Pemantauan Tahun Kedua
Pelaksanaan UU Ormas
Juli 2014 – Juli 2015
Fransisca Fitri
Pengantar (1)
• UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU
Ormas) disahkan pada 2 Juli 2013.
• Keberadaan UU No 17 Tahun 2013 mengganBkan UU Ormas yang
lama yaitu UU No 8 Tahun 1985.
• UU No 8 Tahun 1985 dibuat oleh Orde Baru untuk mengontrol
masyarakat melalui wadah dan asas tunggal bagi berbagai bentuk dan jenis organisasi (pada 1987, Pemuda Islam Indonesia/PII
dibubarkan oleh Menteri Dalam Negeri Suparjo Rustam karena menolak pengaturan tersebut).
• DPR dan Pemerintah mengganB UU No 8 Tahun 1985 dengan UU
No 17 Tahun 2013 untuk mengatasi terorisme, pencucian uang, Bndak kekerasan serta mendorong transparansi dan akuntabilitas Ormas.
Pengantar (2)
• Menurut UU Ormas à semua bentuk organisasi adalah Ormas, mulai dari yang
berbadan hukum (seperB yayasan dan perkumpulan) hingga yang Bdak berbadan hukum.
• UU Ormas mengatur organisasi yang bergerak nyaris di seluruh bidang, mulai
dari keagamaan hingga seni. ArBnya secara praktek, lembaga pengelola pesantren, amil zakat, panB asuhan, rumah sakit, sekolah, organisasi
kepemudaan, komunitas pecinta seni dan film, asosiasi atau perkumpulan
keilmuan, profesi, hobi, organisasi sosial/filantropi hingga paguyuban keluarga akan diatur oleh UU Ormas.
• UU Ormas mengecualikan organisasi sayap partai poliBk.
• Konsep Ormas adalah konsep poliBk, bukan hukum. Dengan kata lain, Ormas
bukanlah badan hukum, melainkan hanya status terdaVar yang diciptakan rezim Orde Baru berwujud Surat Keterangan TerdaVar (SKT) yang dikeluarkan oleh Dirjen Kesbangpol Kemendagri.
• Ormas, LSM, Ornop/NGO, dll sesungguhnya adalah isBlah-‐isBlah praktek
sehingga pemaknaan maupun perspekBf terhadap masing-‐masing isBlah sangat bergantung pandangan para pihak kepada organisasi yang bersangkutan.
Pengujian UU Ormas di MK
•
Satu bulan setelah pengesahan, PP Muhammadiyah
mengajukan permohonan pengujian UU Ormas dengan tujuan
pembatalan UU atau seBdaknya 21 pasal digugat untuk
dibatalkan.
•
Pada Desember 2013, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)
mengajukan pula 11 pasal untuk diuji oleh MK.
•
Satu tahun kemudian (23 Desember 2014), MK memberikan
putusan atas dua permohonan tersebut. Konsekuensi pokok
dari putusan MK adalah:
–
Tidak ada lagi ruang lingkup bagi ormas.
–
PendaVaran bersifat sukarela dan ormas yang Bdak
Pasal-‐Pasal yang Dibatalkan MK
(Pembacaan Putusan MK pada 23 Desember 2014)
•
PP Muhammadiyah
[Nomor 82/PUU-‐XI/2013]: 9 dari 21 Pasal
•
Koalisi Kebebasan Berserikat
[Nomor 3/PUU-‐XII/2014]: 1 dari 9 Pasal
TERKAIT RUANG LINGKUP:
Tidak lagi dikenal idenJtas Ormas berdasarkan wilayah kerja maupun lingkup (nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota).
TERKAIT PENDAFTARAN:
1. Pemerintah Jdak dapat memaksa
atau mewajibkan Ormas yang Jdak berbadan hukum untuk
mendaOarkan diri (memiliki Surat Keterangan TerdaOar/SKT)
berdasarkan wilayah kerja maupun lingkup nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
Pasal 8, Pasal 16 ayat
(3), Pasal 17, Pasal
18, Pasal 23, Pasal
24, Pasal 25 [lingkup,
otoritas dan
pemberian SKT]
–
bertentangan
dengan UUD 1945/
Bdak mengikat
secara hukum.
PASAL-‐PASAL YANG DIBATALKAN KONSEKUENSI PEMBATALAN PASAL2. Ormas yang Bdak berbadan hukum
dapat mendaVarkan diri, tapi Bdak dilarang jika Bdak mendaVarkan diri. 3. Jika suatu Ormas ingin mendaVarkan
diri, dapat dilakukan sesuai domisili atau wilayah kerja.
4. KeBka suatu Ormas yang Bdak
berbadan hukum memilih untuk Jdak mendaOarkan diri, Pemerintah harus tetap mengakui dan melindungi
keberadaannya sebagai Ormas yang
dapat melakukan kegiatan di lingkup daerah maupun nasional.
5. Ormas Bdak dibatasi wilayah kerjanya
berdasarkan pada tempat pendaVaran.
KONSEKUENSI PEMBATALAN PASAL
Pasal 8, Pasal 16
ayat (3), Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25
[lingkup, otoritas
dan pemberian
SKT]
–
bertentangan
dengan UUD 1945/
Bdak mengikat
secara hukum
PASAL-‐PASAL YANG DIBATALKANTERKAIT TUJUAN
:
1.
Ormas dapat
memiliki seluruh
tujuan; dan
2.
Ormas dapat hanya
memiliki satu atau
lebih dari delapan
tujuan seperB pada
Pasal 5 huruf a s/d
huruf h.
• Pasal 5 [tujuan Ormas] – MK
menambahkan kata ‘atau’ pada Pasal 5 huruf g.
• Pasal 29 ayat (1) [pemilihan
secara musyawarah
mufakat] – inkonsBtusional bersyarat.
• Pasal 34 ayat (1) [hak dan
kewajiban anggota Ormas] – bertentangan dengan UUD 1945/Bdak mengikat secara hukum.
• Pasal 59 ayat (1) huruf a
[larangan] – bertentangan dengan UUD 1945/Bdak mengikat secara hukum.
PASAL-‐PASAL YANG
DIKABULKAN
KONSEKUENSI PEMBATALAN PASAL
Pasal 40 ayat (1)
[pemberdayaan Ormas] – bertentangan dengan UUD 1945/Bdak mengikat secara hukum.
PASAL-‐PASAL YANG DIBATALKAN
TERKAIT
PEMBERDAYAAN
: Bdak
boleh ada pengabaian,
pembatasan maupun
diskriminasi dalam
memberikan pelayanan
kepada Ormas sekalipun
Ormas tersebut Bdak
mendaVarkan diri/
memiliki SKT
TERKAIT
Pasal 16 ayat (3)
bertentangan dengan UUD 1945/Bdak mengikat secara hukum PASAL-‐PASAL YANG DIBATALKAN
TERKAIT SANKSI
:
Sanksi berupa
pencabutan SKT sudah
Bdak relevan karena
keberadaan SKT
sendiri Bdak bersifat
wajib. Kemungkinan
hanya diberlakukan
bagi Ormas yang
mendaVarkan diri.
TERKAIT
Peristiwa dan Tindakan
•
Sepanjang Juli 2014- Agustus 2015, ditemukan
10
kebijakan terkait UU Ormas
yang diterbitkan
oleh pemerintah pusat dan daerah;
•
Terdapat
35 peristiwa
dan
39 tindakan
yang
dikategorikan bertentangan dengan prinsip
kebebasan berkumpul dan berserikat
Jumlah Kebijakan terkait UU Ormas
2 kebijakan
nasional
2 kebijakan
(Prov
DKI Jakarta,
Sulawesi Selatan)
6 kebijakan
(Kab Banggai,
Bulukumba, Gorontalo, Aceh
Utara, Tanah Datar, Kapuas)
CONTOH
• Beberapa bulan usai putusan MK, Mendagri merilisi Surat
Edaran Nomor 220/0109/Kesbangpol tentang Penjelasan Putusan MK terhadap Undang-‐Undang 17 Tahun 2013. Isinya memuat dan menekankan hasil-‐hasil putusan MK.
Tafsir atas frase ini berpotensi menimbulkan keBdakpasBan hukum. Bisa juga diterjemahkan di Bngkat lokal menjadi
secara luas dan justru bertentangan dengan UU Ormas serta mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
• Pemerintah Gorontalo menafsirkannya pelayanan
pemerintah dengan membuat kebijakan Bdak akan
melayani permohonan bantuan dalam bentuk apapun, memberikan keterangan atau wawancara, atau Bdak menghadiri undangan kegiatan dari ormas yang Bdak
terdaVar. Kebijakan ini ditetapkan lewat SE BupaB No. 200/ BKBPL/182/IV/2015 Tentang Keberadaan Ormas/LSM.
Periode Peristiwa
1 1 2 0 6 6 1 3 2 3 6 3 0 1B
en
tu
k
T
in
d
ak
an
17 1 4 2 6 3 6 Kewajiban mendaftar Kriminalisasi Pelarangan aktivitas Pelarangan organisasi Pembatasan akses Pembatasan aktivitas Stigmatisasi OMSDi Mana Peristiwa Terjadi?
Bali , 1 Banten, 2 Gorontalo, 2 Bengkulu, 1 Jakarta, 2 Jambi, 1 Jawa Barat, 3 Jawa Tengah, 3 Jawa Timur, 4 Kalimantan Tengah, 1 Kalimantan Utara, 1 Lampung, 1 NTT, 1 Papua, 2 Riau, 4 Sulawesi Barat, 1 Sulawesi Tenggara, 1Sulawesi Utara, 2 Sumatera Utara, 2
Siapa Pelakunya?
1 1 14 8 2 1 1 2 2 1 1 1 Anggota DPR RI Bakesbangpol Kemendagri Bakesbangpol kota/kabupaten Bakesbangpol provinsi Kepala daerah Kepolisian daerah Pejabat POLRI Pemerintah kota/kabupaten Pemerintah provinsi Pimpinan OMS Satpol PP Wakil kepala daerahKorban & Potensial Korban
20 anggota KNPB OMS di Jember OMS tidak terdaftar di Bolmong
OMS asing OMS di Banten OMS tidak terdaftar di Provinsi Lampung
Komunitas yang terafiliasi dengan
ISIS OMS di Kabupaten Bogor OMS di Kabupaten Ponorogo
OMS di Riau PAMI Sulut OMS di Papua
OMS di Provinsi Jambi Gafatar Bali OMS tidak ber-SKT di Kapuas
FPI OMS Kabupaten Pati OMS tidak mendaftar di Kota Kendari
OMS di Kota Sibolga Gafatar Bone OMS tidak terdaftar di Gorontalo
OMS di Sulbar OMS di Kalimantan Utara OMS tidak terdaftar di Bolmong
OMS di Kabupaten Sukabumi Gafatar Kepahiang OMS tidak terdaftar di Provinsi Lampung
OMS di Kota Malang Ormas tidak terdaftar OMS di Kabupaten Ponorogo
OMS di Kota Bogor OMS di Kabupaten Lamongan OMS di Papua
OMS tidak terdftar di Indonesia OMS di Pelalawan OMS tidak ber-SKT di Kapuas
Gafatar OMS di Papau Barat
Kesimpulan
1. Putusan MK terkait frase “Bdak mendapat pelayanan” masih
menyisakan bahkan menimbulkan persoalan baru. Frase ini memberi peluang ditafsirkan lebih jauh oleh pemerintah dan pemerintah daerah. seperB yang dilakukan pemerintah
Gorontalo. Pemerintah bisa menafsirkan lebih jauh di luar
lingkup yang pelayanan sudah ditegaskan MK, yaitu menjalankan suatu kegiatan dengan menggunakan anggaran negara dan
dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah terhadap ormas.
2. Adanya kebijakan terkait UU Ormas yang diterbitkan pemerintah
dan pemerintah daerah pasca uji materi MK masih menunjukkan sejumlah penyimpangan. Misalnya penafsiran lebih jauh oleh pemerintah daerah terkait frase “Bdak mendapat pelayanan”. Sebagian kasus juga memperlihatkan kebijakan bahkan
bertentangan dengan putusan MK sendiri. Misalnya masih sering menyebut ormas ilegal.
3. Kewajiban mendaVar merupakan Bndakan terbanyak
yang berseberangan dengan prinsip kebebasan berserikat. Tindakan terbanyak kedua adalah sBgmaBsasi OMS dan pembatasan akses. Ini menunjukkan dua Bndakan ini
dampak langsung dari kewajiban pendaVaran. UU Ormas ini justru menggiring ormas untuk mendaVar. Paradigma yang muncul paska uji materi Bdak jauh berbeda dengan paradigma yang dibatalkan: kewajiban mendapatkan SKT. 4. Hasil monitoring yang menunjukan Kesbangpol pusat dan
daerah sebagai pelaku terbanyak pertama dan kedua dalam perisBwa yang dikategorikan bersebarangan
dengan prinsip kebebasan berserikat makin menunjukkan bahwa UU Ormas menggunakan pendekatan poliBk dan keamanan, dalam memandang sektor sosial
kemasyarakatan, bukan hukum. Pendekatan poliBk ini telah diBnggalkan mayoritas negara-‐negara di dunia,
karena hendak mencerminkan prinsip negara hukum yang mereka anut.
5.
“OMS Bdak terdaVar” merupakan korban potensial
pelanggaran kebebasan berserikat dari kebijakan UU
Ormas. Sebagian mereka adalah rentan dan minoritas
seperB Gafatar atau komunitas yang disBgma negaBf
seperB terlibat aksi separaBs atau melakukan
penodaan agama.
6.
Upaya pemerintah menggunakan UU Ormas untuk
mengatasi kekerasan yang dilakukan dengan
mengatasnamakan organisasi tertentu dapat dilihat
sebagai awal pelanggaran terhadap jaminan dari
pembatasan dan pembubaran yang sewenang-‐
wenang. Faktanya alasan mengatasi kekerasan inipun
belum pernah diimplementasikan. Belum ada ormas
yang dibawa ke pengadilan karena dianggap acap
melakukan Bndakan kekerasan.
Rekomendasi
1. Mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan OMS
melalui kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum
Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota). Alasan dengan mencabut UU ini berarB terjadi kekosongan hukum Bdak berdasar. Untuk mengaturnya bisa menggunakan UU yang sudah ada seperB UU Pemerintah Daerah atau UU Kementerian Negara 2. Mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk
dalam Prolegnas 2015-‐2019. Dari sisi hukum, RUU Perkumpulan lebih memiliki dasar. RUU ini akan memperbarui pengaturan badan hukum Perkumpulan yang sampai saat ini masih diatur dalam peraturan kuno Stb.1870-‐64 tentang Perkumpulan-‐
Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van
Verenegingen). Berbagai pengaturan terkait organisasi
berdasarkan keanggotaan (membership-‐based organiza9on) akan diatur dalam UU Perkumpulan ini.