• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

An Opportunity of Illegal Log Distribution on Administration of Self Assessment

Oleh/By:

Hendro Prahasto Setiasih Irawanti

Abstrak

Pengangkutan kayu bulat dari areal penebangan sampai ke IPKH memerlukan waktu dan jarak angkut yang cukup memberi peluang terjadinya peredaran kayu bulat illegal. Berkembangnya penebangan dan peredaran kayu illegal disebabkan oleh berbagai faktor seperti lemahnya sistem tata usaha kayu self assesment, sangat terbatas keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam peredaran kayu, kurang adanya koordinasi dan komunikasi dua arah antara instansi kehutanan asal kayu dan tujuan kayu, terbatasnya fasilitas bagi petugas P2LHP dan P3KB, dan hal ini diperburuk lagi oleh tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan kayu bulat. Untuk itu pemeriksaan sebaiknya diarahkan pada peredaran fisik kayu bulat di lapang, terutama sebelum kayu keluar dari hutan. Segala kewajiban pengusaha yang melekat pada produksi kayu sebaiknya dilunasi sebelum kayu keluar dari hutan untuk menghindari hilangnya penerimaan negara dari PSDH dan DR akibat peredaran kayu illegal di dalam negeri maupun ekspor illegal yang dewasa ini disinyalir banyak terjadi.

Kata kunci: self assesment, peredaran kayu illegal, tata usaha kayu

Abstract

Round wood transportation from logging area to IPKH needs enough time and distance for happening of illegal round wood distribution system. An arbitrary illegal logging and wood distribution was caused of several factors such as poor of self assessment system, very few participation of forest official in to the wood distribution system, communications and coordination between forestry office of origin and destination were poor, poor of facilities provided for P2LHP and P3KB, and it became worse because of imbalancing between round wood demand and supply. For this condition, it was better that inspection was aimed at the physical round wood distribution in the field, especially in the forest area. It was better that all kinds of levies collected from round wood production must be paid by HPH before round wood out of the forest area, to avoid loss of government revenue from PSDH and DR caused of illegal round wood distribution and export.

Key word: self assessment,illegal round wood distribution, wood administration system.

I. PENDAHULUAN

Untuk mengendalikan peredaran kayu bulat dan mengamankan penerimaan pemerintah dari hutan alam, pemerintah menyediakan sarana administrasi yang disebut tata usaha kayu (TUK). TUK adalah suatu tatanan atau tata usaha dalam bentuk pencatatan, penerbitan dokumen dan pelaporan tentang kegiatan perencanaan produksi,

eksploitasi, pengolahan dan peredaran kayu (Ditjen Pengusahaan Hutan, 1992). Pada

(2)

2

Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Syah Lainnya (ISL) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) membuat Laporan Hasil Produksi (LHP) yang diantaranya berisi data tentang volume dan jenis kayu bulat yang dihasilkan. Kelompok jenis kayu yang berbeda akan memiliki tarif provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) yang berbeda. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kayu, LHP tersebut disyahkan oleh Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) yang berada di wilayah Cabang Dinas Kehutanan (CDK) asal kayu. Selanjutnya kayu bulat diangkut ke tempat penimbunan kayu (TPK) yang berada di areal hutan setempat.

Pengangkutan kayu bulat dari TPK ke Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) dilengkapi dengan dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) dan dilampiri Daftar Kayu Bulat (DKB) sebagai alat untuk memantau kayu selama pengangkutan menuju IPKH. Selama pengangkutan tersebut tidak ada pemeriksaan fisik kayu. Pemeriksaan fisik kayu yang kedua dilakukan setelah kayu bulat sampai di IPKH, kemudian dokumen SAKB dimatikan oleh Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) wilayah CDK di mana IPKH berada. Besar-kecilnya penerimaan pemerintah dihitung berdasarkan volume dan kelompok jenis kayu yang tercantum dalam SAKB tersebut.

Pengangkutan kayu bulat dari areal penebangan sampai ke IPKH yang lokasinya mungkin dalam satu wilayah kabupaten, satu propinsi, antar propinsi atau bahkan antar pulau akan memerlukan waktu dan jarak angkut yang cukup memberi peluang terjadinya berbagai bentuk penyimpangan. Kelemahan TUK ini merupakan salah satu faktor penyebab maraknya peredaran kayu bulat illegal yang berasal dari tebangan liar. TUK dengan sistem self assesment yang saat ini berlaku cenderung melemahkan kontrol oleh petugas kehutanan terhadap peredaran atau pengangkutan kayu. Pengendalian peredaran kayu bulat melalui dokumen SAKB yang dilakukan oleh instansi kehutanan asal kayu dan instansi kehutanan tujuan kayu sejauh ini tidak banyak memberikan hasil. Hal ini diantaranya karena dalam sistem TUK ini terbuka peluang bagi HPH dan IPKH untuk melakukan manipulasi antar lembar SAKB. Pemantauan dokumen oleh instansi kehutanan juga dilakukan secara manual sehingga sulit untuk menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh HPH dan IPKH. Selain itu, SAKB yang seharusnya hanya digunakan sebagai dokumen kayu legal, dalam kenyataannya banyak

(3)

disalahgunakan dengan cara diperjual-belikan untuk mengangkut kayu illegal, sehingga sulit membedakan antara kayu legal dan illegal.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi peredaran kayu illegal seperti dibentuknya tim pengamanan hutan atau penertiban peredaran kayu illegal yang melibatkan berbagai instansi terkait baik di pusat maupun di daerah, namun hasilnya kurang berarti. Akhir-akhir ini pemerintah juga telah menempuh upaya menanggulangi masalah tersebut dengan cara mengganti dokumen SAKB dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dengan harapan dapat meminimalkan peredaran kayu illegal. Sehubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini menyajikan informasi mengenai kajian peraturan perundangan yang berkaitan dengan TUK dan dampak yang ditimbulkannya.

II. METODA PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini dipilih dua lokasi yaitu Propinsi Riau dan Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1. Mewawancarai pihak-pihak terkait untuk memperoleh jawaban secara langsung

2. Melakukan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti di lapangan.

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder seperti peraturan perundangan terutama Keputusan Menteri Kehutanan tentang TUK dan data sekunder lain yang relevan.

B. Metoda Analisis

Keputusan Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan TUK dievaluasi kemudian hasilnya dibandingkan dengan penerapan Keputusan tersebut di lapang. Volume peredaran kayu bulat illegal dianalisis dengan cara membandingkan data produksi kayu olahan dan rendemennya dengan produksi kayu bulat legal.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

(4)

4 1. Praktek tata usaha kayu di lapang

Praktek TUK di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No 402/KPTS-IV/1990 jo Keputusan Menteri Kehutanan No 525/KPTS-II/1991 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No 230/KPTS/IV-TPHH/1992. Berdasarkan kebijakan tersebut, para pemegang HPH, IPK dan ISL setelah melakukan kegiatan penebangan wajib membuat LHP atas pohon-pohon yang ditebangnya. Pembuatan LHP mencakup kegiatan penomoran batang (nomor petak, nomor pohon dan nomor batang), penandaan batang (ukuran diameter, ukuran panjang dan jenis kayu), serta penghitungan volume masing-masing batang. Nomor pohon dan jenis kayu yang tercantum dalam LHP harus sesuai seperti yang tercantum dalam Laporan Hasil Cruising (LHC). Pada setiap akhir periode, petugas pembuat LHP atas kegiatan penebangan oleh HPH, IPK dan ISL wajib mengajukan permohonan pemeriksaan dan pengesahan LHP kepada instansi kehutanan atau CDK setempat.

Kegiatan TUK selanjutnya adalah peredaran kayu bulat dari perusahaan HPH ke perusahaan IPKH baik yang berada di dalam maupun di luar propinsi atau bahkan antar pulau. Setiap pengangkutan kayu bulat wajib disertai dokumen SAKB. Penerbit SAKB adalah petugas perusahaan yang telah memperoleh nomor register dari KANWIL Kehutanan dan Perkebunan setempat. Untuk tujuan pengendalian penggunaan SAKB, pendistribusian SAKB dilakukan oleh Dinas Kehutanan setempat langsung kepada

pemegang HPH, IPK dan ISL dengan memperhatikan volume produksi tahunan, alat angkut dan frekuensi pengangkutan.

Setelah kayu bulat sampai di IPKH, pihak IPKH wajib memberitahukannya kepada P3KB. Petugas penerima SAKB tersebut (yaitu P3KB) mematikan lembar pertama dan kedua SAKB, kemudian mencatatnya dalam buku register. Hasil pemeriksaan P3KB secara periodik dilaporkan kepada atasannya (yaitu Kepala CDK) sebagai bahan pemantauan peredaran kayu bulat oleh KANWIL Kehutanan dan Perkebunan wilayah tujuan kayu.

(5)

2. Kelemahan sistem Self Assesment

a. Sistem pemantauan peredaran kayu

Salah satu kegiatan TUK dengan sistem self assesment yang sulit dikendalikan oleh petugas kehutanan adalah kegiatan peredaran kayu. Setelah LHP disahkan oleh P2LHP di wilayah CDK asal kayu, kayu bulat selanjutnya diangkut ke TPK yang berada dalam areal hutan. Kegiatan peredaran kayu bulat diawali dengan pengangkutan kayu bulat dari TPK milik HPH menuju ke IPKH. Pengangkutan kayu bulat tersebut harus disertai dokumen SAKB yang dilampiri DKB.

Berdasarkan kebijakan yang berlaku, dokumen SAKB dan DKB dibuat oleh petugas perusahaan yang telah memiliki nomor register dari KANWIL Kehutanan dan Perkebunan setempat. Dokumen tersebut dibuat rangkap enam, di mana lembar pertama dan kedua akan menyertai peredaran kayu bulat dari HPH menuju IPKH, lembar ketiga dikirim ke CDK asal kayu, lembar keempat disampaikan kepada P2LHP, lembar kelima dikirim ke KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tempat tujuan kayu dan lembar keenam sebagai arsip bagi penerbit SAKB (perusahaan HPH).

Setelah kayu bulat sampai di IPKH, pihak IPKH wajib memberitahu P3KB setempat paling lambat 24 jam setelah kayu bulat tersebut masuk ke IPKH. P3KB kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan administrasi kayu, mematikan lembar pertama dan kedua SAKB kemudian mencatatnya dalam buku register. Lembar pertama SAKB disimpan oleh P3KB dan lembar kedua diserahkan kembali kepada IPKH.

Setiap akhir bulan, P3KB mengirim lembar pertama SAKB tersebut ke CDK tujuan kayu. Setelah dicatat dan direkap, paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya CDK tujuan kayu mengirim laporan tersebut ke Dinas Kehutanan tujuan kayu. Setelah dipilah dan direkap ulang, paling lambat tanggal 20 pada bulan yang sama Dinas Kehutanan tujuan kayu mengirim laporan tersebut ke Dinas Kehutanan asal kayu serta ke KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu. Laporan tersebut oleh KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu selanjutnya digunakan untuk memantau peredaran kayu bulat yang berada di wilayahnya, melakukan uji silang antara rekap lembar pertama dan lembar kelima atas dokumen SAKB yang sama untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan atau manipulasi volume dan jenis kayu yang dimuat dalam lembar

(6)

6

pertama SAKB selama pengiriman kayu bulat dari HPH ke IPKH. Uji silang dilakukan dengan cara mencocokan volume dan jumlah batang yang tercantum dalam lembar pertama dan lembar kelima dari dokumen SAKB yang sama. Secara skematis arus peredaran kayu bulat dan SAKB yang menyertainya dari HPH ke IPKH antar propinsi dapat dilihat pada Gambar 1.

P2LHP IPKH P3KB CDK asal kayu CDK tujuan kayu Dinas asal kayu Dinas tujuan kayu (5) (4) (1&2) (3) HPH Kanwil asal kayu Kanwil tujuan kayu

Gambar 1. Arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi

Pada Gambar 1 tampak bahwa keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam peredaran kayu dengan sistem TUK self assesment ini sangat terbatas, yaitu hanya pada saat kayu bulat masih berada di hutan (P2LHP) dan saat kayu bulat telah sampai di IPKH (P3KB). Pemantauan peredaran kayu oleh petugas kehutanan selama perjalanan dari HPH ke IPKH hanya terbatas pada pemeriksaan ada tidaknya dokumen yang menyertainya tanpa ada pemeriksaan fisik atau administrasi lainnya. Dengan demikian P3KB merupakan satu-satunya petugas kehutanan yang diharapkan mampu mengendalikan peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH. P3KB adalah petugas kehutanan yang ditunjuk langsung oleh Kepala KANWIL Kehutanan dan Perkebunan

(7)

setempat untuk menangani pemeriksaan langsung peredaran kayu di lapangan, baik secara administrasi maupun secara fisik, sehingga dituntut keseriusan dan kejujuran dalam melaksanakan tugasnya.

Pemeriksaan administrasi oleh P3KB hanya mengenai kebenaran blanko SAKB dan nomor register penerbit SAKB. Oleh karenanya pemeriksaan fisik kayu bulat memegang peranan penting dalam memantau peredaran kayu di lapangan. Hal ini dilaksanakan dengan cara melakukan uji petik 100% jika kayu bulat yang masuk ke IPKH kurang dari 100 batang dan uji petik minimal 100 batang atau 10% dari jumlahnya bila kayu bulat yang masuk ke IPKH lebih dari 100 batang. Jika terjadi penyimpangan volume lebih dari 5% dan terdapat perbedaan jenis, P3KB wajib memeriksa seluruh kayu bulat yang masuk ke IPKH dan memproses penyimpangannya sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain hal tersebut, pada Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa kurang ada koordinasi antara instansi kehutanan asal kayu dengan instansi kehutanan tujuan kayu. Komunikasi diantara keduanya sangat terbatas dan hanya satu arah, yaitu dari Dinas Kehutanan tujuan kayu ke Dinas Kehutanan asal kayu melalui pengiriman lembar pertama SAKB. Demikian pula, untuk melakukan pemantauan peredaran kayu bulat di wilayah tujuan kayu, pihak KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu hanya mengandalkan pada kejujuran perusahaan HPH asal kayu dalam menyampaikan lembar kelima SAKB.

Pihak KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu sulit untuk memantau semua pengiriman kayu yang masuk ke wilayahnya, karena tidak adanya informasi awal dari instansi kehutanan asal kayu tentang hal tersebut. Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan HPH untuk melakukan ekspor kayu bulat secara ilegal. Ekspor ilegal ini sangat merugikan negara karena PSDH dan DR kayu tersebut belum dibayarkan kepada pemerintah, demikian halnya dengan pajak ekspornya. Ketiadaan koordinasi dan komunikasi dua arah antar instansi kehutanan asal dan tujuan kayu berakibat pada sulitnya melakukan pemantauan peredaran kayu secara efektif terutama oleh instansi kehutanan tujuan kayu.

Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan sistem TUK yang berlaku saat ini dan menciptakan sistem TUK baru dengan mekanisme yang lebih sederhana, ditunjang

(8)

8

dengan penyediaan perangkat lunak komputer untuk memantau secara optimal peredaran kayu baik oleh instansi kehutanan asal kayu maupun instansi kehutanan tujuan kayu sehingga peredaran kayu illegal dapat dikurangi.

b. Terbatasnya jumlah, sarana dan prasarana petugas pemantau

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, petugas P2LHP harus mensahkan kayu yang dihasilkan oleh HPH, IPK atau ISL setiap 10 hari sekali. Di pihak lain jumlah petugas yang tersedia di Cabang Dinas Kehutanan relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan HPH, IPK dan ISL yang beroperasi dan harus dilayani di wilayah tersebut. Selain itu, Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan setempat tidak menyediakan sarana transportasi bagi petugas untuk mengunjungi masing-masing perusahaan tersebut. Akibatnya seorang petugas P2LHP terpaksa bekerja untuk melayani keperluan beberapa perusahaan dengan bantuan sarana transportasi yang disediakan oleh pihak perusahaan HPH, IPK atau ISL. Insentif yang diberikan oleh Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan untuk melakukan tugas tersebut juga sangat sedikit, sehingga sulit diharapkan petugas tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Kasus yang sama juga terjadi pada petugas P3KB. Sesuai petunjuk teknis yang berlaku, petugas P3KB harus berada di IPKH selama 24 jam untuk mengawasi kayu bulat yang masuk ke IPKH. Ketentuan tersebut umumnya tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya jumlah petugas P3KB di setiap wilayah. Untuk melaksanakan tugasnya, petugas P3KB pada umumnya menggunakan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan. Dalam keadaan demikian sulit diharapkan mereka dapat bekerja secara mandiri tanpa intervensi pihak perusahaan IPKH. Di satu pihak mereka dituntut untuk bekerja sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya karena mereka adalah ujung-tombak petugas kehutanan yang menentukan besar-kecilnya penerimaan pemerintah dari PSDH dan DR atau marak-tidaknya peredaran kayu illegal. Di pihak lain, fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan kepada petugas P2LHP dan P3KB sangat tidak memadai. Hal demikian merupakan kendala yang dihadapi di lapangan untuk meminimalkan peredaran kayu illegal.

(9)

c. Tidak berimbangnya antara pasokan dan permintaan kayu bulat oleh industri

Jumlah industri kayu lapis di Indonesia yang masih aktif sampai dengan tahun 1997 berjumlah 105 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 16,29 juta m3 per tahun, industri kayu gergajian berjumlah 1.701 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 26,57 juta m3 per tahun dan industri pulp berjumlah 6 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 17,91 juta m3 per tahun. Dengan demikian kebutuhan bahan baku kayu bulat keseluruhan adalah sekitar 60,77 jutan m3 per tahun (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi, 1999).

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan pada tahun yang sama menyatakan bahwa potensi sumberdaya hutan alam lestari saat ini diperkirakan hanya 22,5 juta m3 per tahun dan hasil pemanfaatan kayu dari pembukaan lahan atau IPK sebesar 7,5 juta m3 per tahun. Rataan realisasi produksi kayu bulat berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) kurun waktu 1994/1995 sampai dengan 1998/1999 adalah 14,67 juta m3 atau 65,2% dari potensi hutan lestari, rataan IPK adalah 6,54 juta m3 per tahun serta rataan produksi dari Perum Perhutani dan hutan tanaman industri (HTI) adalah 2,05 juta m3 per tahun. Hutan rakyat pada kurun yang sama diperkirakan hanya mampu menghasilkan rataan produksi sebesar 0,55 juta m3 per tahun. Dengan demikian rataan pasokan kayu bulat hanya sekitar 23,81 juta m3 per tahun, atau hanya sekitar 40% dari taksasi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya.

Tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan atau kebutuhan kayu bulat oleh industri pengolahannya diduga telah memacu berkembangnya penebangan kayu illegal. Hal ini diduga dilakukan oleh masyarakat asli di sekitar hutan secara spontan dan sporadic atau oleh sindikat pencuri kayu yang didukung oknum petugas dan pengusaha kayu yang menggunakan alat canggih dan menyediakan dana cukup besar.

B. Penggunaan Kayu Illegal oleh Perusahaan IPKH

Kayu bulat illegal banyak diolah oleh perusahaan IPKH baik industri kayu lapis maupun kayu gergajian. Sebagai gambaran besarnya kayu bulat illegal yang diolah oleh IPKH, maka pada kesempatan ini disajikan kasus di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau.

(10)

10

dengan volume produksi kayu olahan yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu yang ada di propinsi tersebut. Industri yang menggunakan bahan baku kayu bulat adalah industri kayu gergajian, kayu lapis dan papan blok, industri yang menggunakan bahan baku kayu gergajian adalah industri moulding/dowel dan wood working serta industri yang menggunakan bahan baku serpih adalah chip dan pulp.

Perbedaan antara volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang diolah oleh industri pengolahan kayu dengan volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang diproduksi oleh HPH dan IPK, plus selisih volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang masuk dan keluar dari propinsi tersebut dianggap sebagai volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang berasal dari tebangan liar.

Kayu bulat, kayu gergajian dan bahan baku serpih yang dihasilkan oleh Propinsi Kalimantan Barat dan Riau sebagian diolah oleh industri pengolahan kayu yang ada di propinsi tersebut dan sebagian lagi di jual ke luar propinsi. Selain terjadi peredaran kayu bulat, kayu gergajian dan bahan baku serpih yang keluar dari propinsi tersebut, juga terjadi peredaran kayu bulat, kayu gergajian dan kayu serpih yang masuk ke propinsi tersebut.

Produksi kayu bulat Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1997/1998 adalah 1.275.289 m3 per tahun, kayu bulat yang masuk ke propinsi tersebut adalah 1.430.938 m3 per tahun dan kayu bulat yang keluar dari propinsi tersebut adalah 120.022 m3 per tahun sehingga pasokan kayu bulat di Propinsi Kalimantan Barat adalah 2.585.350 m3 per tahun. Produksi kayu gergajian di propinsi ini adalah 138.502 m3 per tahun, kayu gergajian yang masuk dan keluar dari propinsi tersebut berturut-turut adalah 36.078 m3 dan 66.763 m3 per tahun. Produksi kayu bulat dan bahan baku serpih di Propinsi Riau berturut-turut adalah 1.999.875 m3 per tahun dan 5.193.054 m3 per tahun. Kayu bulat yang keluar dari propinsi tersebut adalah 679.900 m3 per tahun, kayu bulat yang masuk ke propinsi tersebut nihil sehingga rataan pasokan kayu bulat Propinsi Riau adalah 1.319.975 m3 per tahun. Produksi bahan baku serpih adalah 5.193.054 m3 per tahun sedangkan data peredaran bahan baku serpih keluar atau masuk ke Propinsi Riau tidak tersedia, sehingga pasokan bahan baku serpih diasumsikan sama dengan produksinya.

(11)

Gambaran produksi, peredaran dan kebutuhan kayu di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau dapat diikuti pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi, peredaran dan kebutuhan kayu di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau tahun 1997/1998

Propinsi

Uraian Kalimantan Barat R i a u

Kayu bulat Bahan baku

serpih

Kayu bulat Kayu

gergajian

Produksi kayu 1.999.875 5.193.054 1.275.289 138.502

Peredaran kayu masuk Peredaran kayu keluar

- 679.900 - - 1.430.938 120.877 36.078 66.763 Pasokan kayu 1.319.975 5.193.054 2.585.350 107.817 Kebutuhan kayu 2.613.188 5.463.097 2.719.362 331.279

Produksi kayu ilegal 1.293.213 270.043 134.012 223.462

Dari Tabel 1 di atas juga dapat dilihat bahwa pasokan kayu bulat dan bahan baku serpih legal di Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Riau jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat industri pengolahan kayu. Untuk memenuhinya, sebagian kayu bulat didatangkan dari luar propinsi dan sebagian lagi diduga berasal dari tebangan liar. Hal yang sama juga terjadi pada industri pengolahan kayu lanjutan (IPKL) di Propinsi Kalimantan Barat. Sementara itu jumlah kebutuhan bahan baku kayu gergajian untuk IPKL di Propinsi Riau masih dapat dicukupi dari kayu gergajian yang dihasilkan oleh propinsi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas diketahui pula bahwa produksi kayu bulat dan kayu gergajian ilegal di Propinsi Kalimantan Barat berturut-turut adalah 134.012 m3 dan 223.462 m3per tahun. Dengan menggunakan angka konversi kayu gergajian ke kayu bulat, maka produksi kayu bulat legal di Propinsi Kalimantan Barat adalah 580.936 m3 per tahun. Dengan demikian produksi kayu ilegal di Propinsi Kalimantan Barat cukup tinggi, yaitu sekitar 45,55% dari seluruh produksi kayu bulat legal di propinsi tersebut.

Produksi kayu bulat ilegal di Propinsi Riau sebesar 1.293.213 m3 per tahun, sedangkan produksi bahan baku serpih ilegal adalah 270.043 m3 per tahun. Produksi tebangan ilegal tersebut cukup tinggi, yaitu mencapai sekitar 97,97% (kayu bulat) dan 5,20% (bahan baku serpih) dari seluruh produksi kayu bulat dan bahan baku serpih legal yang dihasilkan oleh para pemegang HPH dan IPK di Propinsi Riau. Apabila hal serupa juga terjadi di propinsi-propinsi lain yang memiliki hutan alam maka dapat

(12)

12

dikemukakan bahwa produksi kayu ilegal dari hutan alam milik negara sudah mengancam kelestarian hutan.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

A. Kesimpulan

1. Dalam sistem TUK self assesment, keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam

peredaran kayu sangat terbatas.

2. Kurang ada koordinasi dan komunikasi dua arah antara instansi kehutanan asal kayu

dengan instansi kehutanan tujuan kayu.

3. Fasilitas yang diberikan kepada petugas P2LHP dan P3KB sangat tidak memadai.

4. Tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan kayu bulat oleh industri

pengolahannya.

B. Implikasi

1. Fokus pemeriksaan oleh aparat kehutanan sebaiknya diarahkan pada peredaran kayu

bulat di lapang, terutama di daerah hulu atau sebelum kayu tersebut keluar dari hutan.

2. Segala kewajiban pengusaha yang melekat pada produksi kayu sebaiknya telah

dilunasi sebelum kayu keluar dari hutan untuk menghindari hilangnya penerimaan negara dari PSDH dan DR akibat peredaran kayu illegal di dalam negeri maupun ekspor illegal yang dewasa ini disinyalir banyak terjadi.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 1990. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts-IV/1990 tentang Tata Usaha Kayu. Departemen Kehutanan Jakarta.

---, 1991. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 525/Kpts-II/1991 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts-IV/1991 tentang Tata Usaha Kayu

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1992. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 230/Kpts/IV-TPHH/1992 tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. jakarta.

--- . 1995. Profil industri pengolahan kayu sampai dengan Januari 1994. Direktorat Pemanfaatan Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1995.

Dinas Kehutanan Propinsi Riau. 1998. Laporan Tahunan 1997/1998 dan Rencana Kerja Tahun 1998/1999. Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Pontianak.

Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. 1998. Laporan Tahunan 1997/1998 dan Rencana Kerja Tahun 1998/1999. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak.

Gambar

Gambar 1. Arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi
Tabel 1.   Produksi,  peredaran  dan  kebutuhan  kayu  di  Propinsi  Kalimantan  Barat  dan  Riau tahun 1997/1998

Referensi

Dokumen terkait

Demikian Pengumuman ini untuk diketahui secara luas, atas perhatian kami ucapkan terima kasih. Pokja III ULP Kota

Diberitahukan kepada seluruh peserta Pemilihan Langsung Pascakualifikasi pekerjaan diatas, dengan ini kami ULP Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi Pokja Pekerjaan

i di ated i Co pa s e site. Note that fees/commissions to the Introducers may be paid by the Company even if mark ups are not existent. If the Client does not consent to this, the

Tesis Konflik antar partai politik pra-pemilu..... GPB

Sehubungan dengan Evaluasi Seleksi Umum Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman Dan Penataan Ruang Kota Medan Tahun Anggaran 2017 Paket Pekerjaan Penyusunan

(5) Saksi calon dalam penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus membawa surat mandat dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan, bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi