• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Responden

Pada penelitian ini, responden berjumlah 160. Responden terdiri dari karyawan yang berstatus menikah. Adapun gambaran responden adalah sebagai berikut :

1. Responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.1

Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Perempuan 62 orang 39%

Laki-Laki 98 orang 61%

Total 160 orang 100%

Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 98 orang (61%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 62 orang (39%).

(2)

2. Responden berdasarkan usia

Tabel 4.2

Responden berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase

23–30 Tahun 47 29%

31–40 Tahun 69 43%

41–50 Tahun 28 18%

51–57 Tahun 16 10%

Total 160 100%

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah berusia antara 31-40 tahun sebanyak 69 orang (43%), sementara responden yang berusia antara 23-30 tahun sebanyak 47 orang (29%), berusia antara 41-50 tahun sebanyak 28 orang (18%), dan berusia antara 51-57 tahun sebanyak 16 orang (10%).

3. Responden berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 4.3

Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

S1 60 37.50%

D3 19 11.88%

SMA 81 50.62%

Total 160 100%

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah yang berpendidikan SMA sebanyak 81 orang (50.62%), sedangkan yang berpendidikan S1 sebanyak 60 orang (37.5%), dan yang berpendidkan D3

(3)

sebanyak 19 orang (11.88%).

4. Responden berdasarkan Lama Kerja

Tabel 4.4

Responden berdasarkan Lama Kerja

Lama Kerja Frekuensi Persentase

1–5 Tahun 77 48.12%

6–10 Tahun 56 35%

11–15 Tahun 19 11.88%

16–20 Tahun 8 5%

Total 160 100%

Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah yang sudah bekerja selama 1-5 tahun sebanyak 77 orang (48.12%), sementara yang sudah bekerja selama 6-10 tahun sebanyak 56 orang (35%), 11-15 tahun sebanyak 19 orang (11.88%), dan 16-20 tahun sebanyak 8 orang (5%).

4.2 Hasil Penelitian dan Analisis Data 4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik dari suatu data sehingga pemahaman akan ciri-ciri dari kelompok data tersebut dapat diketahui. Hasil pengolahan data statistik deskriptif adalah sebagai berikut:

Jumlah responden (N) ada 160 orang, dari 160 responden ini memiliki

sense of humor terendah (minimum) adalah 39 dan tertinggi (maximum) adalah

78. Rata-rata (mean) sense of humor dari 160 responden adalah 61.25 dengan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6.963. Skewness mengukur

(4)

kemencengan dari data dan kurtosis mengukur puncak dari distribusi data. Data yang terdistribusi secara normal mempunyai nilai skewness dan kurtosis mendekati nol. Data menunjukkan nilai skewness dan kurtosis masingmasing -0.186 dan 0.264 sehingga dapat disimpulkan bahwa data sense of humor terdistribusi secara normal. Nilai range merupakan selisih nilai maksimum dan minimum yaitu sebesar 39 dan nilai sum merupakan penjumlahan data sense of

humor dari 160 responden yaitu sebesar 9800.

Dari 160 responden tersebut memiliki work-life balance terendah (minimum) adalah 23 dan tertinggi (Maximum) adalah 44. Rata-rata (mena)

work-life balance dari 160 responden adalah 34.36 dengan simpangan baku (standar

deviasi) sebesar 3.899. Data menunjukkan nilai skewness dan kurtosis masing-masing -0.008 dan 0.653 sehingga dapat disimpulkan bahwa data work-life

balance terdistribusi secara normal. Nilai range merupakan selisih nilai

maksimum dan minimum yaitu sebesar 21 dan nilai sum merupakan penjumlahan data work-life balance dari 160 responden yaitu sebesar 5498.

Tabel 4.5

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Hipotetik Empirik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Sense of Humor 20 80 50 10 39 78 61.25 6.963

Work-Life Balance 11 44 27.5 5.5 23 44 34.36 3.899

Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat diketahui bahwa hasil hipotetik atau harapan variabel sense of humor dari 160 responden memiliki nilai min (terendah)

(5)

adalah 20, nilai tertinggi (max) adalah 80, nilai rata-rata (mean) adalah 50, dan nilai simpangan baku (standar deviasi) adalah 10. Sedangkan untuk hasil hipotetik atau harapan variabel work-life balance memiliki nilai min (terendah) adalah 11, nilai tertinggi (max) adalah 44, nilai rata-rata (mean) adalah 27.5, dan nilai simpangan baku (standar deviasi) adalah 5.5.

Sementara hasil empirik atau kenyataan variabel sense of humor dari 160 responden memiliki nilai min (terendah) adalah 39, nilai tertinggi (max) adalah 78, nilai rata-rata (mean) adalah 61.25, dan nilai simpangan baku (standar deviasi) adalah 6.963. Sedangkan untuk hasil empirik atau kenyataan variabel work-life

balance memiliki nilai min (terendah) adalah 23, nilai tertinggi (max) adalah 44,

nilai rata-rata (mean) adalah 34.36, dan nilai simpangan baku (standar deviasi) adalah 3.899.

4.2.2 Hasil Uji Validitas 4.2.2.1 Skala Sense of Humor

Berdasarkan uji instrumen penelitian diketahui bahwa hasil uji coba validitas skala sense of humor yang berjumlah 24 item disebarkan kepada 50 responden, dari nilai Cronbach’s Alpha ifitem Deleted dibandingkan dengan nilai

Cronbach’s Alpha maka diperoleh item valid sebanyak 20 item, yaitu item yang memiliki Cronbach’s Alpha if item Deleted lebih kecil dari nilai Cronbach’s

Alpha 0.874 sedangkan item yang tidak valid sebanyak 4 item (item no. 4, 11, 13

dan 24), yaitu item yang memiliki nilai Cronbach’s Alpha if item Deleted lebih besar atau sama dengan nilaiCronbach’s Alpha0.874.

(6)

4.2.2.2 Skala Work Life Balance

Adapun pada skala work-life balance setelah dilakukan uji coba validitas instrumen penelitian yang berjumlah 13 item disebarkan kepada 50 responden, dari nilai Cronbach’s Alpha if item Deleted dibandingkan dengan nilai Cronbach’s Alpha maka diperoleh item valid sebanyak 11 item, yaitu item yang memiliki Cronbach’s Alpha if item Deleted lebih kecil dari nilai Cronbach’s

Alpha 0.717 sedangkan item yang tidak valid sebanyak 4 item (item no. 6 dan 10),

yaitu item yang memiliki nilaiCronbach’s Alpha if item Deleted lebih besar atau sama dengan nilaiCronbach’s Alpha0.717.

4.2.3 Hasil Uji Reliabilitas 4.2.3.1 Skala Sense of Humor

Berdasarkan uji reliabilitas skala sense of humor dengan Cronbach’s

Alpha didapat nilai 0.874. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa skala sense of humor reliabel karena lebih besar dari 0.60 (Sugiyono, 2011).

4.2.3.2 Skala Work-Life Balance

Sedangkan hasil uji reliabilitas skala work-life balance dengan Cronbach’s

Alpha didapat nilai 0.717. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa

skala work-life balance reliabel karena lebih besar dari 0.60 (Sugiyono, 2011).

4.2.4 Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan uji normalitas yang sudah dilakukan, variabel work-life

(7)

0.164 dengan α lebih besar dari 0.05. Dan pada variabeel sense of humor menunjukkan nilai sebaran normal, dengan nilai Z= 0.838, sig= 0.484 dengan α lebih besar dari 0.05 dengan N= 160. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat dikatakan bahwa variabel sense of humor dan work-life balance mengikuti sebaran normal, dengan demikian maka rumus uji hipotesis yang digunakan adalah jenis yang termasuk kedalam statistik parametrik dan hasil olah data tersebut dapat digeneralisasikan untuk mewakili populasi.

4.2.5 Hasil Uji Linearitas

Berdasarkan uji linearitas menggunakan tabel distribusi F sebagai kerangka pengujiannya. Dengan menggunakan degree of freedom (df) 1 lawan 30, diperoleh F tabel = 4.17 pada taraf  5%. Dengan demikian F hitung = 1.281 lebih kecil dari Ftabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara variabel sense of humor (X) dengan variabel work-life balance (Y).

4.2.6 Hasil Uji Korelasi

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan korelasi Pearson Product

Moment, diperoleh nilai rhitung0.411 dan rtabel 0.159 untuk taraf signifikansi 0.05 dan 0.210 untuk taraf signifikansi 0.01. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa r hitung sebesar 0.411 adalah lebih besar daripada r tabel baik pada taraf signifikansi 5% (0.159) maupun 1% (0.210).

Berdasarkan kenyataan ini maka dapat diinterpretasikan bahwa:

H0 (yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sense of humor dengan

(8)

(yang menyatakan ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah) dinyatakan diterima. Artinya, bahwa ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah. Hubungan tersebut bersifat positif artinya semakin tinggi sense of humor maka semakin tinggi pula work-life balance pada karyawan menikah.

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji korelasi diketahui signifikansi ρ = 0.000 < 0.05 dengan koefisien korelasi 0.412. Maka hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah, dinyatakan diterima. Artinya, bahwa terdapat hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah. Hubungan antara kedua variabel bersifat positif, artinya meningkatnya sense of humor pada karyawan yang sudah menikah diprediksi akan disertai dengan meningkatnya work-life

balance.

Penemuan di atas sejalan dengan pendapat Thorson & Powell (1993) bahwa penggunaan humor telah lama digunakan sebagai coping mechanism yakni dalam menghadapi situasi-situasi sulit di kehidupan. Dari hasil wawancara yang yang dilakukan kepada 6 responden, masing-masing responden memiliki masalah yang berbeda-beda baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Dengan humor, individu dapat memandang masalah dari sudut pandang yang berbeda. Seperti, melihat sisi humor dari setiap permasalahan, sehingga hidup jauh dari ketegangan. Selain itu, kemampuan untuk menertawakan situasi yang tidak menyenangkan yang sedang dihadapi dapat membuat individu merasa lebih kuat

(9)

sehingga memunculkan perasaan positif. Dimana ketika karyawan yang sudah menikah memiliki perasaan positif dalam menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaannya, hal ini akan memberikan dukungan yang positif juga di kedua ranah sehingga keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan bisa tercapai.

Fisher (2001) pernah mengungkapkan, bahwa definisi dari work-life

balance selain terdapat di dalamnya unsur ketegangan, seperti cemas, tekanan,

dan kesulitan dalam atensi namun juga unsur energi yang mana mengusulkan bahwa kurangnya energi dalam memenuhi tuntutan kerja atau non-kerja akan mengarahkan kepada peningkatan stres. Sudah banyak penelitian yang membahas mengenai hubungan humor dengan stres. Salah satunya penelitian (Karimah Fatimah, 2011) mengenai hubungan antara rasa humor dengan stres kerja pada wanita pekerja. Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi negatif, dimana semakin tinggi rasa humor maka semakin rendah stres kerja. Humor memberikan sumbangan efektif terhadap stres kerja sebesar 32,2%.

Hal ini dikarenakan individu yang mengalami stres, entah stres kerja atau stres dalam rumah tangga kemungkinan kurang mampu mengendalikan emosi dan emosi yang dimunculkan cenderung negatif sehingga kesulitan mencapai

work-life balance. Penelitian berkaitan dengan kecerdasan emosi yang dilakukan oleh

Gohm et al. (2005), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi bagi sebagian orang berpotensi untuk mereduksi tingkat stres, sedangkan bagi sebagian orang lagi kecerdasan emosi tidak berdampak pada pengurangan tingkatan stres, Akan tetapi menurut Gohm et al., (2005), kontribusi kecerdasan emosi diharapkan masih menjadi alat untuk mengurangi tingkat stres yang akan terbawa ke ranah lingkungan keluarga. Dengan humor, emosi negatif bisa dikalahkan dengan emosi

(10)

positif dengan cara tertawa. Hal ini sejalan dengan penjelasan Jauregui (Colom, Alcover, Curto & Osuna, 2011) yang menegaskan bahwa tertawa adalah sebuah emosi positif, yang dilukiskan oleh perasaan subjektif dari kebahagian dan dapat dengan mudah diketahui dari ekspresi wajah. Emosi positif ini akan melawan emosi negatif yang dialami saat seseorang mengalami stres seperti kecemasan, kesedihan, dan kemarahan. Ketika karyawan yang sudah menikah tidak mengalami stres, maka kehidupannya juga bisa balance.

Emotional Intelligence (kecerdasan emosi) dapat menjadi mediator dalam

penelitian ini, karena dalam sense of humor terdapat unsur emosi. Emosi yang dihasilkan oleh sense of humor merupakan emosi positif (Colom, Alcover, Curto & Osuna, 2011). Sedangkan dalam work-life balance, emotional intelligence menjadi salah satu faktor yang dapat menpengaruhi work-life balance seseorang (Pouluse dan Sudarsan, 2014). Lebih lanjut kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang hendaknya dapat memotivasi diri, menjadikan diri karyawan tersebut tahan dalam menghadapi kegagalan, mampu mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati (Goleman,1998). Seperti penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Monica Kishi Sefira (2016) dengan judul hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan Kanwil DJP DIY yang menjalani commuter marriage. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan Kanwil DJP DIY yang menjalani commuter marriage, ditunjukkan dengan F hitung=

(11)

17,378 (>Ftabel 3,23), p=0,000 (p<0,05), dan koefisien korelasi r= 0,691. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan

work-life balance dengan nilai korelasi 0,664 dan p=0,000 (p<0,05). Nilai R2yang diperoleh sebesar 0,478 berarti sumbangan pengaruh variabel dukungan sosial dan kecerdasan emosi pada work-life balance adalah sebesar 47,8%. Besarnya sumbangan efektif dukungan sosial terhadap work-life balance sebesar 7,81% dan sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap work-life balance sebesar 39,99%.

Karyawan yang bekerja perlu memiliki kecerdasan emosi. Hal ini disebabkan karena tuntuan dalam pekerjaan seringkali mengakibatkan ketegangan emosi dalam diri individu sehingga ketika bersama keluarga di rumah, individu tidak mampu menunjukkan sikap positif. Individu yang memiliki keecerdasan emosi dapat mengatur emosi yang akan muncul sesuai kondisi yang dihadapi individu. Dengan mengetahui kelemahan diri seperti, gampang marah, suka memukul, maka individu dapat mengurangi pengaruhnya pada saat menghadapi masalah sehingga dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apabila seorang karyawan yang sudah menikah dapat memahami emosi yang terjadi pada dirinya, ketika emosi negatif muncul akibat kedua perannya. Karyawan yang sudah menikah dapat meredamnya dan mampu memberikan respon yang baik. Karyawan yang memiliki kecerdasan emosi akan tetap mampu menciptakan komunikasi, kepercayaan, dan perasaan tidak terasingkan walaupun suasana hatinya sedang buruk.

Kecerdasan emosi diketahui juga berhubungan dengan kemampuan humor. Hal ini mengacu pada pernyataan yang dikemukakan oleh Goleman

(12)

(1998) yang menyebutkan kemampuan humor merupakan salah satu cirri dari seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik. Lebih lanjut Goleman (1998) menyebutkan humor berhubungan dengan emosi yang menyenangkan dan penerimaan diri seutuhnya. Humor tidak selalu berfokus pada sesuatu di luar diri individu tapi juga berfokus pada diri sendiri. Individu tidak hanya tertawa pada seuatu yang ada di luar dirinya tetapi ia juga mampu tertawa ketika ia pun membuat sesuatu yang lucu.

Jadi, keseimbangan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan dapat dicapai oleh karyawan yang sudah menikah apabila mereka memiliki sense of

humor. Karena proses fisiologis yang dipengaruhi oleh humor, contohnya tertawa

bisa mengurangi ketegangan syaraf dan membuat individu menjadi rileks. Seperti yang diungkapkan (Colom, et al., 2011) bahwa tertawa dapat membantu kita untuk melepaskan akumulasi dari ketegangan-ketegangan fisik yang diakibatkan dari ketegangan psikologis, serta menurunkan hormon stres.

Pembahasan diatas menjadi bukti bahwa sense of humor merupakan prediktor positif dari work-life balance.Selebihnya bisa dipengaruhi oleh variabel lain, hal ini didukung dari hasil wawancara yang dilakukan kepada 6 responden. Bahwa karakteristik pekerjaan menjadi faktor yang dapat mempengaruhi work-life

balance. Dari hasil wawancara, 4 dari 6 responden mengaku sering bekerja lebih

dari 8 jam/perhari dan 2 dari 6 responden mengaku sering membawa pulang pekerjaan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan (Greenhaus dan Beutell dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003) bahwa jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja (misalnya pola jam kerja dalam satu minggu, kerja satu hari atau

(13)

paruh waktu dan bekerja hampir setiap waktu) dapat mempengaruhi konflik yang terjadi antara ranah kerja dan keluarga.

Selain itu, kurangnya dukungan organisasi juga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi work-life balance, 1 responden mengatakan bahwa masalah yang terjadi dalam pekerjaan karena kurangnya perhatian dari pimpinan dan juga tidak pernah diadakannya acara semacam family gathering. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Pouluse dan Sudarsan, 2014) bahwa dukungan organisasi baik berupa dukungan formal dan informal dapat mempengaruhi

work-life balance.

Lalu dari hasil wawancara, 3 responden mengatakan adanya konflik yang terjadi dalam rumah tangga dan masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi work-life balance, karena masalah yang terjadi dalam kehidupan pribadi secara otomatis akan mengganggu pekerjaan sehingga work-life balance tidak bisa tercapai. Seperti yang diungkapkan (Carlson dan Perrewe dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003) bahwa karakteristik keluarga merupakan salah satu aspek yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara pekerjaan dan dunia di luar kerja adalah situasi yang terjadi dalam keluarga.

Berdasarkan temuan di atas peneliti menganalisis, bahwa ternyata untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan dalam pekerjaan dengan kehidupan pribadi masih banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi work-life

balance seseorang, seperti karateristik pekerjaan, dukungan organisasi, dan

karateristik keluarga. Hal ini juga didukung oleh teori congruence model yang menyatakan bahwa ada pengaruh variabel ketiga untuk melihat hubungan antara

(14)

domain kerja dan luar kerja, seperti kepribadian individu, faktor genetis, sosial, dan budaya (Morf et al., dalam Fisher, 2001). Sehingga hal ini cukup menjelaskan bahwa work-life balance merupakan konstruk yang sangat kompleks sehingga banyak variabel lain yang ikut serta mempengaruhi hubungan keduanya.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini telah banyak kegiatan yang diseleggarakan dan dilaksanakan dengan kebijaksanaan berupa meningkatkan pengawasan dan pengembangan pengujian mutu benih,

Dengan tujuan akhir merubah teknologi pembuatan kapal pada galangan kapal tradisional, diusulkan kegiatan penelitian mengenai penerapan teknologi pembuatan kapal fiberglass

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Chest pass merupakan passing yang sangat penting dalam permainan bola basket dan juga passing ini adalah passing yang

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan betuk-bentuk Pertentangan Kelas menggunakan tinjauan Sosiologi Sastra Marxis dalam cerita novel yang dilakukan oleh ketiga toko sentral

(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengambilan pembayaran pajak sebagaimana

Sedangkan untuk segmen hilir menunjukkan angka DO yang jauh lebih rendah yaitu &lt; 1 mg/L, hal ini terjadi terkait dengan tingginya pencemaran limbah domestik

Untuk mengetahui apakah kopi dari Desa Tleter bisa dikembangkan atau tidak maka diperlukan analisis daya saing dan strategi pengembangan agribisnis kopi sehingga akan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Prestasi belajar aspek kognitif pada siswa yang diajar menggunaan metode TAI didukung kegiatan