• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA PADA NOVEL AROK DEDES KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA PADA NOVEL AROK DEDES KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SKRIPSI"

Copied!
262
0
0

Teks penuh

(1)

i

DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA

PADA NOVEL AROK DEDES

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh:

Angelina Mellissa Yuliyanto 091224014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

 Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia menjadi sahabat

setiaku.

 Kedua orangtuaku: Yuliana Haryati dan Paulus Soejanto atas

segala doa, semangat, dan kasih sayang yang tiada

henti-hentinya.

 Kedua adikku: Kevin dan Metta yang selalu memberi semangat

dan keceriaan.

 Fajar Nugroho yang setia menemani dan memberiku motivasi.

 Seluruh keluarga besar dan teman-teman yang turut serta

(5)

v

MOTTO

Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok karena hari

besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah

untuk sehari.(Matius 6: 34)

Hidupku adalah perjuanganku

Hidupku untuk hidup yang lebih baik

Dan hidup yang menghidupkan

(6)

vi

"

(7)

vii

.

.

,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmat kehidupan, penyertaan serta cinta kasihNya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer” yang telah selesai disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan, nasihat, bimbingan, dan bantuan baik secara moril dan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang sangat sabar membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun skripsi ini hingga selesai.

4. Tim penguji yang telah memberi kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen program studi PBSID yang telah mendidik dan mendampingi penulis selama belajar di program studi PBSID.

6. Bapak Robertus Marsidiq, karyawan sekretariat program studi PBSID yang memberikan pelayanan selama penulis berproses belajar di program studi PBSID.

(9)
(10)

x

ABSTRAK

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang berusaha mendeskripsikan data yang berupa kata-kata dalam suatu dokumen. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat. Sumber data penelitian adalah novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan data penelitian ini adalah kalimat dan tuturan yang terdapat dalam novel yang menggunakan gaya bahasa yang diduga mengandung daya bahasa.

Penelitian ini menggunakan dasar teori Pragmatik yang menekankan pada fungsi komunikatif bahasa, terutama daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa. Hasil penelitian ini adalah (1) daya bahasa yang terdapat dalam novel Arok Dedes yaitu daya bahasa yang terungkap dari data berupa kalimat meliputi daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah, daya janji; (2) majas yang terdapat dalam novel kebanyakan adalah majas pertentangan yang terungkap melalui berbagai bentuk gaya bahasa, seperti gaya bahasa hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, zeugma, silepsis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, apofasis, sarkasme, dan sinisme; majas perbandingan meliputi gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, alegori, antitesis, dan perifrasis; majas pertautan meliputi gaya bahasa metonimia, sinekdok, alusi, eufemisme, eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan anadiplosis.

(11)

xi ABSTRACT

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. The Power of Languages Seen from Figurative Languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Education of Indonesian Language and Literature Study Programme, Faculty of Education, Sanata Dharma University.

The purpose of this study is to describe the power of language that is revealed through the figurative languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes. This study is a library research that describes the data in the form of words in one document. The collection of the data is done by read and write technique. The source of the data is the novel of Arok Dedes written by Pramoedya Ananta Toer. While the data itself consists of the sentences and utterances containing the power of language found in the novel.

This study applies the basic theory of Pragmatics that is stressed on the communicative function of language, especially the power of language that is revealed through figurative language. The result of the study are (1) the power of languages that can be found in Arok Dedes are the power of language that are conveyed through the data in the form of setences consist of the power of explanation, the power of stimulation, the power of symbol, the power of ceremony. Meanwhile, the power of language that are conveyed through the data in the form of speech consist of the power of complimentary, the power of optimism, the power of threat, the power of protest, the power of mockery, the power of advice, the power of suggestion, the power of claiming, the power of declaration, the power of regret, the power of complain, the power of vowing, the power of request, the power of hope, the power of command, the power of dogma, the power of magi, the power of provocative, the power of persuasion, and the power of promis; (2) the figurative languages that are contained in the novel are contradictory figurative language that is represented by various kind of figurative languages such as hyperbole, litotes, irony, oxymoron, zeugma, syllepsis, paradox, climax, anticlimax, apostrophe, apophasis, sarcasm, and cynicism; comparing figurative languages such as simile, metaphor, personification, allegory, antithesis, pleonasm, and periphrasis; attaching figurative language covers metonymy, synecdoche, allusion, euphemism, eponymy, antonymy, eroticism, asyndeton, and polysyndeton; reiterative figurative languages such as assonance, chiasmus, epizeuxis, anaphora, episthopora, epanalepsis, and anadiplosis.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

F. Sistematika Penyajian ... 7

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ... 9

A. Kajian Teori... 9

1. Fungsi Komunikatif Bahasa ... 9

2. Konteks Tuturan ... 12

3. Teori Tindak Tutur ... 20

4. Daya Bahasa ... 25

5. Gaya Bahasa ... 36

6. Novel ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 57

A. Jenis Penelitian ... 57

(13)

C. Teknik Pengumpulan Data ... 58

D. Instrumen Penelitian ... 58

E. Teknik Analisis Data ... 58

F. Trianggulasi Hasil Analisis Data... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Deskripsi Data Penelitian ... 61

B. Analisis Data ... 62

1. Deskripsi Gaya Bahasa yang Berdaya Bahasa ... 62

a. Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya Seremoni ... 62

b. Daya Puji ... 73

c. Daya Optimis ... 78

d. Daya Ancam ... 80

e. Daya Protes ... 84

f. Daya Cemooh ... 86

g. Daya Nasihat ... 90

h. Daya Saran ... 94

i. Daya Klaim ... 95

j. Daya Deklarasi ... 97

k. Daya Sesal ... 99

l. Daya Keluh ... 102

m. Daya Pinta ... 105

n. Daya Harap ... 108

o. Daya Perintah ... 111

p. Daya Dogma ... 114

q. Daya Magi ... 115

r. Daya Provokasi ... 117

s. Daya Persuasi ... 119

t. Daya Sumpah ... 121

u. Daya Janji ... 123

(14)

BAB V PENUTUP ... 139

A. Kesimpulan... 139

B. Saran ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 142

LAMPIRAN ... 145

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Sastra merupakan wadah komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra bukan hanya cerita khayal semata tetapi salah satu media menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan imajinasi saja. Karya sastra terinspirasi dari kenyataan dan imajinasi. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi menurut pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Selain itu, fiksi juga merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2007: 2-3).

(16)

memungkinkan adanya penyajian secara meluas tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama.

Bukti dari pendapat di atas ada dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini, ia buat selama di penjara di Pulau Buru dan selesai pada tanggal 24 Desember 1976. Novel ini menceritakan kisah kudeta pertama ala Jawa dalam sejarah Indonesia. Dalam novel ini, ia tidak memotret fakta sejarah melainkan berkeinginan menghidupkan sejarah dengan pendapat dan pengalaman pribadi yang ia alami. Selain itu, Pram hendak mempersoalkan keabsahan perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto selepas peristiwa yang terjadi tahun 1965. Ia menceritakan kudeta Arok yang berbelit-belit terhadap Akuwu Tumapel (Hun, 2011: 304).

Selain itu, Kisah Arok Dedes yang merupakan sejarah abad 13 ini yang diceritakan Pramoedya jauh dari versi asli yang diceritakan dalam Kitab Pararaton ataupun Nagarakertagama karena menolak seluruh dongeng, aroma mistik, dan hal yang irasional. Joesoef Ishak melalui Hun (2011: 304) mengatakan bahwa “tidak mengherankan bila pembaca setelah mengikuti kisah Arok Dedes walau tidak disuruh asosiasi mereka dengan sendirinya pindah dari abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an.

(17)

sastra. Bahasa dalam karya mengandung unsur keindahan. Keindahan dalam novel dibangun oleh pengarang melalui seni kata. Seni bahasa berupa kata-kata yang indah terwujud dalam ekspresi jiwa. Hal tersebut senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 272), yaitu bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih baik untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra. Dengan demikian, sebuah novel dikatakan menarik apabila informasi yang diungkapkan, disajikan, dengan bahasa yang menarik dan mengandung nilai estetik.

Begitu pula dengan gaya bahasa yang merupakan salah satu unsur menarik dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkan. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh pengarang dalam memainkan bahasa.

(18)

bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Begitu pula dengan Pramoedya Toer salah satu sastrawan terbaik Indonesia yang berhasil mengisahkan keadaan Indonesia yang berlatar belakang sejarah dalam bentuk fiksi. Pram termasuk sastrawan yang menganut paham realisme sosialis di mana pada setiap kreativitas karya berdasar kenyataan (Riffai, 2010). Ia tetap menggunakan media bahasa sebagai kekuatan dengan tetap berada di wilayah sastra, meski kisah yang dibawakannya sarat muatan politik. Dari cara pandang dan paham yang ia anut, pastinya setiap karya yang ia hasilkan menunjukkan jiwa dan kepribadiannya. Tentu saja hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan kata dan penggunaan gaya bahasa dalam setiap karyanya.

(19)

pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006: 3). Dalam hal ini pragmatik mengkaji mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.

Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Konteks memiliki fungsi yang penting dan memang harus ada untuk membuat sebuah tuturan benar-benar bermakna. Lebih dari itu, salah satu kajian pragmatik adalah mengupas mengenai daya bahasa. Oleh karena itu, daya bahasa itu sendiri merupakan kekuatan bagi sastrawan untuk menyampaikan makna, informasi, maksud melalui fungsi komunikatif bahasa sehingga pendengar atau pembaca mampu menangkap segala informasi yang ingin disampaikan (Yuni, 2009).

(20)

Penelitian mengenai daya bahasa ini tergolong jenis penelitian baru di bidang pragmatik. Peneliti memilih jenis penelitian tentang daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa pada novel karena penelitian mengenai daya bahasa yang sudah ada sampai sejauh ini baru meneliti tentang daya bahasa yang terungkap pada seni retorika di panggung politik. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Anderson (1990), Quanita (2009), Baryadi (2012) tentang Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan, serta Ari Subagyo (2012) tentang Bahasa

dan Kepempimpinan Soegija Pranata dan Abdulrahman Wahid. Di dalam

penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Peneliti memilih novel ini karena novel ini sangat menarik dan gaya bahasa yang dituliskan Pram lebih kurang sesuai dengan keadaan masyarakat zaman tersebut dan novel ini sangat kental dengan budaya Hindu. Dengan demikian, dengan adanya penelitian ini akan dapat diketahui daya bahasa apa saja yang terdapat dalam novel tersebut melalui gaya bahasa.

B.Rumusan Masalah

(21)

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

D.Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi masukan pada kajian pragmatik terutama mengenai pengaruh daya bahasa dalam gaya bahasa khususnya pada bidang kesastraan (novel).

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi pengetahuan kepada pembaca karya sastra khususnya tentang pengaruh kekuatan daya bahasa sebuah novel untuk mempengaruhi pembacanya.

E.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah penggunaan daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

F. Sistematika Penyajian

(22)
(23)

9

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

A.Kajian Teori

1. Fungsi Komunikatif Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan kehadiran orang lain. Dengan adanya kehadiran orang lain timbullah sebuah komunikasi. Di mana komunikasi adalah wujud dari penggunaan bahasa. Dari interaksi inilah, muncul berbagai fungsi komunikatif bahasa. Menurut Austin dan Searle (Pranowo, 1996: 92) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu (1) fungsi direktif (bahasa digunakan untuk memerintah secara halus, misalnya menggunakan kata tolong ketika memerintah seseorang “Tolong

buatkan kopi untuk saya!”), (2) fungsi komisif (bahasa digunakan untuk membuat janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu, misalnya “Saya

berjanji setia padamu sampai akhir hidupku”, “Maaf, saya tidak membantumu kali ini”), (3) fungsi representasional (bahasa digunakan untuk menyatakan kebenaran, misalnya “Menunjuk dia sebagai ketua

panitia ada benarnya juga”), (4) fungsi deklaratif atau performatif (bahasa digunakan untuk mendeklarasikan atau menyatakan sesuatu, misalnya “Dengan ini saya nyatakan Raffi Ahmad tidak bersalah dan bebas dari

(24)

Klasifikasi fungsi bahasa menurut Leech (Pranowo, 2012: 8) ada lima, yaitu (1) fungsi informasional (bahasa digunakan untuk mengungkapkan informasi berupa makna konseptual), (2) fungsi ekspresif (bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur terhadap suatu objek), (3) fungsi direktif (bahasa dipergunakan untuk mempengaruhi perilaku penutur), (4) fungsi estetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan rasa keindahan seperti dalam karya sastra), (5) fungsi fatis (bahasa digunakan untuk menjaga komunikasi tetap terbuka dan menjalin relasi sosial secara baik).

Menurut Halliday (dalam Pranowo, 1996: 93), membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi instrumental (bahasa digunakan untuk memanipulasi lingkungan sehingga menimbulkan keadaan tertentu, misalnya seorang bayi menangis meminta makan, susu, atau mainan kesukaannya), (2) fungsi regulatori (bahasa digunakan untuk mengontrol sebuah peristiwa, memberikan persetujuan, penolakan, menyuruh, dan sebagainya, contohnya “Keluar dari kelas sekarang!”), (3)

fungsi representasional (bahasa digunakan untuk membuat pernyataan, menyajikan fakta, misalnya “Bumi itu bulat, itulah faktanya”), (4) fungsi interaksional (bahasa digunakan untuk menjaga hubungan agar komunikasi tetap berjalan lancar, seperti menggunakan lelucon, idiom khusus, jargon), (5) fungsi heuristik (bahasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan agar dapat mengenal lingkungan, seperti bertanya tentang sesuatu), (6) fungsi

(25)

kepribadian, dll.), (7) fungsi imajinatif (bahasa digunakan untuk menciptakan sistem atau ide yang bersifat imajinatif, menulis puisi, atau karya sastra yang lain).

Guy Cook (Pranowo, 2012: 7) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi 2, yaitu fungsi mikro dan fungsi makro. Fungsi makro dibagi menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi emotif (bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan secara spontan, misalnya “Asem ik!”), (2) fungsi direktif (untuk memerintah, seperti “Maju jalan!”), (3) fungsi phatic (bahasa digunakan untuk memulai pembicaraan, misalnya “Selamat pagi!”), (4) fungsi referensial (bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi, misalnya “Warung ayam gepuk Bu Made enak lho.”), (5) fungsi metalinguitik (bahasa digunakan untuk memfokuskan diri pada kode itu sendiri. Sayangnya fungsi ini tidak memiliki penjelasan beserta contohnya), (6) fungsi poetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan esensi pesan, misalnya:

Tino : “Bu, kenapa rokok tidak baik untuk kesehatan?”

Ibu : “Karena rokok bisa menyebabkan banyak penyakit. Misalnya kanker paru-paru.”

(7) fungsi kontekstual (bahasa digunakan untuk menciptakan konteks pembicaraan, misalnya “Sepertinya hujan akan turun, mari kita bergegas

(26)

Dari berbagai pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan di atas tentang klasifikasi fungsi-fungsi komunikatif bahasa dapat disimpulkan ada persamaan fungsi komunikatif, yaitu sama-sama untuk mengungkapkan perasaan dan memberi perintah. Fungsi-fungsi yang lain , yaitu untuk mengagumi keindahan, menyatakan kebenaran, memulai sebuah pembicaraan, menciptakan konteks pembicaraan, mengusahakan komunikasi tetap terbuka, menolak, menyampaikan informasi, dan memperoleh pengetahuan.

2. Konteks Tuturan

(27)

Konteks situasi tuturan menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun mitra tutur, serta aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan. Maka dengan mendasarkan pada gagasan Leech tersebut, Wijana (1996) dengan tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks situasi pertuturan (speech situasional context) (Rahardi, 2003: 18).

Pemaparan berikutnya terkait konteks, dipaparkan secara lebih mendalam oleh Leech (1983). Leech menyebut konteks tuturan dengan sebutan aspek-aspek situasi ujar. Berikut pemaparan Leech (1993:19) mengenai aspek-aspek situasi ujar yang meliputi lima hal.

2.1 Penutur dan Lawan Tutur

(28)

yang dimungkinkan akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan.

Aspek situasi ujar yang dipaparkan Leech (1983) mengenai penutur dan lawan tutur sejalan dengan pendapat Verschueren yang disebut dengan ‘speaker’ and hearer’ atau ada yang menyebutnya

‘speaker and interlocutor’, atau dalam istilah Verschueren (dalam Kunjana 1998) disebutkan ‘utterer and interpreter’, akan sangat

berdekatan pula dengan dimensi usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis atau mentalnya, atau yang juga diistilahkan dalam Verschueren (1998) sebagai ‘physical

world’, ‘social world’, dan ‘mental world’. Selain hadirnya ‘penutur’

dan ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’ dalam aspek konteks,

sesungguhnya masih dimungkinkan hadirnya sebuah pertuturan itu bisa lebih dari semuanya itu.

Selanjutnya Verschueren (1998: 85) menggambarkan secara skematik sebagai ‘interpreter’, atau yang banyak dipahami sebagai

‘hearer’ atau ‘interlocutor’ atau ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’. Dalam pandangannya, ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ masih dapat dibedakan

menjadi ‘interpreter’ yang berperan sebagai ‘participant’ dan

‘non-participant’. Selanjutnya ‘participant’ dalam pandangan Verschueren

(29)

orang yang semata-mata hadir, dan tidak mengambil peran apapun, dan yang terakhir sebagai ‘overhearer’. Peran ‘overhearer’ masih

dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan‘eavesdropper’. Dengan

demikian, apabila semuanya itu diperhitungkan sebagai salah satu dimensi dalam konteks situasi, tentu saja dimensi ‘hearer’ itu akan

menjadi kompleks karena jatidiri ‘hearer’ sesungguhnya tidaklah

sesederhana yang selama ini banyak dipahami oleh sejumlah kalangan.

Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren (1998: 76) bahwa bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’

(I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan

konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan. Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci.

2.2 Konteks Sebuah Tuturan

(30)

konteks yang sifatnya sosial-kultural, dan konteks pragmatik. Konteks linguistik lazimnya berdimensi fisik, sedangkan konteks sosiolinguistik lazimnya berupa seting sebuah sosio-kultural yang mewadahi kehadiran sebuah tuturan. Adapun konteks dalam pragmatic dijelaskan oleh Leech.

Leech (1993: 20) mengatakan bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n (penutur) dan t (mitra tutur) yang membantu t menafsirkan makna tuturan. Penjelasan yang agak panjang terkait dengan konteks dikemukakan Leech adalah mengenai‘setting’, yang dapat mencakup setting waktu

dan setting tempat (spatio-temporal settings) bagi terjadinya sebuah pertuturan. Aspek waktu dan tempat di dalam setting itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek fisik dan aspek sosial-kultural lainnya, yang menjadi penentu makna bagi sebuah tuturan.

(31)

didukung oleh beberapa faktor seperti ada kesepahaman topik yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur.

2.3 Tujuan Sebuah Tuturan

Leech memiliki preferensi untuk menggunakan istilah tujuan tutur, bukan istilah maksud tutur. Tujuan tutur lebih netral dan lebih umum sifatnya, tidak berkait dengan kemauan atau motivasi tertentu yang sering kali dicuatkan secara sadar oleh penuturnya. Tujuan itu memang lebih konkret, lebih nyata, karena memang keluar berbarengan dengan tuturan yang dilafalkan atau diungkapkannya itu. Akan tetapi, maksud, tidak serta merta sama dengan tujuan karena cenderung hadir sebelum tujuan itu dinyatakan. Artinya maksud itu belum berupa tindakan, masih berada dalam pikiran dan angan-angan, sedangkan tujuan itu sudah berupa tindakan, karena memang tujuan hadir bersama-sama dengan keluarnya sebuah tuturan dari mulut seseorang.

(32)

setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, yang secara fungsional selalu memiliki maksud dan tujuan. Jadi, dalam pragmatik pandangan yang dijadikan dasar selalu berfokus pada ‘fungsi’ pada ‘kegunaan’ atau ‘use’, dan semuanya

selalu harus didasarkan pada maksud atau tujuan.

Contohnya, ketika kita masuk gang-gang tertentu di Yogyakarta atau mungkin daerah lainnya di Jawa, Anda akan mendapati peringatan seperti, ‘NGEBUT, BENJUT. Secara fungsional pula,

bentuk kebahasaan ‘NGEBUT, BENJUT’ digunakan untuk

(33)

2.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan: Tindak Ujar

Tuturan sebagai bentuk tindakan atau wujud dari sebuah aktivitas linguistik, merupakan bidang pokok yang dikaji di dalam pragmatik karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang sungguh-sungguh terdapat dalam situasi dan suasana pertuturan tertentu. Lebih lanjut, tuturan sebagai bentuk tindakan ialah maujud-maujud atau entitas-entitas kebahasaan yang sifatnya tidak dinamis dan selalu tetap saja keberadaannya. Leech (1983) menegaskan bahwa tuturan itu harus selalu dianggap sebagai tindak verbal. Tindak-tindak verbal (verbal acts) inilah yang menjadi titik fokus kajian pragmatik. Hal ini juga yang membedakan antara pragmatik yang memfokuskan kajiannya pada tindak-tindak verbal (verbal acts) dengan semantik yang berorientasi pokok pada proposisi atau ‘proposisition’, dan entitas-entitas kebahasaan, khususnya frasa dan kalimat dalam sintaksis.

2.5 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal

(34)

kalimat. Kalimat pada hakikatnya adalah entitas produk struktural atau produk gramatikal, sedangkan tuturan atau ujaran itu merupakan hasil atau produk dari tindakan verbal yang hadir dalam proses pertuturan. Berkaitan dengan kenyataan ini maka sesungguhnya sebuah tuturan dapat dianggap sebagai maujud tindak tutur, atau sebagai manifestasi dari tindak ujar, tetapi pada sisi lain dapat juga dianggap sebagai produk dari tindak ujar itu sendiri (Rahardi, 2007: 22).

Sebagaicontoh saja sebagai seorang dosen di dalam kelas Anda mengatakan, ‘Papan tulisnya kotor!’ kepada para mahasiswa, maka

sesungguhnya produk tindak verbal yang diharapkan dari tuturan itu adalah supaya ada tindakan membersihkan papan tulis itu oleh salah seorang mahasiswa. Sebenarnya itulah sesungguhnya tuturan yang berdimensi produk tindak verbal.

3. Teori Tindak Tutur

(35)

tuturan tulisan. Teori ini berfungsi untuk menunjukkan apakah tuturan tulisan yang berupa dialog antar tokoh yang terdapat dalam novel Arok Dedes mengandung unsur tindakan bahasa atau tidak.

Tindak tutur menurut Yule (2006: 82) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur berharap maksud komunikatifnya dimengerti oleh pendengarnya. Keadaan semacam ini disebut dengan peristiwa tutur.

Teori tindak tutur atau speech act yang dikemukakan oleh Austin (1978 dalam Pranowo, 2009: 34) dalam bukunya yang berjudul “How to do

things with words” melihat setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur, yaitu (1) tindak lokusi (berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi (berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, (3) tindak perlokusi (efek yang ditimbulkan oleh ujaran). Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang pragmatik (Rahardi, 2009: 17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan Rahardi: 2005: 36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima macam bentuk tuturan, yakni

(36)

(2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merokomendasi (recommeding).

(3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi selamat (congrangtulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

(4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommuningcating), dan menghukum (sentencing).

(37)

Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 2006: 95)

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan X Komisif Dunia disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

Contoh: “Bu, uang saya sudah menipis, kemarin uangnya saya

pakai untuk membeli buku” merupakan tuturan lokusi. Tujuan dari kalimat tersebut adalah si penutur ingin menyampaikan kepada ibunya kalau uangnya menipis dan meminta kiriman uang. Pengaruh dari kalimat tersebut adalah si Ibu penutur akan mengirimkan uang untuk anaknya.

(38)

minum secangkir cokelat lebih enak ya” maksud dari tuturan tersebut adalah si pacar minta dibuatkan secangkir cokelat.

Dalam berkomunikasi juga diperlukan sebuah kesantunan dalam berbahasa. Bahasa yang santun adalah bahasa yang diterima mitra tutur dengan baik. Ada tujuh prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983 dalam Pranowo, 2009: 35) yang dikenal dengan istilah maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan (memberi keuntungan bagi mitra tutur), (2) maksim kedermawanan (memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri), (3) maksim pujian (memaksimalkan pujian kepada mitra tutur), (4) maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian terhadap diri sendiri), (5) maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan terhadap mitra tutur), (6) maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur) , (7) maksim pertimbangan (meminimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berdasarkan substansi linguistik, tindak tutur memiliki komponen dasar, yaitu

a. tindak bertutur: penutur mengutarakan tuturan dari bahasa kepada mitra tutur di dalam konteks,

b. tindak lokusi: penutur mengatakan kepada mitra tutur adanya informasi,

(39)

d. tindak perlokusi: penutur mempengaruhi mitra tutur dalam cara tertentu sesuai konteks.

4. Daya Bahasa

Meminjam istilah Van Peursen (1998, melalui Baryadi 2012: 17), dapat dikatakan bahwa tuturan itu seperti manusia, yaitu memiliki tubuh, jiwa, dan roh. Tubuh tuturan adalah bentuk, jiwa tuturan adalah makna dan informasi, sedangkan roh tuturan adalah maksud. Di samping itu, tuturan juga memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik, roh jahat, roh halus, roh kebenaran, dan sebagainya. Karena mengandung roh, tuturan memiliki daya sehingga mampu berperan dalam berbagai bidang dan berbagai konteks. Dengan demikian, tuturan adalah bahasa yang tidak hanya hidup karena memiliki tubuh dan jiwa, tetapi juga berkarya karena memiliki roh atau daya.

(40)

bahasa biasa melainkan disebabkan oleh kekuatan yang terkandung di dalam bahasa. Inilah yang disebut daya bahasa (Pranowo, 2009: 128).

Daya bahasa dalam Pranowo (2009: 128) adalah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur. Penyampaian pesan dengan menggunakan daya bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Efektivitas komunikasi dapat bersifat positif maupun negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif komunikasi dapat berjalan secara santun. Sebaliknya, jika daya bahasa dimanfaatkan secara negatif, komunikasi dapat menimbulkan ketidaksantunan.

Adapun penelitian yang berhubungan dengan daya bahasa yang dilakukan oleh Quanita Fitri Yuni (2009) yang berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik. Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan jenis-jenis, manfaat, dan ciri-ciri jenis daya bahasa dari segi diksi sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan dalam berpidato politik, memaparkan jenis daya bahasa yang ditemukan pada pidato politik ketiga politisi, dan mendeskripsikan ciri-ciri diksi yang berdaya bahasa. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan secara sistematis fakta-fakta berupa daya bahasa dalam pidato para tokoh politik Megawati S.P., Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid.

(41)

gempur, daya egosentrisme meliputi egosentrisme membela diri dan menonjolkan diri, daya ‘jelas’ informatif, daya bangkit bagi diri sendiri

maupun orang lain, daya perintah meliputi perintah larangan, bersyarat, permintaan, dan ajakan, dan daya provokasi secara eksplisit maupun implisit. Selain itu, memanfaatkan daya bahasa dapat membantu mengungkapkan maksud yang terkadang tak dapat dikatakan.

Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Baryadi (2012: 28) dalam bukunya yang berjudul Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Dalam penelitian tersebut meneliti tentang aspek-aspek bahasa yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mewujudkan kekuasaan antara lain adalah unsur bahasa, ragam bahasa, tindak tutur, dan gaya bahasa. Dalam pembahasan ini hanya akan dipaparkan mengenai representasi kekuasaan dalam gaya bahasa. Gaya bahasa yang dimanfaatkan untuk mewujudkan salah satu aspek kekuasaan, yaitu membangun kekuasaan. Empat gaya bahasa yang pernah dibahas oleh Baryadi (2005: 21-22), yaitu gaya bahasa orientasi dua nilai, gaya bahasa eufemisme, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa represif. Misalnya, pada penggunaan gaya bahasa eufemisme adalah gaya bahasa penghalusan atau gaya yang melembutkan sesuatu yang kasar atau jelek. Dalam hal ini ungkapan yang halus atau lembut digunakan untuk menutupi hal yang sebenarnya kasar. Sebagai contoh kenyataan yang sebenarnya adalah “ditangkap” atau “dipenjarakan”, tetapi diungkapkan

dengan kata “diamankan”. Contoh lainnya adalah penduduk suatu daerah

(42)

terutama, untuk menyembunyikan kesalahan atau ketidakmampuan penguasa atau menyembunyikan keadaan jelek yang tidak terjangkau atau tidak mampu ditangani oleh penguasa.

Daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami dan menangkap segala makna, informasi, atau maksud yang disampaikan penutur atau penulis (Quanita Fitri Yuni, 2009). Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi adalah menyampaikan pesan berupa menyampaikan informasi, menolak, membujuk, mengkritik, memberi tanggapan, menyindir, negosiasi, membantah, dll. Oleh karena itu, agar pesan dapat disampaikan secara efektif, penulis dapat memanfaatkan daya bahasa seefektif mungkin. Namun, penggunaan daya bahasa tidaklah mudah, daya bahasa hanya dapat muncul jika pemakainya dapat menggali dan memanfaatkan dalam konteks pemakaian secara tepat.

(43)

majemuk, dan sinonim kata. Kata yang tidak berafiks kadang memiliki daya bahasa yang kuat, contohnya kata “babat” lebih kuat daya bahasanya dibandingkan kata “membabat” dalam konteks kalimat “Perambah hutan itu babat habis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas”. Daya bahasa yang digali melalui sinonim kata juga memiliki daya yang berbeda, seperti kata ‘mantan’ dan ‘bekas’. Kata mantan memiliki daya bahasa yang bersifat netral, sedangkan kata bekas memiliki daya bahasa yang negatif karena cenderung merendahkan seseorang. Misalnya, seorang dosen sudah berhenti dari mengajar, orang akan menyebutnya mantan dosen karena status sosialnya lebih tinggi, sedangkan tanpa dosa dan tanpa beban kita dapat dengan mudah menyebut bekas tukang sampah, bekas becak, bekas maling karena status sosialnya rendah, (3) struktur kalimat atau tuturan (daya bahasa memiliki kadar pesan yang berbeda antara struktur kalimat satu dengan struktur kalimat yang lain. Perhatikan contoh berikut ini.

a. Aku memberi sepotong kue untuk pengemis yang kelaparan.

b. Sepotong kue aku berikan untuk pengemis yang kelaparan.

Daya bahasa pada kalimat di atas terletak pada penempatan klausa pada awal kalimat. Kalimat (a) dengan menempatkan klausa “aku memberi”

memiliki daya bahasa yang berbeda dengan struktur kalimat (b) yang menempatkan frasa “sepotong kue” pada awal kalimat. Kalimat (a) daya bahasa muncul pada kata “pemberian”, kalimat (b) muncul pada frasa

(44)

c. Tunggul Ametung bermandi keringat, meringis dan merongos, mengerutkan gigi dan kening, dan kemudian jatuh pingsan. (Arok Dedes, 2006: 156)

d. Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan

pahanya yang seperti pualam. (Arok Dedes, 2006: 330) Contoh (a) daya jelas yang muncul karena pemakaian gaya bahasa

klimaks pada kata “bermandi keringat, meringis dan merongos,

mengerutkan gigi dan kening, dan kemudian jatuh pingsan.” yang

menggambarkan runtutan kronologis yang ekspresi yang dirasakan Tunggul Ametung ketika Dalung mengobati Akuwu karena kakinya patah. Contoh (b) daya jelas muncul karena gaya bahasa simile dengan menggunakan kata “seperti” yang menggambarkan pengarang mencoba menggambarkan paha

Ken Dedes seperti batu pualam putih, bersih, dan halus.), (6) wacana (daya bahasa pada wacana muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan. Pesan yang terungkap dari kesatuan makna tersebut muncul dalam bentuk wacana. Perhatikan kutipan di bawah ini.

e. Yen isih gelem apik karo aku, mbok coba kowe ameng-ameng nyang ngomahe diajak omong-omong kanthi alus. Nek pancen isih angel coba amang-amangen ben duwe rasa wedi. Dene nek wis disabarke nganggo cara ngono isih tetep mbeguguk, kondhoa nek aku (ng)amuk bisa tak tumpes kelor. (Pranowo, 2009: 137)

Wacana di atas memiliki daya yang sangat kuat untuk menyampaikan pesan. Wacana di atas dengan pilihan kata yang tepat di setiap kalimatnya, seperti “ameng-ameng”, disusul “omong-omong”, “amang-amang ”, dan “(ng)amuk ” memiliki daya bahasa yang sangat kuat

(45)

makna yang berbeda dan memperlihatkan gradasi dari kata yang sangat biasa ke kata yang memiliki afeksi yang sangat kuat, yaitu (ng)amuk).

Secara pragmatik, daya bahasa dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang sengaja dikonstruk oleh penutur atau penulis untuk tujuan tertentu seperti praanggapan, tindak tutur, dieksis, dan implikatur (Pranowo, 2008 dalam Quanita Fitri Yuni, 2009) selain itu juga bisa digali melalui maksim-maksim kesantunan berbahasa Leech (1983 dalam Pranowo, 2009: 141). Dari aspek nonlinguistik, daya bahasa dapat digali berupa nilai-nilai budaya suatu bangsa yang diyakini sebagai nilai luhur, seperti nilai rendah hati, mampu menjaga perasaan mitra tutur, hormat kepada orang lain, dsb.

Dalam praktiknya, kekuasaan lewat bahasa tidak hanya terjadi dalam ruang publik saja, tetapi dalam lingkup keluarga, misalnya cara orang tua berbicara kepada anak menunjukkan secara jelas hubungan kekuasaan antara orang tua dengan anak. Cara orang tua berbicara kepada anak menciptakan dinamika kekuasaan di antara mereka sehingga menguatkan perbedaan kekuasaan lain dan anak akan patuh dan nurut melaksanakan semua perintah orang tua.

(46)

sejumlah nilai tertentu yang menurut kita adalah mengandung nilai negatif, misalnya seperti iklan kondom, tetapi produk yang diiklankan sukses terjual di seluruh dunia (Wearing, 2007).

Dalam buku Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia (Language and Power) pada salah satu artikel hasil penelitian Anderson (1990: 298), dikatakan fungsi publik utama bahasa Indonesia terletak pada dalam perannya sebagai bahasa pemersatu. Pada masa pendudukan Jepang, bahasa Indonesia secara formal menjadi bahasa negara untuk diajarkan di sekolah-sekolah dan di kantor digunakan sebagai bahasa resmi. Selama revolusi 1945-1949 bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa perlawanan untuk menolak kehadiran Belanda dan juga bahasa pengharapan akan masa depan. Revolusi juga mempercepat pengisian bahasa Indonesia dengan kata-kata yang menggetarkan secara emosional yang memberikan identitas kultural dan aura pada suatu bangsa, dan mengekspresikan pengalaman paling penting. Kata-kata seperti rakyat,

merdeka, perjuangan, pergerakan, semangat, merdeka, dan revolusi

(47)

Bahasa Indonesia tidak melulu mendapat kosakata baru sehingga kata-kata tua yang mendapat makna “jahat” menjadi kebalikannya yang mencerminkan transisi dari tahun revolusi penuh harapan ke tahun-tahun keras yang mengikutinya. Contoh yang paling terkenal dari pembalikan tersebut adalah penggunaan kata “bung” (saudara). Selama revolusi, kata tersebut mengekspresikan rasa persaudaraan sejati perjuangan nasional dan bebas dipakai oleh semua aktivis perjuangan. Kini, dengan pengecualian segelintir tokoh nasional seperti Sukarno, Hatta, dan Sutomo (dalam kasus mereka bung ditulis Bung) bisa dikatakan tak satu orang pentingpun yang disebut dengan cara itu. Sementara Bung ditempatkan di atas dan sebagai sebutan kehormatan, bung didudukkan semakin rendah dan umumnya sudah pasti diterapkan sebagai sebutan rendahan untuk memanggil tukang becak, pelayan, pedagang rokok asongan pinggir jalan.

(48)

dianggap bahasa kasar, bahasa urban kelas rendah. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, bahasa yang terbelakang ini menjadi bahasa yang “in” dan populer di kalangan elite muda Jakarta, politisi, wartawan, pelajar.

Kepopulerannya berasal dari karakternya yang intim, hidup dan bebas, sinis, yang menjadi tandingan memuaskan berhadapan dengan bahasa Indonesia formal dan resmi dalam komunikasi publik. Bahasa Jakarta mengekspresikan kegentingan, kegairahan, humor, dan kekasaran Jakarta pasca revolusi yang tidak dapat dilakukan bahasa lain. Misalnya, pada Koran metropolitan pada kolom pojok. Pojok adalah tulisan yang menggigit, komentar anonim atau menggambarkan situasi politik ekonomi secara umum yang mengacu kepada peristiwa yang menjadi rahasia umum, contohnya Hasilnye ade juga. Ikan gede ketangkap. Alhamdullilah! Dari ungkapan di atas pembaca akan tanggap bahwa seorang tokoh politik penting telah ditangkap karena korupsi meskipun kasusnya tidak pernah dipublikasikan.

(49)

Berkaitan dengan daya bahasa, sebenarnya setiap orang berkomunikasi dapat menggali dan memanfaatkan daya bahasa. Daya bahasa dapat berguna untuk (a) meningkatkan efek komunikasi, (b) mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, (c) memperindah pemakaian bahasa, dsb.

Dalam konteks kesantunan berbahasa, daya bahasa yang bernada negatif hendaknya hendaknya tidak digali semaksimal mungkin agar tidak melukai hati mitra tutur. Sebaliknya, daya bahasa bahasa yang bernada positif hendaknya digali semaksimal mungkin agar menjadikan tuturan semakin santun. Dengan demikian, daya bahasa hanya akan muncul jika pemakainya dapat menggali dan memanfaatkan dalam konteks pemakaian secara tepat.

Banyak orang mampu berbahasa Indonesia, namun ketika berkomunikasi kadang-kadang “apa yang dikatakan atau dituliskan” jauh lebih sedikit daripada ”apa yang dipikirkan”. Kadang-kadang apa yang akan dikatakan berbeda dengan “apa yang ingin dikomunikasikan” (Levison, 1985 dalam Pranowo, 2009: 131). Daya bahasa merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa

(50)

dikatakan untuk menjaga kesopanan (Grice, 1987 dalam Pranowo, 2009: 131).

5. Gaya Bahasa

Dalam membuat sebuah karya, seorang pengarang pasti memiliki gaya bahasa sendiri-sendiri. Gaya bahasa yang dikenal dalam retorika dengan istilah style. Style berasal dari bahasa latin , yaitu stillus yang berarti semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Seiring berjalannya waktu, style yang dimaksudkan di atas berubah pengertian menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis. Dengan perubahan pengertian, istilah style atau gaya bahasa menjadi bagian dari diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Oleh karena itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yaitu pilihan kata, frasa, klausa, kalimat, wacana, nada yang tersirat di balik wacana. Jadi, jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak tertentu (Keraf, 2010: 112).

(51)

Semakin baik gaya bahasa yang digunakan penulis, semakin baik pula penilaian dari pembaca.

Anton M. Moeliono dalam siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui TVRI mengatakan bahwa istilah gaya bahasa yang secara salah kaprah itu berasal dari kata dalam bahasa Belanda stylfiguur. Di dalam kata stylfiguur terdapat kata styl yang berarti gaya bahasa, tetapi kata figuur terlupakan. Oleh karena itu, stylfiguur atau figure of speech ini dinamakan majas dan figurative language disebut bahasa yang bermajas.

Di sisi lain, masih banyak orang mengidentikkan gaya bahasa dan majas sama saja. Tentu saja hal itu salah kaprah. Majas bukanlah gaya bahasa, melainkan bagian dari gaya bahasa. Dalam buku praktis bahasa Indonesia menjelaskan majas adalah bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu karena penggunaan bahasa yang menyimpang dari rumusannya yang jelas. Pemilihan dan penggunaan diksi yang tepat akan memperkuat gaya bahasa. Jadi, majas juga merupakan alat untuk menunjang gaya. Semakin jelas bahwa majas seperti simile, personifikasi, litotes, dll bukan gaya bahasa melainkan unsur gaya bahasa (Sugono, 2011: 174). Sedangkan gaya bahasa hanya ada empat, , yaitu gaya bahasa pertentangan, perbandingan, pertautan, dan perulangan.

(52)

Sastra di SMA. Penelitian tersebut mengkaji gaya bahasa yang terdapat dalam novel AAC karya Habiburrahman El shirazy dan gaya bahasa yang mendominasi serta implementasinya dalam pengajaran sastra di SMA. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika yang menganalisis penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai estetis tertentu sekaligus untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Data penelitian berupa penggalan teks dalam novel AAC yang diduga berisi kalimat-kalimat bergaya bahasa tertentu. Hasil dari penelitian ini ialah ditemukan jenis-jenis gaya bahasa dalam novel AAC meliputi gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi, hiperbola, silepsis, aliterasi, litotes, asonansi, eufemisme, pleonasme, paradoks, retoris, personifikasi, ironi, sarkasme, metafora, simile, dan metonimia. Gaya bahasa yang dominan dalam novel AAC , yaitu gaya bahasa hiperbola. Implikasi gaya bahasa dalam novel AAC terhadap pengajaran sastra di SMA menitikberatkan pada sumber bahan ajar.

5.1. Jenis-Jenis Gaya Bahasa

Menurut Tarigan (1985: 6) gaya bahasa dibagi menjadi empat, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa pertautan, (4) gaya bahasa pertentangan. Berikut akan dipaparkan jenis-jenis majas yang terdapat dalam gaya bahasa.

1. Gaya bahasa perbandingan

(53)

menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Beberapa contoh gaya bahasa yang termasuk majas perbandingan adalah sebagai berikut.

a. Perumpamaan atau simile

Perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan sengaja dianggap sama. Contoh:

Pasukan Tumapel itu berbaris laju ke selatan seakan hendak menggempur Kediri (Arok Dedes,

2006: 391). b. Metafora

Metafora semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, dll. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak menggunakan kata seperti, bak, bagai, dan sebagainya sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Misalnya:

Ia menjadi kecil hati tanpa Belakangka, apalagi catak dan saga sudah mendekati habisnya (Arok Dedes, 2006: 504).

c. Alegori

(54)

d. Personifikasi

Gaya bahasa yang melekatkan sifat manusia kepada barang atau benda yang tidak bernyawa. Contoh:

Mereka maju lagi dan matari pun hilang ditelan oleh pegunungan dan puncak rimba (Arok Dedes, 2006: 517).

e. Pleonasme dan tautologi

Pleonasme adalah gaya bahasa yang pemakaian katanya berlebihan. Tautologi adalah gaya bahasa yang mengandung kata yang berlebihan yang pada dasarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:

“Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat

busuk seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan (Arok Dedes, 2006: 175).

f. Depersonifikasi

Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan, adalah kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Misalnya:

Kalau dikau menjadi samodra, maka daku menjadi bahtera (Tarigan, 1985: 22).

g. Antitesis

Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim. Misalnya:

(55)

h. Perifrasis

Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Misalnya:

Ia sendiri meningkat ke atas melalui cara yang demikian juga. (Arok Dedes, 2006: 41).

2. Gaya bahasa perulangan

Gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frase, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan sebuah tekanan dalam sebuah konteks. Berikut beberapa contoh majas yang termasuk dalam gaya bahasa perulangan.

a. Asonansi

Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud pengulangan vokal yang sama. Contoh:

Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, ...( Arok Dedes, 2006:4).

b. Antanaklasis

Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama tetapi berbeda makna. Contoh:

Buah bajunya terlepas membuat buah dadanya hampir kelihatan (Tarigan, 1985: 185).

c. Tautotes

(56)

Kakanda mencintai adinda, adinda mencintai kakanda, kakanda dan adinda saling mencintai (Tarigan, 1985: 190).

d. Kiasmus

Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan. Misalnya:

Yang kaya merasa dirinya miskin, yang miskin merasa dirinya kaya (Tarigan, 1985: 187).

e. Aliterasi

Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Misalnya:

Dara damba daku, datang dari danau. Duga dua duka, diam di diriku (Tarigan, 1985: 181).

f. Epizeukis

Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, , yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Misalnya:

“Seluas pandang ditebarkan, hanya sawah, sawah, dan sawah-sawah hanya untuk musim kering seperti sekarang ini.”( Arok Dedes, 2006: 61).

g. Anafora

Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Misalnya:

(57)

h. Epistrofa

Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya:

Dedes tak tahu harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu. Lari ia pun tak mampu. (Arok Dedes, 2006:13)

i. Simploke

Simploke adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya:

Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya lengah. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja. (Tarigan, 1985: 196).

j. Mesodiplopsis

Mesodiplopsis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya:

Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa. Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat. Para petani harus meningkatkan hasil sawah-ladang. (Tarigan, 1985: 198)

k. Epanalepsis

(58)

“Mati, Arok, Sang Akuwu mati,”. (Arok Dedes, 2006: 525)

l. Anadilopsis

Anadilopsis adalah sejenis gaya bahasa repetisi di mana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya:

“Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat.” (Arok Dedes, 2006: 63)

3. Gaya bahasa pertautan

Beberapa contoh macam-macam majas yang terdapat dalam gaya bahasa pertautan adalah.

a. Metonimia

Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri yang ditautkan dengan nama orang, barang, benda. Misalnya:

Orang itu datang dari Tuban, pergi ke Gresik, memudiki Brantas melalui porong Erlangga. (Arok Dedes, 2006: 84)

b. Alusi

Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan peranggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca. Misalnya:

(59)

c. Gradasi

Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian kata. Misalnya:

Aku persembahkan cintaku padamu, cinta yang tulus, cinta yang berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam. (Tarigan, 1985: 140)

d. Sinekdoke

Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama sebagian sebagai pengganti keseluruhan atau sebaliknya. Misalnya:

“Tolonglah leher sahaya ini, Yang Mulia Ratu.”

(Arok Dedes, 2006: 230) e. Ellipsis

Ellipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penghilangan kata. Misalnya:

Mereka ke Jakarta minggu lalu (menghilangkan predikat pergi). (Tarigan, 1985: 138)

f. Metonimia

Metonimia adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Misalnya:

(60)

g. Eufemisme

Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan. Misalnya:

“Kepalamu akan jatuh karena peristiwa ini.” (Arok Dedes, 2006: 133)

h. Eponim

Eponim adalah semacam gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya:

Waktu Hyang Surya terbit, Yang Suci Belakangka di pendopo mengumumkan pada sekalian pembesar pekuwuan, bahwa Ken Dedes adalah seorang perawan suci yang mematuhi ajaran nenek moyang, para dewa, dan para guru. Pengumuman itu merembesi seluruh pekuwuan dan ibukota Tumapel. (Arok Dedes, 2006: 25)

i. Epitet

Epitet adalah semacam gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:

“Bicara, kau, garuda kaum brahmana, dengan

berat dan ketajaman parasyu Hyang Ganesya,

dengan ketajaman kilat Sang Muncukunda ....“

(61)

j. Antonomasia

Antonomasia adalah semacam gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:

Pangeran menandatangani surat penghargaan tersebut. (Tarigan, 1985: 132).

k. Erotesis

Erotesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menuntut jawaban. Misalnya:

Jadi apakah aku ini, yang bernafsu untuk jadi pandita negeri, seorang brahmana pemuja Sang Hyang Mahadewa Syiwa, yang gagal melaksanakan keinginan untuk jadi pandita akuwu Wisynu? Sudah sedemikan hinakah arya Hindu di bawah Wisynu Jawa ini? (Arok Dedes, 2006: 39)

l. Paralelisme

Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Misalnya:

(62)

m. Asidenton

Asidenton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya:

Dan Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang

tahu memaksa, merusak, memerintah,

membinasakan, merampas. (Arok Dedes, 2006: 13) n. Polisindenton

Polisindenton adalah suatu gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindenton. Misalnya:

Hanya babi dan anjing dan kucing berkeliaran di jalan-jalan. (Arok Dedes, 2006: 469)

4. Gaya bahasa pertentangan

Contoh macam-macam majas yang terdapat dalam gaya bahasa pertentangan adalah.

a. Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan. Misalnya:

Dengan otot semacam ini duniapun dapat dipanggulnya untuk hidupnya. (Arok Dedes, 2006: 53)

b. Litotes

(63)

“Ampun, Yang Mulia, sahaya hanyalah sudra

hina.” (Arok Dedes, 2006: 385) c. Ironi

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud mengolok-olok. Misalnya:

“Hanya Tunggul Ametung yang berani lakukan itu. Berani karena bodohnya.” (Arok Dedes, 2006: 450)

d. Paradoks

Paradoks adalah suatu pernyataan yang diartikan selalu berakhir dengan pertentangan. Misalnya:

Ia merasa sebatang kara di tengah keriuhan ini, seorang yatim piatu di tengah-tengah padang batu. (Arok Dedes, 2006: 546)

e. Sinisme

Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Contohnya:

“Masih bocah tahu apa kau tentang urusan dewa?”

(Arok Dedes, 2006: 21) f. Oksimoron

Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis antara dua antonim. Misalnya:

(64)

g. Paronomasia

Paronomasia adalah sejenis gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain. Misalnya:

Oh adinda sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu. (Tarigan, 1985: 64)

h. Paralipsis

Paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Misalnya:

Semoga Tuhan Yang Mahakuasa menolak doa kita ini, (maaf) bukan, maksud saya mengabulkannya. (Tarigan, 1985: 66)

i. Zeugma dan Silepsis

Zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Misalnya:

Ia tahu: hari ini adalah awal kemenangannya dan awal keruntuhan Tunggul Ametung. (Arok Dedes, 2006: 339)

j. Satire

(65)

dengan cara yang cukup lucu yang menimbulkan tertawaan. Misalnya:

kadang bernada ramah-tamah, kadang-kadang bernada pahit dan kuat, kadang-kadang-kadang-kadang bernada menusuk dan memilukan. (Tarigan, 1985: 69)

k. Inuendo

Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Misalnya:

Abangku sedikit gemuk karena terlalu kebanyakan makan daging berlemak. (Tarigan, 1985: 73)

l. Antifrasis

Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Misalnya:

Memang engkau orang pintar! (Tarigan, 1985: 75) m. Klimaks

Klimaks adalah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan. Misalnya:

Ia turunkan lengannya, memalingkan muka, menarik kendali kuda dan berjalan lambat-lambat meninggalkan tempat itu. (Arok Dedes, 2006: 46) n. Antiklimaks

Antiklimaks adalah kebalikan gaya bahasa klimaks. Misalnya:

“Ketiga, engkau mencoba mengadu domba antara

Sang Akuwu, Sang Paramesywari dan aku melalui

pesuruhmu yang menamakan dirinya Kebo Ijo, …”

(66)

o. Apostrof

Apostrof adalah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Misalnya:

“Betul, ya, bapa, tidak percuma Hyang Ganesya

menghias tangan yang satu dengan parasyu dan tangan lain dengan aksamala ketajaman dan irama

hidup...”. (Arok Dedes, 2006: 63) p. Anastrof

Anastrof adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya:

Diceraikannya istrinya tanpa setahu sanak-saudaranya. (Tarigan, 1985: 84)

q. Apofasis

Apofasis merupakan gaya bahasa yang dipergunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya. Misalnya:

Destarnya tak terawat dan matanya kuyu

memandang jauh tanpa melihat. (Arok Dedes, 2006: 497)

r. Histeron Proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis. Misalnya:

Gambar

Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 2006: 95)
gambar Erlangga sebagai dewa Wisynu

Referensi

Dokumen terkait

Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer adalah hasil karya saya dan dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas skripsi ini sebagai

Kalimat (149) merupakan fungsi dari kalimat melarang yaitu sang penutur melontarkan kalimat tersebut dengan maksud agar seseorang bisa waspada atas situasi yang akan

Kedua, bangsa pribumi menyadari bahwa dengan senjata mereka tidak akan mampu melawan segala bentuk tindakan kolonialisme yang dilakukan bangsa penjajah, oleh karena

Kedua, bangsa pribumi menyadari bahwa dengan senjata mereka tidak akan mampu melawan segala bentuk tindakan kolonialisme yang dilakukan bangsa penjajah, oleh karena itu

Persamaan dan Pertentangan Penokohan antara Naskah Drama Ken Arok Karya Saini KM dengan Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer .... Persamaan dan

Arok sebagai seorang yang berstatus sosial rendah, sedangkan pada novelnya ia berperan sebagai seorang yang berstatus sosial tinggi. Berikut kutipan pada naskah drama

Persamaan dan Pertentangan Pengaluran antara Naskah Drama Ken Arok Karya Saini KM dengan Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer .... Tahap Pengaluran dalam Naskah