26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Setelah menyampaikan pengantar di Bab I, berikut dalam Bab ini, penulis menyampaikan Kajian Pustaka. Semua data yang digunakan untuk penyusunan Bab ini berasal dari buku-buku hukum.
A.
Korporasi
1. Pengertian
Korporasi didefinisikan sebagai, bentuk buatan yang dibuat oleh negara. Tidak tampak, badan hukum independen (independen dari pemilik-yang adalah, mereka yang memiliki
saham)1.
Lebih lanjut2, korporasi dapat dilihat
dari artinya sempit dan luas. Korporasi dengan arti sempit, yaitu sebagai badan hukum,
1 Imaniyati, Neni Sri. (2013). Hukum Bisnis: Telaah Tentang
Pelaku dan Kegiatan Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 190.
2 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
27 korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Maksudnya adalah hukum perdatalah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya “hidup” agar dapat berwenang dalam melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum.
Perseroan Terbatas dapat dikategorikan
korporasi3. Perseroan menunjuk kepada modal
yang terdiri atas sero atau saham, sedangkan kata “terbatas” merujuk kepada tanggung jawab dari para pemegang saham yang tidak
lebih dari nominal saham yang dimiliki4.
Perseroan Terbatas adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
3Ibid.
4 Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2000. Seri Hukum Bisnis:
28
undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya5.
Berbeda dengan definisi yang diberikan oleh UU PT, definisi korporasi dalam Pasal 1 (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, tidak hanya membatasi yang berbadan hukum saja, melainkan yang tidak berbadan hukum juga. Berikut isi Pasal 1 (1), “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Dengan batasan seperti terbaca dalam UU Tipikor tersebut, maka baik Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dapat dikenakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain tentunya person, atau orang-perorang.
2. Teori Pembentukan Korporasi
Korporasi terjadi karena adanya
hubungan antara Prinsipal dan Agen. Prinsipal memberikan tanggungjawab kepada agen untuk mengurus korporasi, dikarenakan prinsipal terlalu sibuk. Dari hal itu munculah
29 tanggungjawab yang diberikan oleh prisipal kepada agen.
3. Tugas dan Fungsi Organ Korporasi
Fiduciary duty melahirkan kewajiban-kewajiban bagi direksi untuk melakukan tugasnya dalam batas kewenangannya yang diberikan, agar direksi dapat dibebaskan untuk memikul tangung gugat secara pribadi, keterhubungan tersebut melahirkan salah satunya ultra vires dan intra vires dengan segala akibat hukumnya.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenal 3 organ, akni Direksi, RUPS, dan Komisari. Di dalam Perseroan Terbatas, Direksi memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengurus perseroan, hal itu tertuang dalam Pasal 1 angka 5 dalam UU Perseroan Terbatas, yakni:
“Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.
Direksi memiliki wewenang untuk mewakili perseroan, baik di dalam maupun
30 diluar pengadilan, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
Dalam pelaksanaan tugasnya, organ direksi memiliki tugas dan kewenangannya yang diberikan oleh sendiri, atau dikenal
sebagai fiduciary duty. Fiduciary duty
(fiduciary) diartikan sebagai memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk
kepentingan orang lain6.
B.
Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian
Tindak Pidana Korupsi menurut
Baharuddin Lopa adalah sebagai berikut7.
“ Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara
6 Fuady, Munir. 2010. Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate
Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, hal. 31.
7
31
adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah”.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No.31 Tahun 1999 adalah Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
2. Asas Pidana
Menurut Sudarto, kesalahan
merupakan unsur utama disamping sifat melawan hukum dari perbuatan, dan harus dipenuhi agar suatu subjek hukum dapat
32 menerangkan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan, akan tetapi hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Menurut Simons8 tindak pidana adalah
”Suatu perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang
mampu bertanggung jawab. Pengertian
kesalahan diatas menurut Simons adalah kesalahan dalam arti luas, yang meliputi sengaja dan lalai. Ternyata bahwa Simons
mencampurbaurkan antara unsur-unsur
tindak pidana (perbuatan, sifatmelawan
hukumnya perbuatan), dan
pertanggungjawaban pidana (kesengajaan,
8http://kumpulanskripsihukumlengkap.blogspot.co.id/2010/0
33 kealpaan atau kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab).”
Asas kesalahan adalah asas yang fundamenta; dalam hukum pidana, demikian fundamental sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum
pidana9. Kesalahan merupakan dasar untuk
pertanggungjawaban pidana. Kesalahan
merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan
perbuatannya10. Selanjutnya disebutkan
bahwa Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang sering
dikatakan sebagai kemampuan
bertanggungjawab, sedangkan relasi batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Selanjutnya disebutkan juga bahwa untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yakni:
9 Muladi dan Priyatno, Dwidja. 2010. Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Halaman 103.
34
a. Adanya kemampuan
bertanggungjawab pembuat.
b. Hubungan batin pembuat dan
perbuatannya.
c. Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan.
3. Korupsi dalam Undang-Undang Tipikor
Korupsi sendiri seperti terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001,
menyebutkan bahwa korupsi mencakup
perbuatan-perbuatan sebagai berikut.
a. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
b. Menyalahgunakan kewenangan karena
jabatan/kedudukan yang dapat
merugikan keuangan/kedudukan yang
dapat merugikan
keuangan/perekonomian negara (pasal 3).
c. Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11).
35 d. Kelompok delik penggelapan dalam
jabatan (pasal 8, 9, dan 10).
e. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12).
f. Delik yang berkaitan dengan
pemborongan (pasal 7).
g. Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C). Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi tercatat dalam Pasal 20, UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001. Disebutkan dalam ayat 2, bahwa Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Fokus kepada Pasal 2 dan Pasal 3 dari UU Tipikor. Berikut isi Pasal 2 (1) dan (2).
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
36
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur yang ada dalam Pasal 2 tersebut adalah: “setiap orang”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”, “merugikankeuangan negara
atau perekonomian negara”. Jika memenuhi unsur-unsur tersebut, dapat dipidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dikenai denda minimal 200 juta, dan maksimal 1 milyar rupiah. Menurut penjelasan, kata “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan
perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
37
tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat 2, adalah “pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.
Sedangkan isi Pasal 3, yakni:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur yang ada dalam Pasal ini, yaitu: “setiap orang”, “menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi”,
38 keuangan negara atau perekonomian negara”. Berbeda dengan pidana dalam Pasal 2, Pasl 3 hanya memberikan minimal 1 tahun, dan maksimal 2 tahun, sedangkan denda yang dijatuhkan minimal 50 juta, dan maksimal 1 milyar rupiah.
4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
Korporasi
Ada 2 (dua) pandangan mengenai
pertanggungjawaban pidana, yakni pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Simon, suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang
bersalah dan orang itu danggap
bertanggungjawab atas kesalahannya11.
Sedangkan menurut pandangan dualistis, disebutkan bahwa untuk adanya syarat-syarat
penjatuhan pidana terhadap pembuat,
diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana.
11 Ibib, Muladi, 64.
39 Korporasi adalah subjek hukum, sama dengan person (pribadi). Subjek hukum sendiri ada 3 (tiga), yakni: a) Pribadi, setiap orang merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. ; 2) Badan Hukum, dimana Kelsen menerjemahkan badan hukum sebagai paguyuban dari sejumlah manusia, yang menerima hak dan kewajiban dari suatu tata hukum; dan 3) Negara, negara dapat diposisikan dalam kerangka korelasi hak dan
kewajiban dengan subjek hukum tertentu12.
Dengan demikian secara hukum, maka
korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Pihak manajemen diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengurusan, namun apabila terjadi kesalahan dalam memanajemen, maka direksi atau pengelola tidak bisa lepas dari tanggungjawab.
Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yakni:
12 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik
40 1) Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya: bigami, perkosaan, sumpah palsu;
2) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat
perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam
menyalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana kegiatan usaha yang masih dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal yang
41 mengadakan kerja sama, antara terhimpun modal yang lebih banyak tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan sesorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.
Pada awalnya, ketentuan dalam KUHP Indonesia masih menganut bahwa delik hanya
dapat dilakukan oleh manusia13. Sedangkan
pemikiran badan hukum merupakan pengaruh pemikiran fiction theory, Von Savigny. Hal itu dapat terlihat dalam Memorie van Toelicting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP), yang
berbunyi sebagai berikut14.
“Suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”.
Selanjutnya, ada usaha menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana, yakni adanya hak dan kewajiban yang melekat.
Latarbelakangnya adalah melihat bahwa
korporasi tidak jarang memperoleh
13 Ali, Mahrus. 2016. Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UII
Press. Halaman 43.
14Hamzah, Andi. 2012. Pemberantasan Korupsi. Jakarta:
42
keuntungan dari hasil kejahatan
pengurusnya15. Berikut 3 tahapan
perkembangan korporasi sebagai subjek
hukum pidana.
Pertama, tahap ini dimulai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan. Kedua, dalam tahap ini korporasi telah diakui
melakukan tindak pidana, namun
tanggungjawab pidana beralih kepada yang memerintahkan atau kepada mereka yang secara jelas memimpin dan melakukan perbuatan tersebut. Ketiga, dalam tahap ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana.
Kriteria perbuatan tindak pidana korupsi oleh korporasi ada dalam Pasal 20 (2) UU Tipikor, berikut bunyinya.
Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
15 Op. Cit, Ali Mahrus.
43 Terlihat dengan jelas dua kriteria, yakni:
(1) dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain; dan (2) bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Mardjono Reksodiputro, seperti dikutip
oleh Mahrus Ali16, menyebutkan bahwa ada 3
sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yakni: (a) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab; (b) Korporasi sebagai
pembuat, maka pengurus yang
bertanggungjawab; dan (c) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Alasan pembenar bagi sistem ketiga adalah dalam berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang didapat oleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat sangat besar, sehingga tidaklah imbang manakala pidana hanya dijatuhkan kepada pengurusnya saja. Selain alasan tersebut, alasan lain adalah bahwa tidak ada jaminan korporasi tidak akan
44 mengulangi delik itu lagi. Menurut Mardjono Reksodiputro, penuntutan dan penjatuhan pidana terhadap korporasi adalah perlu, hal itu dikarenakan kerugian yang diakibatkan oleh macam kejahatan ini sangatlah besar, baik untuk individu, masyarakat, dan bahkan
untuk negara17.
5. Unsur-unsur dalam Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi18.
Sutan Remy Jahdeini dalam bukunya,
“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”,
merumuskan “Ajaran Gabungan”, yang
merupakan gabungan dari berbagai ajaran
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Menurut Sutan, korporasi yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya, jika memenuhi 6 (enam) unsur. Berikut adalah keenam unsur tersebut.
a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau
diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Yang
17 Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kemajuan Pembangunan
Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum UI, halaman 73.
45 dimaksud directing mind adalah personel
yang mempunyai jabatan untuk
menentukan atau tidak melakukan
perbuatan yang mengikat korporasi tanpa
harus mendapat persetujuan dari
atasannya. Sutan mendasarkan unsur ini berdasarkan ajaran identifikasi.
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam
rangka maksud dan tujuan korporasi.
Korporasi yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidananya apabila
tindak pidanan yang dilakukan atau diperintah merupakan perbuatan intra vires, maksudnya sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi. Unsur ini merupakan adopsi ajaran intra vires.
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau
atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Jika tindak pidana dilakukan bukan berkaitan dengan tugasnya ataupun tugas pemberi perintah, sehingga dia tidak berwenang mengikatkorporasi, maka korporasi tidak
46 pidana. Unsur ketiga ini, disebut sebagai ajaran keterkaitan fungsi.
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan
maksud memberikan manfaat bagi
korporasi. Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila personel yang melakukan perbuatan itu sejak semula
memiliki tujuan/maksud agar tindak
pidanan itu memberikan manfaat bagi korporasi. Unsur ini disebut sebagai ajaran manfaat.
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak
memiliki alasan pembenar atau alasan
pemaaf untuk dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Pembebanan
pertanggungjawaban pidana korporasi
terjadi karena dilakukan oleh directing mind korporasi atau diperintah olehnya, maka unsur tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf pada directing mind korporasi itu harus terpenuhi. Unsur ini adalah unsur ajaran legal entity.
f. Bagi tindak-tindak pidana yang
47 dan unsur kesalahan, kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja.
Bisa terjadi orang yang melakukan
perbuatan, hanya menjalankan perintah dari orang yang memiliki unsur kesalahan. Secara gabungan, maka terpenuhilah
unsur-unsur yang dibutuhkan untuk
meminta pertanggungjawaban pidana ke
korporasinya. Unsur ini merupakan
penerapan ajaran agregasi.
Sutan memberikan catatan bahwa apabila salah satu unsur atau syarat tidak terpenuhi, maka manusia dianggap pelaku yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana, sedangkan korporasinya bebas.
C.
Pertimbangan Hakim
Hakim memiliki peran sentral dalam proses penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam konteks penegakan hukum disinggung oleh Soerjono Soekamto dalam bukunya.
“Faktor-Faktor yang mempegaruhi penegakan hukum”19.
19 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor yang mempegaruhi
48 Hakim memiliki tugas memberikan putusan bagi masalah-masalah yang terjadi dalam peradilan, demi memberikan keadilan bagi masyarakat.
1. Pengertian
Pertimbangan hukum diartikan suatu
tahapan dimana majelis hakim
mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang
mencapai batas minimal pembuktian20.
2. Teori Pertimbangan Hakim
Dasar seorang hakim dalam menetapkan putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
Ada 3 (tiga) aspek pertimbangan hakim dalam memberikan putusan diperadilan, yakni:
20
49 Aspek Yuridis, Aspek Sosiologis, dan Aspek Filosofis.
Pertama, Aspek Yuridis. Aspek ini
merupakan aspek paling utama dan pertama
yang bertolak ukur kepada peraturan
perundangan yang berlaku. Hakim sebagai
aplikator peraturan perundangan wajib
memahami perturan perundangan tersebut dengan cara mencari peraturan perundangan yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Selain peraturan perundangan, menurut Rusli Muhammad, pertimbangan yuridis hakim dalam memberikan putusan juga menyangkut: a) dakwaan jaksa penuntut umum, b) keterangan terdakwa, c) keterangan saksi, dan d) bukti-bukti.
Dakwaan adalah dasar hukum acara pidana, karena berdasar itulah di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Hakim hanya mempetimbangkan dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang.
50 Menurut Pasal 184 butir e KUHAP, keterangan terdakwa dikategorikan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang disampaikan oleh terdakwa dalam sidang, mengenai perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui, ataupun dialami sendiri.
Keterangan terdakwa sekaligus juga
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.
Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Dengan catatan bahwa keterangan yang disampaikan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan
di dalam sidang pengadilan dengan
mengangkat sumpah. Keterangan saksi
menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil putusan.
Barang bukti disini adalah benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan persidangan, yakni meliputi:
51
1) Benda atau tagihan tersangka atau
terdakwa seluruhnya atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana;
2) Benda yang dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;
3) Benda yang digunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4) Benda lain yang mempunyai hubungan
langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Undang-Undang menetapkan 5 (lima) macam, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kedua, Aspek Filosofis. Aspek ini
berintikan kepada kebenaran dan keadilan. Pertimbangan tidak hanya didasarkan kepada teks peraturan-perundangan, namun mampu
52 menangkap semangat atau roh dari latar
belakang lahirnya peraturan itu sendiri21.
Sedangkan Aspek Ketiga, yaitu Aspek Sosiologis merujuk kepada nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, pertimbangan yang tidak bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat22.
Baik Aspek Filosofis dan Aspek
Sosiologis, penerapannya memerlukan
pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang terabaikan. Penerapannya sulit, karena selain tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terkait dengan sistem. Menggunakan ketiga aspek
tersebut dalam pertimbangan hakim,
diharapkan mampu memenuhi keadilan dan dapat diterima masyarakat.
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan
21 www.pta-semarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%252 0PUTUSAN.pdf+&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b 22 www.pta-semarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%2520PUTUSAN.pdf +&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b
53 penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.
a. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
c. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
54
pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai upaya untuk melindungi
masyarakat dari ancaman suatu
kejahatan yang dilakukan oleh
pelakunya;
b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana yang dilakukan oleh
55
d. Mempersiapkan mental masyarakat
dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana
dapat diterima dalam pergaulan