• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Setelah menyampaikan pengantar di Bab I, berikut dalam Bab ini, penulis menyampaikan Kajian Pustaka. Semua data yang digunakan untuk penyusunan Bab ini berasal dari buku-buku hukum.

A.

Korporasi

1. Pengertian

Korporasi didefinisikan sebagai, bentuk buatan yang dibuat oleh negara. Tidak tampak, badan hukum independen (independen dari pemilik-yang adalah, mereka yang memiliki

saham)1.

Lebih lanjut2, korporasi dapat dilihat

dari artinya sempit dan luas. Korporasi dengan arti sempit, yaitu sebagai badan hukum,

1 Imaniyati, Neni Sri. (2013). Hukum Bisnis: Telaah Tentang

Pelaku dan Kegiatan Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 190.

2 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

(2)

27 korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Maksudnya adalah hukum perdatalah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya “hidup” agar dapat berwenang dalam melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum.

Perseroan Terbatas dapat dikategorikan

korporasi3. Perseroan menunjuk kepada modal

yang terdiri atas sero atau saham, sedangkan kata “terbatas” merujuk kepada tanggung jawab dari para pemegang saham yang tidak

lebih dari nominal saham yang dimiliki4.

Perseroan Terbatas adalah badan

hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang

seluruhnya terbagi dalam saham dan

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

3Ibid.

4 Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2000. Seri Hukum Bisnis:

(3)

28

undang-undang ini serta peraturan

pelaksanaannya5.

Berbeda dengan definisi yang diberikan oleh UU PT, definisi korporasi dalam Pasal 1 (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, tidak hanya membatasi yang berbadan hukum saja, melainkan yang tidak berbadan hukum juga. Berikut isi Pasal 1 (1), “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Dengan batasan seperti terbaca dalam UU Tipikor tersebut, maka baik Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dapat dikenakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain tentunya person, atau orang-perorang.

2. Teori Pembentukan Korporasi

Korporasi terjadi karena adanya

hubungan antara Prinsipal dan Agen. Prinsipal memberikan tanggungjawab kepada agen untuk mengurus korporasi, dikarenakan prinsipal terlalu sibuk. Dari hal itu munculah

(4)

29 tanggungjawab yang diberikan oleh prisipal kepada agen.

3. Tugas dan Fungsi Organ Korporasi

Fiduciary duty melahirkan kewajiban-kewajiban bagi direksi untuk melakukan tugasnya dalam batas kewenangannya yang diberikan, agar direksi dapat dibebaskan untuk memikul tangung gugat secara pribadi, keterhubungan tersebut melahirkan salah satunya ultra vires dan intra vires dengan segala akibat hukumnya.

Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenal 3 organ, akni Direksi, RUPS, dan Komisari. Di dalam Perseroan Terbatas, Direksi memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengurus perseroan, hal itu tertuang dalam Pasal 1 angka 5 dalam UU Perseroan Terbatas, yakni:

“Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.

Direksi memiliki wewenang untuk mewakili perseroan, baik di dalam maupun

(5)

30 diluar pengadilan, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.

Dalam pelaksanaan tugasnya, organ direksi memiliki tugas dan kewenangannya yang diberikan oleh sendiri, atau dikenal

sebagai fiduciary duty. Fiduciary duty

(fiduciary) diartikan sebagai memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk

kepentingan orang lain6.

B.

Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian

Tindak Pidana Korupsi menurut

Baharuddin Lopa adalah sebagai berikut7.

“ Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara

6 Fuady, Munir. 2010. Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate

Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti, hal. 31.

7

(6)

31

adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah”.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No.31 Tahun 1999 adalah Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

2. Asas Pidana

Menurut Sudarto, kesalahan

merupakan unsur utama disamping sifat melawan hukum dari perbuatan, dan harus dipenuhi agar suatu subjek hukum dapat

(7)

32 menerangkan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan, akan tetapi hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Menurut Simons8 tindak pidana adalah

”Suatu perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang

mampu bertanggung jawab. Pengertian

kesalahan diatas menurut Simons adalah kesalahan dalam arti luas, yang meliputi sengaja dan lalai. Ternyata bahwa Simons

mencampurbaurkan antara unsur-unsur

tindak pidana (perbuatan, sifatmelawan

hukumnya perbuatan), dan

pertanggungjawaban pidana (kesengajaan,

8http://kumpulanskripsihukumlengkap.blogspot.co.id/2010/0

(8)

33 kealpaan atau kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab).”

Asas kesalahan adalah asas yang fundamenta; dalam hukum pidana, demikian fundamental sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum

pidana9. Kesalahan merupakan dasar untuk

pertanggungjawaban pidana. Kesalahan

merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan

perbuatannya10. Selanjutnya disebutkan

bahwa Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang sering

dikatakan sebagai kemampuan

bertanggungjawab, sedangkan relasi batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Selanjutnya disebutkan juga bahwa untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yakni:

9 Muladi dan Priyatno, Dwidja. 2010. Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Halaman 103.

(9)

34

a. Adanya kemampuan

bertanggungjawab pembuat.

b. Hubungan batin pembuat dan

perbuatannya.

c. Tidak adanya alasan penghapus

kesalahan.

3. Korupsi dalam Undang-Undang Tipikor

Korupsi sendiri seperti terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001,

menyebutkan bahwa korupsi mencakup

perbuatan-perbuatan sebagai berikut.

a. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).

b. Menyalahgunakan kewenangan karena

jabatan/kedudukan yang dapat

merugikan keuangan/kedudukan yang

dapat merugikan

keuangan/perekonomian negara (pasal 3).

c. Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11).

(10)

35 d. Kelompok delik penggelapan dalam

jabatan (pasal 8, 9, dan 10).

e. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12).

f. Delik yang berkaitan dengan

pemborongan (pasal 7).

g. Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C). Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi tercatat dalam Pasal 20, UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001. Disebutkan dalam ayat 2, bahwa Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Fokus kepada Pasal 2 dan Pasal 3 dari UU Tipikor. Berikut isi Pasal 2 (1) dan (2).

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(11)

36

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Unsur yang ada dalam Pasal 2 tersebut adalah: “setiap orang”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi”, “merugikankeuangan negara

atau perekonomian negara”. Jika memenuhi unsur-unsur tersebut, dapat dipidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dikenai denda minimal 200 juta, dan maksimal 1 milyar rupiah. Menurut penjelasan, kata “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan

perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya

(12)

37

tindak pidana korupsi cukup dengan

dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat 2, adalah “pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.

Sedangkan isi Pasal 3, yakni:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur yang ada dalam Pasal ini, yaitu: “setiap orang”, “menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi”,

(13)

38 keuangan negara atau perekonomian negara”. Berbeda dengan pidana dalam Pasal 2, Pasl 3 hanya memberikan minimal 1 tahun, dan maksimal 2 tahun, sedangkan denda yang dijatuhkan minimal 50 juta, dan maksimal 1 milyar rupiah.

4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Korporasi

Ada 2 (dua) pandangan mengenai

pertanggungjawaban pidana, yakni pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Simon, suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang

bersalah dan orang itu danggap

bertanggungjawab atas kesalahannya11.

Sedangkan menurut pandangan dualistis, disebutkan bahwa untuk adanya syarat-syarat

penjatuhan pidana terhadap pembuat,

diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana.

11 Ibib, Muladi, 64.

(14)

39 Korporasi adalah subjek hukum, sama dengan person (pribadi). Subjek hukum sendiri ada 3 (tiga), yakni: a) Pribadi, setiap orang merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. ; 2) Badan Hukum, dimana Kelsen menerjemahkan badan hukum sebagai paguyuban dari sejumlah manusia, yang menerima hak dan kewajiban dari suatu tata hukum; dan 3) Negara, negara dapat diposisikan dalam kerangka korelasi hak dan

kewajiban dengan subjek hukum tertentu12.

Dengan demikian secara hukum, maka

korporasi dapat dimintakan

pertanggungjawabannya. Pihak manajemen diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengurusan, namun apabila terjadi kesalahan dalam memanajemen, maka direksi atau pengelola tidak bisa lepas dari tanggungjawab.

Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yakni:

12 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik

(15)

40 1) Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya: bigami, perkosaan, sumpah palsu;

2) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati.

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum.

Korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat

perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam

menyalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana kegiatan usaha yang masih dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal yang

(16)

41 mengadakan kerja sama, antara terhimpun modal yang lebih banyak tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan sesorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.

Pada awalnya, ketentuan dalam KUHP Indonesia masih menganut bahwa delik hanya

dapat dilakukan oleh manusia13. Sedangkan

pemikiran badan hukum merupakan pengaruh pemikiran fiction theory, Von Savigny. Hal itu dapat terlihat dalam Memorie van Toelicting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP), yang

berbunyi sebagai berikut14.

“Suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”.

Selanjutnya, ada usaha menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana, yakni adanya hak dan kewajiban yang melekat.

Latarbelakangnya adalah melihat bahwa

korporasi tidak jarang memperoleh

13 Ali, Mahrus. 2016. Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UII

Press. Halaman 43.

14Hamzah, Andi. 2012. Pemberantasan Korupsi. Jakarta:

(17)

42

keuntungan dari hasil kejahatan

pengurusnya15. Berikut 3 tahapan

perkembangan korporasi sebagai subjek

hukum pidana.

Pertama, tahap ini dimulai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan. Kedua, dalam tahap ini korporasi telah diakui

melakukan tindak pidana, namun

tanggungjawab pidana beralih kepada yang memerintahkan atau kepada mereka yang secara jelas memimpin dan melakukan perbuatan tersebut. Ketiga, dalam tahap ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana.

Kriteria perbuatan tindak pidana korupsi oleh korporasi ada dalam Pasal 20 (2) UU Tipikor, berikut bunyinya.

Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

15 Op. Cit, Ali Mahrus.

(18)

43 Terlihat dengan jelas dua kriteria, yakni:

(1) dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain; dan (2) bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Mardjono Reksodiputro, seperti dikutip

oleh Mahrus Ali16, menyebutkan bahwa ada 3

sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yakni: (a) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab; (b) Korporasi sebagai

pembuat, maka pengurus yang

bertanggungjawab; dan (c) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Alasan pembenar bagi sistem ketiga adalah dalam berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang didapat oleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat sangat besar, sehingga tidaklah imbang manakala pidana hanya dijatuhkan kepada pengurusnya saja. Selain alasan tersebut, alasan lain adalah bahwa tidak ada jaminan korporasi tidak akan

(19)

44 mengulangi delik itu lagi. Menurut Mardjono Reksodiputro, penuntutan dan penjatuhan pidana terhadap korporasi adalah perlu, hal itu dikarenakan kerugian yang diakibatkan oleh macam kejahatan ini sangatlah besar, baik untuk individu, masyarakat, dan bahkan

untuk negara17.

5. Unsur-unsur dalam Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi18.

Sutan Remy Jahdeini dalam bukunya,

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”,

merumuskan “Ajaran Gabungan”, yang

merupakan gabungan dari berbagai ajaran

pertanggungjawaban pidana korporasi.

Menurut Sutan, korporasi yang dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidananya, jika memenuhi 6 (enam) unsur. Berikut adalah keenam unsur tersebut.

a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau

diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Yang

17 Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kemajuan Pembangunan

Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum UI, halaman 73.

(20)

45 dimaksud directing mind adalah personel

yang mempunyai jabatan untuk

menentukan atau tidak melakukan

perbuatan yang mengikat korporasi tanpa

harus mendapat persetujuan dari

atasannya. Sutan mendasarkan unsur ini berdasarkan ajaran identifikasi.

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam

rangka maksud dan tujuan korporasi.

Korporasi yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidananya apabila

tindak pidanan yang dilakukan atau diperintah merupakan perbuatan intra vires, maksudnya sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi. Unsur ini merupakan adopsi ajaran intra vires.

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau

atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Jika tindak pidana dilakukan bukan berkaitan dengan tugasnya ataupun tugas pemberi perintah, sehingga dia tidak berwenang mengikatkorporasi, maka korporasi tidak

(21)

46 pidana. Unsur ketiga ini, disebut sebagai ajaran keterkaitan fungsi.

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan

maksud memberikan manfaat bagi

korporasi. Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila personel yang melakukan perbuatan itu sejak semula

memiliki tujuan/maksud agar tindak

pidanan itu memberikan manfaat bagi korporasi. Unsur ini disebut sebagai ajaran manfaat.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak

memiliki alasan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari

pertanggungjawaban pidana. Pembebanan

pertanggungjawaban pidana korporasi

terjadi karena dilakukan oleh directing mind korporasi atau diperintah olehnya, maka unsur tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf pada directing mind korporasi itu harus terpenuhi. Unsur ini adalah unsur ajaran legal entity.

f. Bagi tindak-tindak pidana yang

(22)

47 dan unsur kesalahan, kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja.

Bisa terjadi orang yang melakukan

perbuatan, hanya menjalankan perintah dari orang yang memiliki unsur kesalahan. Secara gabungan, maka terpenuhilah

unsur-unsur yang dibutuhkan untuk

meminta pertanggungjawaban pidana ke

korporasinya. Unsur ini merupakan

penerapan ajaran agregasi.

Sutan memberikan catatan bahwa apabila salah satu unsur atau syarat tidak terpenuhi, maka manusia dianggap pelaku yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana, sedangkan korporasinya bebas.

C.

Pertimbangan Hakim

Hakim memiliki peran sentral dalam proses penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam konteks penegakan hukum disinggung oleh Soerjono Soekamto dalam bukunya.

“Faktor-Faktor yang mempegaruhi penegakan hukum”19.

19 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor yang mempegaruhi

(23)

48 Hakim memiliki tugas memberikan putusan bagi masalah-masalah yang terjadi dalam peradilan, demi memberikan keadilan bagi masyarakat.

1. Pengertian

Pertimbangan hukum diartikan suatu

tahapan dimana majelis hakim

mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang

mencapai batas minimal pembuktian20.

2. Teori Pertimbangan Hakim

Dasar seorang hakim dalam menetapkan putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.

Ada 3 (tiga) aspek pertimbangan hakim dalam memberikan putusan diperadilan, yakni:

20

(24)

49 Aspek Yuridis, Aspek Sosiologis, dan Aspek Filosofis.

Pertama, Aspek Yuridis. Aspek ini

merupakan aspek paling utama dan pertama

yang bertolak ukur kepada peraturan

perundangan yang berlaku. Hakim sebagai

aplikator peraturan perundangan wajib

memahami perturan perundangan tersebut dengan cara mencari peraturan perundangan yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Selain peraturan perundangan, menurut Rusli Muhammad, pertimbangan yuridis hakim dalam memberikan putusan juga menyangkut: a) dakwaan jaksa penuntut umum, b) keterangan terdakwa, c) keterangan saksi, dan d) bukti-bukti.

Dakwaan adalah dasar hukum acara pidana, karena berdasar itulah di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Hakim hanya mempetimbangkan dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang.

(25)

50 Menurut Pasal 184 butir e KUHAP, keterangan terdakwa dikategorikan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang disampaikan oleh terdakwa dalam sidang, mengenai perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui, ataupun dialami sendiri.

Keterangan terdakwa sekaligus juga

merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Dengan catatan bahwa keterangan yang disampaikan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan

di dalam sidang pengadilan dengan

mengangkat sumpah. Keterangan saksi

menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil putusan.

Barang bukti disini adalah benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan persidangan, yakni meliputi:

(26)

51

1) Benda atau tagihan tersangka atau

terdakwa seluruhnya atau sebagian

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana;

2) Benda yang dipergunakan secara

langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

3) Benda yang digunakan untuk

menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

4) Benda lain yang mempunyai hubungan

langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Undang-Undang menetapkan 5 (lima) macam, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Kedua, Aspek Filosofis. Aspek ini

berintikan kepada kebenaran dan keadilan. Pertimbangan tidak hanya didasarkan kepada teks peraturan-perundangan, namun mampu

(27)

52 menangkap semangat atau roh dari latar

belakang lahirnya peraturan itu sendiri21.

Sedangkan Aspek Ketiga, yaitu Aspek Sosiologis merujuk kepada nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, pertimbangan yang tidak bertentangan dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat22.

Baik Aspek Filosofis dan Aspek

Sosiologis, penerapannya memerlukan

pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang terabaikan. Penerapannya sulit, karena selain tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terkait dengan sistem. Menggunakan ketiga aspek

tersebut dalam pertimbangan hakim,

diharapkan mampu memenuhi keadilan dan dapat diterima masyarakat.

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan

oleh hakim dalam mempertimbangkan

21 www.pta-semarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%252 0PUTUSAN.pdf+&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b 22 www.pta-semarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%2520PUTUSAN.pdf +&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b

(28)

53 penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

(29)

54

pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:

a. Sebagai upaya untuk melindungi

masyarakat dari ancaman suatu

kejahatan yang dilakukan oleh

pelakunya;

b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana

sebagaimana yang dilakukan oleh

(30)

55

d. Mempersiapkan mental masyarakat

dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana

dapat diterima dalam pergaulan

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai konsep dasar matematika, sains, Dengan ilustrasi kegiatan yang dilakukan anak usia keilmuan yang mendukung mata

Dari hasil uji yang menunjukan bahwa variabel harga berpengaruh signifikan terhadap keputusan studi hal ini dikarenakan perekonomian di daerah Tanimbar yang belum

artinya dalam kegiatan penyuluh-an harus diupayakan agar masyarakat dapat "belajar sambil bekerja" atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu.. yang ia

Induksi Anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan..

Catatan : Agar membawa dokumen perusahaan asli sesuai dalam isian kualifikasi serta menyerahkan rekaman/copy-nya. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya

- Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) sesuai dengan Klasifikasi SBU. - Sertifikat Badan Usaha (SBU) sesuai: Klasifikasi/Sub Klasifikasi : Jasa Pengawas Pekerjaan

Peserta seleksi yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada POKJA 4 ULP Kabupaten

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE.. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan