar,1990: 1137).
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut mufasir klasik yaitu
berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan akhlak
birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Di sini Allah
menempatkan posisi berbuat baik kepada orang tua langsung di bawah
posisi pengesaan Allah dan penghambaan kepada-Nya tanpa disela dengan
apapun. Menurut Imam An Naisaburi dalam tafsirnya bahwa Allah sengaja
menempatkan berbuat baik kepada orang tua langsung setelah ibadah
23
1. Keduanya adalah fasilitator kelahiran mereka di muka bumi sekaligus
fasilitator pendidikan mereka. Tidak ada persembahan yang lebih
agung setelah persembahan Allah daripada persembahan orang tua.
2. Pemberian mereka mirip seperti pemberian Allah karena keduanya
tidak meminta pujian maupun pahala dibalik pemberiannya.
3. Allah SWT tidak pernah jemu memberi kenikmatan pada hamba,
mesti hamba-Nya melakukan dosa besar sekalipun. Begitu juga orang
tua, mereka tidak akan memutuskan aliran kemurahan mereka pada
anaknya meskipun ia tidak berbakti kepadanya.
4. Sama seperti Allah yang hanya menginginkan kebaikan bagi
hamba-Nya, orang tua pun hanya menginginkan kesempurnaan bagi anaknya.
Seorang anak tidak akan bisa sempurna kecuali berkat peran dan
obsesi ayahnya. Buktinya, orangtua tidak pernah iri pada anaknya
meskipun ia diungguli dan anak lebih baik dari pada diri mereka,
bahkan justru mereka senang dan mendambakannya. Sebaliknya
seorang anak tidak menginginkan jika ada orang lain yang lebih baik
dari pada dirinya.
C. Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra
23-25
Menyikapi tentang perkembangan zaman yang semakin maju dan semakin
beraneka ragamnya problematika sosial yang terjadi, para mufassir
24
pemahaman wahyu, melihat dari semua apa yang terjadi di dunia ini pasti
akan selalu berhubungan dengan sebab dan akibat, seperti kata berikut:
ْا
Artinya: Hukum selalu berhubungan dengan ada dan tidaknya sebab.
Melihat dari keberadaan kaidah tersebut maka inovasi dalam penafsiran ayat
wajib hukumnya. Seperti yang dituturkan para ulama berikut:
يبٌَِّإ ٓ َّلَِّإ ْآَ د ب ۡعَح َّلََّأ َلُّبَز ٰىَضَقََ
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu telah menetapkan
sesuatuketetapan yang harus dilaksanakan yaitu jangan engkau
menyembah selain Dia (Ash-Shiddieqy,: 812). Agar tidak menyembah
tuhan-tuhan yang lain selain Dia. Termasuk pada pengertian menyembah
tuhan selain Allah yakni mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat
mempengaruhi jiwa dan raga, selain kekuatan yang datang dari Allah.
Semua benda yang ada yang kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk
Allah(Menteri Agama Republik Indonesia: 343). Thahir Ibn Asyur
menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan perincian tentang
syari‟at Islam yang ketika turunnya merupakan perincian pertama yang
disampaikan kepada kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut Sayyid
Quthb sebagaimana dikutip Shihab, ayat ini berkaitan dengan tauhid
(mengesakan Allah), bahkan dengan tauhid itu dikaitkan dengan segala
ikatan dan hubungan, seperti ikatan keluarga, kelompok, bahkan ikatan
hidup (Shihab: 62). Menurut Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman
25
memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada
sekutu bagi-Nya (Ishaq Alu Syaikh, 1990: 238).
Begitu juga menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA) dalam bukunya Tafsir Al-Azhar pada ayat 22 di atas tujuan
hidup dalam dunia ini telah dijelaskan yaitu mengakui hanya satu Tuhan
itu yakni Allah SWT. barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang
lain maka akan tercela dan terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan
tiada bersyarikat dan bersekutu dengan yang lain. Bahwasanya Tuhan
Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah dan memutuskan
bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji dan dipuja. Dan tidak boleh dan
dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu, maka cara beribadah
kepada Allah, Allah sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah
ibadah kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk
menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia
mengutus Rasul-rasul-Nya. ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), 1999 : 4030).
ۚبًى َٰع ۡدِإ ِهٌَۡدِى َُٰۡىٲِبََ
Maksud dari ayat di atas adalah supaya berbuat ihsan kepada ibu
bapak (Hasbi Ash-Shiddieqy, tt : 812) yakni berbuat baik kepada keduanya
dengan sikap sebaik-baiknya. Allah memerintahkan kepada manusia agar
berbuat baik kepada ibu bapak sesudah memerintahkan untuk beribadah
kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia memahami betapa pentingnya
26
betapa besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan pada saat
melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan
dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka dengan penuh kasih
sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak,
dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting diantara
kewajiban-kewajiban yang lain dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah
kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Menurut Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa berbuat
baik kepada kedua orang tua merupakan tugas yang pertama sesudah
beriman (Ash-Shiddieqy, tt : 817) Menurut Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan ayat ini terang sekali bahwasanya
berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati kedua orang tua yang telah
menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban
yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.( Haji Abdul Malik Karim
Amrullah,: 4031.) Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Quran
bahwa sebuah ikatan yang pertama sesudah ikatan akidah adalah ikatan
keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat mengaitkan berbakti kepada
kedua orang tua dengan pengabdian kepada Allah, sebagai deklarasi akan
tingginya nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah( Quthb, 2003: 248).
ِإ
قَح َلََف بَم ٌ َلَِم ََۡأ ٓبَم ٌ دَدَأ َسَبِنۡىٱ َكَدىِع َّهَغ يۡبٌَ بَّم
ــــــــــــ
ّف أ ٓبَم ٍَّى و
27
Maksud dari ayat di atas adalah jika usia keduanya atau salah
seorang di antara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meninggal tua
sehingga tak kuasa lagi hidup sendiri sudah sangat bergantung kepada
belas kasih puteranya hendaknya sabar dan berlapang hati memelihara
orang tua. Bertambah tua terkadang bertambah dia seperti kanak-kanak
seperti dia minta dibujuk, mintabelas kasihan anak. Terkadang ada juga
bawaan orang tua membosankan anak, maka janganlah keluar dari mulut
seorang anak walaupun itu satu kalimat yang mengandung rasa bosan atau
jengkel disaat memelihara orang tua(Amrullah,: 4031).
مٌِسَم لَّ َُۡق بَم ٍَّى و قََ
ب
Maksud dari ayat di atas adalah hendaklah katakan kepada kedua
orangtua dengan perkataan yang mulia, yang pantas, kata-kata yang keluar
dari mulut orang yang beradab, sopan dan santun (Amrullah,: 4033).
تَم ۡدَّسىٱ َهِم ِّهُّرىٱ َحبَىَج بَم ٍَى ۡضِف ۡخٱََ
Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan agar
merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih sayang.
Yang dimaksud dengan merendahkan diri dalam ayat ini adalah mentaati
apa yang mereka perintah selama perintah itu tidak bertentangan dengan
ketentuanketentuan syara‟. Taat anak kepada kedua orang tuanya
merupakan tanda kasih sayang kepada kedua orang tuanya yang sangat
diharapkan terutama pada saat keduanya sangat memerlukan
28
tidak membedakan antara ibu dan bapak. Memang pada dasarnya ibu
hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir
Ibn Asyur sebagaimana dikutip Shihab menulis bahwa Imam Syafi‟i pada
dasarnya mempersamakan keduanya sehingga bila ada salah satu yang
hendak didahulukan, sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat
guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits
yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga
dibanding satu, penerapannya pun harus setelah memperhatikan
faktor-faktor yang dimaksud (Shihab, : 67).
اسٍِغَص ًِوبٍََّبَز بَمَم بَم ٍ ۡمَد ۡزٱ ِّةَّز
Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan untuk
mendoakan kedua orang tua mereka, agar diberi limpahan kasih sayang
Allah sebagai imbalan dari kasih sayang kedua orang tua itu dengan
mendidik mereka ketika masih kanak-kanak (Menteri Agama Republik
Indonesia: 556-557). Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada
orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih
hidup maupun telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak
beragama Islam telah meninggal terlarang bagi anak untuk mendoakannya.
Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum
muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim As (Shihab, 68).
29
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa
yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, maka
sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat,
mengenai seseorang yang terburu nafsu mengucapkan kata-kata yang tidak
sopan terhadap ayah ibunya, padahal bukan bermaksud menyakiti hati
mereka, atau melakukan sesuatu perbuatan yang keliru, padahal dalam
hatinya bermaksud baik dengan perbuatan itu, maka allah berfirman:
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu”(Salim dan Said
Bahreisy, 1990: 34).
Syu‟bah menceritakan dari Yahya bin Sa‟id dari Said bin al
-Musayyab, ia mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat
dosa lalu bertaubat, berbuat dosa lalu bertaubat.” Demikian juga yang
diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ma‟mar, Atha‟ bin Yasar, Said bin Jubair
dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang kembali
kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara pendapat-pendapat
tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa
awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan
maksiat menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah
menuju kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.” Apa yang dikatakan
Ibnu Jarir inilah yang benar karena kata awwaabiin (orang-orang yang
kembali) diambil dari kata al-aub yang berarti kembali (Ishaq Ahlu
Syaikh,: 241).
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang
30
yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan
birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Keyakinan akan
keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah
dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu kewajiban
pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah dan beribadah
kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah
memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua dikarenakan
sebab-sebab sebagai berikut :
1. Wajib berbakti kepada kedua orang tua karena kedua orang tua itulah
yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah bersusah payah dalam
memberikan kebaikan kepadanya dan menghindarkan dari bahaya.
2. Wajib bersyukur kepada kedua orang tua karena merekalah yang telah
memberikan kenikmatan kepada anak, yang dalam keadaan lemah dan
tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu, wajib hal itu di balas dengan
31
BAB III
Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Surat Al-Isra’ 23-25
A. Pendidikan Tauhid
Secara bahasa tauhid berasal dari kata
wahhada-yuwahhidu-tauhiidan, yang berarti menjadikan sesuatu satu(Ristianto, 2010 : 1). Secara
syara‟ tauhid berarti mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan,
mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan ibadah kepada
yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat yang Mulia bagi-Nya, dan
membersihkan-Nya dari sifat kurang dan tercela (Ristianto, 2010 : 1). jadi
pengertian tauhid adalah meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya,
yakni agama yang disampaikan oleh para rasul Allah yang berisi tentang
tauhid untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam ayat-ayat-Nya memerintahkan
untuk menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi
kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra‟ ayat 23 yaitu:
يبٌَِّإ ٓ َّلَِّإ ْآَ د ب ۡعَح َّلََّأ َلُّبَز ٰىَضَقََ
Maksud dari potongan ayat di atas adalah dan Tuhanmu
memerintahkan agar kamu (manusia) jangan menyembah selain Dia, karena
ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali
terhadap Tuhan (Allah). Dari pada-Nyalah keluar kenikmatan dan anugerah
atas hamba-hambanya dan tidak ada yang dapat memberi kenikmatan
kecuali Dia (Allah) (al-Maraghi, 1993 : 59). Allah SWT melarang manusia
32
dan arwah nenek moyang dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri
kepadanya. Termasuk yang dilarang itu ialah meyakini adanya tuhan selain
Allah mengakui adanya kekuasaan yang lain selain Allah yang dapat
mempengaruhi dirinya, ataupun kekuatan ghaib yang lain. Larangan ini
ditujukan kepada seluruh manusia, agar mereka tidak tersesat dan tidak
menyesal karena melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan terhadap
penciptanya. Padahal mereka seharusnya mensyukuri nikmat Allah yang
telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengada-adakan Tuhan yang lain,
yang lain sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk memberikan
pertolongan kepada mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi mudarat
(Departemen Agama, 1993 : 553).
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam
ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan
Allah dengan apa pun atau siapa pun (al-Qarni, 2007 : 488). Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan
alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan
kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang
memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti
ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang
tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan
serta tak berhak disembah (Departemen Agama, 1993 : 545).
Ini merupakan perintah untuk mengesakan Allah dalam
penyembahan sesudah larangan berlaku syirik. Perintah yang diungkapkan
33
sebuah keputusan pengabdian. Dalam ayat ini memberi frame pada perintah
yang ada berupa penekanan, disamping menekan khusus atas masalah ini,
yang dapat dilihat peniadaan, pengecualian dan penekanan masalah tauhid
dalam kehidupan(Quthb, 2003 : 248). Seseorang dinyatakan iman bukan
hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan keyakinan tadi. Oleh karena
itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara
utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan (Taufiq dan
Rohmadi, 2010 : 12).
Pengakuan atas keesaan Allah mengandung kesempurnaan dan
kepercayaan kepadanya dari dua segi, yakni segi rububiyyah dan segi
uluhiyyah. Rububiyyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai
Dzat Yang Maha Pencipta, Pemelihara dan memiliki semua sifat
kesempurnaan. Sedangkan uluhiyyah ialah komitmen manusia kepada Allah
sebagai satu-satunya Dzat yang dipuji dan disembah. Komitmen kepada
Allah itu terwujud dalam sikap pasrah, tunduk dan patuh sepenuh hati
sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan mati seseorang
semata-mata hanya untuk Allah Swt (Achmadi, 2010 : 87). Manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Allah Swt. dalam konteks ini menyadari sepenuhnya
bahwa dibalik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain
Yang Maha Besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup
dan kehidupan manusia di dunia ini. Ia akan selalu berbuat kebajikan dalam
kehidupan ini, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap masyarakat dan
terhadap alam di sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah
34
Zat Allah jelas tidak dapat kita tangkap dengan indera, akan tetapi
Al-Quran memberikan informasi tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya
yang sempurna. Dari ayat-ayat yang bertebaran di dalam Al-Quran
disimpulkan bahwa ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma‟ al-husna) yang
menggambarkan sifat-Nya Yang Sempurna. Memperhatikan sifat-sifat
Tuhan itu semua dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki
berbagai sifat yang tidak ada bandingannya. Sebagai Tuhan, Dia tidak
bekerja sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan karena itu semua
makhluk hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau makhluk tidak
berhak untuk dengan Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa, berilmu dan
dapat bertindak apa saja jika Dia menghendaki.
Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ajaran inti
agama (Islam). Sikap tauhid adalah meyakini dan mempercayai bahwa
Allah Esa Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa
Memberi Hukum, Esa Menerima Ibadah, Esa dalam Memberi Perlindungan
kepada makhluk-Nya. Kepercayaan dan amal-amal ibadah akan menjadi
rusak bila sikap tauhid (akidah) labil dan lemah. Menurut Shihab dan ulama
tafsir bahwa Keesaan Allah itu mencakup :
1. KeEsaan Zat
Keesaan Zat-Nya mengandung pengertian bahwa seseorang
harus percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian,
karena jika zat yang mana kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih,
35
semua unsur yang ada, Dia tidak membutuhkannya. Ini yang
dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat Faatthir ayat 15 yaitu:
دٍِمَذۡىٱ ًُِّىَغۡىٱ َُ ٌ َّللّٱََ ِِۖ َّللّٱ ىَىِإ ءٓاَسَق فۡىٱ م خوَأ ضبَّىىٱ بٌٍََُّأٌَٰٓ
Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan
Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji”
2. Keesaan Sifat
Adapun Keesaan sifat-Nya antara lain berarti bahwa Allah
memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi (isi) dan kapasitasnya
dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan
untuk menunjukkan sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim
merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjukkan
rahmat atas kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
Allah berfirman dalam surat Al-A‟raaf ayat 180 yaitu:
ْاَ زَذََ ِۖبٍَِب يُ ع ۡدٲَف ٰىَى ۡع ذۡىٱ ءٓبَم ۡظَ ۡلۡٱ ِ َّ ِللََّ
َهٌِرَّىٱ
َنُ يَم ۡعٌَ ْاُ وبَم بَم َن ََۡص ۡج ٍَظ ۚۦًِِئَٰٓم ۡظَأ ًِٓف َنَ دِذۡي ٌ
180. “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan”
36
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya
semuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang
dikehendaki-Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-dikehendaki-Nya tidak akan terjadi,
tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk
menolak moderat) kecuali bersumber dari Allah SWT. Allah berfirman
dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu:
َنُ عَج ۡس ح ًٍَِۡىِإََ ٖء ًَۡش ِّو م ثُ نَيَم ۦِيِدٍَِب يِرَّىٱ َه َٰذۡب عَف
83. “Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas
segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”
4. Keesaan dalam Beribadah Kepada-Nya
Kalau ketiga Keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini, maka Keesaan keempat ini merupakan
perwujudan dari ketiga makna Keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka
ragam dan bertingkat-tingkat, salah satu ragamnya yang makin jelas
adalah amalan yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung oleh Allah
atau melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah ibadah mahdhah.
Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala
macam aktivitas yang dilakukan karena Allah. Allah berfirman dalam
surat Al-An‟aam ayat 162 yaitu:
37
Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(
Mumi Jamal, Dkk, 2005 : 754-758).
Adapun cara-cara untuk memelihara ketauhidan adalah pertama,
Dengan selalu menambah ilmu pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama).
Kunci dari semua kehidupan dan iptek tentu ada di dalam kandungan
Al-Quran. Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa
yang ada dalam kandungannya, agar kita tidak menjadi manusia yang lemah
imannya dan sombong. Firman Allah dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11:
َزَد َمۡيِعۡىٱ ْاُ حَ أ َهٌِرَّىٱََ ۡم نىِم ْاُ ىَماَء َهٌِرَّىٱ َّللّٱ ِعَف ۡسٌَ
بَمِب َّللّٱََ ٖۚج َٰج
سٍِبَخ َنُ يَم ۡعَح
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Banyak gambaran dari Al-Quran dan As-Sunnah yang
mengungkapkan tentang keagungan Allah. Jika seseorang Muslim mau
memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya
akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Agung, anggota-anggota
jasmaniahnya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan
Maha Berkuasa, serta kekhusu‟annya akan semakin bertambah kepada Allah
SWT. Jelaslah bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman seseorang akan
38
keagungan dan kebesaran Ilahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu
tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT(dinnullah),
sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah.
Kedua, Memperbanyak amal shaleh (terutama shalat). Dalam tarikh,
para sahabat Nabi SAW akan mempergunakan dengan sebaik-baiknya pada
setiap kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh. Seperti apa yang
dituturkan Abu Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh Rasulullah SAW
“Siapakah diantara kamu sekalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakar
menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di antara kamu yang
menjenguk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab lagi, “Saya.”
Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu dalam diri
seseorang melainkan dia akan masuk Surga(Sueb, 1996 : 60-66).
Dalam tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar
As-Siddiq ra, sangat antusias dalam mempergunakan setiap kesempatan
untuk memperbanyak ibadah. Jadi, bukan hanya dari amalan-amalan
shalatnya, meskipun shalat adalah perkara fardhu. Dalam Al-Quran Surat
Thaha ayat 14, Allah berfirman:
ٓيِس ۡمِرِى َة َُٰيَّصىٱ ِمِقَأََ
Artinya: “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
Nabi muhammad Saw telah mengatakan dengan tegas, bahwa shalat
itu baru akan membawa hasil jika apa yang dibaca di dalam shalat
dimengertinya. “tidaklah dari seseorang muslim yang berwudhu maka
39
adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa). Allah
SWT tidak melarang kita dalam meraih kesenangan duniawi. Dan dalam
pengejaran tersebut kita harus menyesuaikan dengan tuntunan norma ajaran
agama yang telah ditetapkan nya serta didasari karena ketaatan kita kepada
Allah SWT. Jadi, kita dalam mencari rizqi di dunia ini bukan semata-mata
rakus duniawi dalam segi harta benda dan yang sejenisnya, yang
memabukkan.
Ketiga, Menjauhi Segala yang dilarang Allah dan Rasulnya. Allah
SWT menyerukan kepada manusia agar menjauhi apa-apa yang dilarang
oleh Allah karena dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis yang
telah ditentukannya. Jangankan menyimpang, mendekati
laranganlarangannya pun maka dikhawatirkan manusia akan terperosok di
dalamnya. Terperosoknya manusia kepada hal-hal yang ingkar, tentu saja
akan banyak membawa kepada kehidupan kelak di akhiratnya (Sueb,
60-66.).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan tauhid pada ayat ini
adalah Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan
menyembah kepada-Nya, serta melarang menyekutukan Allah dengan
apapun oleh sebab itu yang berhak disembah hanyalah Allah yang telah
menciptakan alam dan semua isinya. Maka apabila ada manusia yang
memuja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib berarti ia telah sesat,
karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa
memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak