PENDAHULUAN
Latar BelakangKondisi suatu daerah secara umum berkaitan dengan kondisi di daerah lain, terutama daerah yang berdekatan. Pola seperti ini dikenal dengan hubungan spasial. Besaran autokorelasi spasial dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan spasial. Untuk mengukur nilai autokorelasi spasial dapat digunakan berbagai metode seperti Indeks Moran, Geary’s Ratio
maupun menggunakan Chi-Square Statistic.
Indeks Moran merupakan salah satu indikator tertua dari autokorelasi spasial dan statistik yang membandingkan nilai pengamatan di suatu daerah dengan nilai pengamatan di daerah lainnya (Lembo 2006a). Geary’s Ratio adalah pembandingan
antara dua nilai daerah yang berdekatan secara langsung. Dua nilai daerah yang berdekatan ( dan ) dibandingkan dengan yang lainnya secara langsung (Lee dan Wong 2001).
i
X Xj
Menurut Lembo (2006b) Chi-Square
statistik adalah pengukuran kekuatan dari penggabungan antara dua distribusi. Sedangkan menurut Fingleton (1983, 1986) dalam Rogerson (2005) ketika kategori-kategori dalam uji Chi-Square (khi kuadrat)
merupakan daerah-daerah yang tersusun secara geografi, maka frekuensi dalam pengamatan pada masing-masing daerah tidak saling bebas. Untuk melihat ketidakbebasan antara daerah tersebut dapat digunakan pendekatan Chi-Square Test. Chi-Square Test adalah uji yang fokus pada
masing-masing daerah pengamatan tapi mengabaikan pola penyebaran datanya.
Dalam penelitian ini penggunaan ketiga metode tersebut akan diterapkan dalam kasus penderita DBD (Demam Berdarah
Dengue) di Kota Bogor. Dimana tingkat
keterjangkitan penyakit DBD di suatu daerah diperkirakan dipengaruhi oleh keterjangkitan penyakit DBD di daerah sekitarnya.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola penyebaran spasial Demam Berdarah Dengue (DBD) di
wilayah Kota Bogor dengan menggunakan statistik pengukuran Indeks Moran, Geary’s Ratio dan Chi-Square Test.
TINJAUAN PUSTAKA
Demam Berdarah Dengue (DBD)Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) atau lebih dikenal dengan
DBD, merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk Aides aegipty dan Aides albopictus
betina (Anonim 2005).
Virus dengue penyebab DBD termasuk
family Flaviviridae, yang berukuran kecil sekali
yaitu 35-45 nm. Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah. Penularan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu melalui
gigitan nyamuk Aides aegipty (Judarwanto
2006).
Gejala yang terjadi dari penyakit ini yaitu berupa demam tinggi (38-40 derajat celcius) yang berlangsung sampai 2 atau 7 hari, sakit kepala, rasa sakit pada otot, bintik-bintik merah pada kulit, pendarahan pada hidung dan gusi, mudah timbul memar pada kulit, shock yang
ditandai oleh rasa sakit pada perut, muntah, dan rasa dingin yang tinggi terkadang disertai pendarahan dalam (Anonim 2005).
Autokorelasi Spasial
Menurut Lembo (2006a) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang. Atau bisa juga diartikan autokorelasi spasial adalah suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga).
Pola spasial dapat digambarkan menjadi tiga bagian yaitu clustured (gerombol), dispersed
(seperti papan catur), dan random (acak).
Autokorelasi spasial bernilai positif jika di dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang mirip. Jika digambarkan akan terbentuk penggerombolan, seperti terlihat pada Gambar 1(a), yang mana untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan
Queen’s Moves. Dan autokorelasi spasial akan
bernilai negatif jika dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang berbeda atau tidak mirip. Jika digambarkan akan membentuk pola seperti papan catur,
seperti terlihat pada Gambar 1(b), yang mana untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan Rook’s Moves. Sedangkan jika
terdapatnya bentuk yang acak seperti Gambar 1(c) menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial. Dan untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan Queen’s Moves.
1 0 10 10 10 10 10 0 10 0 10 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 10 10 10 10 10 0 10 0 10 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 10 0 10 0 10
Gambar 1(a) Gambar 1(b) Autokorelasi positif Autokorelasi negatif
I = 0.61 I = -1 (Queen’s Moves) (Rook’s Moves)
10 10 10 10 10 10 0 0 10 0 0 10 10 0 0 0 0 0 0 10 10 0 0 0 0
Gambar 1(c) Tidak ada autokorelasi I = 0.02
(Queen’s Moves)
Menurut Silk (1979) untuk menentukan bagaimana hubungan spasial (kedekatan) antara daerah pengamatan, dapat menggunakan berbagai metode dasar seperti: 1. Queen’s Moves
Definisi kedekatannya didasarkan pada langkah ratu pada pion catur. Daerah yang berhimpit kearah kanan, kiri, atas, bawah dan diagonal didefinisikan sebagai daerah yang saling berdekatan. Jadi suatu daerah dikatakan dekat satu sama lain jika ada daerah yang saling berbatasan langsung. 2. Rook’s Moves
Hubungan spasial antar daerah pengamatan dapat ditentukan kearah kanan, kiri, atas dan bawah. Sedangkan arah diagonal tidak dapat ditentukan. 3. Bishop’s Moves
Hubungan spasial antar daerah pengamatan hanya dapat ditentukan dalam arah diagonal saja.
Matriks Contiguity
Lee dan Wong (2001) mendefinisikan matriks contiguity adalah matriks yang
menggambarkan hubungan antara daerah atau matriks yang menggambarkan hubungan kedekatan antar daerah. Jika daerah i saling
berdekatan atau berbatasan langsung dengan daerah j, maka unsur (i,j) diberi nilai 1. Tapi
jika daerah i tidak saling berdekatan dengan
daerah j, maka unsur (i,j) diberi nilai 0.
Sehingga matriks ini disebut juga dengan
binary matrix.
Lee dan Wong (2001) juga menyebut binary matrix atau matriks contiguity ini sebagai connectivity matrix, yang dinotasikan dengan C,
dan cij merupakan nilai dalam matriks baris ke-i
dan kolom ke-j.
Matriks C mempunyai beberapa
karakteristik yang menarik. Pertama, semua elemen diagonalnya cij adalah 0, karena
diasumsikan bahwa suatu unit daerah tidak berdekatan dengan dirinya sendiri. Kedua, matriks C adalah matriks simetriks dimana cij =
cji. Kesimetrikan yang dimiliki oleh matriks C
pada dasarnya menggambarkan hubungan timbal balik dari hubungan spasial. Ketiga, baris dalam matriks C menunjukkan bagaimana
suatu daerah berhubungan spasial dengan daerah lain. Oleh karena itu jumlah nilai pada suatu baris ke-i merupakan jumlah tetangga
yang dimiliki oleh daerah ke-i.
Notasi penjumlahan baris adalah: . i c =
∑
= n j ij c 1 dengan:ci. = Total nilai baris ke-i
cij = Nilai pada baris ke-i kolom ke-j Matriks Pembobot Spasial
Jika ada n unit daerah dalam pengamatan,
maka dapat digunakan matriks pembobot spasial yang berukuran n x n untuk menentukan
hubungan kedekatan antar unit daerah. Setiap unit daerah digambarkan sebagai baris dan kolom. Setiap nilai dalam matriks menjelaskan hubungan spasial antara ciri-ciri geografi dengan baris dan kolom. Nilai 1 dan 0 digunakan sebagai matriks untuk menggambarkan kedekatan antara daerah (Lee dan Wong 2001).
Matriks pembobot spasial disebut juga dengan Row Standardized Matrix yang
dinotasikan dengan W, wij merupakan nilai
dalam matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j.
diberikan daerah ke-j untuk daerah ke-i.
Sehingga matriks pembobot spasial dapat dikatakan sebagai matriks yang menggambarkan kekuatan interaksi antar lokasi.
Untuk dapat melihat seberapa besar pengaruh masing-masing tetangga terhadap suatu daerah dapat dihitung dari rasio antara nilai pada daerah tertentu dengan total nilai daerah tetangganya. Dan akan menghasilkan nilai pembobot (wij) untuk setiap lokasi yang
bertetangga: . i ij ij c c w = Indeks Moran
Indeks Moran adalah salah satu statistik umum yang digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial dan merupakan ukuran dari korelasi atau hubungan antara pengamatan yang saling berdekatan. Indeks Moran merupakan salah satu indikator tertua dari autokorelasi spasial dan statistik yang membandingkan nilai pengamatan di suatu daerah dengan nilai pengamatan di daerah lainnya (Lembo 2006a).
Menurut Lee dan Wong (2001) Indeks Moran dapat diukur dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
∑
∑ ∑
= = = − − − = n i i n i n j j i ij X X C X X X X c n I 1 2 1 1 ) ( ) )( ( dengan:n = Banyaknya pengamatan (daerah) i
X = Nilai pengamatan pada lokasi ke-i j
X = Nilai pengamatan pada lokasi ke-j
X = Nilai rata-rata dari {Xi} dari n lokasi
ij
c = Elemen matriks contiguity antara
lokasi ke-i dan lokasi ke-j
∑ ∑
= = = n i n j ij c C 1 1Nilai Indeks Moran sama dengan koefisien korelasi berkisar diantara -1 dan +1. Ketika nilai Indeks Moran mendekati +1 maupun -1, maka autokorelasinya tinggi. Jika nilai Indeks Moran 0 < I ≤ 1,
mengindikasikan autokorelasi spasial positif. Dan jika didapatkan nilai Indeks Moran -1 ≤I
<0, maka mengindikasikan autokorelasi spasial negatif. Sedangkan jika didapatkan
nilai Indeks Moran 0, maka mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial.
Untuk dapat mengatakan ada atau tidak adanya autokorelasi, perlu dibandingkan nilai statistik Indeks Moran dengan nilai harapannya. Nilai harapan dari statistik Indeks Moran dirumuskan sebagai berikut:
) 1 ( 1 ) ( − − = n I E
Hipotesis uji satu arah dari autokorelasi spasial adalah:
H0 : I = 0 (Tidak ada autokorelasi spasial).
Sedangkan bentuk hipotesis alternatifnya (H1) ada dua macam yaitu:
1. H1 : I > 0 (Terdapat autokorelasi spasial
positif).
2. H1 : I < 0 (Terdapat autokorelasi spasial
negatif).
Menurut Lee dan Wong (2001) statistik uji dari Indeks Moran diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka
akan menyebar normal baku, dengan adalah: ) (I Z ) (I Z ) ( ) ( ) ( I VAR I E I I Z = − dengan: I = Indeks Moran ) (I
Z = Nilai statistik uji Indeks Moran
) (I
E = Nilai harapan dari Indeks Moran
) (I
VAR = Ragam dari Indeks Moran
Dengan kriteria pengambilan keputusan tolak H0 jika nilai Z(I) >Z(α). Sehingga dapat
disimpulkan terdapat autokorelasi spasial. Ragam dari I didefinisikan sebagai berikut:
) 1 ( ) ( ) ( 3 ) ( 2 2 2 2 1 2 − + − = n C C nS S n I VAR dengan:
∑ ∑
= = = n i n j ij c C 1 1 2 ) ( 1 1 2 1∑ ∑
= = + = n i n j ji ij c c S∑
= + = n i i i c c S 1 2 . . 2 ( ) keterangan:cij = Elemen matriks contiguity
ci. = Total nilai baris ke-i matriks contiguity c.i = Total nilai kolom ke-i matriks contiguity
Geary’s Ratio
Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Geary’s Ratio adalah pembandingan
antara dua nilai daerah yang berdekatan secara langsung. Dua nilai daerah yang berdekatan ( dan ) dibandingkan dengan yang lainnya secara langsung.
i
X Xj
Geary’s Ratio dapat diukur dengan
menggunakan persamaan:
∑
∑ ∑
= = = − − − = n i i n i n j j i ij X X C X X c n G 1 2 1 1 2 ) ( 2 ) ( ) 1 ( dengan:n = Banyaknya pengamatan (daerah) i
X = Nilai pengamatan pada lokasi ke-i j
X = Nilai pengamatan pada lokasi ke-j
X = Nilai rata-rata dari {Xi} dari n lokasi
ij
c = Elemen matriks contiguity antara
lokasi ke-i dan lokasi ke-j
∑ ∑
= = = n i n j ij c C 1 1Geary’s Ratio mempunyai nilai antara 0,
1 dan 2. Jika nilai Geary’s Ratio 0 < G < 1,
mengindikasikan autokorelasi spasial positif. Dan jika nilai Geary’s Ratio 1 < G < 2, maka
mengindikasikan autokorelasi spasial negatif. Sedangkan jika didapatkan nilai
Geary’s Ratio 1, maka mengindikasikan
tidak adanya autokorelasi spasial.
Nilai harapan dari Geary’s Ratio tidak
dipengaruhi oleh n ukuran contoh tapi nilai
harapannya selalu 1.
Hipotesis uji satu arah dari autokorelasi spasial adalah:
H0 : G = 1 (Tidak ada autokorelasi
spasial).
Sedangkan bentuk hipotesis alternatifnya (H1) ada dua macam yaitu:
1. H1 : G < 1 (Terdapat autokorelasi
spasial positif).
2. H1 : G >1 (Terdapat autokorelasi spasial
negatif).
Menurut Lee dan Wong (2001) statistik uji dari Geary’s Ratio diturunkan dalam
bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam
diketahui maka akan menyebar normal baku, dengan adalah:
) (G Z ) (G Z ) ( 1 ) ( G VAR G G Z = − dengan: G = Geary’s Ratio ) (G
Z = Nilai statistik uji Geary’s Ratio )
(G
E = Nilai harapan dari Geary’s Ratio )
(G
VAR = Ragam dari Geary’s Ratio
Dengan kriteria pengambilan keputusan tolak H0 jika nilai Z(G) >Z(α). Sehingga
dapat disimpulkan terdapat autokorelasi spasial. Sedangkan pendugaan ragam untuk Geary’s Ratio dengan asumsi normal adalah:
2 2 2 1 ) 1 ( 2 4 ) 1 )( 2 ( ) ( C n C n S S G VAR + − − + = dengan :
∑ ∑
= = = n i n j ij c C 1 1 2 ) ( 1 1 2 1∑ ∑
= = + = n i n j ji ij c c S∑
= + = n i i i c c S 1 2 . . 2 ( ) keterangan:cij = Elemen matriks contiguity
ci. = Total nilai baris ke-i matriks contiguity c.i = Total nilai kolom ke-i matriks contiguity
Chi-Square Statistic
Menurut Lembo (2006b) Chi-Square
statistik adalah pengukuran kekuatan dari penggabungan antara dua distribusi. Sedangkan menurut Fingleton (1983, 1986) dalam Rogerson (2005) ketika kategori-kategori dalam uji Chi-Square (khi kuadrat) merupakan
daerah-daerah yang tersusun secara geografi, maka frekuensi dalam pengamatan pada masing-masing daerah tidak saling bebas. Untuk melihat ketidakbebasan antara daerah tersebut dapat digunakan pendekatan Chi-Square Test. Chi-Square Test adalah uji yang fokus pada
masing-masing daerah pengamatan tapi mengabaikan pola penyebaran datanya.
Rogerson (1998, 1999) dalam Rogerson (2005) memperkenalkan statistik khi-kuadrat spasial (R) yang digunakan untuk menguji
hipotesis nol dari m frekuensi pengamatan
daerah, Ni, i = 1, 2, ..., m, yang dapat terjadi
seperti kondisi hipotesis nol berikut: H0 : E[Ni] = λξi, i = 1, 2, ..., m
E[Ni] = Nilai harapan dari
masing-masing daerah
λ = Tingkat suatu permasalahan dari populasi.
ξ = λ N
ξi = Jumlah populasi pada
masing-masing daerah
Statistik uji yang digunakan adalah:
R1 = (r-p)’ W (r-p)
dengan:
r = Vektor proporsi dari nilai
pengamatan terhadap total (Ni/N)
yang berukuran m x l
p = Vektor proporsi dari populasi
masing-masing daerah terhadap populasi total (ξi/ξ) yang berukuran
m x l. Dimana m ξ + + ξ + ξ + ξ = ξ 1 2 3 L
W = Matriks berukuran m x m yang
terdiri dari element wij
wij didefinisikan sebagai: j i ij ij p p c w = dengan:
cij adalah elemen matriks contiguity, yaitu
besaran untuk mengukur hubungan antara daerah ke-i dan daerah ke-j.
Nilai statistik R1 yang besar
mengindikasikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai autokorelasi yang besar.
Moran’s Scatterplot
Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah satu
cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s Scatterplot
merupakan alat untuk melihat hubungan antara (nilai pengamatan yang sudah distandarisasi) dengan (nilai rata-rata lokal yang dihitung dari matriks pembobot spasial). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2. std Z std WZ Zstd WZ st d 0 0 LL LH HH HL Gambar 2 Plot antara Zstd dengan WZstd.
Perobelli dan Haddad (2003) menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot terbagi atas 4
kuadran. Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah
yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan
daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah
dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah
dengan nilai pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah.
Moran’s Scatterplot yang banyak
menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif. Sedangkan
Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan
pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif.
Untuk memperjelas hasil analisis, maka posisi masing-masing pengamatan pada
Moran’s Scatterplot dapat dipetakan pada
masing-masing letak geografis daerah dalam suatu peta tematik.
Peta Tematik
Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa peta tematik adalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan informasi tertentu, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus.
Selain itu peta tematik merupakan peta yang memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) karena pada umumnya output dari proyek SIG adalah berupa peta tematik. Baik yang berbentuk digital maupun masih berbentuk peta kertas.
Ada banyak cara dalam menampilkan tema yang digambarkan melalui peta tematik, antara lain dengan warna, tekstur, pie chart ataupun bar chart. Salah satu contoh dari peta tematik
adalah peta jenis tanah dan peta kesesuaian lahan.