• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School Tahun Ajaran 20142015) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School Tahun Ajaran 20142015) SKRIPSI"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School Tahun Ajaran 2014/2015)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Dalam Ilmu Tarbiyah

OLEH

WIGA SERLIATI LATRI NIM: 111 11 103

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO

اََلَ اَهَعْسُو لاِإ اًسْفَ ن ُهَّللا ُفِّلَكُي لا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqoroh: 286)

Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane Pisan (K.H. Ahmad Sahal)

Berjasalah tapi jangan minta jasa, Hidup sekali Hiduplah yang berarti (K.H Imam Zarkasyi)

(8)

PERSEMBAHAN

Skripsi yang sederhana ini kupersembahkan untuk:

1. Ayah dan ibu tercinta, Bapak Miftah dan Ibu Siti Sualiyanti, yang telah mengorbankan segala-galanya, selalu memberikan yang terbaik, juga tak henti-hentinya untuk mendoakan dan memberikan motivasi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis.

2. Seluruh keluargaku, yang tak henti-hentinya dalam mendoakan, mendukung, memotivasi, dan memberikan doa-doanya kepada penulis dalam menuntut ilmu, sehingga penulis bisa menyelesaikan study S.1 ini. 3. Seseorang yang selalu setia dan menyayangiku, terima kasih atas semangat

dan motivasinya dalam pembuatan skripsi ini.

4. Teman-temanku, Titik Isniatus Sholikhah, Risa Suryani, Wahyu Fajar Setiyawan, yang telah berjuang bersama di negeri tetangga, Pattani Thailand Selatan, dan telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Sahabat-sahabatku seperjuangan; Puji Nur Hastutik, yang banyak memberiku semangat setiap tahunnya dalam perkuliahan.

6. Tak ketinggalan pula teman-teman kos “Pink Kost”; Rossi Dewi Riana dan Aris Latifah yang selalu kasih semangat kepada penulis.

(9)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا الله مسب

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, berkat taufiq, hidayah dan kebesaran-Nya yang selalu ditunjukkan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul "Implementasi Konsep Pendidikan Humanisme (Manootniyom) Dalam Pembelajaran PAI” (Studi Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik, Pattani,

Thailand Selatan) ini, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak, sehingga usaha ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga, yang telah merestui penyelesaian skripsi ini.

3. Siti Rukhayati, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). 4. Dr. Mukti Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah berkenan

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di tengah-tengah kesibukan beliau, untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(10)
(11)

ABSTRAK

Latri, Wiga Serliati. NIM 111 11 103. 2015. Implementasi Konsep Humanisme (Manootniyom) Dalam Pembelajaran PAI (Studi Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand Selatan). Pembimbing: Dr.Mukti Ali, M.Hum.

Kata kunci: Humanisme (Manootniyom) dan Pendidikan Agama Islam

Konsep humanisme (Manootniyom) religius merupakan sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hablum minallah dan hablum minannas. Yang jika konsep ini diimplementasikan dalam praktek dunia pendidik Islam akan berfokus pada akal sehat (common sense), individualisme (menuju kemandirian), tanggung jawab (responsible), pengetahuan yang tinggi (first for knowledge), menghargai orang lain (pluralisme), kontektualisme (hubungan kalimat), lebih mementingkan fungsi dari simbol, serta keseimbangan antara reward dan punishment.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu: 1) bagaimana implementasi konsep humanisme dalam pembelajaran PAI?, 2) faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme dalam pembelajaran PAI?, dan 3) bagaimana upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan konsep humanisme dalam pembelajaran PAI? Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kemudian yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu guru mata pelajaran PAI. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode triangulasi.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN DEKLARASI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 13

E. Definisi Operasional ... 13

F. Metode Penelitian ... 17

G. Teknik Analisa Data ... 21

(13)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep tentang Humanisme ... 25

1. Latar Belakang Humanisme ... 25

2. Definisi Humanisme ... 29

3. Tujuan Konsep Humanisme ... 41

4. Humanisme dalam proses dan dalam dasar pendidikan Islam ... 50

B. Konsep Tentang Pendidikan Agama Islam ... 61

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 61

2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam ... 66

3. Kedudukan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam ... 69

4. Tujuan Pendidikan Agama Islam... 71

5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam ... 74

6. Karakteristik Materi Pelajaran Pendidikan Agama Islam ... 74

7. Komponen-Komponen Pembelajaran PAI ... 76

8. Pendekatan Strategi Pembelajaran PAI ... 82

C. Implementasi Konsep Humanisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 84

(14)

1. Lokasi Penelitian Gambaran Umum Letak

Geografis... 100

2. Sejarah Singkat Berdirinya ... 100

3. Identitas Sekolah ... 103

4. Visi, Misi dan Tujuan ... 103

5. Struktur Organisasi ... 105

6. Sistem Pembelajaran ... 107

7. Kurikulum ... 108

8. Jumlah Guru, Siswa dan Karyawan ... 111

9. Sarana dan Prasarana ... 116

B. Penyajian Data ... 117

1. Konsep Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI diSeangprathip Wittaya Mulniti School ... 117

2. Implementasi Pendidikan Humanis Pada PembelajaranPAI Terhadap Para Santri Di Seangprathip Wittaya Mulniti School ... 143

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS PADA PEMBELAJARAN PAI STUDI KASUS DI SEANGPRATHIP WITTAYA MULNITI SCHOOL A. Analisis Konsep Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI Studi Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School ... 158

(15)

C. Analisis Implementasi Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI Terhadap Pelajar di Seangprathip

Wittaya Mulniti School ... 165 D. Manfaat Pendidikan Humanis pada Pembelajaran PAI

di Seangprathip Wittaya Mulniti School ... 175 E. Faktor-Faktor Penghambat dalam Implementasi

Konsep Humanisme dalam Pembelajaran PAI di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik

Pattani ... 179 F. Upaya Penyelesaian dalam Implementasi Konsep

Humanisme dalam Pembelajaran PAI di Seangprathip

Pulohpuyo Nongchik Pattani ... 181 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 185 B. Saran ... 187 C. Penutup ... 190

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip

beserta Hissoh (jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558 ... 109 Tabel 2 Daftar Kondisi Guru Umum Sekolah Saengprathip beserta

Hissoh (jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558 ... 110 Tabel 3 Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip Tahun

2558 ... 111 Tabel 4 Daftar Kondisi Guru Umum (Akademik) Sekolah Tahun

2558 ... 112 Tabel 5 Daftar jumlah siswa-siswi sekolah Seangprathip tahun

ajaran 2558 ... 114 Tabel 6 Daftar Guru Wali Kelas Sekolah Seangprathip Thahun

(17)

DAFTAR BAGAN

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Pembimbingan dan Asisten Pembimbingan Skripsi Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 4 Surat Keterangan Penelitian (balasan) Lampiran 5 Pedoman wawancara

Lampiran 6 Hasil wawancara Lampiran 7 Dokumentasi

Lampiran 8 Pernyataan Publikasi Skripsi

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu aktivitas kehidupan manusia, pendidikan juga bermuara pada pencapaian tujuan tertentu yang diyakini sebagai sesuatu yang paling ideal. Dalam rangka mencapai suatu yang ideal tersebut dilakukan usaha secara bertahap dan sistematis. Persepsi umum tentang tujuan

pendidikan adalah “kematangan, yang meliputi kematangan lahir dan batin,

jasmani dan ruhani. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sedangkan kegiatan yang dilakukan tahap demi tahap. Seperangkat kegiatan tersebut dapat berupa latihan, pembiasaan dalam institusi keluarga, lembaga

pendidikan dan juga dalam masyarakat” (Baharuddin & Moh Makin, 2007:

170).

Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab II tentang dasar, fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional pasal 3 (2006:68) disebutkan bahwa:

“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan ruhani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta

bertanggung jawab, kemasyarakatan dan kebangsaan.”

(20)

dalam segala hal. Pemerintah dalam mewujudkan cita-cita tersebut maka haruslah mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Pemerintah tidak akan dapat mewujudkan semua itu jika dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan mengalami berbagai hambatan. Adapun salah satu hambatan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah ketidakseimbangan dalam pengembangan pendidikan umum dan pendidikan agama. Pada dasarnya dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya pendidikan umum dan pendidikan agama diselenggarakan secara seimbang, tidak dikenal adanya dikotomi pendidikan.

Pendidikan umum dan pendidikan agama merupakan dua hal yang harus dikuasai oleh setiap manusia agar mampu menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi. Dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya mampu melaksanakan proses pembelajaran yang mampu memberikan kesadaran kepada peserta didik untuk mau dan mampu belajar (learning knowor learning to learn). Materi pembelajaran hendaknya dapat

memberikan suatu pelajaran alternatif kepada peserta didiknya (learning to do) dan mampu memberikan motifasi untuk hidup dalam era sekarang dan

memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberi dalam bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, tidak ada perbedaan diantaranya (learning to live together).

(21)

proses peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dapat dipecahkan atau terselesaikan dengan baik, maka pendidikan akan mampu mewujudkan tujuannya yaitu terciptanya sumber manusia yang berkualitas yang menguasai IPTEK dan IMTAQ.

Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum pada semua jenjang pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran wajib diikuti oleh peserta didik seperti halnya pendidikan kewarganegaraan dan yang lainnya.

Dalam perkembangan pendidikan agama Islam seringkali berhadapan dengan berbagai problematika, diketahui bahwa sebagai sebuah sistem, pendidikan agama Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Komponen pendidikan tersebut meliputi : landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen yang terdapat dalam sistem pendidikan seringkali berjalan apa adanya secara konvensional, tanpa adanya inovasi menuju hal yang lebih baru sesuai dengan perkembangan zaman.

(22)

tentang Islam saja. Namun sebenarnya tujuan Pendidikan Agama Islam sangatlah luas cakupannya. Dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, penguasaan metodologi pembelajaran merupakan hal yang paling penting bagi seorang guru, karena metodologi yang baik akan mampu mewujudkan tujuan pembelajaran. Sanjaya (2006:80) menyatakan bahwa:

“Tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak hanya sekedar

menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Namun pembelajaran Pendidikan Agama Islam bertujuan mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, takwa dan akhlak mulia. Oleh sebab itu dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya tidak hanya membangun aspek kognitif peserta didik namun aspek efektif dan

psikomotor peserta didik harus dikembangkan”.

Menurut Dr. Zakiyah Drajat dalam bukunya yang berjudul “Ilmu

Pendidikan Islam” (1996: 30-31) bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari

beberapa tujuan yang meliputi : tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan ini meliputi aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Apabila penyelenggaraan pendidikan Islam mampu mencapai tujuan umum ini, maka terwujudlah bentuk insan kamil dengan pola taqwa. Tujuan akhir dari pendidikan Islam dapat dipahami dalam firman Allah.

َن ُ ِلْسُآ ْ ُ ْ نَ َو لاِإ َّيُا َُ لاَو ِهِااَ ُ ا َّ َ َهَّللا ا ُ َّ اا ا ُ َآ َييِ َّلا اَه يَ اَي

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah

(23)

Adapun tujuan sementara dari pendidikan Islam adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Sedangkan tujuan operasional dari pendidikan Islam adalah tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus (TIU dan TIK), yang pada saat ini disebut standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara ideal betapa beratnya beban yang harus diemban dalam penyelenggaraan pendidikan Islam harus mampu mencapai tujuan tersebut di atas, yang intinya pendidikan Islam harus mampu memberikan bekal kepada peserta didik untuk melaksanakan tugasnya di muka bumi sebagai kholifah dalam rangka beribadah kepada Allah.

Jadi dalam proses pembelajaran seorang pendidik selain memberikan pengetahuan dan penguasaan ilmu yang setinggi-tingginya yaitu secara kognitif, seorang pendidik juga memberikan pengetahuan secara afektif dan psikomotor kepada peserta didik, sehingga dapat membentuk kepribadian, serta peradaban bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.

Untuk itu, harus diadakan rekonstruksi konsep pendidikan Islam yang berangkat dan berorientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik sebab bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya haruslah diarahkan pada tujuan yang mulia, yakni membuat

(24)

pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta mengaktualkan potensi dasar kemanusiaan itu menjadi inti kegiatan Tarbiyah Islamiyah. Untuk mencari serta menemukan paradigma baru, pendidikan

Islam yang humanistik, pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia itu sendiri baru kemudian menelaah konstelasi pendidikan Islam agar bisa

menemukan hubungan keduanya. Menurut Mas‟ud (2002:193), menyatakan

bahwa:

“Konsep humanisme merupakan sebuah konsep keagamaan yang

menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hablum minallahdan hablum minannas. Yang jika konsep ini diimplementasikan dalam praktek dunia pendidik Islam akan berfokus pada akal sehat (commonsense), individualisme (menuju kemandirian), tanggung jawab (responsible), pengetahuan yang tinggi (first for knowledge), menghargai orang lain (pluralisme), kontektualisme (hubungan kalimat), lebih mementingkan fungsi dari simbol, serta keseimbangan antara reward dan punishment”.

(25)

wilayah ini telah terdapat ratusan masjid dan ribuan mushala yang bertebaran di setiap penjuru desa maupun kota.

Pada setiap bulan Ramadan tempat-tempat ibadah tersebut ramai dihadiri oleh kaum muslimin untuk mengikuti salat tarawih, tadarrus (membaca Al-Qur‟an) bersama-sama dan berbagai macam salat sunnah qiyam al lail. Pada akhir bulan Ramadan mereka juga berbondong-bondong dan

serentak membayar kewajiban zakat. Pada musim haji, setiap tahun jumlah kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji selalu bertambah, walaupun negara kita sedang mengalami krisis multidimensional.

(26)

selama ini cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif (intelektual) atau dengan kata lain hanya pada wacana, atau hingga ranah emosional. Kemudian tantangan pendidikan agama Islam sekarang ini yang perlu dicarikan alternatif jalan keluarnya adalah persoalan metode. Mengingat dalam proses pendidikan, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi itu sendiri (Ismail, 2008:2).

Sesungguhnya esensi dari pendidikan agama Islam terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa dan dapat tampil sebagai kholifatullah fil ardh,dan esensi ini menjadi acuan terhadap metode pembelajaran untuk

mencapai tujuan yang maksimal.

(27)

yang tinggi, serta mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini posisi peserta didik dalam proses pembelajaran bukan hanya sebagai obyek pembelajaran yang pasif, yang hanya menunggu pemberian dari seorang guru. Akan tetapi dalam proses pembelajaran ini, peserta didik dituntut untuk lebihaktif, kreatif dan lebih bertanggung jawab sesuai firman Allah di sana telahdijelaskan dalam Q.S. Al-Ruum, 30: 30.

َكِلَذ ِهَّللا ِ ْلَِلِ َليِدْبَ ا لا اَهْ يَلَع َساَّ لا َرَطَف ِتَِّلا ِهَّللا َةَرْطِف اًفيِ َ ِييِّدلِل َكَهْجَو ْ ِقَأَف

َن ُ َلْعَ ي لا ِساَّ لا َرَ ْ َ َّيِكَلَو ُ ِّيَ ْلا ُييِّدلا

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurutfitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yanglurus; tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui”. (Q.S. Al-Ruum,30: 30).

Potensi dasar (fitrah) manusia yang terkandung dalam ayat tesebut merupakan salah satu predikat utama manusia sebagai makhluk pedagogik, yang dimana makhluk pedagogik merupakan makhluk Allah SWT yang sejak lahir sudah membawa potensi. Mereka dapat dididik sekaligus mendidik dan manusia dikaruniai oleh Allah SWT dengan potensi dasar yang dapat dikembangkan.

(28)

proses pendidikan tersebut mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan pendidikan.

Selama ini metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal, yang masih tampak kering dengan daya kritis siswa. Cara-cara seperti itu diakui telah membuat siswa menjadi bosan, jenuh, dan kurang bersemangat dalam belajar agama. Indikasinya adalah timbul rasa`tidak simpati siswa terhadap guru agama, dan lama kelamaan akan timbul sikap acuh tak acuh terhadap agamanya sendiri. Kalau kondisinya sudah demikian, sangat sulit mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran agama.

Oleh karena itu, kita harus mulai melaksanakan strategi pendidikan agama Islam dengan menggunakan metode penyampaian yang

menyenangkan dan tidak mengekang serta tidak melupakan “belajar berfikir”

pada peserta didik, agar materi yang disampaikan pun dapat mengenai sasaran. Selain itu, materi-materi yang disampaikan kepada peserta didik juga tidak boleh keluar dari koridor nilai-nilai agama Islam yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri (Ismail, 2008:4)

Menurut Ma‟arif (2006: 129), maka dari itu sudah saatnya kita harus

membongkar model pendidikan agama Islam yang masih mengikuti “gaya

lama” yang hanya menuntut peserta didik untuk “selalu patuh” dan tidak

(29)

memanusiakan, sehingga pendidikan agama Islam yang humanis akan terwujud.

Dengan demikian pendidikan humanistik religius bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitment humaniter sejati yaitu insan manusia memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung jawab sebagai insan manusia yang individual. Namun tidak terangkat dari kebenaran-kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat, dengan demikian ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakat.

Berangkat dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun penelitian yang berjudul “Implementasi Konsep Humanisme (Manootniyom) Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan Tahun Ajaran 2014/2015)”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah berisi penegasan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya melalui penelitian. Di dalamnya tercakup keseluruhan ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah (Maslikhah, 2013: 302).

(30)

kemanusiaan. Oleh karena itu yang menjadi pokok dalam penelitian ini adalah:

1.Bagaimana implementasi konsep pendidikan humanisme (Manootniyom) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani, Thailand Selatan?

2.Faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme (Manootniyom) dalam Pembelajaran pendidikan agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan?

3.Bagaimana upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan konsep humanisme (Manooniyom) dalam pembelajaran pendidikan Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan pernyataan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada rumusan masalah. Perbedaannya terletak pada bentuk keilmuannya dalam rumusan masalah, kalimatnya berbentuk pertanyaan, maka dalam tujuan penelitian berbentuk kalimat pernyataan (STAIN Salatiga, 2008:16).

Kemudian tujuan yang hendak penulis deskripsikan dalam penelitian ini, yaitu:

(31)

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan konsep humanisme (Manootniyom) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangpratip Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand Selatan tahun ajaran 2014/2015.

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan konsep humanisme (Manootniyom) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand Selatan tahun ajaran 2014/2015.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Setiap pengkajian suatu ilmu diharapkan mampu memberikan informasi-informasi baru yang diambil manfaatnya. Manfaat bagi yang mengkaji maupun bagi khalayak umum yang membaca serta mempelajari kajian tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, khususnya pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan masalah ini.

2.Manfaat praktis

(32)

permasalahan pembelajaran Pendidikan Agama Islamdan bagi guru PAI di Yayasan Seangprathip Wittaya Mulniti School dapat memberikan bahan masukan dan sumbangan pikiran bagi guru tentang konsep pendidikan dalam pembelajaran Pendidikan AgamaIslam.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari pengertian dan penafsiran judul di atas, serta membatasai ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa pengertian yang terkandung, yaitu:

1.Implementasi

(33)

2.Pendidikan

Menurut Purwadaminta (2006: 291), Dalam Kamus Bahasa

Indonesia, pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara,

materi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sehingga pendidikan berarti proses mengubah sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang, dengan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan proses; cara; perbuatan; mendidik. Yang dimaksud Ahmadi (1992: 28) dengan pendidikan di sini adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani) menuju terbentuknya manusia seutuhnya. Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha seseorang yang sistematis, terarah yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju perubahan tingkah laku dan kedewasaan anak didik, baik diselenggarakan secara formal maupun nonformal

3.Humanis

(34)

Humanisme adalah keyakinan bahwa manusia mempunyai martabat yang sama, yang beradab dan adil, dan sebagai kesediaan untuk solider, senasib, sepenanggungan tanpa perbedaan (Shofan, 2004: 142). Kaitannya dengan hal tersebut, penulis ingin mempergunakan nilai-nilai humanisme dalam pembelajaran agama Islam yang selama ini masih terkesan jarang digunakan dalam dunia pendidikan kita. Dalam pendidikan kita lebih banyak melihat bagaimana manusia hanya dijadikan sebagai seseorang yang tidak tahuapa-apa, sedangkan dalam Islam sendiri diajarkan bagaimana manusia harus menghormati hak orang lain termasuk dalam pendidikan.

4.Pembelajaran PAI

(35)

Menurut Tafsir (2004: 5), Pembelajaran Agama Islam adalah upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar dan tertarik untuk menerus mempelajari agama Islam baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar, maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan. Jadi pembelajaran PAI yang dimaksud penulis dalam skripsi ini adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan dengan sadar terhadap seseorang, baik perkembangan jasmani maupun rohani berdasarkan ajaran-ajaran Islam, agar kelak setelah memperoleh pembelajaran PAI, siswa-siswi tersebut dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam, serta terbentuknya kepribadian muslim yang memiliki sikap dan perbuatan berdasarkan nilai-nilai Islam serta sebagai way of life.

5.Yayasan Attarbiyyah Addiniyyah Seangprathip Wittaya Mulniti School Yayasan Attarbiyyah Addiniyyah Nat Kudum Pattani merupakan

sebuah yayasan atau lembaga sekolah yang mencetak pendidik agama Islam

di daerah Nat Kudum, Pattani. Yayasan ini berdiri pada tahun 1945 M/1366.

Didirikan oleh syaekh Ibrahim Nik Heng (Ibrahim bin Abdurrahman) dan

putranya yaitu Ismail bin Ibrahim bin Abdurrahman.

Dalam yayasan ini bertujuan untuk menegakkan kembali syiar kebaikan Islam dan mencegah dengan kemungkaran. Karena setiap

sebaik-baik umat adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dan menyebarkan

dakwah keIslaman yang berdasarkan madzhab-madzhab bathil. Tujuan

utama sekolah ini yaitu mencetak kader-kader pendidik yang kelak

(36)

F. Metode Penelitian

1.Jenis dan Pendekatan Penelitian

Moleong menyatakan (1993: 3), Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang dimaksud penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang menghasilkan data deduktif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif adalah pendekatan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang (Ibrahim, 1980: 64).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, akurat, mengenai faktor- faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 2.Jenis Data

Data adalah suatu hal yang diperoleh di lapangan ketika melakukan penelitian dan belum diolah atau dengan pengertian lain suatu hal yang dianggap atau diketahui. Data menurut jenisnya dibagi menjadi dua :

a. Data kualitatif

(37)

b. Data kuantitatif

Yaitu data yang berbentuk angka statistik dalam penelitian ini data statistik hanya bersifat data pelengkap, dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.

3.Sumber Data

Menurut sumber data dalam penelitian ini, data dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Sumber data primer

Yaitu data yang diperoleh peneliti secara mentah dari sumber data dan masih memerlukan analisis lebih lanjut (Subagyo, 2004: 87) .Jenis data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari sumber data melalui wawancara, observasi atau dengan cara lainnya. b. Data sekunder

Jenis data yang diperoleh atau berasal dari bahan-bahan kepustakaan (Arikunto, 2004: 107). Data ini berupa dokumen, buku, majalah, jurnal, dan yang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

4.Teknik Pengumpulan Data

(38)

a. Metode observasi

Yaitu cara pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang diselidiki, baik secara langsung maupun tidak langsung (Hadi, 2001: 136). Menurut Marshall (1990) menyatakan bahwa metode observasi adalah

Trough observasion the researcher learn about behavior and the

meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti

belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Adapun observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi partisipatif, yaitu peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data.

b. Metode wawancara (interview)

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan pihak terkait.

(39)

Interview secara formal peneliti lakukan dengan cara peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kepala sekolah, guru dan bagian tata usaha. Sedangkan interview nonformal peneliti lakukan sesama peneliti melakukan penelitian bertanya melalui berbagai pihak dari pegawai, guru-guru dan siswa-siswi. Adapun wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi :

1) Wawancara kepala sekolah tentang sejarah, profil, visi dan misi Seangprathip Wittaya Mulniti School, keadaan guru, karyawan, siswa, sarana dan prasarana.

2) Wawancara dengan waka kurikulum tentang pengembangan kurikulum dan tentang pelaksanaan pembelajaran PAI dengan konsep humanisme religius.

3) Wawancara dengan guru PAI tentang proses pembelajaran PAI dengan menggunakan konsep humanisme religius.

4) Wawancara kepada tata usaha tentang keadaan siswa dan guru Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik, Pattani.

c. Metode dokumentasi

(40)

G. Teknik Analisa Data

Analisa data menurut Moleong (1993: 30) adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola atau kategori dan uraian satuan dasar sehingga lebih mudah untuk dibaca dan diinterprestasikan. Analisis data bertujuan untuk menelaah data secara sistematika yang diperoleh dari berbagai tehnik pengumpulan data yang antara lain; observasi, metode wawancara, dan dokumentasi. Setelah data terkumpul tahap selanjutnya adalah data diklasifikasikan sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif deskriptif yang berupaya menggambarkan kondisi latar belakang penelitian secara menyeluruh dan data tersebut ditarik suatu temuan penelitian.

Dalam penelitian kualitatif dikenal dengan dua strategi analisis data yang sering digunakan bersama-sama atau terpisah, strategi analisis data yang sering digunakan bersama-sama atau terpisah, strategi tersebut yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis verifikasi kualitatif (Buangin, 2003: 83). Adapun dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif ini berupa kata-kata atau paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif mengenai peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam lokasi penelitian.

(41)

pendapatnya Miles, Hubermen dan Yin yang ditulis oleh Suprayogo (2001: 197) dalam bukunya yang berjudul metodologi penelitian sosial agama antara lain :

1. Pengumpulan data kegiatan analisis data selama pengumpulan data dimulai setelah peneliti memahami fenomena-fenomena yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis.

2. Reduksi data yaitu, proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, tranformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terinci, data tersebut dalam bentuk laporan perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicari tema atau polanya. Data yang direduksi memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hasil pengamatan juga mempermudah peneliti mencari kembali data yang diperoleh jika diperlukan.

3. Display data yaitu, rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis atau menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan ketika dibaca akan mudah dipahami tentang berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk membuat analisis atau tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut.

(42)

yang sudah dianalisis dapat diambil kesimpulan serta menverifikasi data tersebut dengan cara menelusuri kembali data yang telah diperoleh.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini penulis mengungkapkan isi pembahasan skripsi secara negatif, sistematis dan logis mulai dari bab pertama sampai dengan bab terakhir, dengan tujuan agar penelitian ini dapat dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini sebagai berikut.

Bab I, merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II, merupakan bab yang membahas tentang kajian teoritis yang memaparkan tentang konsep humanisme religius ditinjau secara umum tentang pendekatannya secara filosofis, dan tentang pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Bab III, merupakan bab yang memaparkan hasil penelitian lapangan yang meliputi gambaran umum tentang objek penelitian, penyajian data tentang implementasi, konsep humanisme dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik, Pattani dan analisa data.

(43)

Bab V, merupakan bab penutup yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian.

(44)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep tentang Humanisme 1. Latar Belakang Humanisme

Arti istilah “humanisme” lebih mudah dipahami kalau ditinjau dari

sisi historis dan sisi aliran-aliran di dalam filsafat. Dari sisi pertama, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Pada gerakan ini bisa dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern.

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan, pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan renaisans abad ke-14 sampai ke-16 M. Gerakan yang berawal di Italia ini kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yaitu dikuasai oleh dogma-dogma agamis gerejani. Abad pertengahan adalah abad dimana otonomi kreativitas, kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan

gereja. Abad ini sering disebut “abad kegelapan” karena cahaya akal budi

(45)

pikiran-Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul. Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu dari kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat, melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya. Istilah “humanisme” sendiri

berasal dari kata Latin “humanitas” (pendidikan manusia) dan dalam

bahasa Yunani disebut paideia, yaitu pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamanya. Karena alasan seni liberal inilah yang menjadi sarana terpenting dalam dunia pendidikan pada waktu itu (retorika, sejarah, etika dan politik) adalah kenyataan bahwa hanya dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi makhluk bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya (Zainal Abidin, 2006: 41).

(46)

Dari sisi yang kedua, humanisme sering diartikan sebagai paham di dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa, sehingga manusia menempati posisi yang sentral dan penting, baik dalam perancangan teoritis-filsafat maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Dalam arti ini manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian dan refrensi utama dari setiap kejadian di alam semesta ini. Salah satu asumsi yang melandasi pandangan filsafat ini adalah bahwa manusia padaprinsipnya merupakan pusat dari realitas. Berbeda dengan

pandangan filsafat yang berkembang pada abad pertengahan, pada humanis berpegang teguh pada pendirian, bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mund i(peziarah di muka bumi), melainkan sebagai vaber mundi (pekerja ataupencipta dunianya). Oleh sebab itu segala ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan lagi kepada manusia itu sendiri, bukan kepada kekuatan-kekuatan di luar manusia (kekuatan-kekuatan Tuhan atau kekuatan-kekuatan alam misalnya).

Secara garis besar dua sisi dari humanisme tersebut mendeskripsikan hubungannya dengan humanisasi yang berlangsung di dalam ilmu-ilmu yang wujud kongkretnya tampak pada ilmu-ilmu sosial humanistik. Dalam kerangka operasionalnya, pendidikan Islam, juga pendidikan jenis lain pada umumnya, seringkali hanya menjadi suatu kegiatan menabung.

(47)

Dan yang terjadi bukanlah proses komunikasi, akan tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima dan dituangkan dengan patuh oleh para muridnya. Aktivitas pendidikan hanya sekedar sebuah mekanisme otomatik dan lebih bersifat formalistik belaka. Pada pola pendidikan semacam ini nilai kreativitas dan

progresivitas individu menjadi sangat terpasung.

Dalam konsep pendidikan gaya bank demikian, pengetahuan adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya lebih berpengetahuan, kepada mereka yang diangap tidak memiliki

pengetahuan. “Education is transfer a certain knowledge from teachers

totheir students” dalam kata lain bahwasannya pendidikan hanyalah

memindahkan ilmu dari otak (yang satu) ke otak yang lain. Untuk itu dengan adanya konsep humanisme, kebebasan berfikir merupakan tema terpenting dari pendidikan humanis. Akan tetapi kebebasan yang dimaksudkan bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagaian antitesis dari deferminisme abad pertengahan. Kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, kebebasan manusia dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat.

(48)

kontrol dari realitas. Realitas manusia adalah hak milik manusia sehingga setiap kejadian, gejala dan penilaian apapun harus dikaitkan dengan keberadaan, kepentingan atau kebutuhan manusia.

Abidin (2001: 42) memaparkan, manusia adalah pusat realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusia sebagai entitas-entitas marjinal atau pinggiran.

2. Definisi Humanisme

Humanis berasal dari kata Human (Echols, 1998: 326) (Inggris) yang berarti manusiawi. Menurut Budiona, dalam Kamus Ilmiah Populer Internasional, menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara

(49)

Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut paham humanisme (3) (KBBI, 1994: 361).

Dari sana dapat ditarik bahwa pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita, melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku) yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang dicita-citakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan. Pendidikan humanis berarti pendidikan yang didalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka.

(50)

tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam melakukan hal terbaik bagi dirinya.

Manusia merupakan makhluk yang multidimensi bukan saja karena manusia sebagai subyek yang secara teologis memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupan,

ٍمْ َ ِل ٍتاَيلآَكِلَذ ِفِ َّنِإ ُهْ ِآ اًعيَِجَ ِضْرلأا ِفِ اَآَو ِتاَواَ َّسلا ِفِ اَآ ْ ُكَل َرَّخَسَو

َنوُرَّكَفَ َ ي

Artinya:“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Jatsiyah, 45: 13)

Tetapi juga sekaligus menjadi obyek dalam keseluruhan macam dan bentuk aktivitas dan kreativitasnya. Dengan demikian, bentuk dan sistem aspek-aspek kehidupan senantiasa harus dikonstruksi di atas konsepsi manusia itu sendiri, sehingga diskursus mengenai ma nusia menjadi menarik tidak saja karena keunikan makhluk, akan tetapi juga karena kompleksitas daya yang memilikinya sangat luar biasa.

(51)

tentara, bankir, bahkan seorang pelukis memperoleh kemampuan dari institusi pendidikannya masing-masing. Itulah kesan yang sering muncul dari kebanyakan kaum awam saat mereka berbicara mengenai pendidikan.

Proses pemikiran yang demikian dapat mempengaruhi minat dan motivasi, baik secara internal maupun eksternal, untuk memiliki kesadaran berpendidikan. Bagi mereka yang terlalu berpegang pada doktrin ini apabila tidak memiliki kemampuan untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan tertentu maka pintu pendidikan sudah tertutup selamanya bagi mereka padahal pendidikan bukan hanya sekedar proses transformasi pengetahuan saja.

Pendidikan adalah suatu proses penyampaian nilai dengan lingkup yang sangat luas. Pendidikan adalah bagaimana manusia dapat melaksanakan hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, sejalan dengan ini, Prof. Lodge pernah mengatakan bahwa hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup itu sendiri (Tim Dosen IKIP Malang, 1988: 5). Manusia sebagai makhluk multidimensional yang memiliki potensi dasar yang bisa dikembangkan, sehingga manusia dinamakan makhluk pedagogik. Makhluk pedagogik adalah makhluk yang dapat dididik sekaligus makhluk yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan aktivitas pendidikan.

(52)

menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. Muslim).(Syeikh Manshur Ali Nashif, 1961 M – 1381 H: 36)

Hadist di atas memberikan penjelasan bahwa seorang manusia lahir dalam keadaan fitrah, yakni dibekali naluri keagamaan tauhid. Tidak seorangpun bayi yang lahir ke dunia membawa dosa asal. Fitrah manusia merupakan potensi dasar yang baik yang perlu diasah dan dikembangkan. Kegiatan mengasah dan mengembangkan fitrah melalui proses transformasi nilai itu berlangsung dari generasi tua kepada generasi yang lebih muda.

Dalam terminologi yang praktis, hal itu dinamakan pendidikan dalam makna yang luas. Firman Allah SWT :

keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dari memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (Q.S. Al-Nahl, 16: 78).

Dalam pernyataan Al-Qur‟an di atas, dapat dibingkai sebuah pengertian bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi yang bisa dikembangkan (fitrah) seperti dalam hadist yang telah dijelaskan di atas

yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah di muka “dan manusia

dilahirkan dengan tidak membawa pengetahuan apapun”. Namun

(53)

Menurut filsafat humanisme Syari‟ati (1992: 59) bahwasannya,

beliau mengartikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Humanisme memandang manusia sebagai makhluk yang mulia, dan prinsip-prinsip yang didasarkannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk species manusia.

Pendidikan yang di dalamnya mengandung unsur manusia, baik sebagai pelaku atau objek, dengan demikian tidak terpisahkan dari orientasi humanistik. Sejauhmana humanisme itu berperan dalam pendidikan, adalah tergantung dari persepsi para pendidik itu sendiri tentang manusia (human). Ada sebagian para ahli mengatakan

bahwasannya watak manusia itu “berkembang” sesuai dengan

(54)

mempengaruhi hidup manusia mempunyai dampak atau pengaruh

didalam kehidupan dan perjalanannya dan berpengaruh di dalam

akhlaknya maka jika ada kebaikan yang dapat memotifasi maka

dampaknya akan baik, dan jika ada kejelekan atau kesesatan tidak akan

ditemukan perbuatan yang dapat memotivasi dan dampaknya akan

buruk”.

Dengan demikian, lingkungan dimana manusia itu berada berpengaruh besar bagi hidup dan perkembangan kehidupannya, mampu membentuk watak, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungannya. Jika lingkungannya baik, dapat memotivasi untuk mendatangkan pengaruh

yang baik, sebaliknya, jika lingkungannya buruk, tak seorang (ulama‟) pun

mampu membendung atau membantu akses buruknya. Sebenarnya manusia itu lahir dalam keadaan fitrah yaitu pembawaan asal untuk siap menerima agama Islam. Kemudian lingkungannya mempengaruhinya untuk menjadi baik atau buruk. Untuk mengendalikan dan mengarahkan pengaruh tersebut, pendidikan berperan aktif.

Menurut pendapat Al-Ghazali bahwasannya sejak kecil anak itu dapat menerima pengaruh baik atau buruk dari lingkungannya. Padahal di usia tersebut, anak tidak mampu membedakan antara baik dan buruk. Pendidikan orang tua, sebagai pihak pertama yang berinteraksi dengan anak, akan mampu mengendalikan dan mengarahkan pengaruh misieu.

(55)

fitrah kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi

Yahudi, Nasrani atau Majusi”.(Assegaf dan Suyadi, 2008: 38-40)

Dari uraian di atas bahwasannya watak manusia itu berkembang. Yang membedakan adalah konsep fitrah itu sendiri. Fitrah adalah pembawaan manusia yang tetap. Semua orang yang dilahirkan dengan pembawaan asal berupa fitrah tersebut, seumur hidupnya manusia memilikinya tidak ada perubahan dalam fitrah Allah yang dikaruniakan kepada hambanya.

Oleh karena itu usaha-usaha pendidikan (tarbiyah) bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang pelaksanaan amanat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia terhadap pendidikan yang bersifat individual. Kalau diamati keadaan bayi pada saat dilahirkan, dapat disaksikan bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah, tidak berdaya. Hampir semua hidupnya tergantung pada orang tuanya. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan orang tuanya dalam segala hal.

(56)

humanisme menurut George R. Knight, bahwasannya humanisme merupakan perkembangan dari progresivisme. Fokus perhatian humanisme adalah kepada manusia (human). Aspek manusia inilah yang mesti ada dalam pendidikan. Artinya, humanisme merupakan refleksi timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat. Karenanya pendidikan harus diselenggarakan dengan memusatkan perhatian keduanya. Kemudian, mengingat masyarakat itu selalu berkembang dan berubah, nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk bagi individu juga mengalami perkembangan dan perubahan. Bila nilai-nilai tendensi dan input dipandang baik oleh masyarakat, maka nilai- nilai tendensi dan input dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik pula. Sehubungan dengan itu John Dewey mengatakan:

Setiap tendens dan impuls yang ada pada manusia tiadalah mempunyai suatu arti apa-apa. Jadi tiadalah berakibat baik ataupun buruk terhadap masyarakat. Tendens atau input ini baru mempunyai arti bila ia memberikan akibat di dalam keadaan tertentu. Ia hanya dapat memberikan akibat itu bila ia dipengaruhi ataupun dipaksakan oleh faktor-faktor luar, yaitu faktor-faktor dari kebudayaan. Bila akibat ini yaitu sesuatu hasil perbanyakan antara tendens tadi dengan faktor-faktor luar dianggap baik oleh masyarakat, maka tendens tadi orang pandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. Bila akibat itu dianggap merugikan masyarakat maka tendens tadipun dianggap sebagai suatu sifat manusia yang buruk(Assegaf dan Suyadi, 2008: 54-55).

(57)

perkembangan dan perubahan. Ada beberapa faktor dimana sifat manusia itu tetap tidak berubah. Tetapi karena akibat-akibat yang ditimbulkannya dibawah pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan elemen kebudayaan, kemudian juga mempengaruhi kembali setiap elemen-elemen dari sifat manusia itu, maka bentuk dan susunannya juga senantiasa berubah-ubah. Perkaitan dengan sifat-sifat manusia itu mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan. Ada beberapa faktor dimana sifat-sifat manusia akan mengalami perubahan karena adanya pengaruh dan tekanan dari elemen kebudayaan. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu sistem sekaligus proses bermaksud membina, mengembangkan, dan mengarahkan potensi dasar insaniah (jasmaniah-ruhaniah). Berdasarkan nilai- nilai normatif (ajaran) Islam. Karena Islam sendiri memandang manusia sebagai suatu kesatuan integral antara jasmaniah dan ruhaniah, pendidikan Islam pada hakikatnya ingin mengembangkan dan mengarahkan kedua dimensi tersebut secara seimbang.

Manusia tercipta dalam keadaan yang belum selesai. Keberadaan-keberadaan jiwa dan raga, jasmaniah dan ruhaniah, masing-masing akan terus mengalami perubahan (evolusi), yang mengalami perubahan secara perlahan dan bertahap. Perubahan tersebut dalam terminologi psikologi perkembangan (developmental psychologi) disebut pertumbuhan dan perkembangan.

(58)

segala daya dari dalam yang berlangsung secara wajar pada diri anak (Affifudin dkk, 1988: 53).Sedangkan perkembangan merupakan suatu perubahan psikofisis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisis. Pada diri anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar.

Dari pemahaman tersebut, yang perlu dicari adalah akan seperti apa eksistensi manusia dalam suatu proses kependidikan Islam, pada hakekatnya merupakan usaha untuk membantu mengembangkan kedua unsur (jasmaniah dan ruhaniah) secara seimbang dan harmonis menuju tujuan kematangan menurut ajaran Islam. Berhubung pendidikan merupakan bagian dari hidup, maka tujuan hidup manusia pada dasarnya merupakan tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi, dalam menciptakan kondisi pendidikan yang bertujuan sakral-transendental, yakni memanusiakan manusia, secara filosofis perlu melihat tujuan hidup

manusia, terlebih melalui paradigma Qur‟ani.

Dalam Al-Qur‟an disebutkan, bahwa tujuan hidup manusia diantaranya adalah untuk menyembah Allah,

ِنوُدُبْعَ يِل لاِإ َ ْنااَو َّيِْاا ُ ْ َلَ اَآَو

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Al-Dzariyat, 51: 56)

Beribadah supaya menjadi orang yang takwa,

َن ُ َّ َ ا ْ ُكَّلَعَل ْ ُكِلْبَ ق ْيِآ َييِ َّلاَو ْ ُكَ َلَ ِ َّلا ُ ُكَّ َر اوُدُبْعا ُساَّ لا اَه يَ اَي

(59)

Dan menjalankan agama yang lurus,

َةاَ َّزلا ا ُاْؤُ يَو َةلاَّصلا ا ُ يِ ُيَو َءاَفَ ُ َييِّدلا ُهَل َينِصِلُْمُ َهَّللا اوُدُبْعَ يِل لاِإ اوُرِآُ اَآَو

ِ َ ِّيَ ْلا ُييِ َكِلَذَو

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian

itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah, 98: 5)

Lebih transparan lagi, Al-Qur‟an menjelaskan tentang tujuan hidup manusia dalam ayat berikut ini :

اَ َ ْيِسْ َ َو اَيْ ن دلا َيِآ َكَبيِصَن َ ْ َ ا لاَو َةَرِ لآا َراَّدلا ُهَّللا َكاَا اَ يِف ِغَ ْ اَو

َييِدِسْفُ ْلا ُِ لا َهَّللا َّنِإ ِضْرلأا ِفِ َ اَسَفْلا ِغْبَ ا لاَو َكْيَلِإ ُهَّللا َيَسْ َ

Artinya:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

bagianmu dari „kenikmatan‟ duniawi dan berbuat baiklah

(kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik

kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di „muka‟

bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-Qashash, 28: 77).

Itulah tujuan hidup manusia dalam perspektif Islam yang sekaligus menjadi tujuan ideal pendidikan Islam. Secara lebih detail, dapat dideskripsikan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan duniawi-ukhrowi dengan mempertajam kesalehan sosial lewat amr (perintah) berbuat baik kepada orang lain, dan mengembangkan sense of belonging (rasa ikut memiliki) melalui larangan berbuat kerusakan dalam

(60)

melalui proses kependidikan Islam. Lalu proses pendidikan yang bagaimana yang dinamakan proses pendidikan yang memanusiakan manusia? Proses pendidikan yang dimaksud adalah proses membimbing, mengembangkan, dan mengarahkan potensi dasar manusia baik jasmani maupun rohani secara seimbang dengan menghormati nilai-nilai humanistik yang lain.

Kegiatan pendidikan dilakukan untuk mengisi otak dengan berbagai pengetahuan yang bersifat kognitif, dan juga mengisi hati agar bisa memperteguh potensi manusia (peserta didik) untuk menjadi mandiri. Proses pendidikan yang hanya mementingkan salah satu dari dua dimensi tersebut merupakan proses pendidikan yang angkuh dan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai humanistik. Proses pendidikan dengan pemberian pengetahuan dapat berbentuk penyampaian materi pelajaran di kelas, sekolah atau dimanapun. Pengisian hati bisa berupa pendidikan yang bermuatan normatif religius dengan memberikan kebebasan yang proporsional sebagai upaya ekselerasi (pencapaian pematangan humanisasi).

I. Tujuan Konsep Humanisme

(61)

kemandirian (individualisme), tanggung jawab (responsibility), pengetahuan yang tinggi (thirs for knowledge), menghargai masyarakat (pluralisme), kontektualisme, yang lebih mementingkan fungsi daripada

simbol, dan keseimbangan antara reward dan punisment (Mas‟ud, 2002:

193).

a. Akal sehat (common sense)

Manusia adalah makhluk yang mulia, makhluk yang berbudaya. Manusia adalah makhluk pedagogik dan juga sebagai kholifah Allah di muka bumi. Dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional, dalam Islam, al-alim lebih utama dari al-‟abid, yang notabene dibedakan dari akal sehatnya. Dalam firman Allah dijelaskan bahwasannya orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan beberapa tingkatan.

يرٌ ِبََو ُلَ ْعَ ا اَِ ُهَّللاَو ٍتاَجَرَ َ ْلِعْلا ا ُاوُ َييِ َّلاَو ْ ُكْ ِآ ا ُ َآ َييِ َّلا ُهَّللا ِ َفْرَ ي

Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al- Mujadilah: 11).

(62)

yang ada di sekitarnya (peserta didik/pendidik). Artinya hal-hal yang berhubugan dengan daya fikir sangat diminati baik oleh guru ataupun oleh peserta didik (murid).

b. Individualisme (kemandirian)

Pengembangan individu menjadi individu yang saleh, “insan kamil”

dengan berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri adalah

sasaran utama pendidikan Islam. Mas‟ud (2002: 158) menyatakan,

individualisme dalam konsep Barat yang diwakili dalam sebuah syair

dalam bahasa Arab yang cukup populer yaitu : “Sesungguhnya seorang

pemuda adalah mengandalkan diri sendiri, bukanlah seorang yang

membanggakan ayahnya”.

Self-reliance atau kemandirian adalah tujuan utama dalam konsep individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah sebuah larangan. Jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru menjadi seruan dalam Islam. Dalam surat Yasin disebutkan bahwasannya:

“Pada hari itu (kiamat) Allah akan menutup mulut mereka, dan berbicara

tangan mereka, kakinya akan menjadi saksi terhadap apa yang telah

mereka lakukan” (Q.S. 36: 35).

(63)

Individualisme dalam Islam memang harus dikembangkan melalui pada ajaran dasar kesalehan.

Kesalehan yang berangkat dari kesalehan pribadi kemudian berkembang pada kesalehan sosial dan lingkungan. Dalam firman Allah:

Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, telah dijelaskan disana mengandung nuansa responsibility(tanggung jawab). Oleh karena itu berangkat dari tanggung jawab dan tugas mulia individu.

Dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap terhadap lingkungan, perubahan dan perkembangan. Dengan demikian dalam konsep pendidikan humanisme bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen. Humaniter sejati yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, beriman dan bertakwa, dinamis, progresif serta tanggung jawab terhadap lingkungan perubahan dan perkembangannya.

c. Pengetahuan yang tinggi (thirs for knowledge)

Islam adalah agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan yang berillmu diantara manusia pada posisi mulia.

Firman Allah Q.S. Al-Mujadalah : 11.

يرٌ ِبَ َن ُلَ ْعَ ا اَِ ُهَّللاَو ٍتاَجَرَ َ ْلِعْلا ا ُاوُ َييِ َّلاَو ْ ُكْ ِآ ا ُ َآ َييِ َّلا ُهَّللا ِ َفْرَ ي

Artinya“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(64)

tingkatan. Berangkat dari konseptual bahwasannya manusia merupakan makhluk pedagogik, makhluk yang sejak lahir membawa potensi dapat dididik sekaligus mendidik. Oleh karena itu potensi dasar (fitrah) yang insaniah, perlu dikembangkan serta sosialisasi dalam nilai-nilai keterampilan.

Selain itu konsep humanisme religius manusia memang merupakan

makhluk “curious” yang senantiasa ingin tahu. Rasa ingin tahu itu perlu diolah dan diterapkan dalam kebaikan.

d. Pendidikan pluralisme (menghargai orang lain)

Menurut Mas‟ud (2002: 167), sebagaimana yang telah dipahami

bersama, Islam sangat menghargai dan menghormati keberagaman dan kebhinekaan. Salah satuajaran Islam akan musnalah jika kalian seragam. Artinya dalam konsep pendidikan humanisme menghargai dan menghormati adanya perbedaan yang ada di sekitarnya baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan keagamaannya dengan tujuan ketika dalam proses pembelajaran tercipta lingkungan yang kondusif, damai serta mengajarkan kepada peserta didik untuk selalu menghargai pendapat orang lain.

e. Kontektualisme lebih mementingkan fungsi dari pada simbol

(65)

tetapi dalam riil kehidupannya mereka begitu tangkas menjawab permasalahan hidupnya. Untuk itu dalam konsek kontektualisme yang dimaksud dalam konsep humanisme religius ini merupakan konsep belajar yang membantu seorang guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil belajar atau prestasi belajar peserta didik tidak hanya dilihat dari tampilan kualitatif, melainkan lebih dilihat dari sisi kualitas penguasaan dan aplikasinya dalam kehidupan yang nyata. Dengan adanya konsep yang seperti itu, hasil pembelajaran bukan sekedar wacana melangit, akan tetapi merupakan halyang harus membumi dan lebih bermakna bagi peserta didik (siswa).

Dalam proses pembelajaran ini berlangsung secara alamiah (natural), berupa kegiatan bekerja dan mengalami. Bukan hanya sebuah transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik (siswa).

Dalam kontek yang demikian, menurut Baharudin & Makin (2007: 210) peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar itu bagi peserta didik, serta dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Sehubungan dengan hal ini, peserta didik perlu memiliki komprehensif mengenai tiga konsep yaitu : how to know (bagaimana mengetahui, how to do (bagaimana mengerjakan atau melaksanakan), dan how to be

(66)

Dengan demikian dalam konsep humanisme merupakan sebuah strategi pembelajaran yang menghendaki keterkaitan antara pengetahuan dan kehidupan nyata. Maka hal itu akan mempermudah peserta didik untuk membuat sebuah formulasi atau batasan-batasan mengenai pengetahuan yang dipelajari. Hal ini sangat relevan dengan prinsip pendekatan kontektual yaitu : student learn best by antiviety contructing their own understanding.

f. Keseimbangan antara reward dan punishment

Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya “hadiah” orang yang bekerja untuk orang lain hadiahnya adalah upah atau gaji, orang yang menyelesaikan suatu program sekolah hadiahnya adalah ijazah, membuat prestasi dalam satu bidang olah raga hadiahnya adalah medali atau uang. tepuk tangan memberi salam pada dasarnya adalah suatu hadiah juga. Pemberian hadiah tersebut secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang yang menerimanya.

(67)

Namun kedua respon tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mengubah tingkah laku seseorang (anak didik). Respon positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik (bekerja, belajar, berprestasi,dan memberi) itu frekuensinya akan berulang atau bertambah. Sedangkan respon negatif (punisment) bertujuan agar tingkah laku yang kurang itu frekuensinya berkurang atau hilang pemberian respon yang demikian dalam proses interaksi edukatif disebut “pemberian penguatan”.

Oleh karena itu dalam konsep pendidikan humanisme keseimbangan antara punishment dan reward harus ditetapkan dalam proses belajar mengajar. Karena hal tersebut akan membantu sekali dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan kata lain, pengubahan tingkah laku siswa (behavior modification) dapat dilakukan dengan pemberian penguatan.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan pendekatan Tematik di SMP Al- Islah Surabaya analisis aktivitas guru memperoleh nilai 93 (Sangat baik),

Dalam mengajarkan nilai-nilai akhlaq dan etika dalam Pendidikan Agama Islam pada santri, Pondok Pesantren Ta’mirul Islam mengalami banyak sekali tantangan yang muncul

Kehidupan Boarding School yang lebih modern yaitu sistem pendidikan yang menggabungkan ilmu pendidikan umum dan ilmu agama Islam serta mewajibkan para siswa untuk

bidang studi pendidikan agama Islam dapat memberikan pemahaman yang holistik kepada siswa terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam, dengan pemahaman yang utuh melahirkan persepsi

Askhabul Jannah, Ema, Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Kelas Inklusi di SD Purba Adhi Suta Purbalingga, Skripsi: Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Abstrak: Upaya Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Kepada Santri Mts. Pondok Pesantren Pancasila Bengkulu. Di sekolah

Hasil dari penelitian ini daharapkan dapat memberikan gambaran tentang sistem pendidikan Agama Islam di Pattani Thailand studi kasus pada Sekolah Sasnasuksa

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam