BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Pengertian
Menurut organisasi kesehatan dunia World Health Organization
(WHO) penduduk lansia dibagi menjadi empat kategori yaitu 45 – 59
tahun (middle age), kelompok elderly age (60 – 74 tahun), kelompok old
age (75 – 90 tahun) dan kelompok very old age (> 90 tahun) (Bandiyah,
2009).
2. Perubahan Pada Proses Menua
a. Perubahan fisik-biologis/jasmani
1). Kekuatan fisik secara menyeluruh dirasakan berkurang, merasa
cepat lelah dan stamina menurun.
2). Sikap badan yang semula tegap menjadi membongkok, otot-otot
mengecil, hipotrofis, terutama di bagian dada dan lengan.
3). Kulit mulai mengerut dan menjadi keriput. Garis-garis pada wajah
di kening dan sudut mata.
4). Rambut memutih dan pertumbuhan berkurang.
5). Gigi mulai rontok. Kehilangan gigi, penyebab utama adalah
Periodontal Disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun.
6). Perubahan pada mata : pandangan dekat berkurang, adaptasi gelap
melambat, lingkaran putih pada kornea (arcus senilis) dan lensa
menjadi keruh (katarak).
7). Pendengaran, seperti hilangnya daya pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata. Selain itu juga terjadi
penggumpalan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya
keratin.
8). Daya cium dan perasa mulut menurun.
9). Pengapuran pada tulang rawan, seperti tulang dada sehingga
rongga dada menjadi kaku dan sulit bernapas (Nugroho, 2002).
b. Perubahan mental-emosional/jiwa ;
a. Daya ingat menurun, terutama peristiwa yang baru saja terjadi.
b. Sering pelupa/pikun ; sering sangat mengganggu dalam pergaulan
dengan lupa nama orang.
c. Emosi mudah berubah, sering marah-marah, mudah tersinggung.
c. Perubahan sistem reproduksi
1). Pada Perempuan
a). Vagina mengalami kontraktur dan mengecil
b). Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi
c). Atrofi payudara
e). Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus.
Sekresi berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi
perubahan warna.
2). Pada Laki-laki
a). Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada
penurunan secara berangsur-angsur.
b). Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal
kondisi kesehatannya baik (Soeparman, 2008).
d. Perubahan Sistem
1). Elastisitas, dinding aorta menurun
2). Katup jantung menebal dan menjadi kaku
3). Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya.
4). Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh daerah perifer untuk osigenasi, perubahan posisi dari
tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bila menyebabkan tekanan darah
menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).
5). Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi
dari pembuluh darah perifer, sitolis normal ± 170 mmHg. Diastolis
B. Status Gizi Lansia
1. Kebutuhan zat gizi lansia
Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan
kehidupannya, karena didalam makanan terdapat zat-zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia
pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu
dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan
pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia. Kebutuhan
kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari
butuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk
malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk
jantung, usus, pernafasan dan ginjal (Erfansyah, 2012).
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu :
a. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah : 1)
Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung,
gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk gula seperti
gula, sirup, madu dll, 2). Bahan makanan yang mengandung lemak
seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya.
b. Kelompok zat pembangun Kelompok ini meliputi makanan – makanan
yang banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati,
c. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin
dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran (Erfansyah, 2012).
Konsumsi makanan merupakan jumlah makanan (tunggal atau
beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan
tertentu. Dalam aspek gizi tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk
memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto,
1989).
Setiap bahan makanan mempunyai susunan kimia yang berbeda-beds
dan mengandung zat gizi yang bervariasi pula baik jenis maupun
jumlahnya. Di antara beragam jenis bahan makanan yang tersedia di alam
ada yang kaya akan satu jenis zat gizi, ada pula yang lebih dari satu jenis
zat gizi, sebaliknya ada yang miskin akan zat gizi (Suhardjo & Kusharto,
1992). Oleh karena itu, konsumsi makanan harus beragam karena tidak
ada satu jenis makananpun yang mengandung komposisi gizi lengkap
(Wirakusumah, 2000).
Makanan yang ideal adalah yang cukup kalorinya untuk memenuhi
energi tubuh yang diperlukan untuk aktivitas. Karbohidrat yang harus
terpenuhi sebaiknya sekitar 55-60%, protein sekitar 20-25% dan lemak
sekitar 20% dari energi yang diperlukan (Wirakusumah, 2000).
Pola konsumsi makanan menentukan konsumsi zat-zat gizi.
Keragaman konsumsi makanan mempunyai pengaruh yang besar
bahwa pilihan yang luas dari kelompok pangan yang berbeda
menunjukkan jaminan perlindungan terhadap defisiensi zat-zat gizi
esensial (Roe, 1987).
Konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki
kecukupan akan zat-zat gizi dari hampir seluruh pangan dan menunjukkan
perlindungan terhadap serangan berbagai penyakit kronik yang
berhubungan dengan penuaan. Selain itu keragaman konsumsi makanan
yang dikombinasikan dengan tingkat aktivitas fisik yang sesuai jugs
akan membantu dalam mempertahankan masse otot dan fungsinya Berta
kebugaran di usia lanjut (Horwath, et al., 1999).
Ditinjau dari aspek gizi, pangan yang beraneka ragam umumnya
memiliki mutu yang lebih tinggi daripada mutu masing-masing pangan
yang menyusunnya. Hal ini dapat terjadi karena tedadinya saling mengisi
antara pangan yang dikonsumsi, dimana kekurangan zat gizi dalam
suatu pangan dapat ditutupi oleh kelebihan zat yang bersangkutan yang
terkandung dalam pangan lainnya (Suhardjo, 1998).
Selain itu, setiap jenis pangan memiliki citarasa, tekstur, bau / aroma
dan daya cerna yang berbeda-beda, sehingga masing-masing memberikan
kontribusi yang unik apabila keanekaragaman jenis.pangan diolah,
dihidangkan dan dikonsumsi. Namur demikian di dalam keanekaragaman
itu diperlukan keseimbangan komposisi di antara berbagai jenis pangan
tersebut sehingga mampu memberikan mutu yang baik dan memenuhi
2. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi buruk,
kurang, baik dan lebih. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila
tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien,
sehingga kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status
gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih
zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih bila tubuh memperoleh asupan gizi
dalam jumlah berlebihan (Almatsier, 2009).
Kelebihan gizi atau status gizi yang lebih dapat berdampak buruk
terhadap kesehatan seseorang seperti halnya dengan obesitas. Obesitas
merupakan suatu kondisi yang kronis dengan karakteristik kelebihan
lemak tubuh dan hal itu sekarang merupakan masalah medik yang
prevalensinya semakin meningkat setiap waktu (Virgianto dan
Purwaningsih, 2005). Obesitas adalah faktor risiko utama terjadinya
hipertensi, walaupun mekanisme terjadinya belum dapat dimengerti
sepenuhnya sampai saat ini. Mereka yang berat badan lebih 20 % dari
normal mengalami risiko 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka
yang normal (Hadju, 2003). Survei terhadap masyarakat menunjukkan
bahwa variasi tekanan darah berkaitan dengan berat badan mereka, yakni
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang menyebabkan obesitas,
yaitu :
a. Umur
Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
Setidaknya hingga umur 50 – 60 tahun pada laki-laki dan perempuan.
Meskipun dapat terjadi pada semua umur, obesitas sering dianggap
sebagai kelainan yang dimulai pada umur pertengahan (Misnadiarly,
2007).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas. Perempuan
pada umumnya memiliki prevalensi obesitas yang lebih tinggi
dibanding laki-laki, terlebih pada usia ≥ 50 tahun. Obesitas lebih
umum dijumpai pada perempuan terutama setelah kehamilan dan pada
saat menopause. Obesitas pada perempuan juga disebabkan karena
pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini muncul pada saat adanya
perubahan hormonal (Misnadiarly, 2007).
c. Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar. Bila
kedua orang tua obesitas dengan persentase sebesar 80 % maka
anaknya mempunyai peluang besar untuk menjadi obesitas; bila salah
satu orang tua obesitas, maka kejadian obesitas menjadi 40 % dan bila
kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi obesitas menjadi 14%
d. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti sosial dan ekonomi yang meliputi
pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup, pola makan, serta
peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi, dapat berpengaruh terhadap obesitas
(Rahmawati, 2002).
3. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Menurut laporan Food and Agriculture Organization
(FAO)/WHO/United Nations University (UNU) tahun 1985 menyatakan
bahwa batasan berat badan orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai
Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Index
diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh
merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Cara menghitung IMT menggunakan rumus berikut ini : (Supariasa dkk,
2002).
Berat Badan (Kg) IMT =
(Tinggi Badan (m))2
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antopometri atau ukuran
tubuh, yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi
penurunan tinggi badan karena kompresi vertebra, kifosis, dan
osteoporosis. Pengukuran tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan
maka dapat digantikan dengan pengukuran tinggi lutut (menggunakan
kaliper tinggi lutut) atau pengukuran rentang lengan (arm span) (Sari,
2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan
mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan
kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson, 2005).
Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) untuk digunakan
sebagai prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih (lansia). Tinggi lutut diukur dengan sebuah kaliper berupa
tongkat pengukur yang dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk
sudut 90 derajat.
Tinggi lutut tidak akan berkurang, kecuali jika terdapat fraktur
tungkai bawah. Oleh sebab itu dianjurkan menggunakan ukuran tinggi
lutut untuk menentukan secara pasti tinggi badan lansia. Dari lutut kita
dapat menentukan tinggi badan sebenarnya. Untuk mendapatkan data
tinggi badan dari berat badan dapat menggunakan formula atau nomogram
bagi orang yang berusia lebih dari 59 tahun. Untuk mendapatkan data
tinggi badan dari berat badan dapat menggunakan formula berikut ini :
(Nugroho, 2008).
Pria = (2,02 x tinggi lutut(cm)) – (0,04 x umur (tahun)) + 64,19
Wanita = (1,83 x tinggi lutut (cm)) – (0,24 x umur (tahun)) + 84,88
Kategori indeks massa tubuh (IMT) diambil dari Depkes RI tahun
Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Indeks Massa Tubuh Menurut Depkes RI Tahun 2003
Kategori Laki-laki Perempuan
Kurus < 17 kg/m < 18 kg/m
Normal 17 – 23 kg/m 18 - 25 kg/m
Kegemukan 23 – 27 kg/m 25 - 27 kg/m
Obesitas > 27 kg/m > 27 kg/m
C. Hipertensi Lansia
1. Pengertian
Hipertensi atau penyakit “darah tinggi” merupakan kondisi seseorang
mengalami kenaikan tekanan darah baik secara lambat atau mendadak
(akut). Hipertensi menetap (tekanan darah tinggi yang tidak menurun)
merupakan factor risiko terjadinya stroke, penyakit jantung koroner (PJK),
gagal jantung, gagal ginjal, dan aneurisma arteri (penyakit pembuluh
darah). Meskipun peningkatan tekanan darah relative kecil, hal tersebut
dapat menurunkan angka harapan hidup (Agoes, dkk, 2011).
Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan
darah sistolik/diastoliknya ≥ 140/90 mmHg pada semua usia lebih dari 18
tahun. Kriteria tersebut berlaku juga untuk lansia (Kirkendal, 1980 dalam
Mukhtar, dkk, 2001). Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung
memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut).
Diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang dan
Berikut ini merupakan klasifikasi tekanan darah menurut Agoes, dkk
(2011) :
Tabel 2.2 Kategori Hipertensi dan tekanan darah pada orang dewasa
Kategori Sistolik (angka tertinggi
dalam mmHg)
Diastolik (angka
terbawah dalam mmHg)
Normal < 120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi: Derajat I 140-159 atau 90-99
Derajat II ≥160 atau ≥100
2. Gejala dan Penyebab
Penyakit hipertensi biasanya tidak memperlihatkan gejala, meskipun
beberapa pasien melaporkan pusing, muka merah, sakit kepala, lesu,
pandangan kabur, muka terasa panas atau teling mendenging. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu
(Agoes, dkk, 2011) :
a. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab dari hipertensi esensial disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain seperti, bertambahnya umur, stres, asupan gizi yang tidak
seimbang dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90 % penderita
hipertensi tergolong hipertensi primer sedangkan 10 % nya tergolong
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui antara lain obat-obatan, gangguan ginjal, endokrin, berbagai
penyakit neurologik, dan lain-lain (Martono dan Pranaka, 2010).
Menurut Martono dan Pranaka (2010), patogenesis terjadinya
hipertensi usia lanjut sedikit berbeda dengan yang terjadi pada dewasa
muda. Faktor yang berperan pada usia lanjut terutama adalah:
1. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat
proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi
yang berlangsung terus menerus.
2. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Makin lanjutnya
usia makin sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar
natrium.
3. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua
akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada
akhirnya akan mengakibatkan hipertensi sistolik saja (ISH).
3. Pencegahan dan Pengobatan
Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan
aktivitas fisik yang cukup. Hindari kebiasaan lainnya seperti merokok dan
mengkonsumsi alkohol yang diduga berpengaruh dalam meningkatkan
risiko hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti.
Perubahan gaya hidup, olah raga dan mempertahankan berat badan yang
akan sumber vitamin bisa membantu mengendalikan tekanan darah tinggi
(Yash, 2008).
Selain pengaturan pola aktivitas, maka pengaturan asupan kalori juga
harus seimbang, dan juga harus dibatasi pola konsumsi makanan yang
mengandung banyak lemak dan kolesterol dan asupan garam (NaCl).
Untuk itu diperlukan diet seimbang untuk penyakit hipertensi, yaitu
dengan mengkonsumsi makanan secara seimbang antara karbohidrat,
protein, lemak, dan garam (Depkes, 2008).
Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan hipertensi,
karena olah raga isotonik (seperti bersepeda, jogging, aerobik) yang teratur
dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan
darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi / mencegah
obesitas dan mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang
berkeringat akan mengeluarkan garam lewat kulit). Pengobatan hipertensi
secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis yaitu (Bangun, 2002):
c. Pengobatan non obat (non farmakologis)
Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol
tekanan darah sehingga pengobatan farmakologos menjadi tidak
diperlukan atau sekurang-kurangnya ditunda, sedangkan pada keadaan
dimana obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis
dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan
1). Diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh
2). Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh.
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan
kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara
drastis akan sulit dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya
tidak dipakai sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih baik
digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan farmakologis.
3).Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hypnosis
dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan
tekanan darah.
4). Melakukan olah raga seperti senam aerobik atau jalan cepat
selama 30 – 45 menit sebanyak 3 – 4 kali seminggu.
5).Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol.
d. Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan
Pengobatan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan
obat-obatan (farmakologis). Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang
beredar saat ini. Untuk pemilihan obat yang tepat diharapkan
menghubungi dokter. Berikut ini merupakan beberapa jenis
obat-obatan antihipertensi yang dapat digunakan dalam pengobat-obatan
hipertensi yaitu :
1). Diuretik
3). Betabloker
4). Vasodilator
5). Penghambat enzim konvensi Angiotensin
6). Antagonis kalsium
7). Penghambat Reseptor Angiotensin II
e. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori (Berdasarkan teori Martono dan Pranaka, 2010; Ritchie, 2000; Hadju, 2003; Misnadiarly, 2007; Almatsier, 2009; Bangun,
2002)
Hipertensi Asupan gizi
Status gizi (IMT)
Obesitas
Kegemukan
Normal
Kurus
Faktor-faktor lain: a. Genetik b. Usia c. Setres
Karakteristik lansia :
Umur
f. Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
g. Hipotesis
Ada hubungan status gizi dengan kejadian hipertensi pada lansia di Desa
Randudongkal Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang. Status gizi
Lansia