• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut dan Atmo karya besar S.W. - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut dan Atmo karya besar S.W. - USD Repository"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA BAHASA KIASAN

DALAM KUMPULAN CERITA PENDEKRORO MENDUT & ATMO KARYA BESAR S.W.

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Disusun Oleh: Lilid Perwira Setya

074114003

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

▸ Baca selengkapnya: latar suasana roro jonggrang

(2)

▸ Baca selengkapnya: masalah dalam cerita roro jonggrang

(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Mei 2013

(5)

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Lilid Perwira Setya

NIM : 074114003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma tugas akhir saya yang berjudul "Gaya Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmokarya Besar S.W." beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk ini, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 24 Mei 2013

Yang menyatakan,

(6)

T ulisan ini ku persembahkan untuk:

B apakku,

(Alm) D rs. B esar S ubagiyo W agimin,

T erimakasih atas cinta dan kasih sayang yang kauberi

M amaku,

T risminafaati,

T erimakasih atas kesabaran dan kekuatan yang selalu kauberikan

K akakku tersayang,

P radana Puspita Paramaningtyas

dan adik kecilku,

(7)

ABSTRAK

Setya, Lilid Perwira. 2013. "Gaya Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W." Skripsi Strata 1 (S-l). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam tugas akhir ini diteliti gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. Ada dua masalah yang dibahas: a) gaya bahasa kiasan apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmo karya Besar S.W, dan b) apa saja fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmokarya Besar S.W?

Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Data diperoleh dari kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmo. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Metode ini dilanjutkan dengan metode agih yang menggunakan teknik dasar bagi unsur langsung. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik ganti dan teknik baca markah. Pemaparan hasil analisis data dilakukan dengan metode formal dan informal.

(8)

ABSTRACT

Setya, Lilid Perwira. 2013. "Figure of Speech in Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology by Besar S.W." An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Programme. Department of Indonesian Letters. Faculty of Letters. Sanata Dharma University.

This research is intended to analyze figure of speech in Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology by Besar S.W. There were two problem formulations: a) what kind figure of speech that found in Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology by Besar S.W, b) what is the function figure of speech inRoro Mendut & AtmoShort Stories Antology by Besar S.W?

This research is conducted in three stages. They are collecting data, analyzing data, and describing of data analyzing result. The data is collected from the Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology. The data is collected using listening and writing method. The data in this research is analyzed using padan (identity) method and agih (distributional) method. Padan (identity) method that used is referential (identity) method is the decisive factor in the fact that showed by language or language reference. This method continued by agih method that used direct divide unsure, basic technique. And next technique that used is change technique and baca markah technique. The describtion result of data analysis is carried on by formal and informal method.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena perkenan-Nyalah skripsi yang berjudul "Gaya Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W." dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S-l pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, nasihat, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan mengucapkan penghargaan sebagai rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. I. Praptomo. Baryadi, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar, teliti, setia membimbing dan memberikan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini,

2. Drs. Hery. Antono, M. Hum., selaku dosen pembimbing II atas kesabarannya memberikan koreksi dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F.

(10)

4. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini,

5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, tempat mencari sumber data bagi keperluan penulisan skripsi ini.

6. Keluarga tercinta, bapakku (alm) Drs. Besar Subagiyo Wagimin, mamaku Trisminafaati, kakakku Pradana Puspita Paramaningtyas, dan adikku Kinaton Ageng Laksono.

7. Sahabat-sahabatku, Diana Maria Adriana dan Agustina Tri Tresnaning Tyas untuk kebersamaan kita selama ini,

8. Keluarga besar (alm) Damiri Djoko Poerwito dan (almh) Lasinah Djoko Poerwito,

9. Teman terdekatku, Gregorius Joko Briyandewo yang selalu menemani dan meluangkan waktunya.

Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tiada yang sempurna. Demikian juga skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan terbuka. Penulis berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.

Yogyakarta, 24 Mei 2013

(11)

DAFTAR ISI

1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data ... 19

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data... 19

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 21

1.8 Sumber Data... 22

1.9 Sistematika Penyajian ... 22

(12)

BAB III: FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN

DALAM KUMPULAN CERPENRORO MENDUT & ATMO

KARYA BESAR S. W ... 76

3.1 Pengantar ... 76

3.2 Fungsi Ironi ... 76

3.3 Fungsi Menghaluskan... 79

3.4 Fungsi Melebihkan ... 83

3.5 Fungsi Keindahan... 86

3.5.1 Bunyi... 86

3.5.1.1 Aliterasi ... 87

3.5.1.2 Asonansi ... 87

3.5.1.3 Anafora ... 89

3.5.1.4 Eufoni ... 90

3.5.1.5 Kakafoni ... 90

3.5.2 Pencitraan ... 91

3.5.2.1 Citra Pengelihatan ... 92

3.5.2.2 Citra Gerakan ... 93

3.5.2.3 Citraan lain-lain... 94

3.5.3 Diksi... 97

3.5.3.1 Kata Arkaik... 97

3.5.3.2 Kata Bahasa Daerah dan Asing... 100

3.6 Fungsi Mengungkapkan Sesuatu Secara Tidak Langsung ... 103

3.6.1 Tindak Tutur Tidak Langsung... 103

3.6.2 Tindak Tutur Tidak Literal... 105

BAB IV: PENUTUP ... 107

4.1 Kesimpulan ... 107

4.2 Saran ... 108

Daftar Pustaka... 109

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Gaya Bahasa Metafora Hidup... 40

Tabel 2: Gaya Bahasa Metafora Mati ... 54

Tabel 3: Gaya Bahasa Personifikasi ... 64

Tabel 4: Gaya Bahasa Alusi ... 66

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam skripsi ini dilaporkan hasil penelitian tentang gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek (cerpen) Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W yang diterbitkan oleh penerbit Mediantara Semesta pada tahun 2006. Kumpulan cerita pendek ini terdiri atas 6 judul, yaitu “Roro Mendut Triman”, “Atmo Jogja”, “Menelusuri Jejak Si Korban”, “Akhir Cerita Pendek Ratri”,

“Laisah Dipinang”, dan “Sosok yang Hilang”. Sampai saat ini Besar S.W telah menghasilkan beberapa buku, yaitu kumpulan puisi “Ning”, kumpulan cerita rakyat “Tabiat-tabiat”, dan biografi H. M. Qiyamuddin Saman yang berjudul “Si Gembala Pulang Kandang”.

Salah satu hal yang menonjol dalam kumpulan cerita pendek ini adalah penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan zamannya. Gaya bahasa yang digunakan terlalu modern untuk latar abad ke-17 di Tanah Jawa. Hal ini kebanyakan terdapat dalam cerita pendek “Roro Mendut Triman”. Hal lain yang menarik adalah penggunaan gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek ini.

Berikut ini adalah contoh tuturan dalam kumpulan cerita pendek tersebut,

(15)

‘bagian tubuh dalam mulut yang dapat bergerak-gerak dengan mudah, gunanya untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata’. Kata bersilat mempunyai arti bermain atau berkelahi dengan menggunakan ketangkasan menyerang dan mempertahankan diri (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1065). Penulis lebih memilih menggunakan kata bersilat lidahkarena kata tersebut lebih dapat mengungkapkan ketegangan situasi ketika Tumenggung Wiroguno berhadapan dengan Pronocitro. Analisis yang dilakukan sifatnya kontekstual terhadap kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmo.

Gaya bahasa kiasan yang berjenis personifikasi, yaitu “Dinding kamarnya menatap Galang penuh kesangsian” (Roro Mendut & Atmo, hal 84). Pada contoh tersebut unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah kata menatap. Katamenatap merupakan sifat manusia dalam memperhatikan atau melihat suatu objek. Dalam kalimat tersebutmenatapmenunjukkan pengandaian bahwa dinding kamar memiliki mata sehingga dapat melihat dengan menggunakan matanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1149) kata menatap mempunyai arti melihat atau memperhatikan objek, biasanya dalam jarak dekat, dengan seksama dan durasi yang agak panjang. Dalam hal ini penulis lebih memilih menggunakan kata menatap karena dalam kalimat ini terlihat bahwa seluruh perhatian dinding kamar itu tercurah pada Galang karena sumpah yang diucapkannya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu

(16)

Dipilihnya topik penelitian tentang penggunaan gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo didasarkan atas alasan berikut. Pertama, perlu diungkap gaya bahasa kiasan apa saja yang digunakan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo. Kedua, belum adanya penelitian yang secara khusus mengkaji makna dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo ini. Penelitian ini dibatasi pada kajian jenis gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa tersebut sehingga bisa menimbulkan keindahan yang dimaksudkan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Gaya bahasa kiasan apa saja yang digunakan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W?

2. Apa saja fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan jenis-jenis gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W.

(17)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa jenis-jenis gaya bahasa kiasan dan apa saja fungsi gaya bahasa kiasan tersebut, diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang stilistika dan pragmatik. Dalam bidang stilistika, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khazanah kajian gaya bahasa kiasan. Dalam bidang pragmatik, hasil penelitian ini bertujuan menunjukkan bahwa maksud suatu tuturan dapat diungkapkan dengan berbagai cara yang terwujud dalam gaya bahasa.

Secara praktis, hasil penelitian tentang gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa kiasan ini berguna bagi pengarang sebagai sarana agar karya yang diciptakan dapat menimbulkan efek keindahan. Selain itu, hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi pembaca, yakni agar pembaca mengetahui gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W.

1.5 Tinjauan Pustaka

(18)

Internasional” di Tabloid Bola Tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22 September 2006”. Werokila membicarakan jenis gaya bahasa kiasan yang

digunakan dalam suatu kalimat dalam wacana ”Ole Internasional” di tabloid Bola, dan mendeskripsikan fungsi gaya bahasa kiasan dalam wacana ”Ole Internasional”. Hasil penelitiannya berupa jenis-jenis gaya bahasa kiasan dalam

wacana ”Ole Internasional” di tabloid Bola, terdiri atas gaya bahasa sinekdoke totem pro parte, sinekdoke pars pro toto, metafora, simile, hiperbola, personifikasi, dan oksimoron. Ratna Yani Miarsari (2008) dalam skripsinya yang berjudul”Analisis Medan Makna pada Gaya Bahasa Kiasan dalam Naskah Trilogi Film: Pirates of Carribbean”, membahas mengenai gaya bahasa kiasan apa saja

yang digunakan dalam film tersebut dan menganalisis makna apa yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, Maria Franzisca Oki (2010) juga membahas gaya bahasa kiasan

dalam skripsinya yang berjudul ”Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan pada Novel

Sang Pemimpi karya Andrea Hirata”. Dalam skripsi tersebut dideskripsikan

mengenai penggunaan gaya bahasa kiasan dan pengklasifikasiannya dalam novel Sang Pemimpikarya Andrea Hirata berdasarkan buku Gorys Keraf yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa. Gaya bahasa yang ditemukan juga mengacu pada kekhasan yang digunakan pengarangnya dan gaya bahasa yang memiliki hubungan dengan unsur intrinsik.

(19)

akhir ini peneliti akan menganalisis gaya bahasa kiasan apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek tersebut dan apa saja fungsi gaya bahasa kiasan tersebut.

1.6 Landasan Teori

Untuk keperluan penelitian ini, perlu dikemukakan landasan teori tentang pengertian gaya bahasa dan jenis-jenis gaya bahasa.

1.6.1 Pengertian Gaya Bahasa

(20)

Adapun cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh di satu situasi (pada suatu ketika) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 65). Edgar Allan Poe, sastrawan kenamaan dari Amerika, mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Panjang suatu cerita pendek sangat bermacam-macam. Cerita pendek yang hanya terdiri dari 500-an kata atau dikategorikan sebagai cerita pendek yang pendek (short-short-story). Selain itu ada juga cerita pendek yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata (Nurgiyantoro, 2005: 10).

1.6.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa

(21)

pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, analogi lalu berkembang menjadi kiasan. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam-macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraikan dibawah ini:

a) Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.

b) Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingakan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa yang bermakna pahlawan, buaya darat yang memiliki arti laki-laki yang suka berganti pasangan, buah hati yang bermakna anak, cindera mata yang bermakna kenang-kenangan, dan sebagainya.

c) Alegori, Parabel, dan Fabel

(22)

permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan mahluk-mahluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuannya ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti, seperti dalam cerita-cerita dengan tokoh Si Kancil. d) Personifikasi atau Prosopopeia

Personifikasi atau prosopopeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, seperti dalam kalimat berikut:

jam setengah dua belas,malam semakin diam. e) Alusi

(23)

f) Eponim

Adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan; Hellen dari Troyauntuk menyatakankecantikan.

g) Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Misalnya:

Lonceng pagiuntuk ayam jantan Puteri malamuntuk bulan

Raja rimbauntuk singa, dan sebagainya. h) Sinekdoke

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Misalnya: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.

(24)

i) Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.

Ia membeli sebuah chevrolet.

Saya minum satu gelas, ia dua gelas.

Ialah yang menyebabkan air mata yang gugur. Pena lebih berbahaya daripada pedang. Ia telah memeras keringat habis-habisan. j) Antonomasia

Antonomasia merupakan suatu bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:

Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu. k) Hipalase

(25)

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).

l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Sebagai bahasa kiasan, atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya. Misalnya:

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!

Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!

Terdapat juga istilah lain yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadang-kadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis.

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!

(26)

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

Mulut kau harimau kau.

Lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Cebol). Kelakuanmu memuakkan saya.

m)Satire

Uraian yang harus ditafsirklan lain dari makna permukaannya disebut satire. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Misalnya:

”Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu!” kata Ratri, ketua

redaktur mading sekolah, pada Bram, anggota pengurus mading yang baru bergabung selama 3 hari.

n) Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitnkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya:

(27)

Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi dengan jabatannya.

o) Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.

Engkau memang orang yang mulia dan terhormat! Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol). p) Pun atau paronomasia

Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

Tanggal dua gigi saya tanggal dua.

”Engkau orang kaya!” ”Ya, kaya monyet!”

1.6.3 Kajian Stilistika

(28)

stilus sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Dalam bidang bahasa dan sastra stil dan stylstic berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu (Ratna, 2008: 9).

(29)

Persamaan bunyi dalam pantun, seperti: //Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian// //Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian// bukan semata-mata konvensi tetapi ada kaitannya dengan struktur sosial yang melatarbelakanginya, sehingga sebuah karya di samping menampilkan ciri-ciri genesisnya juga terserap ke dalam kekinian pembacanya. Benar, sesuai dengan

konvensi pantun harus ada persamaan bunyi antara ‘berakit-rakit’ dan bersakit

-sakit’, ‘berenang-renang’ dan ‘bersenang-senang’, ‘ke hulu’ dan ‘dahulu’, ‘ke tepian’ dan ‘kemudian’. Tetapi, persamaan bunyi bukan semata-mata hiasan, tetapi memiliki makna yang sekaligus menopang kualitas persamaan bunyi tersebut. Pertama, pantun ini menunjuk situasi pedesaaan, pedalaman, di situ terdapat gunung, sungai, dan prasarana transportasi. Kedua, persamaan mengimplikasikan makna tekstual yang digali melalui semestaan tertentu di tempat karya tersebut lahir. Orang berakit-rakit ke hulu pasti menimbulkan kelelahan, kesakitan, sebaliknya, pada saat ketepian, menuju hilir, kita tinggal bersenang-senang, bahkan sambil bernyanyi dan bersiul. Ketiga, persamaan bunyi pada gilirannya mengevokasi kualitas estetis. Dari segi jumlah suku kata pada setiap baris, demikian juga permainan bunyinya, antara sampiran dan isi, pantun tersebut juga sangat baik. Pada tahap permukaan persamaan inilah memperoleh perhatian sehingga pantun tersebut sering digunakan dalam masyarakat. Di samping itu, persamaan bunyi juga berfungsi mempermudah untuk menghafalkannya (Ratna, 2008: 252-253).

(30)

secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal. Gaya lebih banyak berkaitan dengan karya seni nonsastra, sedangkan majas lebih banyak berkaitan dengan aspek kebahasaan. Dengan singkat, gaya bahasa meliputi gaya dan majas. Dalam hubungan ini tujuan yang dimaksudkan meliputi aspek estetis, etis, dan pragmatis. Oleh karena itulah, sebagai pendukung gaya bahasa, jenis majas yang paling dominan adalah penegasan. Untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, di antara majas penegasan itu sendiri, yang paling luas adalah majas repetisi. Dominasi berikut ditunjukkan melalui majas perbandingan degan pertimbangan bahwa karya sastra adalah representasi kemampuan manusia untuk meresepsi keseluruhan aspek kehidupan dengan cara membandingkan. Pertentangan dan sindiran menduduki posisi terendah dengan pertimbangan bahwa dalam kehidupan ini kedua ciri tidak banyak dimanfaatkan oleh manusia (Ratna, 2008: 165-166).

Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas. Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan sebagainya. Pengertian secara luas meliputi semua bentuk kiasan,

penggunaan bahasa yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku. Dalam

(31)

dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua majas pada dasarnya memiliki ciri-ciri perbandingan. Metaforalah yang paling banyak dan paling intens memanfaatkan perbandingan (Ratna, 2008: 181). Lebih lanjut menurut Scholes dalam Ratna (2008: 183), dengan mengadopsi pendapat Jakobson, semua bentuk kiasan pada dasarnya dapat disebutkan sebagai metafora.

Dalam pengertian paling luas, stilistika dan estetika bekerja saling meliputi, stilistika mengimplikasikan keindahan, demikian juga sebaliknya, keindahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki gaya bahasa (Ratna, 2008: 251). Stilistika dan estetika jelas merupakan aspek penting dalam karya sastra. Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya (Ratna, 2008: 253). Bahkan menurut Wellek dan Warren dalam Ratna (2008: 255) stilistika itulah, ilmu gaya dengan kualitas estetis yang dapat menjelaskan ciri-ciri khusus sastra. Stilistika dan estetika merupakan hubungan sebab akibat. Stilistika adalah bagaimana bahasa disusun, digunakan, bahkan dengan melakukan pelanggaran puitika, sehingga melahirkan keindahan. Dilihat dari segi keindahan itu sendiri, jelas pemahamannya tidak tetap, berubah sepanjang waktu, sesuai dengan proses hubungan antara karya sastra dengan subjek penikmat (Ratna, 2008: 255).

1.7 Metode Penelitian

(32)

1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Objek penelitian ini adalah gaya bahasa dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W. Objek penelitian berada dalam data yang berupa kalimat. Data diperoleh dari sumber tertulis, yaitu kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W yang terdiri atas 6 cerpen, yaitu ”Roro Mendut Triman”, ”Atmo Jogja”, ”Menelusuri Jejak Si Korban”, ”Akhir Cerita Pendek Ratri”, ”Laisah Dipinang”, dan ”Sosok yang Hilang”. Penyediaan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Dalam penerapan lebih lanjut, digunakan teknik catat yakni kegiatan mencatat data yang diperoleh dalam kartu data (Sudaryanto, 1993: 80). Kartu data berupa lembaran-lembaran kertas berukuran 20 cm x 16 cm. Tiap-tiap kartu data berisi beberapa kalimat yang mengandung gaya bahasa.

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

(33)

diklasifikasikan berdasarkan jenis gaya bahasa yang digunakan. Contoh gaya bahasa metafora,

(1) Dasaranak ingusantak tahu malu, wanita sudah ditriman masih dimau. Contoh gaya bahasa personifikasi,

(2) Dan, dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya, sesaatmenganga.

Dalam penelitian ini juga digunakan metode agih, yaitu metode penelitian yang menggunakan bahasa itu sendiri sebagai alat penentunya (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik yang digunakan dari metode agih ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik BUL adalah teknik dasar metode agih yang membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31).

Teknik lanjutan dalam metode agih ini adalah teknik ganti dan teknik baca markah. Teknik ganti adalah teknik analisis data berupa penggantian unsur satuan lingual yang bersangkutan dengan unsur tertentu yang lain di luar satuan lingual yang bersangkutan. Teknik ini digunakan untuk membuktikan jenis gaya bahasa. Dalam contoh berikut terdapat dalam gaya bahasa metafora. Untuk lebih jelasnya lihat contoh berikut:

(3) ”Kamu telah mengeksploitasi aku, lalu mengekspose hanya untuk keperluanmu. Ini tak bisa ditoleransi! Nah, dengar! Aku tidak jadi pergi ke

pesta. Silakan berangkat sendiri! Biarkan aku disini!” aku kembali unjuk

(34)

Sebagai bukti bahwa frasa unjuk gigibermakna ’menunjukkan kemarahan’,

kata tersebut dapat digantikan dengan frasa lain sebagaimana terdapat dalam contoh berikut:

(3a) ”Kamu telah mengeksploitasi aku, lalu mengekspose hanya untuk keperluanmu. Ini tak bisa ditoleransi! Nah, dengar! Aku tidak jadi pergi

ke pesta. Silakan berangkat sendiri! Biarkan aku disini!” aku kembali

menunjukkan kemarahan.

Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara ''membaca pemarkah" dalam suatu konstruksi. Istilah lain untuk pemarkah adalah penanda. Pemarkah itu adalah alat seperti imbuhan, kata penghubung, kata depan, dan artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan atau fungsi kata atau konstruksi (Kridalaksana dalam Kesuma 2007: 66). Untuk lebih jelasnya lihat contoh berikut: (4) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo, hal 79).

Pada kalimat (4) pemarkah ditunjukkan dengan kata bagai. Di sini pemarkah tersebut berfungsi untuk membandingkan antara kondisi seseorang yang ditanyai mengenai sesuatu hal dengan kondisi seseorang yang diterpa angin kencang, badan limbung dan bergoyang.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(35)

1993: 145). Juga digunakan metode formal yaitu metode penyajian analisis data dengan menggunakan tabel-tabel sesuai keperluan.

1.8 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini beupa Kumpulan Cerita Pedek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. Buku yang diterbitkan di Jakarta oleh PT Mediatara Semesta pada tahun 2006 ini memiliki tebal 91 halaman.

1.9 Sistematika Penyajian

(36)

BAB II

JENIS-JENIS GAYA BAHASA KIASAN

DALAM KUMPULAN CERITA PENDEKRORO MENDUT & ATMO KARYA BESAR S.W.

2.1 Pengantar

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Berikut adalah gaya bahasa kiasan yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmokarya Besar S.W.

2.2 Gaya Bahasa Persamaan atau Simile

(37)

(5) Wanita triman ibaratnya sebagai sebuah kado atau bingkisan (Roro Mendut & Atmo, hal 2).

Gaya bahasa persamaan pada data (5) ditunjukkan dengan kata ibaratnya. Objek yang diperbandingkan dan dinyatakan sama adalah wanita triman dengan sebuah kado atau bingkisan. Berikut contoh lain dari kata ibaratnya:

(6) Ia tahu siapa Wiroguno dan Pronocitro. Keduanya tidak bisa disamakan. Ibaratnya seekor macan hutan yang bertarung melawan kijang kurungan (Roro Mendut & Atmo, hal 13).

Pada data (6) dijumpai gaya bahasa persamaan dengan penggunaan kata ibaratnya. Dalam kalimat tersebut yang diperbandingkan adalah pertarungan antara Wiroguno dan Pronocitro dengan seekor macan hutan yang bertarung melawan kijang kurungan. Berikut contoh lain dari persamaan, yaitu kata memangnya:

(7) Hebat! Memangnya aku ini seorang dewa yang turun ke bumi untuk menolong orang dari kemalangan? (Roro Mendut & Atmo,hal 41).

Gaya bahasa persamaan pada data (7) ditunjukkan dengan kata memangnya. Pada kalimat tersebut penggunaan katamemangnyamenggambarkan bahwa dirinya seolah-olah adalah seorang dewa. Pada kalimat tersebut digambarkan perbandingan antara tokoh aku dengan seorang dewa. Berikut contoh lain dari persamaan, yaitu katalayaknya:

(8) Dengan gaun merah muda, aku malah melenggak-lenggok layaknya peragawati beraksi di atas catwalk (Roro Mendut & Atmo, hal 74).

(38)

dengan peragawati yang beraksi di atas catwalk. Berikut contoh lain dari persamaan, yaitu katabagai:

(9) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo, hal 79).

Pada kalimat (9) gaya bahasa perbandingan ditunjukkan dengan kata bagai. Di sini digambarkan perbandingan antara kondisi seseorang yang ditanyai mengenai sesuatu hal dengan kondisi seseorang yang diterpa angin kencang, badan limbung dan bergoyang.

2.3 Gaya Bahasa Metafora

Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat misalnya: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 1984: 139). Dari hasil penelitian ditemukan gaya bahasa metafora dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo.Gaya bahasa ini terdiri dari dua jenis yaitu metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang masih dapat ditentukan makna dasarnya dari konotasinya sekarang. Metafora mati adalah metafora yang sudah tidak dapat ditentukan konotasinya lagi. Metafora hidup yang terdapat dalam kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmo,yaitu:

(10) “Majulah, jangan hanyabersilat lidah!”(Roro Mendut & Atmo,hal 12). Pada contoh (10) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan kata bersilat lidah. Frasa bersilat lidah mempunyai makna

(39)

dengan mudah, gunanya untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata. Kata bersilat mempunyai arti bermain atau berkelahi dengan menggunakan ketangkasan menyerang dan mempertahankan diri (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1065).

Penggunaan frasa bersilat lidah mengungkapkan tegangnya situasi pada waktu Tumenggung Wiroguno berhadapan dengan Pronocitro. Hal ini dapat dilihat dari kalimat sebelumnya, yaitu “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah

berlagak sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga dengan tuanmu. Ayo, jangan mundur meski selangkah karena pantang

bagiku menyerah kalah!” tumenggung menerima tantangan (Roro Mendut & Atmo, hal 12). Berikut contoh penggantian frasabersilat lidah:

(10a)“Majulah, jangan hanyabertengkar!”

Berikut ini contoh lain dari metafora, yaitubenang asmara:

(11) Mereka pun kemudian menjalin benang asmara secara ilegal (Roro Mendut & Atmo, hal 8).

Adapun pada contoh (11) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasabenang asmara. frasa benang asmaradalam kalimat ini mempunyai makna‘menjalin kasih’.DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga(2002: 130) katabenangmempunyai arti tali halus yang dipintal dari kapas (sutra dsb) dipakai sebagai bahan untuk menjahit atau bahan untuk ditenun. Kata asmaramempunyai arti perasaan senang kepada lain jenis (kelamin); (rasa) cinta (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 71).

(40)

dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Hubungan mereka dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Wiroguno yang menjadi penguasa tunggal atas Roro Mendut.” (Roro Mendut & Atmo, hal 8). Berikut bentuk penggantian frasabenang asmara:

(11a) Mereka pun kemudianmenjalin kasihsecara ilegal.

Berikut ini contoh lain dari metafora, yaituseenak udelnya sendiri:

(12) Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu berbuat seenak udelnya sendiri(Roro Mendut & Atmo,hal 2).

Pada contoh (11) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa seenak udelnya sendiri. Frasa seenak udelnya sendiri dalam kalimat ini mempunyai makna ‘berbuat semaunya sendiri’. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 300) kata seenaknya mempunyai makna semau hati; sesenang hati. Kataudelnya mempunyai makna pusar (lekuk kecil di pusat perut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1236).

Penggunaan frasa seenak udelnya sendiri dalam kalimat ini mengungkapkan perbuatan yang dilakukan semau-maunya sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang sebelumnya, yaitu “Okelah kalau memang dirinya dikuasai pihak lain, lalu dihadiahkan pada sembarang orang. Dalam keadaan sangat terpaksa, bolehlah hal itu menimpa dirinya. Asalkan, si penerima hadiah menghormatinya sebagai seorang perawan.” (Roro Mendut & Atmo, hal 2). Berikut bentuk penggantian frasaseenak udelnya sendiri:

(12a) Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu berbuat semaunya sendiri.

(41)

(13) “Awas, jangan pernah lari dari medan laga!” (Roro Mendut & Atmo, hal 12).

Adapun pada contoh (13) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa medan laga. Frasa medan laga dalam kalimat ini mempunyai makna‘tempat pertempuran’. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 726) kata medan mempunyai makna tanah lapang; tempat yang luas (untuk berpacu kuda dsb); alun-alun. Kata laga mempunyai makna perkelahian (tentang binatang) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 623).

Penggunaan frasa medan laga dalam kalimat ini bertujuan untuk menggambarkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi antara dua orang petarung tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Dua

lelaki itu lalu maju setapak dan langsung memasang kuda-kuda. Pertarungan pun tak bisa terelakkan lagi karena tak lama kemudian mereka saling menyerang. Mereka menerapkan jurus-jurus yang paling mutakhir.” (Roro Mendut & Atmo, hal 12). Berikut bentuk penggantian frasamedan laga:

(13a)“Awas, jangan pernah lari dariarena pertarungan!”

Berikut contoh lain dari metafora, yaitutuan rumah:

(14) Tuan rumahmenanyakan, “Koq, sendirian saja, mana Bu Atmonya, Pak?”

(Roro Mendut & Atmo,hal 20).

(42)

majikan; kepala (perusahaan dsb); pemilik atau yang empunya (toko dsb). Kata rumah mempunyai arti bangunan untuk tempat tinggal (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 966).

Penggunaan frasatuan rumahdalam kalimat ini menunjuk kepada pemilik tempat diadakannya pesta yang dihadiri oleh Atmo Jogja. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Anehnya, acara pesta sekali pun,

Atmo Jogja datang tidak bersama istrinya. Padahal, surat undangan yang terkirim

suda jelas ditulis ‘bersama nyonya’, atau ‘Bapak dan Ibu Atmo’.” (Roro Mendut & Atmo, hal 19-20). Berikut bentuk penggantian frasatuan rumah:

(14a) Pemilik tempat menanyakan, “Koq, sendirian saja, mana Bu Atmonya, Pak?”

Berikut contoh lain dari metafora, yaituamit-amit jabang bayi:

(15) Tapi, kalau ia harus dijadikan sebagai seorang triman, duh, amit-amit jabang bayi(Roro Mendut & Atmo,hal 2).

Adapun pada contoh (15) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa amit-amit jabang bayi. Frasa amit-amit jabang bayi dalam kalimat ini mempunyai makna ‘ketakutan seseorang apabila sesuatu hal

(43)

Penggunaan frasa amit-amit jabang bayi dalam kalimat ini menunjuk kepada ketakutan Roro Mendut apabila dirinya dijadikan triman Tumenggung Wiroguno. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu“Roro

Mendut agak kecut, hatinya pun kian menciut. Perasaan Mendut agak takut. Selama ini tak ada undang-undang yang bisa melindungi triman.” (Roro Mendut & Atmo,hal 2). Berikut bentuk penggantian frasaamit-amit jabang bayi:

(15a) Tapi, kalau ia harus dijadikan sebagai seorang triman, duh, jangan sampai itu terjadi padaku.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitudi atas amgin:

(16) “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut denganku. Menggung pun tidak boleh

melakukan intimidasi. Jangan mentang-mentang punya kekuasaan, ngusir orang semau-maunya! Nanti malah bisa menyeret Menggung berurusan

dengan komisi hak asasi, lho. Mau coba, gimana?” pemuda itu di atas angin(Roro Mendut & Atmo,hal 10).

Adapun pada contoh (16) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa di atas angin. Frasa di atas angin dalam kalimat ini mempunyai makna ‘keadaan lawan yang lebih menguntungkan’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga(2002: 74) katadi atasmempunyai makna1 bagian (tempat) yang lebih tinggi; 2 sehubungan dengan; akan; 3 berdasarkan; menurut; sesuai dengan;4dari;5dengan;6karena; disebabkan oleh;7menjadi;8 tentang; terhadap. Kata angin mempunyai arti 1 gerakan udara dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah;2hawa; udara;3kentut;4ki kesempatan; kemungkinan; 5 ki hampa; kosong; 6 ki kecenderungan yang agak menggembirakan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 49).

(44)

Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Jangan usir dia!

Kalau dia pergi, aku akan mengikutinya kemana pun ia berada,” ancam Mendut

(Roro Mendut & Atmo, hal 10). Berikut bentuk penggantian frasadi atas angin: (16a) “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut denganku. Menggung pun tidak

boleh melakukan intimidasi. Jangan mentang-mentang punya kekuasaan, ngusir orang semau-maunya! Nanti malah bisa menyeret Menggung berurusan dengan komisi hak asasi, lho. Mau coba,

gimana?” pemuda itulebih unggul.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitumembuka mulut:

(17) Akhirnya, warga lebih membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya daripada memaksa‘membuka’ mulutnya (Roro Mendut & Atmo,hal 21).

Adapun pada contoh (17) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan katamembuka mulut. Frasamembuka mulutdalam kalimat ini mempunyai makna ‘berbicara mengenai sesuatu yang ditutup-tutupi’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 171) kata membuka mempunyai makna 1 ark jarak; antara; lebar; 2 cak membuka; terbuka; 3 berjualan atau bekerja.

Kata mulut mempunyai arti 1 rongga di muka, tempat gigi dan lidah, untuk memasukkan makanan (pada manusia atau binatang);2 ki lubang, liang, atau apa saja yang rupanya sebagai mulut; bagian dari barang tempat masuknya sesuatu; 3 kicakap; perkataan;4Fislubang untuk meluahkan zat alir (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 762).

Penggunaan frasa membuka mulut dalam kalimat ini menunjuk kepada ketertutupan pribadi Atmo Jogja yang tidak pernah membicarakan sedikitpun mengenai keluarganya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Ketertutupan Atmo Jogja sungguh tidak dimengerti warga. Untungnya,

(45)

kehidupan bermasyarakat, mengapa harus dipermasalahkan? (Roro Mendut & Atmo,hal 21). Berikut bentuk penggantian frasamembuka mulut:

(17a) Akhirnya, warga lebih membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya daripada memaksanyauntuk berbicara.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitubadan jalan:

(18) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka goresan di kulitbadan jalan(Roro Mendut & Atmo,hal 34).

Adapun pada contoh (18) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa badan jalan. Frasa badan jalan dalam kalimat ini mempunyai makna‘emperan jalan; pinggir jalan’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 84) kata badan mempunyai makna 1 tubuh (jasad manusia keseluruhan); jasmani; raga; awak; 2 batang tubuh manusia; tidak termasuk anggota dan kepala; 3 bagian utama dari suatu benda; awak;4diri (sendiri);5sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu. Kata jalanmempunyai arti1tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dsb);2nperlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain);3nyang dilalui atau dipakai untuk keluar masuk;4nlintasan; orbit (tentang benda di ruang angkasa);5ngerak maju atau mundur (tentang kendaraan);6nputaran jarum;7n perkembangan atau berlangsungnya (tentang perundingan, rapat, cerita, dsb) dari awal sampai akhir; 8 n cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu; 9 n kesempatan (untuk mengerjakan sesuatu);10n lantaran; perantara (yang menjadi alat atau jalan penghubung);11v cak berjalan; 12 v melangkahkan kaki; 13 n kelangsungan hidup (tentang organisasi, perkumpulan, dsb);14a dapat dipahami; benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 452).

Penggunaan frasabadan jalan dalam kalimat ini menunjuk kepada bagian jalan tempat Yuri mengalami kecelakaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu“Hanya itulah yang bisa menjadi pertanda, bahwa tadi ada kecelakaan lalu lintas.” (Roro Mendut & Atmo, hal 34). Berikut bentuk penggantian frasabadan jalan:

(46)

Berikut contoh lain dari metafora, yaitupembajak hati:

(19) “Pembajak hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang mendekatiku

(Roro Mendut & Atmo,hal 90).

Adapun pada contoh (19) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa pembajak hati. Frasa pembajak hati dalam kalimat ini mempunyai makna ‘pencuri hati’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 92) kata pembajak mempunyai makna orang yang melakukan pembajakan.

Katahatimempunyai arti1Anatorgan badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; 2 daging dari hati sebagai bahan makanan (terutama hati dari binatang sembelihan); 3jantung;4 sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb); 5 apa yang terasa dalam batin; 6 sifat (tabiat) batin manusia; 7 bagian yang di dalam sekali (tentang buah, batang, tumbuhan, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 392).

Penggunaan frasa pembajak hati dalam kalimat ini menggambarkan Galang berusaha merayu Reni yang sedang merajuk. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu“Kamu membajak namaku. Aku tidak terima,” “Lantas, mau apa? Menciumku? Ayo, kalau berani!” “Tidak terima! Aku

menuntut balas.” “Balas cinta, kan?” (Roro Mendut & Atmo, hal 90). Berikut bentuk penggantian frasapembajak hati:

(19a) “Pencuri hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang

mendekatiku.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitukembang kanji:

(47)

Adapun pada contoh (20) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa kembang janji. Frasa kembang janji dalam kalimat ini mempunyai makna ‘janji-janji indah’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 538) kata kembang mempunyai makna bunga (dipakai juga untuk menyebut berbagai macam bunga).

Katajanjimempunyai arti1ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu); 2 persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu);3 syarat; ketentuan (yang harus dipenuhi); 4 penundaan waktu (membayar dsb); penangguhan; 5 batas waktu (hidup) ajal (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 458).

Penggunaan frasa kembang janji dalam kalimat ini menggambarkan perasaan Laisah saat ini yang ketakutan menghadapi ulang tahunnya yang ketiga puluh satu. Ia merasa sudah kehilangan harapan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu“Tapi, ketika harapantak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki arti.” (Roro Mendut & Atmo,hal 65). Berikut bentuk penggantian frasakembang janji:

(20a) Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh dengan janji indah akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan tak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki arti.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitukursi kedudukan:

(21) “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,

dijanjikankursi kedudukan, lelaki mana yang tak mau mengubah halauan

(48)

Adapun pada contoh (21) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa kursi kedudukan. Frasakursi kedudukan dalam kalimat ini mempunyai makna ‘jabatan dalam suatu organisasi’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 617) kata kursi mempunyai makna 1 tempat duduk yang berkaki dan bersandaran; 2 ki kedudukan, jabatan (dalam parlemen, cabinet, pengurus, dsb). Kata kedudukanmempunyai arti 1meletakkan tubuh atau terletak tubuhnya dengan bertumpu pada pantat (ada bermacam-macam cara dan namanya seperti bersila dan bersimpuh); 2 ada di (dalam peringkat belajar); 3 kawin atau bertunangan; 4 tinggal; diam (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 277).

Penggunaan frasa kursi kedudukan dalam kalimat ini menunjuk pada kondisi Harman yang di berikan suatu posisi jabatan tertentu oleh atasannya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu:

“Apa kita? Kamu masih bisa mengucapkan kata kita, Man? Sedangkan kamu menerima tawaran perjodohan itu. Engkau tak pernah memikirkan dampaknya bagi kamu dan aku, bukan? Sekarang jangan sia-siakan waktumu! Jangan mengurusi hal-hal yang tak berhubungan dengan persiapan perkawinanmu! Urusi saja Neni, calon istrimu, yang menjanjikan sebuah kursi jabatan tinggi!” kataku

benci (Roro Mendut & Atmo, hal 67).

Berikut bentuk penggantian frasakursi kedudukan:

(21a)“Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,

dijanjikan jabatan, lelaki mana yang tak mau mengubah halauan

perasaan?” kusemprot ia dengan kata-kata semauku. Berikut contoh lain dari metafora, yaitumati kutu:

(22) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?

Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico

menganggapmu sepi. Apa kamu sudah bereaksi?” Jaya mengurus

(49)

Adapun pada contoh (22) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora, yaitu mati kutu. Frasa mati kutu dalam kalimat ini mempunyai makna ‘tidak berdaya; tidak dapat berbuat apa-apa’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 723) kata mati mempunyai makna 1sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi; 2tidak bernyawa; tidak pernah hidup; 3 tidak berair (tentang mata air, sumur, dsb); 4 tidak berasa lagi (tentang kulit dsb); 5 padam (tentang lampu, api, dsb); 6 tidak terus; buntu (tentang jalan, pikiran, dsb); 7 tidak dapat berubah lagi; tetap (tentang harga, simpul, dsb);8sudah tidak dipergunakan lagi (tentang bahasa dsb);9 kitidak ada gerak atau kegiatan, seperti bubar (tentang perkumpulan dsb); 10 diam atau berhenti (tentang angin dsb);11tidak ramai (tentang pasar, perdagangan, dsb);12 tidak bergerak (tentang mesin, arloji, dsb).

Kata kutu mempunyai arti serangga parasit tidak bersayap yang mengisap darah binatang atau manusia (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 619).

Penggunaan frasa mati kutu dalam kalimat ini menggambarkan keadaan Galang yang tidak segera mengungkapkan perasaannya pada Reni. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu:

“Perempuan kau salah-salahkan. Sikapmu itu hanya untuk menutup-nutupi kekuranganmu. Ngaku sajalah! Pantas, Nico yang berhasil membocengkan Reni. Nico itu orangnya tahu seni, bisa melukis, dan bisa membahasakan cinta lewat suratnya. Dengar! Kemarin Nico menemui Reni lalu memberinya selembar kertas. Nah, engkau harus segera bersikap. Terus teranglah pada Reni! Jangan gugup!”

Jaya serius bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 81). Berikut bentuk penggantian frasamati kutu:

(22a)“Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?

Kamu tidak berdaya karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico menganggapmu sepi. Apa kamu sudah

bereaksi?” Jaya mengurus temannya dengan berapi-api. Berikut contoh lain dari metafora, yaitumembongkar dadanya:

(50)

Adapun pada contoh (23) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasamembongkar dada.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 162) kata membongkar mempunyai arti 1 mengangkat ke atas; 2 menurunkan muatan dari kapal (kereta api); 3merusak; merobohkan; 4 menceraikan bagian-bagian mesin; 5 membuka dengan paksa; 6 mencuri dengan merusak pintu (jendela dsb); 7 membuka rahasia.

Kata dada berarti 1 bagian tubuh sebelah depan di antara perut dan leher; 2 rongga tubuh tempat letak jantung dan paru-paru (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 227).

Frasa membongkar dada dalam kalimat ini bermakna membuka rahasianya. Penggunaan frasa membongkar dadanya dalam kalimat ini menggambarkan Galang yang menceritakan perasaannya pada sahabatnya, Wijaya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu

“Tapi, dasar Galang! Pemuda kuper alias kurang pergaulan. Masih lagi, mahasiswa kurinalias kurang informasi. Mengutarakan rasa cinta saja tidak bisa, emangnya aku tahu tentang rasa cintanya? Apa sih beratnya mengungkapkan peasaan dengan terus terang? Mungkinkah ia tidak punya mulut?” (Roro Mendut & Atmo, hal 79-80).

Berikut bentuk penggantian frasamembongkar dadanya:

(23a) Untunglah ia masih bisamengungkapkan rahasianyasama Wijaya. Berikut contoh lain dari metafora, yaitukepalang basah:

(24) Tapi, dasar sudah kepalang basah, aku masih saja melanjutkan sikap kurang manisku (Roro Mendut & Atmo, hal 87- 88).

(51)

makna 1 tanggung; tidak cukup; kurang; 2 sudah terlanjur (dalam keadaan tanggung).. baru; 3 cak banyak mendatangkan keuntungan (uang dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 110). Kata basah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 110) berarti1 mengandung air atau barang cair; 2 belum dikeringkan; masih baru; 3 cak banyak mendatangkan keuntungan (uang dsb).

Penggunaan frasa kepalang basah dalam kalimat ini menunjuk kepada sikap Reni yang sudah terlanjur bersikap kurang manis pada tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Huh! Kamu mau bicara dengan orang tuaku? Tak ada kaitannya dengan masalah ini,” (Roro Mendut & Atmo, hal 88). Berikut bentuk penggantian frasakepalang basah:

(24a) Tapi, dasar sudah terlanjur, aku masih saja melanjutkan sikap kurang manisku.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitunaik pitam:

(25) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,

ha?”pejabat itunaik pitam(Roro Mendut & Atmo, hal 9).

Adapun pada contoh (25) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa naik pitam. Frasa naik pitam dalam kalimat ini mempunyai makna‘menjadi marah sekali (panas hati)’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 771) kata naik mempunyai makna1 bergerak ke atas atau ke tempat yang lebih tinggi; 2 timbul (tentang matahari); 3 mendaki; menanjak; 4 masuk rumah (melalui tangga); masuk ke kendaraan (angkutan, tumpangan, dsb); 5 mengendarai; menuggang; menumpang (kapal, pesawat, dsb); 6 bertambah tinggi (mahal, besar, banyak, dsb); meningkat;7menjadi;8pergi ke: -- darat.

(52)

Penggunaan frasa naik pitam dalam kalimat ini menggambarkan Tumenggung Wiroguno yang sangat marah karena melihat Roro Mendut berduaan dengan Pronocitro. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu

Lancang kamu, Pron! Tak usah membawa-bawa hak asasi segala macam. Nah, bersiap-siaplah karena aku akan menghukummu,” darah Wiroguno mendidih (Roro Mendut & Atmo, hal 10). Berikut bentuk penggantian frasanaik pitam:

(25a) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan

trimanku, ha?” pejabat itusangat marah.

Berikut contoh lain dari metafora, yaitumemeras otaknya:

(26) Namun, kini perempuan itu mencoba memeras otaknya(Roro Mendut & Atmo. hal 15).

Adapun pada contoh (26) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasa memeras otak. Frasa memeras otak dalam kalimat ini

mempunyai makna ‘berpikir keras’. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 855) kata memeras mempunyai makna 1 memijit (menekan dsb) supaya keluar airnya; memerah;2kimengambil untung banyak-banyak dari orang lain; 3ki meminta uang dsb dengan ancaman. Kataotak mempunyai arti1 benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf; benak; 2 ki alat berpikir; pikiran; benak; 3 ki biang keladi; tokoh; gembong (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 804).

(53)

“Beberapa saat berpikir, ia tidak juga menemukan sesuatu yang dapat

membantunya keluar dari permasalahan. Sementara itu, keris Wiroguno telah diacungkan tinggi-tinggi. Melihat ujung keris di tangan tumenggung yang mengancam jiwa kekasihnya, Roro Mendut segera melakukan sesuatu.” (Roro Mendut & Atmo. hal 15).

Berikut bentuk penggantian frasamemeras otak:

(26a) Namun, kini perempuan itu mencobaberpikir keras.

Tabel 1

10 “Majulah, jangan hanya bersilat lidah!

10a “Majulah, jangan hanya

bertengkar!”

11 Mereka pun kemudian menjalin benang asmarasecara illegal.

11a Mereka pun kemudianmenjalin kasihsecara illegal.

12 Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu berbuatseenak udelnya sendiri.

12a Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu berbuatsemaunya sendiri. 13 “Awas, jangan pernah lari dari

medan laga!”

13a “Awas, jangan pernah lari dari

arena pertarungan!”

14 Tuan rumahmenanyakan, “Koq, sendirian saja, mana Bu sebagai seorang triman, duh, amit-amit jabang bayi.

15a Tapi, kalau ia harus dijadikan sebagai seorang triman, duh, jangan sampai itu terjadi padaku.

16 “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut

denganku. Menggung pun tidak boleh melakukan intimidasi. Jangan mentang-mentang punya kekuasaan, ngusir orang semau-maunya! Nanti malah bisa menyeret Menggung berurusan

16a “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut

(54)

dengan komisi hak asasi, lho. 17 Akhirnya, warga lebih

membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya daripada memaksa ‘membuka’ mulutnya.

17a Akhirnya, warga lebih membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya daripada memaksanya untuk berbicara.

18 Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka goresan di kulit badan jalan.

18a Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka goresan di emperan jalan.

19Pembajak hati. Minta tebusan

sebutir kasih suci,” Galang

mendekatiku.

19aPencuri hati. Minta tebusan

sebutir kasih suci,” Galang

mendekatiku. 20 Ketika masih belia, hari ulang

tahun merupakan saat yang penuh dengan kembang janji akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan tak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki arti.

20a Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh dengan janji indah akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan tak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak

21a “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan, dijanjikan jabatan, lelaki mana yang tak mau mengubah halauan

perasaan?” kusemprot ia dengan

kata-kata semauku. 22 “Lho, kamu naksir sama

bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih? Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico menganggapmu sepi. Apa kamu

sudah bereaksi?” Jaya mengurus rindu. Kamu bisa ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico menganggapmu sepi. Apa kamu

sudah bereaksi?” Jaya mengurus

(55)

24 Tapi, dasar sudah kepalang basah, aku masih saja melanjutkan sikap kurang manisku.

24a Tapi, dasar sudah terlanjur, aku masih saja melanjutkan sikap kurang manisku.

25 “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan

trimanku, ha?” pejabat itu naik pitam.

26a Namun, kini perempuan itu mencobaberpikir keras.

Sementara itu gaya bahasa metafora mati yang terdapat dalam kumpulan cerita pendekRoro Mendut & Atmokarya Besar S.W, yaitu:

(27) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih? Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico

menganggapmu sepi. Apa kamu sudah bereaksi?” Jaya mengurus

temannya dengan berapi-api (Roro Mendut & Atmo,hal 81).

Adapun pada contoh (27) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora, yaituketinggalan kereta. Frasa ketinggalan kereta dalam kalimat ini mempunyai makna‘sudah jauh tertinggal oleh lawan’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1196) kata ketinggalan mempunyai makna 1 n sisa; kelebihan; tunggakan; 2 v tertinggi (karna lupa dsb);3vterbelakang; tercecer;4vsudah ditinggalkan oleh (kereta api dsb);5vtidak sesuai dengan zaman (waktu dsb);6vada yang kelupaan; ada yang kurang; ada yang terlangkahi; 7 v tidak -, tidak mau terlambat; tidak lupa; tidak lalai.

Kata kereta mempunyai arti 1 kendaraan yang beroda (biasanya ditarik oleh kuda);2kereta api (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 552).

(56)

“Perempuan kau salah-salahkan. Sikapmu itu hanya untuk menutup-nutupi kekuranganmu. Ngaku sajalah! Pantas, Nico yang berhasil membocengkan Reni. Nico itu orangnya tahu seni, bisa melukis, dan bisa membahasakan cinta lewat suratnya. Dengar! Kemarin Nico menemui Reni lalu memberinya selembar kertas.

Nah, engkau harus segera bersikap. Terus teranglah pada Reni! Jangan gugup!”

Jaya serius bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 81).

Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitukata hati:

(28) Orang yang mengingkarikata hatinyahingga pergi begitu saja tak pernah bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 75).

Adapun pada contoh (28) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah penggunaan frasakata hatinya.Kata hatinyadalam kalimat ini mempunyai makna‘perasaan yang timbul di hati; gerak hati’.

DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga(2002: 513)katamempunyai makna 1 unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan satuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa;2 ujar; bicara; 3 Ling a morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas; b satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem. Kata hati memiiki makna 1 Anatorgan badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; 2 daging dari hati sebagai bahan makanan (terutama hati dari binatang sembelihan); 3 jantung; 4 sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb); 5 apa yang terasa dalam batin; 6 sifat (tabiat) batin manusia; 7 bagian yang di dalam sekali (tentang buah, batang, tumbuhan, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,2002: 392).

Penggunaan metafora kata hati dalam kalimat ini menunjuk kepada perasaan yang timbul dari dalam hati tokoh Galang Wicaksana. Hal ini juga didukung oleh paragraf selanjutnya, yaitu:

Gambar

Tabel 1: Gaya Bahasa Metafora Hidup...................................................
Tabel 1Gaya Bahasa Metafora Hidup
Tabel 2Gaya Bahasa Metafora Mati
Tabel 3
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bidang tersebut merupakan suatu bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi

Dengan adanya aplikasi-aplikasi dari fasilitas SMS untuk pengaksesan data yang memiliki kaitannya dengan manajemen kampus, maka fasilitas SMS ini dirasakan dapat

Nilai rata-rata tekanan udara yang lebih rendah dari bulan sebelumnya dikaitkan dengan suhu udara yang lebih tinggi menyebabkan potensi massa udara berkumpul dan membentuk

Dengan pendekatan Teori Medium Efektif (TME) Landauer dan Bruggeman untuk sistem empat lapisan prisma/perak/komposit (nanopartikel+udara)/udara, diperoleh kurva relasi

[r]

“Pelayanan Rohani” adalah bimbingan rohani yang dilaksanakan terhadap pasien RSUD Kecamatan Mandau sesuai dengan nilai – nilai budaya dan kepercayaan yang dianut atas persetujuan

Berdasarkan analisis statistik tersebut diketahui bahwa pemberian tepung biji koro pedang tidak dapat menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik daripada dengan