• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis perencanaan obat berdasarkan abc indeks kritis di Apotek Sanata Dharma tahun 2006-2008 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis perencanaan obat berdasarkan abc indeks kritis di Apotek Sanata Dharma tahun 2006-2008 - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Akursius Rony

NIM : 058114110

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

ANALISIS PERENCANAAN OBAT BERDASARKAN ABC INDEKS KRITIS

DI APOTEK SANATA DHARMA

TAHUN 2006-2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Akursius Rony

NIM : 058114110

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

are possible

Matthew 19:26

banyak hal yang telah terjalani dan itu belum selesai...

kupersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus...

untuk bapa dan mama serta saudara-saudaraku...

untuk almarhum nenek dan kakek...

untuk dia...,,

(6)
(7)
(8)

vii

PRAKATA

Hal yang paling indah adalah bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus. Puji

dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus atas kekuatan, kasih, bimbingan, dan

dorongan yang telah Ia diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul “

Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks

Kritis di Apotek Sanata Dharma tahun 2006-2008”

ini dengan baik sebagai salah

satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) pada Fakultas Farmasi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan dari

berbagai pihak yang telah membantu penulis hingga akhir penulisan laporan skripsi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

2. Sri Siwi Rahayu, S.Si., Apt selaku Apoteker Pengelola Apotek Sanata Dharma

Yogyakarta yang telah memberikan ijin menggunakan Apotek Sanata Dharma

sebagai tempat untk menjalankan penelitian.

(9)

viii

dan yang telah memberikan saran serta masukan kepada penulis dalam penulisan

skripsi ini.

6. Fx. Budianto selaku administratif dan karyawan Fakultas Farmasi USD yang

telah membantu dan mau direpotkan oleh penulis selama pelaksanaan penelitian

di Apotek.

7. Bapa Alexius Gupung dan Mama Theresia Atin yang telah mendoakan,

membesarkan, mendidik, dan tempat bersandar bagi penulis dengan penuh kasih

saying serta pengobanan tanpa henti sehingga menjadi panutan yang sangat

berarti.

8. Cece Wati, Bang Olok, dan Bang Ipit yang telah monjadi motivator dan inspirator

bagi penulis dalam penyusunan skripsi.

9. Om Uyup, Bang Aloy, Aso, Kak Deta, Nathaniel, Wina, Sera, Michael, Une, dan

adik-adik Une yang banyak memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

10. Maria Elfina Silvia yang telah mendukung, memberi semangat dan doa, serta mau

menjadi tempat keluh kesah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(10)

ix

12. Donald dan Feri D.S yang banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi

di kontrakan.

13. Teman-teman kelas C angkatan 2005 dan FKK angkatan 2005 yang telah

memberikan keceriaan, motivasi bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. Akhir

kata, penulis menyadari bahwa saran yang membangun akan bermanfaat untuk

perbaikan bagi penulis. Terima kasih dan Tuhan Yesus memberkati.

(11)

x

Yogyakarta sehingga dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan efektivitas dan

efisisensi perencanaan dalam rangka menjamin ketersediaan obat.

Penelitian menggunakan rancangan penelitian studi kasus non eksperimental

yang bersifat retrospektif. Data meliputi pengeluaran dan harga satuan barang. Selain

itu dilakukan wawancara dengan Apoteker Pengelola Apotek. Hasil analisis ABC

nilai pakai, nilai investasi dan VEN digabung sehingga didapat hasil analisis ABC

indeks kritis. ABC indeks kritis ini yang akan membawa kepada perencanaan untuk

pertimbangan pengadaan.

Hasil analisis nilai pakai tahun 2006-2008, rata-rata jumlah golongan A

sebanyak 123 jenis, golongan B sebanyak 248 jenis, dan golongan C sebanyak 1631.

Hasil analisis nilai investasi, rata-rata jumlah golongan A sebanyak 294 jenis,

golongan B sebanyak 285 jenis, dan golongan C sebanyak 1424. Hasil analisis VEN,

ada 105 jenis yang masuk golongan A, 223 jenis masuk golongan B, dan 1752 jenis

masuk golongan C. Profil rata-rata nilai indeks kritis, golongan A sebanyak 110 jenis,

golongan B sebanyak 248 jenis, dan golongan C sebanyak 1645. Jumlah sediaan yang

direkomendasikan di Apotek Sanata Dharma sebanyak 403 dan 1647 sediaan

dieliminasi.

(12)

xi

ABSTRACT

Inefficient and ineffectiveness of drugs management brings about negative

impacts both medically and economically. This research aims to find out the planning

phase of the drugs system in Sanata Dharma Dispensary of Yogyakarta so that it can

be the basic of increasing the effectiveness and efficiency of the plan in order to

guarantee the drugs availability.

This research used a retrospective non-experimental case study. The data

covered the outcome and per item price. Moreover, an interview has been conducted

with a Pharmacist as the Dispensary Manager. The result of the ABC “Nilai Pakai”

(Use Value), “Nilai Investasi” (Investment Value) and VEN were collected to obtain

the ABC critical index analysis. This ABC critical index itself would bring to the

planning of the availability consideration.

The result of the Use Value in 2006 to 2008 was that the average quantity of

A Group as much as 123 varieties, B Group as much as 248 varieties, and C Group as

much as 1631. The result of Investment Value analysis was that the average quantity

of A Group as much as 294 varieties, B Group as much as 285 varieties, and C Group

as much as 1424. The result of the VEN analysis showed that there were 105 varieties

enter the A group, 223 varieties enter the B Group, and 1752 varieties enter the C

Group. The critical index value profile was that A Group as much as 110 varieties, B

Group as much as 248 varieties, and C Group as much as 1645. The product quantity

recommended in Sanata Dharma Dispensary as much as 403 and 1647 product were

eliminated.

(13)

xii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...

iii

HALAMAN PENGESAHAN……….……...

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….………...

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….………...

vi

PRAKATA……….………

vii

INTISARI………...

x

ABSTRACT………..

xi

DAFTAR ISI………

xii

DAFTAR TABEL………

xv

DAFTAR GAMBAR………

xvi

DAFTAR LAMPIRAN………....

xviii

BAB I PENGANTAR…..………...

1

A. Latar Belakang……….

1

1. Permasalahan………..

3

2. Keaslian penelitian………..

4

3. Manfaat penelitian………..

4

B. Tujuan Penelitian……….

5

1. Tujuan umum………..

5

(14)

xiii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………..

6

A. Apotek………..

6

1. Definisi……….

6

2. Apotek Sanata Dharma………

6

3. Tugas dan fungsi apotek……….………….

8

B. Sediaan Farmasi………

9

C. Perbekalan Kesehatan……….………

13

D. Apoteker……….………...

15

E. Manajemen Persediaan……….

16

1. Tipe persediaan………

18

2. Fungsi persediaan……….

19

F. Perencanaan Perbekalan Farmasi……….………..

20

G. Pengadaan Perbekalan Farmasi………..………

22

H. Analisis ABC………

24

I.

Keterangan Empiris………

29

BAB III METODE PENELITIAN……….

30

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………..

30

B. Definisi Operasional………..

30

C. Subjek Penelitian……….

33

D. Alat Penelitian………

33

(15)

xiv

2. Analisis ABC Nilai Investasi………..

35

3. Analisis VEN………..

35

4. Analisis ABC Nilai Indeks Kritis………

36

H. Kesulitan Penelitan………...

38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….

39

A. Profil Nilai Pakai, Nilai Investasi dan VEN……….

41

1. Analisis ABC Nilai Pakai………

41

2. Analisis ABC Nilai Investasi……….

45

3. Analisis VEN……….

55

B. Analisis ABC Indeks Kritis………

58

C. Rekomendasi Perencanaan untuk Tahun Berikutnya………

65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………

78

A. Kesimpulan………..

78

B. Saran………..

79

DAFTAR PUSTAKA………..

80

LAMPIRAN……….

82

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I

Jumlah Sediaan Berdasarkan Nilai Pakai pada tahun 2006-2008 di

Apotek Sanata Dharma………...………

44

Tabel II

Jumlah Sediaan dan Nilai Rupiah Berdasarkan Nilai Investasi pada

Tahun 2006-2008 di Apotek Sanata Dharma ...………..

48

Tabel III

Rata-rata Harga per-Sediaan Berdasarkan Nilai Investasi pada Tahun

2006-2008 di Apotek Sanata Dharma ………..………..

49

Tabel IV

Persentase Hasil Analisis Selama Tiga Periode berdaarkan Nilai Pakai,

Nilai Investasi, dan VEN di Apotek Sanata Dharma..……...

58

Tabel V

Jumlah Golongan Sediaan Dalam Nilai Indeks Kritis pada Tahun

2006-2008 di Apotek Sanata Dharma ……….…………

61

Tabel VI

Jumlah Sediaan Tiap Golongan pada tahun 2006-2008 di Apotek Sanata

Dharma ……….………..

71

Tabel VII

Penggolongan kepada macam-macam sediaan yang ada di Apotek

(17)

xvi

Gambar 3

Logo Fitofarmaka

10

Gambar 4

Logo Obat Bebas

10

Gambar 5

Logo Obat Bebas Terbatas

11

Gambar 6

Logo Obat Keras

11

Gambar 7

Logo obat Narkotik

12

Gambar 8

Contoh Suatu Distribusi Persediaan ABC………..………

27

Gambar 9

Diagram Batang Analisis Nilai Pakai selama Tiga periode di Apotek

Sanata Dharma ……….…………

43

Gambar 10

Diagram Batang Analisis Nilai Investasi selama tiga periode di Apotek

Sanata Dharma ……….

47

Gambar 11

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai Investasi tahun

2006 di Apotek Sanata Dharma ……….……….……

51

Gambar 12

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai Investasi tahun

2007 di Apotek Sanata Dharma ……….……….……

52

Gambar 13

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai Investasi tahun

2008 di Apotek Sanata Dharma ……….……….……

53

Gambar 14

Persentase Golongan Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Apoteker

Pengelola Apotek di Apotek Sanata Dharma……….………..

57

Gambar 15

Diagram Batang Nilai Indeks Kritis pada tahun 2006-2008 di Apotek

(18)

xvii

Gambar 16

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis tahun

2006 di Apotek Sanata Dharma ……….……….……

62

Gambar 17

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis tahun

2007 di Apotek Sanata Dharma ……….………….……

63

Gambar 18

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis tahun

2008 di Apotek Sanata Dharma ……….……

64

Gambar 19

Persentase Nilai Indeks Kritis Selama Tiga Periode (2006-2008) di

Apotek Sanata Dharma ………...……….

66

Gambar 20

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis tahun

2006-2008 di Apotek Sanata Dharma ………

69

(19)

xviii

LAMPIRAN I.1

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan A ………..…

82

LAMPIRAN I.2

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan B……….……

86

LAMPIRAN I.3

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan C………..…..

93

LAMPIRAN II

Jenis Sediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi pada Tahun

2006-2008 di Apotek Sanata Dharma………

139

LAMPIRAN II.1

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan A ………..……….

139

LAMPIRAN II.2

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan B……….……..

150

LAMPIRAN II.3

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan C………..

161

LAMPIRAN III

Jenis Sediaan Berdasarkan Analisis VEN di Apotek Sanata

Dharma………..

212

LAMPIRAN III.1

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan A………

212

LAMPIRAN III.2

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan B………..

213

LAMPIRAN III.3

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan C………..

215

LAMPIRAN IV

Jenis Sediaan Berdasarkan Analisis Nilai Indeks Kritis pada

Tahun 2006-2008 di Apotek Sanata Dharma……….

230

LAMPIRAN IV.1

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan Aa………..………..

230

(20)

xix

LAMPIRAN IV.3

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan Ac………

234

LAMPIRAN IV.4

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan Ba………

235

LAMPIRAN IV.5

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan Bb………..

240

LAMPIRAN IV.6

Jenis Sediaan yang Masuk Golongan Bc……….

242

(21)

1

A. Latar Belakang

Berdasarkan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 tentang standar pelayanan

kefarmasian di apotek, apotek adalah tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada

masyarskat. Dari definisi tersebut bahwa apotek merupakan salah satu sarana

pelayanan kesehatan dan sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi

apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.

(22)

2

pengadaan, dan penyimpanan sehingga penyampaian sediaan farmasi tersebut dapat

dalam jumlah yang tepat pada saat dibutuhkan dengan biaya yang ekonomis.

(23)

kerja karena pertimbangan pengadaan obat tidak hanya berdasarkan biaya tetapi juga

berdasarkan dampak obat terhadap kesehatan.

Apotek Sanata Dharma merupakan Apotek yang cocok untuk dianalisis

karena keterbatasan tenaga dan memerlukan dana yang kecil dalam pengadaannya.

Apotek Sanata Dharma juga memiliki jumlah barang yang banyak sehingga perlu

dikendalikan

agar

dapat

mencegah

terjadinya

pengeluaran

sediaan

karena

kadaluwarsa atau rusak. Dalam hal pengadaan Apotek Sanata Dharma tidak

menggunakan pertimbangan jadwal pemesanan, karena pengadaan berdasarkan

dengan menipisnya stok dalam artian membeli atau memesan secara terus menerus.

Apotek Sanata Dharma memerlukan dana yang kecil karena di Apotek Sanata

Dharma tidak menekankan hal bisnis melainkan pelayanan, hal ini terlihat dengan

konsumen atau pasien yang berasal dari lingkungan Sanata Dharma yaitu karyawan

dan mahasiswa. Jika dikaitkan dengan efisiensi pengadaan dan dana yang kecil maka

perlu diadakan analisis pengendalian persediaan sehingga dapat memberikan

informasi dalam rangka memperioritaskan pengadaan.

1. Permasalahan

Beberapa permasalahan yang muncul antara lain adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana profil rata-rata nilai pakai, nilai investasi, dan VEN di Apotek

Sanata Dharma tahun 2006, 2007, dan 2008?

(24)

4

c. Sediaan apa saja yang akan direkomendasikan untuk direncanakan pada tahun

berikutnya terkait dengan profil nilai indeks kritis?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penelitian tentang analisis

perencanaan obat berdasarkan ABC indeks kritis di Apotek Sanata Dharma tahun

2006 sampai 2008 belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang perencanaan

obat agar pengadaan obat dapat efisien dan pemakaian yang efektif di suatu

apotek.

b. Manfaat praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi perencanaan

sediaan farmasi, terutama bagi Apoteker Pengelola Apotek Sanata Dharma

berdasarkan analisis perencanaan obat berdasarkan ABC indeks kritis

beberapa periode sebelumnya.

c. Manfaat metodologis

(25)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini untuk perencanaan agar mendapatkan pengadaan

sediaan farmasi yang efektif dan efisien.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Nilai Pakai, Nilai Investasi, dan VEN sediaan farmasi yang ada di Apotek

Sanata Dharma periode 2006-2008.

b. Nilai Indeks Kritis sediaan farmasi yang ada di Apotek Sanata Dharma

periode 2006-2008.

(26)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Apotek

1. Definisi

Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Apotik menyebutkan

bahwa “Apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran Obat kepada masyarakat”. Definisi ini juga tidak

jauh berbeda dengan definisi yang diberikan pada Keputusan Menteri Kesehatan

No. 1332 tahun 2002 maupun Kepmenkes No. 1027 tahun 2004; Apotek adalah

tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan

farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

2. Apotek Sanata Dharma

(27)

Apotek (APA) dan Sri Siwi Rahayu, S. Si., Apt sebagai Apoteker Pendamping

(Nia dkk, 2008). Hal tersebut juga tertera pada Visum Apoteker Sri Siwi Rahayu,

S. Si., Apt. dengan nomor dan tanggal SP adalah KP.01.01.1.3.13756 bahwa Sri

Siwi Rahayu, S. Si., Apt. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker

pendamping pada Apotek Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Visum ini

berlaku sejak 9 Juni 2004 yang ditanda tangani oleh Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi DIY hingga yang bersangkutan tidak bekerja lagi di Apotek Sanata

Dharma.

Pada tahun 2006, Apoteker Pengelola Apotek Edi Joko Santoso, S.Si.,

Apt. melanjutkan studi sehingga apotek membutuhkan Apoteker Pengganti untuk

memenuhi peraturan perundang-undangan No. 1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu

apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal

tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk

Apoteker Pengganti. APA mengangkat Sri Siwi Rahayu, S.Si., Apt sebagai

Apoteker Pengganti yang sebelumnya menjadi Apoteker Pendamping dan Lusia

Murtisiwi, S.Farm., Apt sebagai Apoteker Pendamping (Nia dkk, 2008). Sejalan

dengan itu, Yayasan Sanata Dharma memberi surat penugasan kepada Sri Siwi

Rahayu, S. Si., Apt. sebagai Pejabat (Pj) penanggungjawab Apotik Sanata

Dharma terhitung mulai tanggal 31 Juli 2006 – 31 Desember 2007.

(28)

8

Pengelola Apotek dari Edi Joko Santoso, S. Si., Apt. selaku Apoteker Pengelola

yang lama kepada Sri Siwi Rahayu, S. Si., Apt. selaku Apoteker Pengelola

Apotek yang baru mengizinkan Sri Siwi Rahayu, S. Si., Apt. sebagai Apoteker

Pengelola Apotek Sanata Dharma. Izin tersebut berlaku sejak tanggal 22

September 2008 dengan nomor surat penugasan Kp.01.01.1.3.13756 dan Apotek

Sanata Dharma tetap milik Yayasan Sanata Dharma.

Apotek Sanata Dharma disebut sebagai apotek pendidikan karena tujuan

awal pendiriannya adalah sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa S1

Farmasi dan Profesi Apoteker, selain itu juga sering digunakan oleh mahasiswa

lainnya. Apotek Sanata Dharma selain sebagai sarana belajar mahasiswa juga

menjadi pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar apotek, mahasiswa dan

karyawan Universitas Sanata Dharma (Nia dkk, 2008).

3. Tugas dan fungsi apotek

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia NO. 25 tahun 1980

tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah NO. 26 tahun 1965 tentang Apotik,

tugas dan fungsi apotik adalah:

a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah

jabatan;

b. sarana

farmasi

yang

melaksanakan

peracikan,

pengubahan

bentuk,

pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;

(29)

B. Sediaan Farmasi

Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, KepMenKes tahun 2004

tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek dan Peraturan Pemerintah RI tahun

1998 tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan disebutkan sediaan

farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.

Menurut UU No. 23 tahun 1992 juga dikatakan obat tradisional adalah bahan

atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,

sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun

telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat itu sendiri adalah

bahan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.

Logo untuk kelompok jamu memiliki kode registrasi: TR. Contoh produk

jamu: Antangin

®

(cair), Darsi

®

(pil, kapsul), Sliming Tea

®

(serbuk teh), Merit

®

(pil)

(Anonim, 2004b).

Gambar 1. Logo Jamu (Anonim, 2004b)

(30)

10

Gambar 2. Logo Herbal Terstandar (Anonim, 2004b)

Logo untuk kelompok fitofarmaka memiliki Kode registrasi: FF. Contoh

produk Fitofarmaka : Stimuno

®

(cair) X-Gra

®

(kapsul), Nodiar

®

(tablet), Tensigard

®

(kapsul) (Anonim, 2004b).

Gambar 3. Logo Fitofarmaka (Anonim, 2004b)

Obat bukan tradisional dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

1. Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat bebas adalah parasetamol

tablet 500 mg (Anonim, 2006a).

Gambar 4. Logo Obat Bebas (No. Reg DBL) (Anonim, 2006a)

2. Obat bebas terbatas

(31)

Gambar 5. Logo Obat Bebas Terbatas (No. Reg DTL) (Anonim, 2006a)

3. Obat keras dan psikotropika

Dalam Undang-undang obat keras tahun 1949 disebutkan obat-obat keras

yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, yang mempunyai

khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfiksikan dan lain-lain

tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh

Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement Van Gesondheid.

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam (Anonim, 2006a). Contoh obat keras

adalah ampicillin kapsul 500 mg (Anonim, 2007).

Gambar 6. Logo Obat Keras (No. Reg DKL) (Anonim, 2006a)

(32)

12

adalah jenis obat yang menstimulasi seluruh SSP, yakni antidepresiva dan

psikostimulansia (wekamin). Contoh obat psikotropika adalah Haldol® tablet 2

mg (Anonim, 2007).

4. Obat narkotika

Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1997 narkotika adalah zat atau obat

yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.

Narkotika digolongkan menjadi; narkotika golongan I, II, dan III.

Atas dasar cara kerjanya, obat-obatan ini dapat dibagi dalam 3 kelompok,

yakni:

a. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam alkaloida candu seperti morfin,

kodein, heroin, nicomorfin; dan zat-zat sintetis seperti metadon dan

derivatnya, petidin, dan derivatnya, dan tramadol.

b. Antagonis opiate seperti

nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin

, dan

nalbufin.

Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah

satu reseptor.

c. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak

mengaktivasi kerjanya dengan sempurna (Tjai dan Rahardja, 2002).

(33)

Undang-undang Narkotika dikebanyakan negara, beberapa obat dari

kelompok obat ini, seperti

propoksifen, pentazosin

, dan

tramadol

, tidak termasuk

dalam Undang-undang Narkotik, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan

sekali. Namun, penggunaannya untuk jangka waktu lama tidak dianjurkan. Pada

tahun 1978,

propoksifen

di negeri Belanda dimasukkan dalam

“Opiumwet”

(Tjai

dan Rahardja, 2002). Contoh obat narkotika adalah codein tablet 10 mg.

C. Perbekalan Kesehatan

Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang

diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Alat kesehatan adalah bahan,

instrument aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan

untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat

orang sakit serta memulihankan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk

struktur dan memperbaiki fungsi tubuh (Anonim, 1992).

(34)

14

dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan (ayat

2).

Pemerintah

membantu

penyediaan

perbekalan

kesehatan

yang

menurut

pertimbangan diperlukan oleh sarana kesehatan (ayat 3).

Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina dan

diarahkan agar menggunakan potensi nasional yang tersedia dengan memperhatikan

kelestarian lingkungan hidup termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.

Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi

yang baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam

farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.

Pemerintah mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan obat tradisional

yang dapat dipertanggung jawabkan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan

yang optimal (Anonim, 1992).

Pengamanan alat kesehatan tertuang dalam pasal 39 Undang-undang No. 23

tahun 1992 tentang kesehatan, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh

penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan

mutu dan atau keamanan dan kemanfaatan.

(35)

Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta yang seluas-luasnya

dalam mewujudkan perlindungan masyarakat dan bahaya yang disebabkan oleh

penggunaan sedian farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atau tidak

memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan (Anonim, 1998).

D. Apoteker

Definisi apoteker tertuang dalam dalam Undang-undang obat keras/St.No.419

tanggal 22 Desember 1949. Apoteker: mereka yang sesuai dengan peraturan yang

berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di

Indonesia sebagai Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek. Apoteker adalah

sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker (Anonim, 2004a).

(36)

16

tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-menerus, telah memiliki

surat izin kerja dan tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotik di apotik lain.

Apoteker adalah praktisi kesehatan yang merupakan bagian dari sistem

rujukan profesional. Karena mudah didatangi (aksesibilitas), apoteker sering kali

merupakan titik kontak pertama antara seorang penderita dan sistem pelayanan

kesehatan. Apoteker berurusan dengan penerapan terapi, dengan menyediakan produk

obat yang perlu untuk pengobatan kondisi yang didiagnosis oleh dokter, dan

memastikan penggunaan obat yang tepat. Farmasi adalah profesi yang harus selalu

berinteraksi dengan profesional kesehatan lainnya, dan penderita untuk pemberian

konsultasi serta informasi, di samping mengendalikan mutu penggunaan terapi obat

dalam bentuk pengecekan atau interpretasi pada resep atau order dokter (Siregar dan

Amalia, 2004).

E. Manajemen Persediaan

Manajemen adalah pengambilan keputusan, yang dapat diartikan bagaimana

pimpinan harus mengambil keputusan untuk menentukan misalnya pengembangan

produk baru, memperluas usaha dengan membuat pabrik baru, dan lain-lain membuat

strategi pemasaran bahkan dalam menerima ataupun mengeluarkan karywan,

melakukan hubungan dengan mitra bisnisnya, juga dengan pelanggan potensial dan

berbagai pekerjaan yang lain (Seto dkk, 2004).

(37)

obat yang tepat memiliki pengaruh yang kuat dan langsung terhadap perolehan

kembali atas investasi apotek (Seto dkk, 2004).

Manajemen persediaan merupakan suatu cara mengendalikan persediaan agar

dapat melakukan pemesanan yang tepat yaitu dengan biaya yang optimal. Oleh

karena itu konsep mengelola sangat penting diterapkan oleh perusahaan agar tujuan

efektifitas maupun efisiensi tercapai. Semua organisasi mempunyai beberapa jenis

sistem perencanaan dan pengendalian persediaan. Contohnya di Bank ada metode

untuk mengendalikan uang tunai, di rumah sakit ada metode mengendalikan

persediaan akan obat-obatan. Di kantor, sekolah, pada usaha ritel seperti super market

dan di semua organisasi bisnis terutama berkepentingan untuk mengelola persediaan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat perlu untuk mempelajari bagaimana

mengelola persediaan di suatu perusahaan (Dwiningsih, 2009).

Manajemen persediaan yang baik merupakan hal yang sangat penting bagi

suatu perusahaan. Pada satu sisi, pengurangan biaya persediaan dengan cara

menurunkan tingkat persediaan dapat dilakukan peruahaan, tetapi pada sisi lainnya,

konsumen akan tidak puas apabila suatu produk stocknya habis. Oleh karena itu

keseimbangan antara investasi persediaan dan tingkat pelayanan kepada konsumen

harus dapat dicapai (Dwiningsih, 2009).

(38)

18

tidak sesuai dengan realita yang ada karena kegiatan ini sangat sulit dilakukan dan

banyak negara yang memiliki

inventory management

buruk dan sistemnya menjadi

membuang-buang

uang,

menyebabkan

pengurangan

golongan

esensial,

dan

mengakibatkan penurunan kualitas pada perawatan pasien (Quick, 1997).

Tujuh dasar yang harus diperhatikan ketika hendak merancang sistem

inventory management

adalah:

1. tujuan

supply sistem

dan tipe sistem distribusi

2. pelaporan dan rekaman yang menyediakan dana untuk

inventory management

3. pemilihan barang yang akan distok

4. keseimbangan antara tingkat servis dan tingkat stok

5. kebijakan frekuensi pemesanan

6. formula yang digunakan untuk menghitung kuantitas

re-order

7. kontrol ongkos yang terkait dengan

inventory management

(Quick, 1997).

Dua faktor yang relevan yaitu

independent vs dependent demand

dan

push

dan pull logistic

.

Independent demand sistem

dapat diterapkan pada

management

procurement

dan distribusi produk akhir. Interval dan distribusi pemesanan

diturunkan dari riwayat

forecast

konsumen dan didapatkan dengan pengetahuan

perubahan tingkat yang diharapkan.

Inventory level

diatur untuk menyedikan tingkat

servis tertentu dan pada

acceptable cost

(Quick, 1997).

1. Tipe persediaan

(39)

a. Persediaan bahan mentah yang telah dibeli, tetapi belum diproses. Pendekatan

yang lebih banyak diterapkan adalah dengan menghapus variabilitas pemasok

dalam mutu, jumlah atau waktu pengiriman sehingga tidak perlu pemisahan.

b. Persediaan barang dalam proses yang telah mengalami beberapa perubahan

tetapi belum selesai. Persediaan ini ada karena untuk membuat produk

diperlukan waktu yang disebut waktu siklus. Pengurangan waktu siklus

menyebabkan persediaan ini berkurang.

c. Persediaan MRO (Maintenance/Repair/Operating) merupakan persediaan

yang dikhususkan untuk perlengkapan pemeliharaan, perbaikan, operasi.

Persediaan ini ada karena kebutuhan akan adanya pemeliharaan dan perbaikan

dari beberapa peralatan yang tidak diketahui. Sehingga persediaan ini

merupakan fungsi jadwal pemeliharaan dan perbaikan.

d. Persediaan barang jadi, termasuk dalam persediaan karena permintaan

konsumen untuk jangka waktu tertentu mungkin tidak diketahui (Dwiningsih,

2009).

2. Fungsi persediaan

Persediaan mempunyai beberapa fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari

operasi suatu perusahaan, antara lain:

a. Untuk memberikan stock agar dapat memenuhi permintaan yang diantisipasi

akan terjadi.

(40)

20

c. Untuk memperoleh keuntungan dari potongan kuantitas, karena membeli

dalam jumlah banyak biasanya ada diskon.

d. Untuk hedging terhadap inflasi dan perubahan harga.

e. Untuk menghindari kekurangan stok yang dapat terjadi karena cuaca,

kekurangan pasokan, mutu, ketidaktepatan pengiriman.

f.

Untuk menjaga kelangsungan operasi dengan cara persediaan dalam proses

(Dwiningsih, 2009).

F. Perencanaan Sediaan Farmasi

Dalam siklus pengelolaan obat, tahap perencanaan selalu dibahas paling awal,

karena perencanaan dianggap awal mula dari kegiatan pada umumnya. Walaupun

demikian, dalam pengelolaan obat yang baik, perencanaan idealnya dilakukan dengan

berdasarkan data yang diperloeh dari tahap terakhir pengelolaan, yaitu penggunaan

periode lalu. Gambaran penggunaan obat dapat dipeoleh berdasarkan data riil

konsumsi obat, atau berdasarkan data riil pola penyakit (Anonim, 1996).

(41)

Dalam penetuan kebutuhan adalah menyangkut proses memilih jenis dan menetapkan

dengan prediksi jumlah kebutuhan persediaan barang/obat perjenisnya di apotek

ataupun rumah sakit. Penentuan kebutuhan dapat dikatakan adalah merupakan

perincian yang kongkrit dan detail dari perencanaan logistik.

Dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat

kesehatan, maka perlu dilakukan pengumpulan data obat-obatan yang akan dipesan.

Data obat-obatan tersebut biasanya ditulis dalam buku

defecta

, yaitu jika barang habis

atau persediaan menipis berdasarkan jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan

sebelumnya. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan oleh Apoteker Pengelola

Apotek di dalam melaksanakan perencanaan pemesanan barang, yaitu memilih

Pedagang Besar Farmasi yang memberikan keuntungan dari segala segi, misalnya

harga yang ditawarkan sesuai (murah), ketepatan waktu pengiriman, diskon dan

bonus yang diberikan sesuai (besar), jangka waktu kredit yang cukup, serta

kemudahan dalam pengembalian obat-obatan yang hampir kadarluarsa (ED) (Hatini

dan Sulasmono, 2008).

(42)

22

G. Pengadaan Sediaan Farmasi

Yang dimaksud dengan pengadaan ialah, suatu proses untuk mendapatkan

perbekalan. Dalam hal ini ialah perbekalan farmasi untuk menunjang kegiatan

pelayanan. Pengadaan merupakan bagian dari siklus manejemen perbekalan farmasi.

Tujuan sistem pengadaan: mendapatkan perbekalan perbekalan farmasi dengan harga

layak, mendapatkan obat/barang dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin

tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan tenaga-waktu berlebihan.

Dalam proses pengadaan masih dijumpai pemborosan waktu, dana, dan tenaga, dan

akibat yang dirasakan makin meningkatnya biaya perbekalan farmasi dan akan

menurunkan kualitas pelayanan (Anonim, 1996).

Fungsi pengadaan adalah merupakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan

untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan didalam fungsi

perencanaan, penentuan kebutuhan (dengan peramalan yang baik), maupun

penganggaran. Di dalam pengadaan dilakukan proses pelaksanaan rencana pengadaan

dari fungsi perencanaan dan penetuan kebutuhan, serta rencana pembiyaan dari fungsi

penganggaran.

Pelaksanaan

dari

fungsi

pengadaan

dapat

dilakukan

dengan

pembelian, pembuatan, penukaran ataupun penerimaan sumbangan (hibah, misal

untuk rumah sakit umum) (Seto dkk, 2004).

Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam fungsi pengadaan adalah pengadan

tersebut haruslah memenuhi syarat, yakni:

1. Doelmatig, artinya sesuai tujuan/sesuai rencana.

(43)

2. Rechmatig, artinya sesuai hak/sesuai kemampuan.

Biasanya anggaran yang dialokasikan oleh rumah sakit umum yang dikelola oleh

pemerintah (pusat maupun daerah) tidak sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya

(kebutuhan > anggaran tersedia). Untuk itu perlu disusun skala prioritas atas dasar

manfaat. Untuk pengadaan obat, WHO memperkenalkan sistem VEN (Vital,

Esensial, Non-esensial), dengan mengatur pengadan dari hanya item-item “V”,

kemudian item-item “E”, yang apabila diperlukan, tentukan dengan tepat prioritas

diantara item-item tersebut dan akhirnya apabila dana tidak dialokasikan

tersisa/tersedia, diatur untuk pengadaan item-item “N”. Perlu diingat bahwa VEN

untuk tiap negara akan berbeda penggolongannya.

3. Wetmatig, artinya sistem/cara pengadaannya haruslah sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Jadi dalam pengadaan perlu diperhatikan mengenai kebutuhan, kemampuan

dan ketentuan (3K) (Seto dkk, 2004).

Pada proses pengadaan ada tiga elemen penting:

1. Metoda pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya tinggi”

2. Penyusun dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga agar

pelaksanaan pengadaan terjamin mutu, waktu dan kelancaran bagi semua pihak

3. Order pemesanan, agar barang dapat sesuai macam, waktu dan tempat

(44)

24

obat, sedangkan biaya operasional relatif kecil, biaya pengembangan jarang yang

mengalokasikan (Anonim, 1996).

H. Analisis ABC

Analisis ABC adalah metode yang sangat berguna untuk melakukan

pemilihan, penyediaan, manajemen distribusi, dan promosi penggunaan obat yang

rasional. Terkait dengan pemilihan obat, evaluasi obat kelompok A menjelaskan

tentang item obat yang paling banyak digunakan. Selain itu analisis ABC juga

membantu untuk mengidentifikasi biaya yang dihabiskan untuk setiap item obat yang

tidak terdapat dalam daftar golongan esensial atau jarang digunakan. Terkait dengan

pendapatan dari penyediaan obat, analisis ABC dapat digunakan untuk:

1. menentukan frekuensi permintaan item obat

Memesan item obat kelompok A lebih sering dan dalam jumlah yang lebih kecil

akan mengurangi biaya inventoris

2. mencari sumber item kelompok A dengan harga yang lebih murah

Dilakukan dengan mencari item kelompok A dalam bentuk sediaan yang paling

murah atau supplier yang paling murah

3. memonitor status permintaan item

Hal ini untuk mencegah terjadinya kekurangan item yang mendadak dan

keharusan untuk melakukan pembayaran darurat yang biasanya mahal

(45)

Pola

penyediaan

disesuaikan

dengan

prioritas

sistem

kesehatan

yang

menunjukkan jumlah obat jenis apa saja yang sering digunakan

5. membandingkan biaya aktual dan terencana

Membandingkan biaya aktual dan terencana dengan sistem penyediaan obat di

sektor publik negara yang bersangkutan (Quick, 1997).

Terkait dengan manajemen distribusi dan inventoris, analisis ABC bisa

digunakan untuk :

1. memonitor waktu paruh dengan menitik beratkan pada kelas A untuk

meminimalisasi jumlah obat yang dibuang.

2. menjadwal pengiriman

3. menghitung jumlah stok secara berkala, terutama untuk penghitungan item

kelompok A

4. memonitor penyimpanan (Quick, 1997).

Terkait dengan segi manfaat, analisis ABC digunakan untuk mengevaluasi

item dengan tingkat penggunaan terbanyak bersama-sama pejabat kesehatan, dokter,

dan tenaga medis lain untuk memberikan gambaran mengenai obat yang jarang dan

sering digunakan (Quick, 1997).

Analisis ABC dapat diterapkan pada suatu periode tahunan atau periode yang

lebih singkat. Langkah-langkah analisis ABC yaitu :

1. mendata semua item yang dibeli atau dikonsumsi dan memasukkannya

kedalam unit biaya

(46)

26

3. menghitung nilai konsumsi

4. menghitung persentase nilai total setiap item

5. menyusun kembali daftar berurutan dari nilai total yang paling tinggi

6. menghitung persentase kumulatif nilai total untuk setiap item

7. memilih poin

cut-off

atau batasan (range persentase) untuk obat kelompok

A,B,dan C

8. menyajikan data dalam bentuk grafik (Quick, 1997).

(47)

bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Sebagai contoh, 20% dari total barang

biasanya bernilai 80% dari total nilai inventori (Anonim, 2006b).

Menurut Handoko (1999), Hukum Pareto berguna dalam pengalokasian

sumber daya-sumber daya pengawasan, dan telah dioperasikan sebagai cara

mengklasifikasikan persediaan menjadi kelompok A, B, dan C. Secara grafik,

pemisahan persediaan barang-barang dalam kelas-kelas (dikenal sebagai

analisis

persediaan

ABC) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 8. Contoh suatu distribusi persediaan ABC (Handoko, 1999)

(48)

28

1. Kelas A

a. Pengendalian ketat

b. Penyimpanan secara baik laporan-laporan penerimaan dan penggunaan barang

c. Berdasarkan perhitungan kebutuhan

d. Pengecekan secara ketat revisi skedul

e. Monitoring terus menerus

f.

Persediaan pengaman tidak ada atau rendah (1 - 2 minggu)

2. Kelas B

a. Pengndalian moderat

b. Penyimpanan secara baik laporan-laporan penerimaan dan penggunaan barang

c. Berdasarkan perhitungan pemakaian di waktu yang lalu atau daftar

permintaan

d. Serangkaian pengecekan perubahan-perubahan kebutuhan

e. Monitoring untuk kemungkinan kekurangan persediaan

f.

Persediaan pengaman moderat (sampai 2 - 3 bulan)

3. Kelas C

a. Pengendalian longgar

b. Bila suplai mencapai titik pemesanan kembali, pesanan segera dilakukan

c. Pengecekan sedikit dilakukan, dengan membandingkan terhadap kebutuhan

d. Monitoring tidak perlu atau sedikit dilakukan

(49)

E. Keterangan Empiris

(50)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang analisis perencanaan obat ini merupakan jenis penelitian

non eksperimental dengan menggunakan rancangan studi kasus yang bersifat

retrospektif.

B. Definisi Operasional

1. Nilai Pakai berarti nilai yang diberikan kepada suatu sediaan berdasarkan jumlah

pengeluaran sediaan tersebut. Nilai A diberikan terhadap sediaan yang masuk

dalam pemakaian terbanyak dengan kekuatan gabungan dari seluruh sediaan

tersebut mendominasi 80% pemakaian keseluruhan untuk tiap periodenya. Nilai B

diberikan terhadap sediaan yang pemakaian sedang yang dimulai dari sediaan

yang pemakainnya lebih kecil dari sediaan bergolongan A, kekuatan gabungan

sediaan di golongna B sebesar 15% dari pemakaian keseluruhan dari tiap periode.

Niali C diberikan tehadap sediaan yng pemakaiannya kecil atau tidak sama sekali

yang dimulai dari sediaan yang pemakaiannya lebih kecil dari sediaan yang

masuk golongan B, kekuatan gabungan dari sediaan bergolongan C sebesar 5%

dari seluruh pemakaian untuk tiap periodenya.

(51)

diberikan terhadap sediaan-sediaan yang memberikan investasi terbesar dan

apabila di kombinasikan akan memberikan kekuatan sebesar 80% dari seluruh

investasi untuk tiap periodenya. Nilai B diberikan terhadap sediaan yang

memberikan investasi sedang yang diambil setelah sediaan yang masuk golongan

B, jika dikombinasikan memberikan kekuatan sebesar 15% dari seluruh investasi

tiap periodenya. Nilai C diberikan terhadap sediaan yang memiliki investasi kecil

atau tidak memberikan sama sekali, jika sediaan yang bergolongkan C

dikombinasikan maka harus memberikan kekuatan sebesar ± 5% dari seluruh

investasi tiap periode.

3. Vital, Esensial, Non-esensial (VEN) merupakan golongan sediaan yang

ditetapkan oleh Apoteker Pengelola Apotek Sanata Dharma. Vital berarti tidak

boleh kosong sama sekali, Esensial berarti sediaan tersebut tidak boleh kosong

lebih dari 2x24 jam, Non-esensial berarti sediaan yang boleh kosong lebih dari 48

jam. Untuk sedian vital diberi nilai A, sedian esensial diberi nilai B, dan sediaan

non-esensial diberi nilai C.

4. Investasi berarti kemampuan suatu sediaan dalam memberikan nilai harganya

berdasarkan harga+ppn dan pemakaian dalam satu periode.

(52)

32

digolongan A selama satu tahun dengan catatan digolongan B selama dua tahun.

Nilai Ac diberikan terhadap sediaan-sediaan yang mampu bertahan dalam

golongan A selama satu tahun. Nilai Ba diberikan terhadap sediaan-sediaan yang

mampu bertahan digolongan B selama tiga tahun. Nilai Bb diberikan terhadap

sediaan-sediaan yang mampu bertahan digolongan B selama dua tahun dan satu

tahunnya berada digolongan C ataupun belum ada pada satu periode. Nilai Bc

diberikan terhadap sediaan-sediaan yang hanya mampu bertahan selama satu

tahun digolongan B. Nilai C diberikan terhadap sediaa-sediaan yang bertahan

digolongan C selama tiga tahun.

6. Rekomendasi perencanaan ditujukan untuk sediaan yang masuk dalam golongan

A dan B berdasarkan indeks kritis.

7. Analisis perencanaan berdasarkan analisis obat yang keluar dan kekuatan

masing-masing obat selama tiga tahun yaitu tahun 2006, 2007, dan 2008 yang

digabungkan dengan pendapat Apoteker Pengelola terhadap tiap jenis obat.

8. Kasus dalam penelitian ini adalah bagaimana memperoleh daftar sediaan yang

perlu ada di apotek untuk periode berikutnya dan bagaimana mengelola sediaan

yang tidak diperlukan.

9. Wawancara mewakilkan kekuatan obat selama tiga tahun dengan melihat realita

sampai saat ini. Waktu wawancara dilakukan pada awal tahun 2009.

10. Karakteristik sediaan tidak spesifik dan hanya melihat apa yang ada di apotek.

11. Satu periode terdiri dari duabelas bulan atau 1 tahun.

(53)

13. Harga satuan+ppn suatu sediaan untuk tiap periode adalah sama berdasarkan data

tahun 2008.

C. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Perbekalan farmasi yang ada di Apotek Sanata Dharma dari tahun 2006 sampai

2008. Jumlah perbekalan pada tahun 2006 sebesar 1926 sediaan, tahun 2007

sebesar 2001 sediaan, dan tahun 2008 sebesar 2080 sediaan.

2. Data sediaan pada saat

stock opname

tahun 2006 sampai 2008.

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Daftar pertanyaan sebagai alat bantu untuk wawancara

2. Buku untuk mencatat langsung

3. Kalkulator untuk menghitung

4. Program microsoft office excel 2007

E. Tempat Penelitian

(54)

34

F. Jalan Penelitian

Data diambil dari jumlah pemakaian dan harga obat (harga beli+ppn) di

Apotek Sanata Dharma dari tahun 2006 sampai 2008, serta wawancara dengan

Apoteker Pengelola Apotek. Kemudian akan diperoleh daftar obat yang keluar selama

beberapa periode, daftar peringkat harga obat dan daftar obat yang harus berada di

Apotek menurut Apoteker Pengelola.

G. Analisis Data

Analisis Data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Analisis ABC Nilai Pakai

Pemakaian obat dihitung per tahun, lalu diurutkan dari pemakaian

tertinggi sampai terendah. Penetapan klasifikasi obat menjadi A

NP

, B

NP

, C

NP

berdasarkan persentase kumulatif 80%, 15%, dan 5%. Obat yang sudah

dikelompokkan diberi skor, masing-masing bernilai 3 jika masuk dalam A

NP

, nilai

2 jika masuk dalam kelompok B

NP

, dan diberi nilai 1 jika masuk dalam kelompok

C

NP.

Berikut perhitungannya:

Keterangan: y

= % pemakaian

x

= jumlah pemakaian/sediaan

(55)

2. Analisis ABC Nilai Investasi

Analisis dilakukan pertahun, yaitu mengidentifikasi obat dalam urutan

pemakaian biaya terbanyak kemudian obat dikelompokkan menjadi klasifikasi

A

NI

, B

NI

, C

NI.

Caranya yaitu dengan menghitung jumlah penggunaan obat dan

dikalikan dengan harga satuan, kemudian diurutkan dari yang tertinggi sampai

yang terendah. Penetapan klasifikasi obat berdasarkan persentase kumulatif 80%,

15%, dan 5%. Yang sudah dikelompokkan lalu diberi skor, masing-masing

bernilai 3 jika masuk dalam kelas A

NI

, nilai 2 untuk obat kelas B

NI

, dan nilai 1

untuk obat kelas C

NI.

Berikut perhitungannya:

Keterangan: x

= jumlah investasi/sediaan

n

= jumlah pemakaian/sediaan

hp = harga beli + ppn tiap satuan sediaan

Keterangan: y

= % investasi

x

= jumlah investasi/sediaan

Σ

x = jumlah seluruh investasi sediaan

3. Analisis VEN

(56)

36

untuk obat yang dirasa tidak perlu untuk berada di Apotek atau boleh kosong

lebih dari 48 jam.

4. Analisis ABC Nilai Indeks Kritis

Untuk mengklasifikasikan obat, data kemudian dimasukkan ke dalam

rumus berikut:

NIK =

nilai pakai + nilai investasi + (2 x VEN)

Nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis berkisar antara 1 sampai 3.

Untuk NIK 9,5-12 maka obat masuk dalam kelompok A

IK

Untuk NIK 6,5-9,4 maka obat masuk dalam kelompok B

IK

Untuk NIK ‹ 6,5 maka obat masuk dalam kelompok C

IK

Setelah didapat klasifikasi tersebut lalu digabung sehingga didapat golongan

Aa, Ab, Ac, Ba, Bb, Bc, dan C. Golongan tersebut ditentukan berdasarkan

kemampuan berada di golongan selama 3 periode.

Aa = Kategori A yang mampu bertahan dalam tiga periode di Golongan A Nilai

Indeks Kritis. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

(57)

Ac = Kategori A yang mampu bertahan dalam satu periode di Golongan A Nilai

Indeks Kritis dengan dua kali masuk dalam Golongan lain atau belum ada

pada dua periode. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

Ba = Kategori B yang mampu bertahan dalam tiga periode di Golongan B Nilai

Indeks Kritis. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

Bb = Kategori B yang mampu bertahan dalam dua periode di Golongan B Nilai

Indeks Kritis dengan satu kali masuk dalam Golongan C atau belum ada pada

satu periode. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

Bc = Kategori B yang mampu bertahan dalam satu periode di Golongan B Nilai

Indeks Kritis dengan dua kali masuk dalam Golongan C atau belum ada pada

dua periode. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

C

= Kategori C yang bertahan dalam tiga periode di Golongan C Nilai Indeks

Kritis. Dapat pula kategori C yang bertahan dalam satu periode di Golongan C

Nilai Indeks Kritis dengan satu atau dua kali tidak terdaftar diperiode

manapun. Nama tiap sediaan yang masuk kategori ini terlampir.

(58)

38

H. Kesulitan Penelitian

Dalam proses pengambilan data pada penelitian ini, peneliti mengalami

beberapa kesulitan, seperti kurangnya pengalaman penulis dalam menggunakan

program

micrisoft office excel.

Untuk mengatasi kesulitan ini, peneliti mencoba-coba

menggunakan data buatan agar tidak ada kesalahan pada data aslinya.

(59)

39

Penelitian Analisis Perencanaan Obat berdasarkan ABC Indeks Kritis di

Apotek Sanata Dharma Tahun 2006-2008 merupakan jenis penelitian non

eksperimental dengan

menggunakan

rancangan

studi

kasus.

Penelitian non

eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri

(variabel) subyek menurut keadaan apa adanya (

in nature

), tanpa ada manipulasi atau

intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Studi kasus atau penelitian kasus adalah

penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan

gambaran yang lengkap dan terorganisasi baik mengenai unit tersebut (Suryabrata,

2008).

ABC Indeks Kritis merupakan salah satu cara menyusun prioritas dan analisis

kebutuhan yang termasuk dalam perencanaan dan seleksi sediaan farmasi. Alasan

menggunakan ABC Indeks Kritis karena metode ini sangat sederhana dan metode ini

dirasa sesuai mengingat ada penjabaran yang cukup spesifik untuk tiap jenis sediaan.

Kesesuaiannya akan lebih tampak jika hasil dari analisis ini memberikan data yang

stabil dalam keberadaannya.

(60)

40

dari persenan berdasarkan besar persenan, persen tertinggi dari sediaan mendapatkan

urutan teratas untuk dihitung/dijumlahkan. Penilaian sediaan yang masuk dalam

golongan bernilai 3 (A) diambil dari sediaan-sediaan yang persen pemakaiannya

terbesar, yang jika dijumlahkan mendekati atau sama dengan 80%. Golongan bernilai

2 (B) diambil dari sediaan-sediaan setelah golongan yang persen pemakaiannya jika

dijumlahkan mendekati atau sama dengan 15%, dan jumlah pemakaian sebesar 5%

pemakaian diberi nilai 1 (golongan C).

Analisis ABC Nilai Investasi diambil dari jumlah penggunaan obat tiap

periode dikalikan dengan harga satuan (harga beli+ppn), kemudian diurutkan dari

jumlah rupiah terbesar sampai terkecil, dari jumlah tersebut diberi nilai berdasarkan

persen rupiah yang ada (sama dengan Nilai Pakai). Jumlah investasi sebesar atau

mendekati 80% diberi nilai 3 (bergolongan A); jumlah investasi sebesar 15% diberi

nilai 2 (bergolongan B); dan jumlah investasi sebesar 5% diberi nilai 1 (bergolongan

C).

(61)

tidak dibatasi berdasarkan bentuk sediaan dan kegunaan sediaan tersebut.

Pengelompokkan didasarkan mutlak pada pendapat dari Apoteker Pengelola Apotek

Sanata Dharma.

A. Profil Nilai Pakai, Nilai Investasi dan VEN

1. Analisis ABC Nilai Pakai

Nilai Pakai ditentukan dari banyaknya pemakaian (konsumsi) sediaan oleh

konsumen atau peresepan dari dokter. Hal ini berarti Nilai Pakai (NP) yang

diberikan kepada suatu sediaan mewakili konsumen dan dokter yang meresepkan

dalam menilai suatu sediaan. Pengambilan data dilakukan terhadap besarnya

jumlah suatu sediaan yang keluar dari apotek per satu bulan yang kemudiaan

digabungkan dalam satu tahun lalu dipersenkan dan diberi nilai berdasarkan

persenan tersebut. Nilai 3 (tertinggi) diberikan pada sediaan yang mempunyai

persen tertinggi yang masuk pemakaian 80% seluruh sediaan. Nilai 2 diberikan

pada sediaan yang mempunyai persen tertinggi setelah sediaan bernilai 3 yang

masuk pemakaian 15% seluruh sediaan, dan sisanya 5% diberi nilai 1.

(62)

42

banyak dibandingkan dengan golongan B dan C. Atau tidak adanya pemakaian

pada suatu sediaan juga akan sangat mempengaruhi hal tersebut.

(63)

Gambar 9. Diagram Batang Analisis Nilai Pakai selama Tiga periode di

Apotek Sanata Dharma

Berdasarkan hasil di atas, golongan A dan B untuk Nilai Pakai mengalami

penurunan pada tahun 2007 dari tahun 2006 dan meningkat sedikit pada tahun

2008 dari tahun 2007 tetapi tidak sebesar pada tahun 2006. Untuk yang

bergolongan C malah sebaliknya. Perubahan nilai pakai untuk tiap tahunnya tidak

begitu signifikan, dimana golongan C selalu di urutan pertama yang kemudian

disusul oleh golongan B dan A. Padahal idealnya golongan A harus berada pada

urutan pertama baru golongan B dan C agar tidak mengalami kerugian.

(64)

44

tapi hasil persen tersebut menunjukkan perbandingan golongan C dengan jumlah

sediaan pada tahun tersebut, jadi tidak dapat dikatakan ada penurunan jumlah

golongan C.

Tabel I.Jumlah Sediaan Berdasarkan Nilai Pakai pada tahun 2006-2008

di Apotek Sanata Dharma

Golongan

Tahun

Jumlah Sediaan

A

B

C

2006

1926

148

266

1512

2007

2001

99

239

1663

2008

2080

123

239

1718

(65)

besar. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada penambahan minat

pemakaian obat walaupun ada penambahan jumlah jenis sediaan.

Dalam perhitungan Nilai Indeks Kritis, Nilai Pakai digunakan sebagai

variabel yang memberikan kontribusi sebesar 25%. Setiap jenis yang termasuk

dalam golongan A diberi nilai 3 untuk perhitungan Nilai Indeks Kritis berikutnya.

Setiap jenis yang termasuk dalam golongan B diberi nilai 2 untuk perhitungan

Nilai Indeks Kritis berikutnya. Kemudian setiap jenis yang termasuk dalam

golongan C diberi nilai 1 untuk perhitungan Nilai Indeks Kritis berikutnya.

2. Analisis ABC Nilai Investasi

(66)

46

Sama halnya dengan NP, jumlah sediaan pada NI yang masuk dalam satu

penggolongan dipengaruhi oleh kemerataan jumlah investasi. Jika ada satu atau

beberapa sediaan yang mendominasi investasi dari jumlah investasi keseluruhan

maka akan semakin sedikit sediaan yang akan masuk kedalam golongan A

(bernilai 3) dan banyak yang masuk dalam golongan B atau C. Begitu pula

sebaliknya, jika tak ada yang mendominasi dan jumlah investasi merata oleh tiap

sediaan maka Golongan A akan lebih banyak dibandingkan dengan golongan B

dan C.

Analisis Nilai Investasi dapat sebagai salah satu penutup kekurangan dari

Nilai Pakai karena melibatkan nilai ekonomi dari suatu sediaan. Tidak semua

sediaan memiliki nilai ekonomi yang sama walaupun sediaan tersebut memiliki

fungsi yang sama seperti Amoxsan® kapsul dan amoxicillin kapsul, amoxicillin

adalah generik lebih murah daripada Amoxsan® sebagai merk dagang.

(67)

tiap botol; sehingga investasi sebesar Rp.11.926.400; walaupun CK0 memiliki

pemakaian yang sangat besar dibandingkan enziplex botol tetapi investasi yang

dihasilkan jauh lebih kecil. Jadi dalam pertimbangan Nilai Investasi, enziplex

botol lebih diutamakan padahal CK0 juga dibutuhkan oleh konsumen sehingga

Analisis Nilai Pakai dan Nilai Investasi tidak dapat dipisahkan. Permasalahan

berikutnya adalah analisis NI dan NP tidaklah cukup sehingga untuk menutupi

kekurangan kedua analisis terkait ketersediaan di Apotek Sanata Dharma dapat

ditutupi oleh Analisis VEN. Analisis VEN ini didasarkan pada waktu keberadaan

tenggang pemesanan untuk mendapatkan ketersediaan yang cukup.

Gambar 10. Diagram Batang Analisis Nilai Investasi selama tiga

periode di Apotek Sanata Dharma

(68)

48

selalu naik untuk tiap tahunnya. Perubahan nilai investasi untuk tiap tahunnnya

sama seperti nilai pakai yaitu tak mengalami perubahan, dimana golongan C

selalu diurutan pertama. Golongan A berada di bawah B pada tahun 2006 tapi

meningkat lebih tinggi pada tahun 2007 dan 2008 tapi tetap saja masih jauh di

bawah golongan C. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan oleh Handoko

(1999), bahwa kelas C merupakan barang-barang dengan jumlah phisik 40 samapi

60% tetapi bernilai 10 sampai 20% dari investasi tahunan.

Tabel II. Jumlah Sediaan dan Nilai Rupiah Berdasarkan Nilai Investasi

pada Tahun 2006-2008 di Apotek Sanata Dharma

Golongan

Tahun

Jumlah Sediaan

A

B

C

2006

1926 jenis

(Rp.150.978.217;)

280 jenis

(Rp.120.752.876;)

314 jenis

(Rp.22.642.545;)

1332 jenis

(Rp.7.582.796;)

2007

2001 jenis

(Rp.143.476.273;)

302 jenis

(Rp.114.769.558;)

274 jenis

(Rp.21.539.711)

1425 jenis

(Rp.7.167.004;)

2008

2080 jenis

(Rp.157.918.428;)

299 jenis

(Rp.126.364.360;)

267 jenis

(Rp.23.694.550;)

1514 jenis

(Rp.7.859.518;)
(69)

sediaan (lampiran II.3) yang tidak memberikan investasi sama sekali atau ada

50,47 % dari jumlah sediaan.

Tahun 2008 memang meningkat investasinya tetapi masih belum

seimbang antara jumlah sediaan yang ada dengan investasi pada tahun tersebut.

Sama halnya dengan tahun 2007, tahun 2008 juga terdapat beberapa sediaan yang

tidak memberikan investasi sama sekali. Terdapat 1130 jenis (lampitan II.3) yang

tidak memberikan investasi sama sekali, jauh lebih banyak dari tahun 2007, dan

mendominasi sebanyak 54,33% dari keseluruhan sediaan yang ada pada tahun

2008. Jika mau dibandingkan dengan tahun 2006 cukup jauh perbedaan, tahun

2006 terdapat 859 (lampiran II.3) dari 1926 sediaan yang tidak memberikan

investasi atau sama dengan 44,60% dari seluruh sediaan. Dilihat dari hasil ini,

tiap tahun mengalami peningkatan jumlah sediaan tetapi memberikan juga jenis

sediaan yang lebih banyak untuk tidak memberikan investasi sama sekali.

Jika melihat lebih dalam tabel di atas, kita akan memperoleh harga tiap

sediaan dalam kurun waktu satu tahun, baik dari seluruh sediaan maupun tiap

golongan.

Tabel III. Rata-rata Harga per-Sediaan Berdasarkan Nilai Investasi

pada Tahun 2006-2008 di Apotek Sanata Dharma

Rata-rata harga tiap sediaan dari masing-masing

golongan

(Rp)

Tahun

Rata-rata harga

tiap sediaan dari

seluruh sediaan

(Rp)

A

B

C

2006

78.390

431.260

72.110

5.693

2007

71.702

380.032

78.612

5.029

(70)

50

Berdasarkan tabel III, dapat terlihat perbandingan harga tiap sediaan dari

tiap golongan dan seluruh sediaan. Sebagai contoh tahun 2007, sediaan yang

masuk golongan A menghasilkan harga rata-rata Rp. 431.260 untuk satu tahunnya

sedangkan sediaan yang masuk golongan C hanya Rp. 5.693 dalam satu tahunnya

sehingga banyak kerugian yang disebabkan oleh golongan C. Dana pengadaan

untuk golongan C seharusnya dapat dimanfaatkan untuk golongan A agar

memperoleh investasi yang lebih. Selain kerugian itu, waktu, tenaga dan pikiran

juga ikut dikuras dengan sia-sia. Jika disuruh memilih, lebih baik tidak

mendapatkan investasi dari golongan C dari pada mengadakan sediaan

bergolongan C.

Sama halnya dengan menganalisis Nilai Pakai, Nilai Investasi juga

memberikan kesimpulan bahwa penambahan jenis sediaan pada tiap periode tidak

menambah investasi yang ada. Berarti dalam pemilihan sediaan tidak tergantung

dari kelengkapan jenis sediaan tetapi dari jumlah investasi yang kita dapatkan.

(71)

Gambar 11.

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai

Investasi tahun 2006 di Apotek Sanata Dharma

(72)

52

Gambar 12.

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai

Investasi tahun 2007 di Apotek Sanata Dharma

(73)

sediaan yang bertambah akan mendistribusikan golongan C lebih banyak lagi.

Dari gambar diatas juga dapat disimpulkan bahwa kekuatan golongan A tidak

dapat menutupi kekurangan golongan C.

Gambar 13.

Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Nilai

Investasi tahun 2008 di Apotek Sanata Dharma

(74)

54

tersebut mengalami penurunan dari tahun 2007 tetapi jumlah uang yang

dihasilkan meningkat (tabel II). Golongan C, 72,8% barang memberi dampak

terhadap 5% rupiah, hasil tersebut meningkat dari tahun 2007 dan mengalami

peningkatan jumlah uang yang dihasilkan. Hal ini berarti jumlah sediaan yang

bertambah akan mendistribusikan golongan C lebih banyak lagi. Tetapi juga

dapat sedikit meningkatkan jumlah uang yang dihasilkan (tabel II), sehingga

sediaan yang membantu peningkatan tersebut perlu di perhatikan lebih. Dari

gambar diatas juga dapat disimpulkan bahwa kekuatan golongan A belum dapat

menutupi kekurangan golongan C.

Dari ketiga gambar di atas (11, 12 dan 13), dapat dikatakan bahwa

peningkatan jumlah sediaan akan menambah golongan C dan ada kemungkinan

menambah uang yang dihasilkan. Tetapi untuk tiap tahunnya, golongan A tetap

tidak dapat menutupi kekurangan golongan C sehingga perlu pengelolaan.

Pengelolaan dilakukan terhadap golongan A dan B, sedangkan golongan C dapat

dicari alternatif untuk meniadakannya agar tidak menambah biaya perawatan.

Sebagai contoh, golongan C dapat dijual kepada apotek lain atau jaringan lain,

minta diresepkan oleh dokter Sanata Dharma sesuai dengan kegunaannya atau

apotek yang mempunyai praktek dokter yang sama dengan dokter Sanata Dharma

ataupun kenalannya.

(75)

perhitungan Nilai Indeks Kritis berikutnya. Setiap jenis yang termasuk dalam

golongan B diberi nilai 2 untuk perhitungan Nilai Indeks Kritis berikutnya. Dan

setiap jenis yang termasuk dalam golongan C diberi nilai 1 untuk perhitungan

Nilai Indeks Kritis berikutnya.

3. Analisis VEN

Analisis VEN dilakukan untuk menutupi kekurangan dari Analisis Nilai

Investasi dan Analisis Nilai Pakai. NI dan NP memberikan data apa yang telah

tejadi dan data tersebut bersifat permanen dan tidak dapat diubah tetapi data VEN

bersifat fleksibel tergantung dari Apoteker Pengelola Apotek (dalam kasus ini).

Analisis VEN dilakukan untuk memperoleh data dari segi pengamatan dan

pengalaman Apoteker (dari segi ketersediaan suatu sedi

Gambar

Tabel IJumlah Sediaan Berdasarkan Nilai Pakai pada tahun 2006-2008 di
Gambar 16Distribusi Sediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis tahun
Gambar 8. Contoh suatu distribusi persediaan ABC (Handoko, 1999)
Gambar 9. Diagram Batang Analisis Nilai Pakai selama Tiga periode diApotek Sanata Dharma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari contoh seperti karakteristik keluarga petani, persepsi tentang pendidikan menengah, dan alokasi pengeluaran untuk

Gambar 5.3 Grafik perbandingan Nilai correct, FA dan FR terhadap threshold untuk Contour Matching pada Metro

Rumusan masalah “ penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat mengakibatkan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial rendah pada siswa kelas VII SMPN 6 T emanggung

Laju deposisi pembuatan lapisan tipis tipe p sebagai fungsi laju H 2 pada temperatur 210ºC ditunjukkan pada gambar 4.2 dari grafik bahwa laju deposisi menurun

Adapun beberapa komentar dan saran dari kegiatan disseminasi adalah (1) produk yang dikembangkan sangat menarik dan materi yang ada dalam buku sesuai dengan

rendah dengan sikap ilmiah tinggi dan rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara KPS dasar dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar

Setiap perpindahan penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) dicatat dalam Buku Induk Penduduk dan Buku Mutasi Penduduk serta diterbitkan