• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

3.1. Kota Bogor

Kotamadya DT II Bogor dibentuk berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 1965 serta Undang-undang nomor 5 tahun 1974, dengan luas wilayah administratif sebesar 2.156 ha, meliputi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat, dan Kecamatan Bogor Tengah. Lalu sejak tahun 1995, Kotamadya DT II Bogor mengalami perluasan wilayah menjadi 11.850 ha dan mengalami pemekaran menjadi enam kecamatan dengan penambahan kecamatan Tanah Sareal. Senada dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999. tentang pemerintahan daerah nama Kotamadya Bogor diubah menjadi Kota Bogor.

Batas – batas administratif Kota Bogor adalah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

Sebelah barat : Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Sebelah selatan : Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

Sebelah timur : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.

Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106º 43’30” BT - 106º 51'00” BT dan 6º 30’30” LS - 6º 41’00” LS. Kota Bogor berjarak lebih kurang 56 Km dari selatan Jakarta. Curah hujan kota Bogor rata-rata 4.000 mm/ tahun, tingginya curah hujan di kota Bogor menyebabkan kota ini dijuluki “kota hujan".

(2)

3.2. Pembagian Fungsi Daerah Per Kecamatan Kota Bogor

Berdasarkan pembagian fungsi daerah Kabupaten Bogor diketahui bahwa posisi Kota Bogor adalah merupakan daerah yang ditempatkan di tengah sebagai pusat, sehingga membawa implikasi Kota Bogor adalah merupakan kota yang melayani Kabupaten Bogor; terutama sebagai pusat pelayanan jasa . Ini juga didukung dengan Peraturajn Daerah Kota Bogor nomor 1 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 1999-2000 di mana kota Bogor memiliki fungsi sebagai kota perdagangan, kota industri, kota pemukiman, kota wisata ilmiah dan kota pendidikan.

Pembagian fungsi daerah Kota Bogor sendiri menggunakan Model Sistem Kota Satelit, yaitu pusat yang dikelilingi kota satelitnya (www.bplhdjabar.go.id/ soe/deskripsi wilayah/17.Kota Bogor.pdf). Pusat Kota adalah Kecamatan Bogor Tengah sedangkan kota satelitnya adalah Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Utara dan Kecamatan Bogor Timur.

Adapun fungsi dari masing – masing kecamatan atau satelitnya adalah sebagai berikut :

a. Kecamatan Bogor Tengah Sebagai Pusat Kota Satelit

Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan perkantoran/pemerintahan yang ditunjang oleh kegiatan perdangan dan jasa, permukiman dan wisata.

b. Kecamatan Bogor Selatan sebagai Kota Satelit I

Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman dengan KDB rendah yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa.

c. Kecamatan Bogor Barat sebagi Kota Satelit II

Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah objek wisata dan daerah konservasi.

d. Kecamatan Tanah Sareal sebagi Kota Satelit III

(3)

e. Kecamatan Bogor Utara sebagi Kota Satelit IV

Fungsi utamanya sebagai kegiatan industri non-polutan, yang ditunjang oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.

f. Kecamatan Bogor Timur sebagai Kota Satelit V

Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan industri non-polutan serta perdagangan dan jasa.

Kegiatan di pusat kota satelit adalah kegiatan yang tingkat pelayanannya berskala regional dan skala kota, sedangkan untuk kegiatan di satelitnya adalah kegiatan yang tingkat pelayanannya berskala kota dan skala lokal.

3.3. Penggunaan Tanah Kota Bogor

Kegiatan penduduk akan mencerminkan pola penggunaan tanah yang terjadi. Secara garis besar, penggunaan tanah Kota Bogor dapat dibedakan menjadi dua bagian (DLLAJ Kota Bogor, 2006), yaitu:

1. Kawasan Terbangun: dengan luas total penggunaan sebesar 7.855,616 ha atau sekitar 66.3 % dari total luas Kota Bogor, berupa permukiman teratur dan tidak teratur, industri, serta komersial dan lainnya.

2. Kawasan Belum Terbangun: dengan luas total sebesar 3994,384 atau 33.7 %. Berupa lahan pertanian, badan air, dan daerah terbuka hijau.

Kota Bogor pada dasarnya berbentuk monosentris walaupun terdapat juga pusat-pusat pelayanan yang telah dikembangkan di wilayah sekitar pusat kota (seperti Warung Jambu dan Sukasari), serta pusat-pusat kegiatan yang tumbuh mengikuti jaringan jalan (seperti di sepanjang Jalan Tajur dan Jalan Raya Baru). Pusat Kota Bogor terdiri dari empat lokasi kegiatan yang semuanya saling berdekatan (DLLAJ Kota Bogor, 2006), yaitu:

a. Bogor (Kebun Raya) b. Merdeka

c. Ramayana d. Pasar Anyar

(4)

Tabel 3.1. Penggunaan Tanah di Kota Bogor Serta Pada Buffer 200 meter Dari Jalan-jalan yang Mengelilingi Kebun Raya Bogor

No Jenis Penggunaan Tanah

Luas (ha) Persentase Penggunaan Tanah (%) PT Buffer 200m Kota Bogor Buffer 200m Kota Bogor Buffer terhadap Bogor Buffer terhadap PT masing2 1 Daerah komersil 14.87 119.135 15.73 1 0.13 12.48 2 Permukiman teratur 28.055 1728.746 29.69 14.6 0.24 1.62 3 Permukiman tidak teratur 47.836 5148.512 50.61 43.4 0.4 0.93 4 Daerah industri 2.144 390.921 2.27 3.3 0.02 0.55 5 Pertanian dan lahan

terbuka 0.725 3748.196 0.77 31.6 0.01 0.02 6 Badan air 0.876 173.587 0.93 1.5 0.01 0.5

7 Hutan - 72.601 - 0.6 - -

8 Lain-lain - 468.302 - 4 - -

Jumlah 94.506 11850 100 100 0.81

Sumber : Pengolahan Data Peta Penggunaan Tanah Tahun 2005

Dilihat dari tabel di atas, tampak bahwa kota Bogor masih banyak di dominasi oleh pemukiman tidak teratur serta pertanian dan lahan terbuka. Jika untuk keseluruhan kota Bogor jenis penggunaan tanah yang paling mendominasi adalah penggunaan tanah untuk permukiman tidak teratur, begitu pula pada buffer 200 meter dari jalan-jalan yang mengelilingi kebun raya bogor. Untuk penggunaan tanah pertanian dan lahan terbuka, jika di kota Bogor persentasenya mencapai 31,6 %, maka pada Buffer 200 meter hanya mencapai 0,01 % atau hanya 0.77% dari luas wilayah yang dilakukan buffer. Daerah komersil hanya menempati area sebesar 1 ha dan 12,48% nya berada pada buffer 200 meter dari jalan-jalan yang mengelilingi kebun raya bogor.

Sebenarnya daerah yang paling banyak digunakan untuk kegiatan komersial adalah daerah di sekitar pasar anyar yang juga terdapat stasiun kereta api bogor. Namun daerah komersial ini adalah berupa pasar beserta pertokoannya dan pedagang kaki lima. Sedangkan jika memenuhi pendapat Burgess bahwa pusat kota merupakan CBD (Central Business District) dengan ciri penggunaan tanahnya adalah untuk gedung perkantoran pemerintah dan atau swasta, serta pusat perbelanjaan, maka dari ke empat lokasi kegiatan tersebut, yang paling memenuhi sebagai pusat kota Bogor adalah jalan-jalan yang mengelilingi kebun

(5)

raya di mana selain terdapat daerah komersial juga terdapat kantor-kantor penting pemerintah kota Bogor serta kantor-kantor untuk swasta.

3.4. Transportasi Kota Bogor

Jaringan jalan di Kota Bogor mempunyai pola radial konsentris dengan karakteristik sebagai berikut (DLLAJ, 2006):

1. Pada kawasan pusat kota terdapat jaringan jalan melingkari Kebun Raya Bogor (ring). Jaringan jalan yang melingkar tersebut merupakan gabungan dari ruas Jalan Juanda, Jalan Otista, sebagian Jalan Pajajaran dan Jalan Jalak Harupat.

2. Jaringan jalan yang berasal dari kawasan lainnya terhubung secara konsentris ke jaringan jalan melingkar ini. Beberapa jalan tersebut di antaranya adalah Jalan Suryakencana, Jalan Sudirman, Jalan Pajajaran, Jalan Muslihat, serta Jalan Empang.

3. Pada bagian timur Kota Bogor yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, terdapat Jalan Tol Jagorawi, yang menghubungkan pusat Kota Bogor dan Ciawi dengan Jakarta maupun daerah lainnya.

Jaringan jalan dengan pola radial konsentris memiliki konsekuensi berupa terakumulasinya seluruh pergerakan ke kawasan pusat kota, sebab kawasan ini merupakan satu-satunya akses untuk mencapai daerah lain. Pergerakan ini tidak hanya berupa pergerakan internal kota saja, tetapi termasuk juga pergerakan internal-eksternal dan eksternal-internal yang melintas Kota Bogor, misalnya dari arah Ciawi (di bagian selatan) ke arah Rangkasbitung dan Ciomas (di bagian barat) atau ke arah Depok dan Cibinong (di bagian utara), maupun arah sebaliknya. Besar pergerakan ini mencapai 675.314 perjalanan-orang/hari (DLLAJ Kota Bogor, 2000:9).

Adanya akumulasi pergerakan ini (baik internal maupun eksternal) akan menyebabkan beban lalu lintas yang tinggi di kawasan pusat kota. Oleh sebab itu, dengan adanya jalan lingkar tersebut, pergerakan yang memasuki kawasan pusat kota dapat dikurangi.

(6)

Sebagian besar trayek angkutan kota yang ada di Kota Bogor memiliki lintasan yang menuju pusat kota. Jika dilihat lebih jauh lagi berdasarkan pusat-pusat kegiatan yang dihubungkannya, secara umum ada empat tipe rute trayek angkutan kota di Kota Bogor

1. Menghubungkan pusat kegiatan di pinggir kota secara radial ke pusat kota, sesuai pola jaringan jalan. Trayek-trayek yang lintasan termasuk ke dalam tipe ini adalah trayek 01A yang menghubungkan pusat kota (Terminal Baranangsiang dengan Ciawi), trayek 02 dan 03 yang menghubungkan pusat kota dengan Terminal Bubulak, trayek 15 yang menghubungkan daerah Merdeka dengan Terminal Bubulak, serta trayek 16 yang menghubungkan pusat kota dengan pusat-pusat kegiatan yang muncul di sepanjang Jalan Raya Baru (ring road).

2. Menghubungkan antarpusat kegiatan di sekitar pusat kota. Yang termasuk ke dalam tipe trayek ini adalah trayek 07 yang menghubungkan pusat kegiatan di Warung Jambu dengan daerah Merdeka dan trayek 08 yang menghubungkan Warung Jambu dengan daerah Ramayana.

3. Menghubungkan antarpusat kegiatan di sekitar pusat kota. Yang termasuk ke dalam tipe trayek ini adalah trayek 09 yang menghubung-kan Warung Jambu dengan Sukasari.

4. Menghubungkan daerah pemukiman dengan kawasan pusat kota. Ada banyak trayek yang memiliki tipe ini, seperti trayek 01, 04, 05, 06, 10, 11, 12, dan 13.

3.5. Trayek Angkutan Kota Bogor

Kota Bogor yang selain dikenal sebagai kota hujan dikenal pula sebagai kota sejuta angkot memiliki banyak trayek angkutan umum. Pada awalnya hanya terdapat 13 trayek angkutan kota yang beroperasi di Kota Bogor (berdasarkan SK Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bogor No 551.2/SK.225-Ekon/97). Pada tahun 1995 terjadi perluasan Kota Bogor yang mengakibatkan wilayah operasi tiga trayek angkutan perkotaan, yakni trayek 01A, trayek 04, dan trayek 16 masuk keseluruhannya ke dalam wilayah Kota Bogor. Kemudian pada awal

(7)

tahun 2006 dilakukan penambahan trayek angkutan kota berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No. 551.23.45-67 Tahun 2006 Tanggal 17 Februari 2006, menjadi 22 trayek. Rute semua trayek angkutan kota di Kota Bogor merupakan fixed route, dimana kendaraan hanya diperkenankan melewati jalur yang telah ditetapkan.

Dari hasil pengamatan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, didapatkan hasil bahwa rata-rata panjang trayek berkisar 4.81 Km. Trayek terpanjang adalah trayek 04-AK dari Rancamaya-Ramayana dengan panjang trayek 8.12 Km. Trayek terpendek adalah trayek Trayek 15-AK dengan rute Merdeka-Bubulak dan jarak trayek 3.1 Km. Seluruh operasi angkutan umum di Kota Bogor dilayani oleh 3358 kendaraan dengan jumlah rata-rata kendaraan tiap trayek 174 kendaraan.

Berikut adalah data trayek angkutan kota Bogor:

Tabel 3.2. Trayek, Rute, Panjang Lintasan dan Jumlah Kendaraan Angkutan Kota Bogor

AK-01 Cipinang Gading - Ps Bogor 11.04 13 AK-01A Baranangsiang - Ciawi 16.41 190 AK-02 Sukasari - Bubulak 21.01 660 AK-03 Baranangsiang - Bubulak 19.43 382 AK-04 Rancamaya - Ramayana 21.80 184 AK-05 Cimahpar - Ramayana 10.25 162 AK-06 Ciheuleut - Ramayana 9.37 169 AK-07 Warung Jambu - Merdeka 10.00 236 AK-07A Pasar Anyar - Pondok Rumput 7.19 53 AK-08 Warung Jambu - Ramayana 10.69 212 AK-09 Warung Jambu - Sukasari 12.86 144 AK-010 Bantar Kemang - Merdeka 15.65 92 AK-011 Pajajaran Indah - Ramayana 9.09 45 AK-012 Pasar Anyar - Cimanggu 10.10 182 AK-013 Bantar Kemang - Ramayana 13.46 147 AK-015 Merdeka - Bubulak 12.11 101 AK-016 Pasar Anyar - Salabenda 21.41 265 AK-017 Pomad - Tanah Baru - Bina Marga 18.40 55 AK-018 Ramayana - Mulyaharja 18.00 43 AK-019 Terminal Bubulak - Kencana 10.80 10 AK-020 Pasar Anyar - Kencana 8.40 15

13.69 3360 JML KDR SAAT INI PJG LINTASAN PP (KM) TOTAL/RATA-RATA

NO TRAYEK ASAL - TUJUAN

(8)

AK-01 Cipinang Gading - Ps Bogor 11 110

AK-01A Baranangsiang - Ciawi 145 1450

AK-02 Sukasari - Bubulak 376 3760

AK-03 Baranangsiang - Bubulak 219 2190

AK-04 Rancamaya - Ramayana 106 1060

AK-05 Cimahpar - Ramayana 138 1380

AK-06 Ciheuleut - Ramayana 143 1430

AK-07 Warung Jambu - Merdeka 206 2060

AK-07A Pasar Anyar - Pondok Rumput 54 540

AK-08 Warung Jambu - Ramayana 180 1800

AK-09 Warung Jambu - Sukasari 115 1150

AK-010 Bantar Kemang - Merdeka 60 600

AK-011 Pajajaran Indah - Ramayana 37 370

AK-012 Pasar Anyar - Cimanggu 158 1580

AK-013 Bantar Kemang - Ramayana 115 1150

AK-015 Merdeka - Bubulak 88 880

AK-016 Pasar Anyar - Salabenda 145 1450

AK-017 Pomad - Tanah Baru - Bina Marga 26 260

AK-018 Ramayana - Mulyaharja 26 260

AK-019 Terminal Bubulak - Kencana AK-020 Pasar Anyar - Kencana

123.58

23,480.00 TOTAL/RATA-RATA

NO TRAYEK ASAL - TUJUAN KAPASITAS ANGKUT

(PNP/JAM) FREKWENSI

(KDR/JAM)

Angkutan Kota di Kota Bogor ini menunjukkan beragam perbedaan, tidak hanya dari panjang lintasan maupun jumlah armada, namun juga dari segi banyaknya penumpang, seperti ditunjukkan pada tabel berikut;

Tabel 3.3. Kapasitas Angkutan Kota di Kota Bogor

Sumber : Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, 2006

Dari ke semua trayek angkutan kota Bogor tersebut, berikut adalah jenis angkutan kota yang melewati jalan penelitian

a. Jalan Jenderal Sudirman

AK 07. Warung Jambu – Merdeka : 236 unit AK 07 A.Pasar Anyar – Pondok Rumput : 53 unit AK 08. Warung Jambu - Ramayana : 212 unit AK 16. Pasar Anyar – Salabenda : 265 unit b. Jl. Kapten Muslihat

AK 07. Warung Jambu - Merdeka : 236 unit AK 02. Sukasari – Bubulak : 660 unit

(9)

AK 03. Baranangsiang – Bubulak : 382 unit AK 10. Bantar Kemang - Merdeka : 92 unit c. Jl. Empang

AK 04. Rancamaya – Ramayana : 184 unit AK 10. Bantar Kemang-merdeka : 92 unit AK 02. Sukasari-Bubulak : 660 unit d. Jl. Suryakencana

AK 02: Sukasari-bubulak : 660 unit

AK 01: Cipinang Gading - Pasar Bogor : 13 unit

3.6. Penduduk Kota Bogor

Jumlah penduduk di Kota Bogor pada tahun 2005 adalah sebanyak 855.085 jiwa, terdapat kenaikan rata-rata pertahun sebesar 3,85 %. Kenaikan tersebut diduga karena adanya faktor-faktor penarik, antara lain semakin banyaknya fasilitas sosial-ekonomi, juga merupakan kota penyangga Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, sehingga menarik para pendatang untuk tinggal di Kota Bogor.

Kepadatan penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 sebesar 7.216 jiwa/Km2. Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 190.421 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor Timur yang hanya berjumlah 86.978 jiwa.

Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan dengan luas wilayah terkecil (8,33 Km2) dan mempunyai kepadatan tertinggi, yaitu sebesar 12.691 jiwa/Km2, hal ini disebabkan karena Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat kegiatan sosial, perekonomian dan pemerintahan. Untuk lebih jelasnya mengenai penyebaran dan kepadatan penduduk di Kota Bogor dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(10)

Tabel 3.4. Data Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005 No Kecamatan /Kelurahan Luas Wilayah (Km2) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1 Bogor Selatan 30,81 166.745 5.412 2 Bogor Timur 10,15 86.978 8.569 3 Bogor Utara 17,72 149.578 8.441 4 Bogor Tengah 8,13 103.176 12.691 5 Bogor Barat 32,85 190.421 5.797 6 Tanah Sareal 18,84 158.187 7.396 Jumlah 118,50 855.085 8.051

Sumber: Kota Bogor Dalam Angka Tahun 2005/2006, BPS Kota Bogor

Berdasarkan hasil survey data instansional, diketahui bahwa perkembangan penduduk di Kota Bogor pada tahun 2001 – 2005 pertumbuhan terbesar adalah di Kecamatan Tanah Sareal dengan rata-rata pertumbuhan terhadap kota sebesar 5,18% sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Tengah dengan pengaruh pertambahan terhadap kota adalah sebesar 0,51%. Untuk lebih jelas mengenai perkembangan penduduk di Kota Bogor dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.5. Persentase Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor

No Kecamatan / Kelurahan

Pertumbuhan Penduduk (Tahun) (%) Rata-Rata Pertumbuhan 2001 2002 2003 2004 2005 1 Bogor Utara 2,02 1,52 4,30 2,43 2.11 2.48 2 Bogor Timur 1,32 4,83 3,79 0,02 3.66 2.72 3 Bogor Selatan 1,98 2,88 3,36 2,06 0.99 2.25 4 Bogor Tengah 10,62 3,52 4,11 1,37 1.99 4.32 5 Bogor Barat 1,60 5,09 3,66 1,36 3.23 2.99 6 Tanah Sareal 11,64 5,19 3,89 0,16 5.01 5.18

(11)

3.7. RTRW Kota Bogor

3.7.1. Pengembangan Sistem Perwilayahan

Pengembangan sistem pusat pelayanan di Kota Bogor didasari oleh pedoman yang telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang terkait dengan perencanaan fasilitas pelayanan umum yaitu:

1. “Pedoman Perencanaan Lingkungan Perumahan Kota, Ditjen. Cipta Karya, Departemen. Pekerjaan Umum, tahun 1979” dan

2. “Pedoman Penelitian SPM hasil Kepmen Kimpraswil, No. 378/KPTS/M/2001, Tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Pemukiman Kota”.

Di dalam pedoman tersebut dijelaskan mengenai penyediaan fasilitas pelayanan umum minimal untuk suatu kawasan yang didukung oleh sejumlah penduduk tertentu. Setiap kelompok fasilitas terdiri dari beberapa jenjang/hirarki pelayanan yang didasari oleh jumlah penduduk maksimum yang harus dilayani. Berdasarkan hal tersebut, maka sistem perwilayahan pelayanan di Kota Bogor adalah sebagai berikut:

1. Wilayah Kota Bogor, dengan penduduk yang dilayani maksimum 1.200.000 jiwa

2. Bagian wilayah kota (BWK), dengan penduduk yang dilayani maksimum 400.000 jiwa

3. Sub bagian wilayah kota (Sub BWK), dengan penduduk yang dilayani maksimum 120.000 jiwa

4. Kawasan, dengan penduduk yang dilayani maksimum 30.000 jiwa 5. Lingkungan, dengan penduduk yang dilayani maksimum 6.000 jiwa

Dalam perkembangannya wilayah Kota Bogor mengalami perubahan dalam proses perencanaan kotanya. Sebelumnya berdasarkan RTRW Kota Bogor Tahun 1999/2009 terlihat bahwa perencanaan Kota Bogor mengarah ke pendekatan pola satelit terukur. Perkembangan Kota Bogor yang demikian cepat dan mengikuti perkembangan DKI Jakarta sebagai wilayah utama di kawasan Jabodetabek mengakibatkan perubahan strategi perencanaan Kota Bogor. RTRW

(12)

2006/2015 menyatakan bahwa perencanaan Kota Bogor diarahkan ke sistem radial konsentris.

Sistem radial konsentris ini merupakan sistem yang melegitimasi adanya sub-sub pusat BWK yang dikembangkan secara bersamaan dengan Pusat Kota. Sub-sub pusat BWK ini akan direncanakan menjadi pusat-pusat pendukung pusat kota. Pengembangan di sub-sub pusat BWK ini akan disesuaikan sesuai arahan selanjutnya. Transportasi hanya akan menggunakan legitimasi keberadaan sub-sub pusat BWK ini dalam penentuan simpul-simpul transportasi dan lintas-lintas strategis yang menghubungkan ketiga simpul ini. Gambar 3.1. memperlihatkan pola perencanaan Kota Bogor berdasarkan RTRW 1999-2009 dan perubahannya pada revisi RTRW 2005-2015.

Gambar 3.1. Perubahan Pola Perencanaan Kota Bogor

Sumber: Revisi RTRW Kota Bogor 2006, versi November 2006 dalam DLLAJ 2006

Dasar pertimbangan yang digunakan dalam pengembangan sistem jaringan transportasi Kota Bogor adalah:

1. Rencana sistem pusat-pusat kegiatan Bagian Wilayah Kota Bogor

2. Sistem hierarki jaringan jalan yang didasarkan pada UU No 38 Tahun 2004 3. Rencana persebaran penduduk Kota Bogor

(13)

Hasil analisis dari masalah transportasi Kota Bogor, diantaranya:

(a) Rasio luas jaringan jalan yang tersedia berbanding luas wilayahnya baru mencapai 5 % dari ketentuan 25 %.

(b) Pertumbuhan kendaraan sebesar 7,51 % / tahun (c) Pertumbuhan penduduk sebesar 3,5 % / tahun (d) Pertumbuhan PDRB sebesar 5,89 % / tahun (e) Pertumbuhan bangkitan sebesar 100 % / tahun 1) Rencana Sistem Jaringan Jalan

Rencana pengembangan jaringan jalan Kota Bogor dicirikan untuk mengembangkan struktur kota dengan konsep konsentrik. Untuk mengimbangi perkembangan Kota Bogor yang direncanakan dibagi kedalam 3 BWK, maka dibangun jaringan jalan baru yang menghubungkan jaringan jalan hingga ke jalan menuju Tajur. Hal ini diantisipasi untuk pergerakan akibat kegiatan yang dikembangkan di pusat BWK baru di Kelurahan Tanah Baru akan tidak mengganggu kegiatan yang bersifat internal perkotaan. Lebar jaringan jalan yang direncanakan untuk fungsi tersebut disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku.

2) Rencana Pengembangan Angkutan Umum

Simpul-simpul terminal yang dikembangkan di Kota Bogor didasari pada pertimbangan fungsi dan peranan jaringan jalan yang dikembangkan di Kota Bogor. Di mana Kota Bogor pada tahun 2015 untuk kegiatan yang berfungsi primer dikembangkan mengikuti jaringan yang berfungsi primer seperti Soleh Iskandar dan R2 serta poros Pajajan atau poros R2 menuju Tajur. Selain itu pusat kegiatan terbagi 3 bagian di kawasan Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Utara maupun Bogor Selatan.

Jumlah angkutan umum penumpang yang secara legal beroperasi di kota Bogor merupakan angkutan yang berdaya angkut 14 penumpang. Sementara hingga tahun 2015 jumlah penduduk Kota Bogor akan melebihi satu juta jiwa.

(14)

Dengan jumlah penduduk sebanyak itu maka sudah selayaknya Kota Bogor mengembangkan moda angkutan umum masal. Salah satu rencana pengembangan angkutan umum masal untuk Kota Bogor adalah Jenis Bus 3/4. Rute tersebut merupakan rute untuk mereduksi angkutan-angkutan kota yang bermuatan kecil menjadi angkutan bus. Disamping itu untuk mengantisipasi perpindahan moda angkutan kereta api ke bis dan dari moda-moda kecil ke bis. Angkutan bis ini didesain seperti bus way di Jakarta. Dengan demikian jaringan jalannya memanfaatkan lajur paling kanan dari jaringan jalan yang tersedia. Dan tiap 500 meter disediakan shelter busnya. Untuk angkutan yang berdaya angkut kecil disarankan melayani pusat-pusat BWK.

3.7.2. Bidang Transportasi

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan acuan dari arahan tata ruang yang harusnya dianut oleh sistem perencanaan lainnya. Perencanaan bangunan dan struktur bangunan, perencanaan fasilitas kesehatan, perencanaan wilayah lindung dan transportasi harus mengikuti arahan tata ruang tersebut. Sistem perencanaan baik tata ruang maupun transportasi sebenarnya selalu berdasarkan dua prinsip utama yaitu “Servicing Demand and Promoting Area”.

Servicing demand atau pelayanan kebutuhan transportasi dilakukan bagi wilayah yang sudah berkembang dan cenderung tinggi kebutuhan perjalanannya. Promoting area digunakan untuk wilayah yang belum berkembang agar disparitas wilayah dan ekonomi tidak terlalu terasa dalam suatu kawasan atau wilayah. Dalam suatu wilayah pasti ada suatu wilayah yang berkembang dengan pesat dan wilayah yang marjinal perkembangannya. Kedua jenis wilayah ini harus disiasati dengan suatu sistem perencanaan yang baik dan terpadu.

Setelah sistem perencanaan yang baik ini, sebaiknya dilanjutkan dengan sistem monitoring yang baik terutama untuk tata ruang. Kontrol terhadap tata ruang dan homogenisasi dari tata guna lahan sangat penting dalam perencanaan-perencanaan lain yang mengikuti dibawahnya termasuk transportasi. Tata ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah akan mengusulkan suatu perencanaan transportasi yang spesifik. Contoh jaringan transportasi yang

(15)

menghubungkan antar pusat BWK dan antar pusat BWK dengan pusat kota merupakan jaringan yang bersifat mobilitas dengan hambatan samping yang tinggi. Sangat berbeda dengan jaringan transportasi yang berada di dalam wilayah pusat atau sub pusat BWK dimana hambatan samping dan akses di kanan-kiri prasarana transportasi dapat direncanakan tinggi.

Perencanaan angkutan umum juga harus mengikuti perencanaan tata ruang dan prinsip ideal transportasi. Angkutan umum sebaiknya menghubungkan wilayah-wilayah antar Pusat BWK dan antara Pusat Kota dengan Pusat BWK. Jaringan-jaringan rute yang langsung sebaiknya dibatasi. Arahan jaringan rute ini juga harus disesuaikan dengan kesesuaian armada.

Gambar 3.2. Hubungan Antara RTRW dengan Sistem Perencanaan Lainnya di Bawahnya

Sumber: Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, 2006

Pusat Kegiatan Wilayah

Jaringan Jalan

Jaringan angkutan umum Terminal/

Prasarana Transportasi

Fasilitas Ekonomi

Fasilitas Perdagangan

Efisiensi Pusat Kegiatan Wilayah

Jaringan Jalan

Jaringan angkutan umum Terminal/

Prasarana Transportasi

Fasilitas Ekonomi

Fasilitas Perdagangan

(16)

BAB IV

KEMACETAN DI PUSAT KOTA BOGOR

4.1. Volume Kendaraan

Berdasarkan kriteria jalan yang akan diteliti, terdapat empat jalan kolektor yang bersimpangan dengan jalan-jalan yang mengelilingi kebun raya Bogor, yaitu jalan Jenderal Sudirman, jalan Kapten Muslihat, jalan Pulo Empang, serta jalan Suryakencana.

Dari survey yang telah dilakukan terhadap volume kendaraan pada jalan-jalan yang diteliti, volume kendaraan dibagi menjadi lima kelas yaitu ;

Sangat Rendah (SR) : 0 - 564.8 smp

Rendah (R) : 564.8-1129.6 smp

Sedang (S) : 1129.6-1694.4 smp

Tinggi (T) : 1694.4-2259.2 smp Sangat Tinggi (ST) : 2259.2-2824 smp

Masing-masing jalan penelitian menunjukkan perbedaan tingkat volume kendaraan yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Tingkat Volume Kendaraan Pada Jalan Penelitian Nama Jalan Pagi Sore ke kebun raya dari kebun raya ke kebun raya dari kebun raya Tingkat Sudirman Tinggi Sedang Sedang Sangat Tinggi Volume Muslihat Tinggi Sedang Sedang Sedang Kendaraan Empang Tinggi Rendah Sedang Rendah Suryakencana - Sedang - Sedang

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Berdasarkan tabel tersebut di atas, tampak bahwa pada pagi hari, volume kendaraan lebih tinggi di jalan yang arahnya ke kebun raya, sedangkan pada sore 40

(17)

itupun hanya pada jalan Sudirman saja, sedangkan pada jalan lain volume kendaraannya rata-rata adalah sedang. Jumlah kendaraan pada masing-masing arah jalan adalah sebagai berikut:

4.1.1. Pagi Hari

Volume kendaraan pada pagi hari dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.1. Volume Berdasarkan Jenis Kendaraan Pagi Hari

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Berdasarkan gambar di atas, pada pagi hari, di setiap jalan volume kendaraannya lebih tinggi pada jalan yang arahnya ke kebun raya di banding pada arah sebaliknya. Pada jalan Suryakencana yang hanya merupakan jalan satu arah yaitu dari kebun raya, volume kendaraannya lebih besar dibanding jalan-jalan dengan arah sama lainnya.

Persentase penggunaan kendaraan tiap unitnya dapat dilihat pada gambar berikut;

(18)

Tabel 4.2. Persentase Penggunaan Kendaraan Pagi Hari

Nama Jalan

Persentase penggunaan kendaraan (%) Dari Pusat Kota Ke Pusat Kota Jenis A Jenis B Jenis C Jenis D Jenis A Jenis B Jenis C Jenis D Sudirman 14 31.2 53.6 1.2 13.7 32.8 52.5 1 Muslihat 29.5 19.9 49.6 1 26.5 22.5 50.5 0.5 Empang 27.8 13.9 56.6 1.7 13.3 16.6 68.1 2 Suryakencana 23.2 17.9 57.9 1 - - - -

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Dari penggunaan jenis kendaraan, pada setiap jalan penelitian, sepeda motor selalu menjadi moda transportasi utama yang dipilih oleh para pengguna jalan yaitu sekitar 50% dari keseluruhan jenis kendaraan, sedangkan kendaraan berat merupakan kendaraan yang paling jarang melintas pada setiap jalan penelitian dengan persentase penggunaan tidak pernah lebih dari 2%. Sedangkan untuk jenis kendaraan ringan yaitu mobil plat kuning dan plat hitam serta merah berbeda-beda pada masing-masing jalan. Pada jalan Sudirman, mobil plat hitam dan merah selalu menjadi pillihan utama bagi para pengguna jalan, begitu pula dengan jalan Empang pada arah ke kebun raya. Sedangkan pada ke dua jalan lainnya serta jalan Empang dengan arah dari kebun raya, mobil plat kuning yang di dominasi oleh angkutan kota lebih banyak dipilih oleh para pengguna jalan.

Setiap jalan penelitian didominasi oleh jenis kendaraan yang berbeda-beda. Angkutan kota (kendaraan jenis A) paling besar terdapat pada jalan Muslihat, kendaraan pribadi (jenis B) paling besar terdapat pada jalan Sudirman, sedangkan persentase penggunaan sepeda motor dan truk terbesar adalah pada jalan Empang. Berikut persentase penggunaan kendaraan setelah disamakan dalam satuan smp per jalan penelitian:

(19)

Tabel 4.3. Presentase Nilai smp per Jenis Kendaraan Pada Setiap Jalan Arah Ke Kebun Raya Pada Pagi Hari

Jenis Kendaraan Persentase per Jalan (%) Sudirman Muslihat Empang Mobil plat kuning 7.5 11.5 7 Mobil plat hitam dan merah 18 9.8 8.8

Sepeda motor 11.6 8.8 14.5

Kendaraan berat 0.8 0.3 1.4

Total 37.9 30.4 31.7

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Dari tabel di atas, tampak bahwa pada pagi hari, di jalan yang arahnya ke kebun raya ini, jenis kendaraan yang memiliki persentase terbesar dalam tingginya volume kendaraan adalah mobil plat hitam dan merah di jalan Sudirman yaitu sebesar 18% dari total keseluruhan kendaraan di seluruh jalan penelitian. Jalan Sudirman sekaligus merupakan jalan yang memiliki volume kendaraan tertinggi dibanding jalan lainnya. Di jalan Empang, jenis kendaraan yang paling mempengaruhi tingginya volume kendaraan adalah sepeda motor. Sedangkan di jalan Muslihat jenis kendaraan yang paling berpengaruh adalah mobil plat kuning yang pengaruhnya hampir sama besar dengan sepeda motor di jalan Sudirman.

Tabel 4.4. Presentase Nilai smp per Jenis Kendaraan Pada Setiap Jalan Arah Dari Kebun Raya Pada Pagi Hari

Jenis Kendaraan Persentase per Jalan (%)

Sudirman Muslihat Empang Suryakencana

Mobil plat kuning 5.8 9.3 8.3 10.5

Mobil plat hitam dan merah 12.9 6.3 4.1 8.1

Sepeda motor 8.9 6.3 6.7 10.5

Kendaraan berat 0.6 0.4 0.7 0.6

Total 28.2 22.3 19.8 29.7

(20)

Dari tabel di atas, tampak bahwa pada pagi hari, di jalan yang arahnya dari kebun raya ini, jenis kendaraan yang memiliki persentase terbesar dalam tingginya volume kendaraan adalah mobil plat hitam dan merah di jalan Sudirman yaitu sebesar 12.9% dari total keseluruhan kendaraan di seluruh jalan penelitian. Jalan Sudirman sekaligus merupakan jalan yang memiliki volume kendaraan tertinggi dibanding jalan lainnya. Di jalan Empang, jenis kendaraan yang paling banyak berpengaruh adalah mobil plat kuning. Di jalan Suryakencana, jenis kendaraan yang paling mempengaruhi tingginya volume kendaraan adalah sepeda motor dan mobil plat kuning. Sedangkan di jalan Muslihat, sama seperti pada pagi hari, jenis kendaraan yang paling berpengaruh adalah mobil plat kuning.

4.1.2. Sore Hari

Volume kendaraan masing-masing jalan pada sore hari dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.2. Volume Berdasarkan Jenis Kendaraan Sore Hari

(21)

Pada sore hari, tidak tampak adanya perbedaan volume kendaraan yang besar antara tiap arah jalan, namun jalan Sudirman merupakan yang paling mencolok dibanding jalan lainnya di mana volume kendaraan pada jalan arah dari kebun raya jauh lebih besar dibanding pada arah sebaliknya.

Pada jalan Muslihat, ke dua arah menunjukkan tingkat volume yang sama-sama berada pada tingkat sedang. Tidak tampak ada perbedaan yang mencolok antara ke dua arah jalan. Pada jalan Empang, volume kendaraan justru lebih tinggi pada jalan arah ke kebun arah dibanding sebaliknya, hal ini berarti sama dengan pada pagi hari di mana volume kendaraan pada jalan ke arah kebun raya lebih tinggi dari arah sebaliknya.

Persentase penggunaan kendaraan tiap unitnya dapat dilihat pada gambar berikut;

Tabel 4.5. Presentase Penggunaan Kendaraan Sore Hari

Nama Jalan

Persentase penggunaan kendaraan (%) Dari Pusat Kota Ke Pusat Kota Jenis A Jenis B Jenis C Jenis D Jenis A Jenis B Jenis C Jenis D Sudirman 21.4 31.8 45.6 1.2 10.9 33.8 53.7 1.6 Muslihat 29.2 20.4 48.7 1.7 28.5 20.9 48.3 2.3 Empang 22.1 12.6 62.3 3 21.4 18.7 57.4 2.5 Suryakencana 25.4 22.1 50.6 1.9 - - - -

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Untuk penggunaan jenis kendaraan, tampak bahwa sama halnya dengan pada pagi hari, pada sore hari ini pada setiap jalan sepeda motor selalu menjadi pilihan utama moda transportasi terutama pada jalan Empang. Sebaliknya, kendaraan berat selalu merupakan jenis kendaraan yang paling jarang melintas pada masing-masing jalan penelitian di mana persentase penggunaannya tidak pernah melebihi 3% dari penggunaan seluruh jenis kendaraan, hal ini berkaitan dengan fakta bahwa jalan penelitian merupakan jalan perkotaan sehingga kendaraan berat jarang melintasi jalan-jalan tersebut . Sedangkan untuk penggunaan kendaraan ringan, baik yang berupa mobil plat kuning maupun mobil

(22)

plat hitam dan merah yang merupakan mobil pribadi, berbeda-beda pada masing-masing jalan.

Pada jalan Sudirman, sama dengan pada pagi hari, penggunaan mobil plat hitam dan merah selalu lebih tinggi dibanding mobil plat kuning baik pada arah ke kebun raya maupun sebaliknya. Selisih antara kedua jenis kendaraan ini pun relatif besar. Berbeda dengan jalan Sudirman, pada jalan Muslihat dan Empang penggunaan kendaraan ringan lebih didominasi oleh mobil plat kuning atau angkutan umum, meskipun selisihnya dengan mobil plat hitam tidaklah terlalu signifikan. Jalan Suryakencana merupakan jalan dengan satu arah saja, yaitu arah menjauhi kebun raya. Pada jalan ini, penggunaan kendaraan ringan lebih didominasi oleh mobil plat kuning meskipun selisihnya dengan kendaraan berplat hitam dan merah tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok.

Sama seperti pada pagi hari, pada sore hari setiap jalan penelitian didominasi oleh jenis kendaraan yang berbeda-beda. Angkutan kota (kendaraan jenis A) paling besar terdapat pada jalan Muslihat, kendaraan pribadi (jenis B) paling besar terdapat pada jalan Sudirman, sedangkan persentase penggunaan sepeda motor dan truk terbesar adalah pada jalan Empang. Berikut persentase penggunaan kendaraan setelah disamakan dalam satuan smp per jalan penelitian:

Tabel 4.6. Presentase Nilai smp per Jenis Kendaraan Pada Setiap Jalan Arah Ke Kebun Raya Pada Sore Hari

Jenis Kendaraan Persentase per Jalan (%) Sudirman Muslihat Empang

Mobil plat kuning 4.6 10.1 10.4

Mobil plat hitam dan merah 14.3 7.4 9.1

Sepeda motor 22.7 6.8 11.2

Kendaraan berat 0.7 1.1 1.6

Total 42.3 25.4 32.3

Sumber: Pengolahan Data, 2008

Dari tabel di atas, tampak bahwa pada sore hari, di jalan yang arahnya ke kebun raya ini, jenis kendaraan yang memiliki persentase terbesar dalam tingginya volume kendaraan adalah sepeda motor di jalan Sudirman yaitu sebesar

(23)

22.7 % dari total keseluruhan kendaraan di seluruh jalan penelitian. Jalan Sudirman sekaligus merupakan jalan yang memiliki volume kendaraan, tertinggi dibanding jalan lainnya. Di jalan Empang, jenis kendaraan yang paling mempengaruhi tingginya volume kendaraan adalah sepeda motor baru kemudian kendaraan plat kuning. Sedangkan di jalan Muslihat jenis kendaraan yang paling berpengaruh adalah mobil plat kuning..

Tabel 4.7. Presentase Nilai smp per Jenis Kendaraan Pada Setiap Jalan Arah Dari Kebun Raya Pada Sore Hari

Jenis Kendaraan

Persentase per Jalan (%)

Sudirman Muslihat Empang Suryakencana

Mobil plat kuning 12.7 7.7 5.6 7.9

Mobil plat hitam dan merah 18.8 5.4 3.2 6.9

Sepeda motor 10.8 5.2 6.3 6.3

Kendaraan berat 0.9 0.6 1 0.7

Tota 43.2 18.9 16.1 21.8

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Dari tabel di atas, tampak bahwa pada pagi hari, di jalan yang arahnya ke kebun raya ini, jenis kendaraan yang memiliki persentase terbesar dalam tingginya volume kendaraan adalah mobil plat hitam dan merah di jalan Sudirman yaitu sebesar 18.8 % dari total keseluruhan kendaraan di seluruh jalan penelitian. Jalan Sudirman sekaligus merupakan jalan yang memiliki volume kendaraan tertinggi dibanding jalan lainnya. Di jalan Empang, jenis kendaraan yang paling mempengaruhi tingginya volume kendaraan adalah sepeda motor. Di jalan Muslihat jenis kendaraan yang paling berpengaruh adalah mobil plat kuning. Sedangkan untuk di jalan Suryakencana, jenis kendaraan yang paling banyak mempengaruhi adalah mobil plat kuning.

Dilihat dari volume kendaraan pada jalan-jalan penelitian, tampak bahwa pada pagi hari, pada semua jalan penelitian volume kendaraannya lebih tinggi pada jalan dengan arah ke kebun raya dibanding dengan arah sebaliknya yaitu dari kebun raya. Sedangkan pada sore hari, hampir pada semua jalan penelitian kecuali

(24)

jalan Empang, volume kendaraannya lebih padat pada jalan dengan arah dari kebun raya dibanding dengan arah sebaliknya yaitu ke kebun raya.

Hal ini menunjukkan bahwa jalan-jalan yang mengelilingi kebun raya merupakan pusat kota di mana pada jam-jam sibuk pagi hari kendaraan kebanyakan menuju jalan ini dan meninggalkan jalan ini pada jam-jam sibuk sore hari.

4.2. Hambatan Samping

Berdasarkan survey yang telah dilakukan, masing-masing jalan penelitian menunjukkan perbedaan tingkat hambatan samping. Tingkat hambatan samping dibuat berdasarkan klasifikasi Manual Klasifikasi Jalan Indonesia (1997) dengan tingkat hambatan samping mulai dari Sangat Rendah(SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), hingga Sangat Tinggi (ST), klasifikasi hambatan samping pada masing-masing jalan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.8. Hambatan Samping Pada Jalan Penelitian

Nama Jalan Pagi Sore ke kebun raya dari kebun raya ke kebun raya dari kebun raya Tingkat Hambatan Samping

Sudirman Rendah Rendah Rendah Rendah Muslihat Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Empang Rendah Rendah Rendah Rendah Suryakencana

-

Sangat

Tinggi - Tinggi

Sumber : Pengolahan Data, 2008

4.2.1. Pagi Hari

Pada masing-masing jalan, hambatan samping menunjukkan perbedaan. Perbedaan ini terutama tampak jelas pada jalan Muslihat seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut;

(25)

Gambar 4.3. Jenis Hambatan Samping Pagi Hari

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Seperti terlihat pada grafik di atas, pada pagi hari, jalan Muslihat memiliki hambatan samping paling tinggi di mana tingkat hambatan samping-nya baik pada arah ke kebun raya maupun sebaliknya selalu sangat tinggi. Tingginya jumlah pejalan kaki yang menyeberang serta berjalan kaki di badan jalan paling banyak mempengaruhi tingginya hambatan samping di jalan ini. Lokasinya yang dekat dengan stasiun kereta api Bogor membuat tingginya jumlah pejalan kaki pada jam-jam sibuk.

Jalan Sudirman dan Empang tidak banyak memiliki perbedaan dalam hambatan sampingnya. Ke dua jalan ini, baik pada arah ke kebun raya maupun sebaliknya, tingkat hambatan sampingnya rata-rata adalah rendah. Kedua jalan ini sama-sama memiliki trotoar yang lebar sehingga pejalan kaki hanya mengganggu arus lalu lintas dalam jumlah pejalan kaki yang menyeberang di badan jalan saja. Jalan Sudirman sendiri merupakan kawasan yang cukup bersih dari pedagang kaki lima, sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas. Sedangkan jalan Suryakencana memiliki hambatan samping yang sangat tinggi karena lokasi jalan ini yang sangat dekat dengan pasar Bogor di mana aktivitasnya terutama pejalan kaki paling ramai pada pagi hari

(26)

Jika dihitung hambatan samping antara keseluruhan jalan, maka akan terlihat pada tabel berikut;

Tabel 4.9. Persentase Hambatan Samping Antar Jalan Penelitian Pada Pagi Hari

Nama Jalan

Persentase (%)

Arah Ke Kebun Raya Arah Dari Kebun Raya Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Sudirman 10.05 7.75 9 15.2 6.6 7.1 65.3 10.5 Muslihat 79.05 79.05 82.5 80.6 37.9 72.5 16.3 74.2 Empang 10.9 13.2 8.5 4.2 7.3 10.2 2.5 3.8 Suryakencana - - - - 48.2 10.2 15.9 11.5

100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Pada pagi hari dengan arah jalan ke kebun raya, untuk keseluruhan tipe hambatan samping, jalan Muslihat selalu memiliki persentase tertinggi dibanding ke dua jalan lainnya, yaitu di atas 50%, sedangkan ke dua jalan lainnya berbeda-beda untuk setiap tipe hambatan samping. Untuk hambatan samping tipe I yaitu jumlah pejalan kaki yang berjalan dan menyeberang di badan jalan dan tipe II yaitu jumlah kendaraan parkir, angkot ‘ngetem’, serta jumlah pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan, jalan Empang memiliki jumlah kejadian yang lebih besar dibanding jalan Sudirman. Sedangkan untuk hambatan samping tipe III yaitu jumlah kendaraan yang keluar dan masuk dari lahan samping serta persimpangan dan tipe IV yaitu jumlah kendaraan tidak bermotor yang melewati jalan penelitian, jumlah kejadiannya lebih tinggi pada jalan Sudirman dibanding pada jalan Empang.

Pada jalan dengan arah dari kebun raya, persentase kejadian hambatan samping antara jalan penelitian, berbeda-beda untuk setiap tipe hambatan samping. Untuk hambatan samping tipe I, yaitu jumlah pejalan kaki yang berjalan dan menyeberang di badan jalan, kejadiannya paling banyak terjadi pada jalan Suryakencana yaitu sebesar 48,2%, kemudian pada jalan Muslihat yaitu sebesar 37,9%, disusul oleh jalan Empang dan terakhir jalan Sudirman. Lokasi jalan

(27)

dengan stasiun kereta api Bogor serta trotoar yang sempit turut mempengaruhi tingginya jumlah pejalan kaki yang berjalan dan menyeberang di jalan ini Untuk hambatan samping tipe II yaitu berupa kendaraan parkir, angkutan kota ‘ngetem’ serta pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan, jumlah kejadian terbesar terjadi pada jalan Muslihat dengan persentase sebesar 72,5%, kemudian jalan Suryakencana dan Empang yang presentasenya sama-sama sebesar 10,2%, dan terakhir jalan Sudirman yaitu sebesar 7,1%. Terdapat banyak rute serta unit angkutan kota yang melewati jalan Muslihat, sehingga banyak pula angkutan kota yang berhenti dalam waktu lama untuk menarik penumpang (ngetem) di badan jalan. Di jalan Suryakencana hanya ada dua rute angkutan kota yang melewatinya, sehingga jumlah angkutan kota yang ‘ngetem’ di jalan ini pun tidak sebanyak di jalan Muslihat. Besarnya hambatan samping di jalan ini lebih disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang parkir di badan jalan. Pada jalan Empang tidak terdapat adanya bangunan penting yang menyebabkan angkutan kota mengetem pada jalan ini seperti halnya stasiun kereta api di jalan Muslihat serta pasar di jalan Suryakencana sehingga hambatan samping tipe II di jalan ini tidak terlalu tinggi. Begitu pula di jalan Sudirman yang rute serta unit angkutan kota yang melintas adalah sedikit.

Untuk hambatan samping tipe III yaitu jumlah kendaraan yang masuk dan keluar dari lahan samping serta persimpangan, kejadiannya justru paling banyak terjadi di jalan Sudirman dibanding jalan-jalan lainnya yaitu sebesar 65,3%, disusul oleh jalan Muslihat yaitu sebesar 16,3%, lalu jalan Suryakencana dengan persentase sebesar 15,9%, dan terakhir jalan Empang dengan persentase kejadian sebesar 2,5%. Pada arah dari kebun raya ini, pada jalan Sudirman terdapat sebuah persimpangan di mana arus kendaraan masuk serta keluar persimpangan ini cukup tinggi. Pada jalan Muslihat, kendaraan yang keluar dan masuk hambatan samping adalah menuju ke sekolah Budi Mulia dan Plasa Matahari sehingga jumlah kejadiannya tidak terlalu tinggi. Pada jalan Empang, bangunan penting yang menyebabkan aktivitas keluar masuk lahan samping hanyalah Bogor Trade Mall (BTM) dan beberapa pertokoan kecil sehingga kejadian hambatan samping untuk tipe ini hanya sedikit. Begitu pula dengan jalan Suryakencana yang bangunan pentingnya hanya Plasa Yogya Lama.

(28)

Untuk hambatan samping tipe IV yaitu kendaraan lambat/ tidak bermotor yang melewati jalan penelitian, jumlah kejadiannya paling banyak terjadi pada jalan Muslihat yaitu sebesar 74,2%, disusul kemudian oleh jalan Suryakencana 11,5%, lalu jalan Sudirman sebesar 10,5% dan terakhir adalah jalan Empang yaitu sebesar 3,8%. Jenis kendaraan lambat yang paling banyak melintas pada jalan penelitian adalah becak.

4.2.2. Sore Hari

Pada sore hari, selain jalan Muslihat jalan Suryakencana yang merupakan jalan satu arah ini juga memiliki hambatan samping yang juga tinggi seperti tampak pada gambar berikut ini;

Gambar 4.4. Jenis Hambatan Samping Sore Hari

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Pada sore hari, jalan muslihat masih merupakan jalan dengan hambatan samping terbesar, yaitu sangat tinggi. Sedangkan jalan Suryakencana berada pada urutan ke dua, dengan tingkat hambatan samping yaitu rata-rata tinggi dengan jalan arah dari kebun raya. Sama seperti pada pagi hari, pada sore hari faktor pejalan kaki masih menyumbang nilai terbesar untuk tingginya jumlah hambatan

(29)

samping di jalan Muslihat. Untuk jalan Suryakencana, tingginya hambatan samping juga paling banyak dipengaruhi oleh tingginya jumlah pejalan kaki di jalan ini. Persis di samping jalan, terdapat pasar tradisional yaitu pasar bogor yang membuat tingginya jumlah pejalan kaki yang lalu lalang dan cukup menganggu arus lalu lintas di jalan ini. Selain itu, banyaknya kendaraan yang di parkir di badan jalan juga mempersempit ruang gerak kendaraan lain.

Tingginya jumlah pejalan kaki yang berjalan serta menyeberang di badan jalan pada setiap jalan disebabkan oleh tidak adanya jembatan penyeberangan bagi para pejalan kaki yang akan menyeberang, akibatnya pejalan kaki hanya dapat menyeberangi jalan melalui badan jalan. Bahkan pada jalan-jalan seperti jalan Muslihat dan jalan Suryakencana, trotoar yang disediakan kurang memadai bagi para pejalan kaki. Sedangkan pada jalan Sudirman dan jalan Pulo Empang trotoar yang ada sudah cukup memadai.

Tipe hambatan samping yang lain tidak banyak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Namun, hambatan samping tipe II yaitu berupa angkutan ngetem, kendaraan parkir di badan jalan serta pedagang kaki lima termasuk yang paling banyak terjadi pada masing-masing jalan, kecuali pada jalan Muslihat yang arahnya dari kebun raya. Pada jalan dengan arah tersebut, hambatan samping tipe III yaitu kendaraan yang keluar dan masuk lahan samping serta persimpangan menempati urutan ke dua dalam jumlah hambatan samping. Pada jalan dan arah ini, terdapat persimpangan yang harus dilewati oleh angkutan kota sehingga banyak angkutan kota (angkot) yang keluar dari persimpangan tersebut.

Sedangkan untuk hambatan samping tipe IV yaitu kendaraan lambat/tak bermotor yang melewati jalan penelitian merupakan jenis hambatan samping yang jumlah kejadiannya paling sedikit. Biasanya jenis kendaraan tak bermotor yang melewati jalan penelitian adalah berupa becak, yang terutama paling banyak terdapat di jalan Muslihat.

Jika dihitung hambatan samping antara keseluruhan jalan, maka akan terlihat pada tabel berikut;

(30)

Tabel 4.10. Persentase Hambatan Samping Antar Jalan Penelitian Pada Sore Hari

Nama Jalan

Persentase (%)

Arah Ke Kebun Raya Arah Dari Kebun Raya

Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV

Sudirman 6.6 16.2 12.1 8.9 4.9 13 70.3 9.9

Muslihat 82.4 72.9 80.6 88.5 45.8 66 12.7 77

Empang 11 10.9 7.3 2.6 9.4 8.2 1.8 3.2

Suryakencana - - - - 39.9 12.8 15.2 9.9

100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Sama seperti pada pagi hari, pada sore hari untuk jalan dengan arah ke kebun raya, semua tipe hambatan samping menunjukkan jumlah kejadian terbesar pada jalan Muslihat dengan jumlah persentase kejadian semuanya lebih dari 50%. Sedangkan pada jalan Sudirman dan Empang, besarnya kejadian setiap tipe hambatan samping berbeda-beda. Untuk hambatan samping tipe I, jumlah kejadiannya lebih besar pada jalan Empang dibanding dengan pada jalan Sudirman. Sedangkan untuk hambatan samping tipe II,III, dan IV jumlah kejadiannya lebih besar pada jalan Sudirman dibanding dengan pada jalan Empang.

Untuk jalan dengan arah dari kebun raya, persentase kejadian antar jalan nya lebih bervariasi dibanding dengan pada arah sebaliknya. Untuk hambatan samping tipe I, jumlah kejadiannya paling besar pada jalan Muslihat yaitu sebesar 45,8%, kemudian pada jalan Suryakencana sebesar 39,9%, lalu jalan Empang sebesar 9,4% dan terakhir jalan Sudirman sebesar 4,9%. Untuk hambatan samping tipe I ini, berbeda dengan pada pagi hari di mana hambatan sampingnya lebih besar pada jalan Suryakencana dibanding jalan Muslihat, maka pada sore hari yang terjadi adalah sebaliknya. Hal ini karena berkurangnya aktivitas masyarakat di pasar bogor yang menyebabkan pada pagi hari jumlah pejalan kakinya sangat banyak yang tidak didukung oleh fasilitas pedestrian yang memadai. Untuk hambatan samping tipe II yaitu jumlah kendaraan yang parkir, angkutan kota ‘ngetem’ serta pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan jumlah kejadian tertinggi berada pada jalan Muslihat dengan presentase jumlah

(31)

lalu jalan Suryakencana sebesar 13%, dan terakhir adalah jalan Empang yaitu sebesar 8,2%. Hambatan samping tipe III yaitu jumlah kendaraan yang keluar/masuk dari lahan samping dan persimpangan, seperti pada pagi hari, justru paling banyak terjadi pada jalan Sudirman yaitu sebesar 70,3%, kemudian pada jalan Suryakencana yaitu sebesar 15,2%, lalu jalan Muslihat yaitu sebesar 12,7%, dan terakhir pada jalan Empang yaitu sebesar 1,8%.

Hambatan samping tipe IV yaitu jumlah kendaraan lambat/tidak bermotor yang melewati jalan penelitian, jumlah kejadiannya paling banyak pada jalan Muslihat yaitu sebesar 77%. Sedangkan persentase kejadian hambatan tipe IV untuk jalan Sudirman dan Suryakencana adalah sama-sama sebesar 9,9%. Sedangkan jalan Empang memiliki jumlah kejadian hambatan samping tipe ini hanya sebesar 3,2%.

4.3. Perbandingan Tingkat Kemacetan Dalam Kondisi Normal dan Dengan Hambatan Samping

Berdasarkan survey yang telah dilakukan, berikut adalah data tingkat kemacetan pada masing-masing jalan penelitian pada kondisi normal, yang dibagi menjadi tidak macet, kemacetan tingkat rendah, kemacetan tingkat sedang, dan kemacetan tingkat tinggi seperti berikut;

Tabel 4.11. Tingkat Kemacetan Jalan Penelitian Dalam Kondisi Normal Tingkat Kemacetan

Nama Jalan Pagi Sore

ke kebun raya dari kebun raya ke kebun raya dari kebun raya Sudirman Sedang Tidak macet Tidak macet Tinggi Muslihat Tidak macet Tidak macet Tidak macet Tidak macet Empang Tidak macet Tidak macet Tidak macet Tidak macet Suryakencana - Tidak macet - Tidak macet

Sumber : Pengolahan Data, 2008

(32)

Sudirman pada pagi hari pada arah ke kebun raya serta pada sore hari dengan arah dari kebun raya. Sedangkan pada kondisi dengan adanya hambatan samping, tingkat kemacetan pada masing-masing jalan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.12. Tingkat Kemacetan Jalan Penelitian Dalam Kondisi Dengan Hambatan Samping

Tingkat Kemacetan

Jalan Pagi Sore

ke kebun raya dari kebun raya ke kebun raya dari kebun raya Sudirman Sedang Tidak macet Tidak macet Tinggi Muslihat Sedang Tidak macet Tidak macet Tidak macet Empang Rendah Tidak macet Tidak macet Tidak macet

Suryakencana Tidak macet Tidak macet

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Dari tabel di atas, tampak bahwa kemacetan lebih banyak terjadi pada pagi hari di mana pada arah ke kebun raya semua jalan penelitian mengalami kemacetan meskipun pada tingkat yang berbeda-beda. Sedangkan pada sore hari kemacetan hanya terjadi pada jalan Sudirman dengan arah menjauhi kebun raya, sedangkan pada jalan lainnya sama sekali tidak mengalami kemacetan. Jika dibandingkan dengan pada kondisi normal tanpa hambatan samping, maka tampak adanya peningkatan tingkat kemacetan pada beberapa jalan tertentu setelah faktor hambatan samping dimasukan dalam penghitungan, yaitu pada jalan Muslihat dan Empang arah ke kebun raya pada pagi hari. Pada jalan Muslihat yang hambatan sampingnya sangat tinggi, tingkat kemacetannya langsung meningkat dari yang seharusnya tidak mengalami kemacetan menjadi mengalami kemacetan dengan tingkat sedang. Pada jalan Empang yang seharusnya tidak mengalami kemacetan, maka setelah faktor hambatan samping dimasukkan dalam penghitungan, maka jalan tersebut mengalami kemacetan namun masih dalam tingkat rendah karena hambatan samping di jalan ini yang juga rendah. Perbedaan tingkat kemacetan jika dilihat dari perubahan Level of Service nya dapat dilihat lebih jelas pada

(33)

Gambar 4.5. Perbandingan Level of Service Dalam Kondisi Normal dan Dengan Hambatan Samping

Sumber : Pengolahan Data, 2008

Dari gambar di atas tampak bahwa setelah faktor hambatan samping turut dihitung, maka nilai Level of Service nya langsung meningkat, hal ini terutama tampak pada jalan Muslihat dan jalan Suryakencana yang hambatan sampingnya tinggi. Pada jalan Sudirman, karena hambatan sampingnya yang rendah, maka nilai level of service nya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar, tingkat kemacetannya pun tidak berubah antara sebelum dan sesudah faktor hambatan samping turut diperhitungkan.

Pada jalan Muslihat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tingkat kemacetannya langsung meningkat dari yang seharusnya tidak mengalami kemacetan jika tidak ada hambatan samping menjadi mengalami macet tingkat sedang karena jalan ini memiliki hambatan samping yang sangat tinggi, perubahan nilai level of service pada jalan ini tampak lebih jelas pada grafik di atas. Sedangkan jalan Empang, meskipun tingkat volume kendaraannya sama seperti pada jalan Muslihat yaitu tinggi, namun karena hambatan sampingnya yang rendah, maka jalan ini hanya mengalami kemacetan tingkat rendah setelah faktor hambatan samping turut diperhitungkan. Sedangkan pada jalan

(34)

kendaraannya yang berada pada tingkat sedang, maka tingginya hambatan samping tetap tidak membuat jalan ini mengalami kemacetan pada jam-jam sibuk.

Jika dikaitkan dengan penggunaan jenis kendaraan, maka tampak bahwa ternyata angkutan kota tidak mempengaruhi terjadinya kemacetan. Hal ini tampak pada jalan Sudirman yang mengalami tingkat kemacetan tertinggi. Pada jalan ini, penggunaan jenis kendaraan yang dominan justru merupakan kendaraan pribadi dan volume kendaraannya sangat tinggi. Sedangkan pada jalan Muslihat, jalan Empang, dan jalan Suryakencana dimana penggunaan kendaraannya yang dominan merupakan kendaraan plat kuning (angkutan kota), volume kendaraannya tinggi namun masih jauh lebih rendah daripada di jalan Sudirman.

Pada jalan-jalan Muslihat, Empang, dan Suryakencana yang penggunaan angkutan kota nya lebih tinggi dibanding kendaraan pribadi, jika faktor hambatan samping tidak di perhitungkan, maka jalan seharusnya tidak mengalami kemacetan, ini artinya tingginya volume kendaraan tidak menyebabkan kemacetan. Jalan-jalan seperti jalan Muslihat dan jalan Empang baru mengalami kemacetan setelah faktor hambatan samping diperhitungkan dalam mengukur kemacetan, dan faktor angkutan kota yang mengetem di badan jalan cukup banyak mempengaruhi kemacetan meski jauh lebih kecil pengaruhnya dibanding faktor pejalan kaki yang berjalan dan menyeberang di badan jalan. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari, banyaknya angkutan kota tidak menyebabkan kemacetan. Angkutan kota mengganggu kelancaran lalu lintas berkait dengan perilaku pengemudinya yang tidak disiplin dengan mengetem di badan jalan sehingga menimbulkan hambatan samping.

4.4. Kesesuaian Hasil Penelitian dengan RTRW Kota Bogor

Berikut adalah fakta kondisi tiap kecamatan yang dihubungkan oleh jalan penelitian dengan pusat kota.

(35)

Tabel 4.13. Fakta Tiap Kecamatan Yang Dihubungkan oleh Jalan Penelitian Ke Pusat Kota Nama Jalan Menghubungkan Kepadatan Penduduk (jiwa/Km²) Pertumbuhan Penduduk (%) Luas Pemukiman Teratur (Ha) Pusat Kecamatan yang Dituju

Sudirman Kebun Raya Tanah Sareal 7.396 5,18 482,943

Muslihat Kebun Raya Bogor Barat 5.797 2,99 297,279

Empang Kebun Raya Bogor Selatan 5.412 2,25 196,369

Suryakencana Kebun Raya Bogor Selatan 5.412 2,25 196,369

Sumber : Pengolahan Peta Penggunaan Tanah, 2005

Dilihat dari fakta tiap kecamatan yang dihubungkan oleh setiap jalan penelitian terhadap pusat kota, tampak bahwa pada kecamatan Tanah Sareal yang dihubungkan oleh jalan Sudirman dengan pusat kota memiliki kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, serta pemukiman teratur yang paling tinggi. Hal ini mempengaruhi tingginya volume kendaraan serta tingkat kemacetan pada jalan Sudirman. Kecamatan Bogor Barat yang dihubungkan dengan pusat kota oleh jalan Muslihat memiliki kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, serta luas pemukiman teratur yang sedang jika dibandingkan dengan kecamatan lain, dan jalan ini memiliki tingkat kemacetan sedang serta volume kendaraan yang tinggi. Sedangkan kecamatan Bogor Selatan yang dihubungkan dengan pusat kota oleh jalan Empang dan Suryakencana memiliki kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, serta luas permukiman teratur yang paling rendah dibanding kecamatan lain yang dihubungkan oleh jalan penelitian. Hal ini menjelaskan mengapa volume kendaraan serta kemacetan di jalan ini paling rendah dibanding jalan penelitian lain.

Berdasarkan RTRW Kota Bogor tahun 2005-2015, di Kota Bogor setelah pusat kota terdapat pusat kegiatan (pusat BWK) yang terbagi menjadi tiga bagian di kawasan Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Utara dan Bogor Selatan. Selain itu terdapat pula pusat sub BWK yang terdapat pada setiap kecamatan. Jaringan transportasi yang menghubungkan antar pusat BWK dan antar pusat BWK dengan pusat kota merupakan jaringan yang bersifat mobilitas dengan hambatan samping yang tinggi. Perencanaan angkutan umum juga harus mengikuti perencanaan tata ruang dan prinsip ideal transportasi. Angkutan umum sebaiknya menghubungkan wilayah-wilayah antar Pusat

(36)

BWK dan antara Pusat Kota dengan Pusat BWK. Jaringan-jaringan rute yang langsung sebaiknya dibatasi. Arahan jaringan rute ini juga harus disesuaikan dengan kesesuaian armada.

Pada penelitian, pusat BWK di Bogor Utara tidak dapat dilihat kesesuaiannya karena jalan yang menghubungkan pusat BWK ini dengan pusat kota yaitu jalan Pajajaran tidak termasuk ke dalam jalan penelitian. Pusat BWK Tanah Sareal dan pusat kota dihubungkan oleh jalan Sudirman. Jalan ini merupakan jalan dengan mobilitas tertinggi dari seluruh jalan penelitian karena tingginya volume kendaraan di jalan ini, namun memiliki hambatan samping yang rendah. Pusat BWK Bogor Selatan dan pusat kota dihubungkan oleh jalan Suryakencana dan jalan Empang. Jalan Suryakencana merupakan jalan satu arah sehingga hanya menghubungkan pusat kota dengan pusat BWK di Bogor Selatan, namun tidak bisa sebaliknya. Jalan ini memiliki mobilitas sedang, namun hambatan sampingnya tinggi. Jalan Empang merupakan jalan dua arah, memiliki mobilitas yang cenderung tinggi dan hambatan samping yang cenderung rendah. Satu lagi jalan penelitian adalah jalan Muslihat, jalan ini tidak menghubungkan pusat kota dengan pusat BWK, namun menghubungkan pusat kota dengan pusat sub BWK, yang berada di Bogor Barat. Jalan ini memiliki mobilitas yang cenderung tinggi, begitu pula dengan hambatan sampingnya yang sangat tinggi.

Dari penelitian tampak bahwa jika dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor tahun 2005-2015, tampak bahwa jalan-jalan yang menghubungkan antara pusat kota dengan pusat BWK dan sub BWK rata-rata memang merupakan jalan dengan mobilitas yang tinggi, namun hambatan samping sampingnya tidak selalu tinggi. Untuk jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat BWK seperti jalan Sudirman, jalan Empang, mobilitasnya memang cukup tinggi, namun hambatan sampingnya cenderung rendah, namun hal ini justru lebih memudahkan akses antara pusat kota dengan pusat BWK meskipun kemacetan tetap tidak dapat dihindarkan karena tingginya mobilitas pada jalan ini. Pada jalan Suryakencana, dengan mobilitasnya yang sedang meskipun dengan hambatan samping yang tinggi tetap tidak menimbulkan kemacetan sehingga akses dari pusat kota menuju pusat kegiatan cenderung lancar. Untuk jalan Muslihat, meskipun tidak menghubungkan pusat kota dengan pusat BWK dan hanya dengan pusat sub BWK, mobilitasnya cenderung tinggi dengan hambatan samping yang sangat tinggi, membuat akses melalui jalan ini sedikit terhambat oleh terjadinya kemacetan.

Gambar

Tabel 3.1. Penggunaan Tanah di Kota Bogor Serta Pada Buffer 200 meter Dari  Jalan-jalan yang Mengelilingi Kebun Raya Bogor
Tabel 3.2. Trayek, Rute, Panjang Lintasan dan Jumlah Kendaraan Angkutan Kota  Bogor
Tabel 3.3. Kapasitas Angkutan Kota di Kota Bogor
Tabel 3.4. Data Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005  No  Kecamatan  /Kelurahan  Luas  Wilayah (Km2)  Jumlah  Penduduk (Jiwa)  Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)  1  Bogor Selatan  30,81  166.745  5.412  2  Bogor Timur  10,15  86.978  8.569  3  Bogor Ut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data pengujian menunjukkan bahwa ketiga dosis uji memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, kemudian ekstrak herba kerokot memiliki dosis efektif sebesar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplemen tepung kulit kayu manis dan daun pegagan dalam pakan memberi pengaruh nyata terhadap bobot tubuh, kadar hemoglobin, dan jumlah

Halfway house dalam koreksi, yang sering menggunakan pekerja sosial sebagai administrator atau sebagai staf pegawai, digunakan dalam dua cara :

Ciljevi i zadaće istraživanja odnose se na istraživanje obranjenih diplomskih radova studenata učiteljskoga studija te prepoznavanje različitih istraživačkih pristupa i

Pada sisi tentang konsumen media dari hoax tersebut, terdapat temuan dari hasil FGD, bahwa meski pernah berada dalam suatu pesantren yang sama, tetapi saat menjadi alumni

Namun perlu adanya analisis tambahan terhadap regangan yang terjadi pada pipeline selama proses laying sehingga kegagalan pada pipeline seperti concrete crushing

Penulis melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir Ny.S. sesuai dari kebijakan teknis (kunjungan neonatus umur 6

Penelitian ini menggunakan ROI untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prakoso,dkk (2014) karena ROI