• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ARSITEKTUR KONTEKSTUAL

2.1.1 Definisi Arsitektur Kontekstual

Brent C. Brolin (1980) dalam Firgus (2010) melalui bukunya “Architecture in Context” memberikan pengertian suatu perencanaan dan perancangan arsitektur yang memperhatikan permasalahan kontinuitas visual antar bangunan baru dengan nuansa lingkungan yang ada disekitarnya dan melakukan studi terhadap kesulitan yang timbul dalam menciptakan keserasian antara bangunan dengan perbedaan jaman dan gaya dalam suatu lokasi yang berdekatan.

Pendapat lain Graham Shane yang dikutip oleh Charles Jencks dalam Firgus (2010) mengatakan kontekstualisme merupakan suatu perencanaan dan perancangan yang harus sesuai, tanggap dan menjembatani lingkungan disekitarnya bahkan melengkapi pola yang terkandung dalam tatanan ruang lingkungan. Menurutnya (Jenks, 1981) kontekstual merupakan sebuah konsep atau prinsip merancang bangunan dengan memperhatikan dan tetap menjaga keterkaitan atau keterikatan dengan lingkungan sekitar, terutama secara visual. Perancangan sebuah bangunan baru pada satu lingkungan atau kawasan dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, akan memebrikan keserasian dan kesatuan secara visual dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam bukunya, Brolin (1980) juga menegaskan bahwa persoalan dalam kontekstualisme adalah bagaimana menyelaraskan sebuah bangunan baru (melalui

(2)

eksplorasi kesamaan gaya dan teknologi) yang bersebelahan dengan bangunan lama atau lingkungan lama yang memiliki gaya arsitektur tertentu dapat menjaga kontinuitas visual terjaga (fitting new buildings with the old).

Brolin (1980) dalam Kwanda (2004) mengatakan konsep desain dalam kotekstual terbagi atas dua, yaitu contras dan harmony.

1. Contras (kontras/Berbeda)

Kontras merupakan konsep perancangan desain yang bersifat mencolok, berbeda dari yang lain. Brolin (1980) mengungkapkan bahwasannya kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmosi, namun bila terlalau banyak akan mengakibatkan ”shock effect” yang timbul sebagai akibat kontras maka efektifitas yang dikehendaki akan menurun.

Dalam konteks perancangan, kontras merupakan tektnik yang paling populer dengan teknik ini perancang dapat menciptakan sesuatu yang “kreatif”, paling tidak karya desainnya berbeda dengan bangunan lain yang ada disekitarnya. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa teknik kontras diambil karena relatif sulitnya “menghubungkan” arsitektur baru dengan yang lama. Dan menurut Brolin (1980), bangunan lama dan baru dapat dihubungkan secara kontras dengan berhasil yaitu dengan cara menggunakan suatu “penghubung” atau link. Terdapat dua cara “penghubung” yaitu memundurkan bangunan baru atau mengolah fasade bangunan baru dengan tampilan lama, baik menggunakan bahan bangunan lama atau baru.

(3)

2. Harmony (Harmoni/Selaras)

Harmoni atau selaras merupakan konsep dalam perancangan arsitektur kontekstual yang menunjukkan keserasian atau keselarasan bangunan baru dengan kondisi lingkungan sekitar. Bangunan baru harus lebih menghargai dan memperhatikan konteks/lingkungan dimana bangunan itu berada, kemudian bersama-sama dengan bangunan yang sudah ada atau lingkungan yang ada menjaga dan melestarikan “tradisi” yang telah berlaku sejak dulu. Sehingga kehadiran satu atau sekelompok bangunan baru lebih menunjang daripada menyaingi karakter bangunan yang sudah ada walaupun terlihat dominan (secara kuantitas).

Menurut Brolin (1980) hubungan antara bangunan baru dan lingkungan arsitektur di sekitarnya dapat dicapai dengan mengaplikasikan aspek general attributes (elemen-elemen yang mudah dikenali pengamat) dan historical attributes (ornamen tradisional dan ornamen modern) bangunan eksisting ke dalam bangunan baru.

2.1.2 Ciri-Ciri Desain Kontekstual

Adapun ciri-ciri kontekstual (Brolin, 1980) adalah : a. Adanya pengulangan motif pola desain bangunan sekitar

b. Pendekatan baik dari bentuk, pola atau irama dan riasan atau ornamen terhadap bangunan dilingkungan sekitar ( continuity & connectivity)

(4)

2.2 FASAD

Berdasarkan teori Komposisi Arsitektur (Krier, 2001), fasad merupakan elemen fisik terluar dari sebuah bangunan yang membentuk wajah bangunan dan memamerkan keberadaaan sebuah bangunan kepada publik.

Elemen-elemen pendukung fasad menurut Krier (2001) adalah :

1. Atap

Atap berperan sebagai mahkota yang disandang oleh tubuh bangunan, sehingga secara visual, atap merupakan akhiran dari fasad dan titik akhir dari bangunan.

2. Jalan masuk dan pintu masuk

Jalan masuk atau entrance merupakan komponen yang memeiliki peran penting, sebagai akses dan tanda transisi dari area publik (eksterior) ke bagian privat (interior).

3. Jendela

Jendela adalah bukaan yang terletak didinding sebuah bangunan yang berfungsi sebagai sirkulasi udara dan cahaya dalah sebuah ruangan atau bangunan. Sebagai salah satu komponen fasad, figur jendela memberikan artikulasi tersendiri sebagai karakter atau citra dari sebuah bangunan.

4. Dinding

Dinding adalah salah satu elemen fasad bangunan yang memperkuat ciri dan karakter suatu bangunan. Permukaan suatu dinding dapat memperkuat karakter suatu bangunan melalui material, tekstur dan warna.

(5)

5. Arkade

Arkade atau gang beratap merupakan sebuah jalur pejalan kaki yang beratap dengan dinding pembatas disalah satu sisinya (Khairunissa, 2014). Arkade biasanya terdapat pada bangunan komersil seperti ruko-ruko. Selain berfungsi sebagai ruang atau jalur pejalan kaki, arkade juga menjadi pembatas antara bangunan dengan jalan.

6. Riasan atau Ornamen

Ornamen berasal dari kata “ornare” (bahasa Latin) yang berarti menghias juga berarti dekorasi atau hiasan. Ornamen sering juga disebut sebagai desain dekoratif atau desain ragam hias. Ornament berfungsi untuk menambah nilai estetis dari suatu bangunan yang akhirnya akan menambah nilai finansial dari bangunan tersebut. Ornamen juga menunjukkan gaya arsitektur yang terdapat dalam desain suatu bangunan.

Untuk merancang bangunan yang memiliki elemen fasad yang kontekstual, maka sebelumnya perlu diketahui apa saja elemen yang perlu diperhatikan dari sebuah bangunan. Dari beberapa metode perancangan kontekstual yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diketahui elemen fasad bangunan yang digunakan untuk mendesain bangunan yang kontekstual dengan lingkungannya.

Dalam Antariksa (2012), Krier mengatakan bahwa karakter muka bangunan dibentuk oleh dimensi, komposisi, serta ragam hias. Komposisi muka bangunan mempertimbangkan persyaratan fungsional pada dasarnya berkaitan dengan kesatuan proporsi yang baik, harmonis, dan selaras, penyusunan elemen

(6)

horizontal dan vertikal yang terstruktur, bahan, warna, dan elemen dekoratif lainnya. Hal lainnya tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah proporsi bukaan, ketinggian bangunan, prinsip perulangan, keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup ke dalam variasi.

Krier (2001) menegaskan bahwa wajah bangunan juga menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik.

2.2.1 Karakter Visual Fasad

Fasad merupakan salah satu elemen visual bangunan yang dapat memperkenalkan identitas sebuah bangunan (Krier, 2001). Karakter yang mempengaruhi elemen visual bangunan menurut Ching (2008) yaitu :

a. Wujud

Wujud yang merupakan ciri-ciri pokok yang menunjukkan bentuk. Wujud adalah hasil konfigurasi tertentu dari permukan-permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk.

b. Proporsi dan Skala

Proporsi dan skala mengacu pada ukuran sesuatu dibandingkan dengan suatu standar referensi atau dengan ukuran sesuatu yang dapat dijadikan patokan. Proporsi dan skala dapat memberikan kesan keseimbangan pada bentuk bangunan, baik dari segi estetika juga dari segi arsitektural. Secara umum skala terbagi menjadi 2 (Ching, 2008), yaitu : skala mekanis dan skala generik (visual). Skala

(7)

mekanis adalah proporsi sesuatu yang relatif terhadap suatu standar pengukuran yang terlah ditentukan. Skala visual merupakan proporsi suatu elemen yang tampak memiliki kaitan terhadap elemen lain yang ukurannya diketahui atau diasumsikan.

c. Irama

Irama diartikan sebagai pergerakan yang bercirikan pada unsur-unsur atau motif berulang yang terpola dengan interval yang beratur maupun tidak teratur. Pergerakan tadi dapat terjadi karena mata mengikuti unsur-unsur yang berulang. Hampir semua jenis bangunan memasukan unsur-unsur yang bersifat berulang.

d. Posisi dan Orientasi

Lokasi relatif sebuah bentuk terhadap lingkungannya atau area visual didalamnya tempat di mana ia dilihat. Orientasi adalah arah relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, titik batas area, bentuk- bentuk lain, atau terhadap orang yang melihat bentuk tersebut.

e. Warna

Warna adalah atribut yang membedakan suatu bentuk terhadap lingkungannya. Warna juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.Warna dapat berperan untuk memperkuat bentuk dan mampu memberikan ekspresi kepada pikiran atau jiwa manusia yang melihatnya.

f. Material

Material atau bahan adalah zat atau benda yang dimana sesuatu dapat dibuat darinya, atau barang yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu. Material

(8)

merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur permukaan sebuah benda atu bidang.

g. Tekstur

Tekstur adalah pola struktur 3 (tiga) dimensi permukaan. Tekstur mempengaruhi baik perasaan seseorang waktu menyentuh maupun kualitas pemantulan cahaya menimpa permukaan bentuk tersebut. Kehalusan permukaan mengandung kesan menyenangkan dan meyakinkan. Kekasaran permukaan mengandung sedikit peringatan yang mungkin akan cukup kuat untuk menarik perhatian atau bahkan cukup kuat untuk memberikan kesan ancaman.

2.3 ARSITEKTUR KOLONIAL

Handinoto (1996) dalam Novi, dkk (2012) arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya barat dan timur, yang memiliki ciri-ciri spesifik sebagai hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda dengan arsitektur Indonesia karena budaya dan kondisi iklim yang berbeda jauh dari kedua negara tersebut. Pada masa kolonial para arsitek Belanda banyak membawa serta pengaruh-pengaruh langgam arsitektur yang saat itu sedang berkembang di benua Eropa, dan meninggalkan jejak aneka konsep dengan keistimewaan tersendiri baik dari wujud maupun nilai sejarahnya.

2.3.1 Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia

Dalam situs (http://iketsa.wordpress.com/, Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur

(9)

kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:

1. Abad 16 sampai tahun 1800-an

Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas.

2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902

Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini mengadopsi gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.

3. Tahun 1902-1920-an

Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1920 sampai tahun 1920-an : 1. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak bangunan 2. Bentuk Gable sangat bervariasi. 3. Penggunaan tower pada bangunan 4. Tower pada mulanya dinggunakan pada bangguna Gereja kemudia diambil alih oleh banguna umum dan menjadi mode pada arsitektur kolinial Belanda pada abad ke 20. 5. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, segiempat ramping dang

(10)

ada yang dikombinasikan dengan gevel depan. 6. Penggunaa dormer pada bangunan. 7. Penyesuaian pada bangunan terhadap iklim tropis basah :

a. Vetilasi yang lebar dan tinggi

b. Membuat Galeri atau serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.

4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an

Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran).

2.3.2 Karakter Elemen Fasad Bangunan Kolonial

Handinoto (1996) dalam Novi, dkk. (2012) menjelaskan bahwa pada bangunan kolonial Belanda terdapat karakter yang mempengaruhi tampilan fasad. Karakter tersebut dapat dilihat dari beberapa elemen-elemen yang biasa digunakan sebagai pendukung fasad, antara lain :

1. Gabel/Gavel (Ornamen Pada Atap)

Gavel adalah bagian berbentuk segitiga dari bagian akhir dinding atap dengan penutup atap yang melereng. Gavel terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri (dalam Hadinoto, 1996).

(11)

Gambar 2.1 Gavel Pada Bangunan Lonsum Medan Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

Gambar 2.2. Variasi Bentuk Gevel Sumber : http://iketsa.wordpress.com/

2. Tower/Menara

Tower adalah bangunana berstruktur tinggi, dapat berdiri sendiri maupun menjadi bagian dari bangunan dengan penerangan dan peralatan internal seperti tangga, dan atap yang jelas (dalam Hadinoto, 1996). Di Indonesia biasanya membuat tower yang ujungnya diberi atap menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Hadinoto (1996) menjelaskan tower/menara

(12)

memiliki bentuk yang sangat beragam, mulai dari bentuk kotak segi empat, segi enam, bulat, hingga bentuk-bentuk geometris lainnya, dan beberapa di antara memadukanya dengan gevel/depan. Tower/menara biasanya berfungsi sebagai penanda pintu masuk bagian depan bangunan.

Gambar 2.3 Tower/Menara Pada Bangunan Kolonial Di Medan (Kantor Pengadilan Negeri Medan)

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

3. Nok Acroteire/Hiasan Puncak Atap

Hiasan puncak atap biasanya digunakan pada rumah-rumah para petani di Belanda. Pada awalnya di Negara Belanda hiasan puncak atap menggunakan alang-alang, namun didaerah Hindia Belanda hiasan ini dibuat menggunakan semen.

(13)

4. Dormer/Cerobong Asap Semu

Dormer adalah jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal diatas gording pada atap utama. Memiliki fungsi untuk penghawaan dan pencahayaan pada bangunan. Memiliki bnetuk yang menjulang tinggi keatas, dormer di Negara aslinya, Belanda, biasanya digunakan sebagai ruang atau cerobong asap perapian.

Gambar 2.4 Dormer Bangunan Kolonial Di Medan ( Kantor Pengadilan Negeri Medan )

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

(14)

5. Windwijer/Penunjuk Angin

Berfungsi sebagai penunjuk arah angin, biasanya diletakan di atas nok dan dapat berputar mengikuti arah angin.

6. Ballustrade

Memiliki fungsi sebagai pagar pembatas balkon, ataupun dek bangunan. Biasanya terbuatdari beton cor ataupun dari bahan metal.

Gambar 2.6 Ballustrade Pada Bangunan Kolonial Di Kesawan Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

Gambar

Gambar 2.1  Gavel Pada Bangunan Lonsum Medan  Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015
Gambar  2.3 Tower/Menara Pada Bangunan Kolonial Di Medan (Kantor  Pengadilan Negeri Medan)
Gambar  2.4 Dormer Bangunan Kolonial Di Medan ( Kantor Pengadilan Negeri  Medan )
Gambar 2.6   Ballustrade Pada Bangunan Kolonial Di Kesawan  Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

Referensi

Dokumen terkait

sahnya jual beli telah terpenuhi, untuk menjual kepada Pihak Kedua, yang --- berjanji dan mengikat diri untuk membeli dari Pihak Pertama: --- Sebidang tanah Hak Guna Bangunan Nomor

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Hasil uji BNT pada taraf 5 % menunjukkan bahwa panjang akar tanaman pada perlakuan pemberian pupuk organik hayati merupakan sampel terpanjang (35,80 cm)

Menurut Indra Lesmana Karim, upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak adalah melalui lingkungan yang terkecil

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

mengoptimalkan hal tersebut, pemerintah Jateng dapat mengawinkan tren pariwisata syari’ah dengan basis pariwisata religi.. Namun realitasnya, walaupun kuantitas okupasi

Beberapa efek negatif yang dapat terjadi seperti radiasi dalam gadget dapat berdampak merusak jaringan syaraf dan perkembangan otak pada anak bila anak sering