SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: KHAIRUNNISA NIM: 11150480000143
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: KHAIRUNNISA NIM: 11150480000143
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iv
Nim : 11150480000143 Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. H. Zainudin RT 03/14 No.52 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Khairunnisa
Nim: 11150480000143 Jakarta, 18 Juni 2020
v
Studi ini bertujuan untuk mengkaji tentang kedudukan BUMN (Persero) dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit serta mengetahui pertimbangan majelis hakim berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst apabila ditinjau berdasarkan ketentuan dalam Hukum Kepailitan.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (case approach) yaitu mengkaji putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BUMN Persero adalah badan hukum berbentuk PT dan sepenuhnya tunduk pada UU PT. Dalam hal ini berarti kedudukan BUMN Persero adalah sebagai badan hukum mandiri, dimana harta kekayaan negara yang dipisahkan dan dijadikan modal penyertaan dalam Persero bukan lagi menjadi milik negara melainkan menjadi milik Persero itu sendiri. Sehingga ketika terjadi kepailitan terhadap Persero maka mengikuti kepailitan pada PT biasa yaitu dapat diajukan oleh siapa saja selain mentri keuangan, selama memenuhi syarat untuk dimohonkan pailit sebagaimana yang terdapat Undang Undang Kepailitan. Dalam hal ini, PT MNA termasuk dalam BUMN Persero, yang mana tidak seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan modalnya terbagi atas saham. Hakim dalam memutus perkara Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst belum dapat dikatakan telah menerapkan prinsip-prinsip hukum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kata Kunci : BUMN, Permohonan Pailit, Putusan Pembimbing Skripsi : Dr. Nahrowi, S.H.,M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2018
pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. 1x + 68 halaman + 25 lampiran.
vi
Alhamdulillah Waasyukurillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti menghaturkan shalawat serta salam yang senantiasa kita curahkan kepada Baginda Rasul Nabi besar kita Muhammad SAW, kepada segenap keluarga, sahabat serta umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya, aamiin Yaa Rabbal’alamin..
Berkat rahmat, nikmat serta anugrah yang telah Allah SWT berikan, peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini yang berjudul “Tinjauan Yuridis Permohonan Pailit PT Merpati Nunsatara Airline Sebagai BUMN Persero
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor
04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst”.
Peneliti telah melewati proses perjalanan yang panjang dan tidak mudah untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini, banyak hambatan, tekanan jiwa dan raga yang telah dilalui, sampai pada akhirnya berkat kesungguhan, kerja keras, doa serta Ridho Allah SWT, peneliti telah sampai pada titik akhir proses penyelesaian skripsi ini.
Dalam penelitian ini peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Nahrowi., S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing,
vii
Universitas Indonesia yang telah membantu menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, guna mengadakan studi kepustakaan dalam penyelesaian skripsi.
5. Kepada Kedua orang tuaku yang tercinta, mamah Wiwin Alawiyah dan ayah Ahmad Zainudin. Terimakasih yang sebesar besarnya atas kesabaran, keikhlasan serta ketulusan dalam mendidik peneliti dari lahir hingga sampai saat ini, yang telah memberikan semangat dan dukungan baik dari segi moral dan materil serta doa yang tiada henti agar skripsi ini dapat diselesaikan oleh peneliti.
6. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar.
Peneliti berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sekian dan terimakasih
viii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ... 8
D. Metode Penelitian ... 8
E. Sistematika Pembahasan ... 11
BAB II KEPAILITAN DAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ... 13
A. Kerangka Konseptual ... 13
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ... 13
2. Tinjauan Umum Kepailitan ... 21
B. Kerangka Teoritis ... 30
1. Teori Badan Hukum ... 30
2. Asas Corporate Separate Legal Personality ... 33
3. Teori Kepastian Hukum ... 34
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 35
ix
3. Bidang Usaha PT Merpati Nusantara Airline ... 40
B. Kondisi PT Merpati Nusantara Airline (Persero) ... 40
C. Duduk Perkara Antara Pegawai PT Merpati Nusantara Airline (Persero) Dengan PT Merpati Nusantara Airline (Persero) ... 42
BAB VI KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DALAM PROSES KEPAILITAN ... 45
A. Kedudukan BUMN Persero Dalam Pengajuan Permohonan Pailit... 45
B. Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Terhadap Permohonan Pailit PT. Merpati Airline Sebagai BUMN Persero ... 55
BAB V PENUTUP ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Rekomendasi ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
BUMN menjadi salah satu wujud nyata Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yaitu memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 33 UUD NRI 1945 mengamanahkan kepada negara dalam menguasai kekayaan alam harus ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Negara menguasai kekayaan alam, tetapi negara tidak dapat turun secara langsung untuk melakukan kegiatan usaha dengan cara pemerintah mengelola kekayaan alam tersebut, karena akan berakibat pemerintahan yang komersial. Untuk itu negara membentuk badan usaha atau biasa disebut BUMN dengan maksud mengelola kekayaan alam tersebut demi kemakmuran rakyat.1
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (yang selanjutnya disebut UU BUMN) menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam pasal 1 angka 10 menegaskan, maksud dari kekayaan yang dipisahkan pada BUMN adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan sebagai penyertaan modal negara pada Persero atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
Jika dilihat berdasarkan maksud dan tujuan dari BUMN itu sendiri, BUMN memiliki tujuan sebagaimana tercantum pada pasal 2 ayat (1) UU BUMN yaitu, “BUMN memiliki tujuan untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan
1 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero berdasarkan asas kepastian hukum, (PT.
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat”.
UU BUMN membedakan bentuk bentuk BUMN yaitu Perushaan Perseroan (yang selanjutnya disebut Persero) dan Perusahaan Umum (yang selanjutnya disebut Perum). Dalam Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa Persero merupakan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sehingga terdapat beberapa prinsip umum yang menjadi landasan atau dasar hukum bagi eksistensi sebuah persero yaitu ketentuan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (yang selanjutnya disebut UU PT). Ketentuan UU PT tersebut mengacu pada Pasal 11 UU BUMN dimana dalam pasal ini menegaskan bahwa terhadap Persero Berlaku segala ketentuan dan prinsip prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam UU PT. Dari pasal 11 UU BUMN tersebut dapat diartikan bahwa pengelolaan pada persero harus tunduk pada UU PT.
BUMN selama menjalankan usahanya dapat mengalami risiko kerugian yang berpotensi bangkrut atau pailit apabila tidak dikelola secara profesional dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang sehat dan baik (Good Corporate Governance). Diaturnya permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) memperlihatkan bahwa pemerintah menyadari kondisi pasang-surutnya keuangan BUMN.
Kepailitan merupakan suatu keadaan dimana debitor yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan maka debitor tersebut telah kehilangan hak hak keperdataannya dalam mengelola seluruh kekayaan dan aset asetnya. Lalu seluruh aset tersebut berpindah status penguasaannya kepada kurator untuk dilakukan pemberesan dan pengurusan aset yang diperuntukan untuk membayar hutang debitor. Pengertian pailit tersebut dapat dilihat dalam Pasal
1 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa pailit merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Pailit merupakan langkah akhir yang dapat dilakukan debitor maupun kreditor karena ketidakmampuan debitor dalam mebayar utang utang para kreditornya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan debitor ini biasanya disebabkan karena usaha debitor yang mengalami kemunduran sehingga menimbulkan kesulitan dalam kondisi keuangannya.2
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan syarat syarat debitor yang dapat diajukan pailit yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas seditkitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Namun, tidak semua kreditor memiliki kewenangan dalam mengajukan permohonan pailit. Hal ini didasari sebagai suatu langkah pembeda yang dilakukan oleh undang undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikarenakan banyaknya pembagian jenis debitor.3
Berkaitan dengan kepailitan BUMN, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit suatu BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik adalah Menteri Keuangan. Namun BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut hanyalah BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik. Maksud dari “BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik“ adalah BUMN yang seluruh modalnya tidak terbagi atas saham melainkan modal BUMN ini dimiliki seluruhnya oleh negara.4
2 Hadi Subhan, Hukum Kepailitan; Prinsip, norma, dan praktik dipengadilan, (Kencana
Prenamedia Goup, Jakarta, 2008), h.2.
3 Sutan Rehmi Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009), h.103.
4 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia; dalam teori dan praktik serta penerapan hukumnya, (Prenadamedia Group, Jakarta, 2018), h.192.
UU BUMN menyebutkan bahwa terdapat 2 jenis BUMN yaitu Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Mengenai BUMN Perum dapat dilihat dalam pasal 1 angka 4 UU BUMN yang menyatakan bahwa Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan BUMN Persero diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan bahwa Perusahaan Perseroan merupakan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik hampir sama dengan pengertian Perusahaan Umum (Perum). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pasal 2 ayat 5 UU Kepailitan dan PKPU adalah BUMN yang dapat dipailitkan oleh menteri keuangan adalah BUMN Perum.
Berdasarkan hal tersebut yang menarik adalah bagaimana dengan Persero sebagai BUMN yang modalnya juga berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, namun terbagi atas saham. Apakah dalam Persero diharuskan menteri keuangan sebagai pemohon dalam pernohonan pailit. Menurut M. Hadi Subhan, mengingat bahwa yang dimaksud oleh UU Kepailitan dan PKPU adalah BUMN Perum, yang mana didasarkan pada UU BUMN tersebut sehingga ia menyimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN dalam bentuk Persero dapat dimohonkan oleh selain menteri keuangan atau dalam artian lain dapat dipailitkan oleh siapa saja, termasuk para kreditornya.5
UU Kepailitan dan PKPU telah mengatur tentang kepailitan BUMN, namun dalam penerapannya masih terdapat perbedaan pemahaman hakim
5 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia; dalam teori dan praktik serta penerapan hukumnya, h.193.
mengenai siapa yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap BUMN khususnya Persero. Seperti kasus yang peneliti bahas yaitu permohonan pailit PT Merpati Nusantara Airline (yang selanjutnya disebut PT MNA) yang merupakan BUMN Persero, dimana PT MNA sedang mengalami permasalahan dalam keuangannya, dalam keadaan tersebut PT MNA tidak dapat membayar hak-hak normatif pekerja, sehingga pekerja berinisiatif mengajukan permohonan pailit terhadap PT MNA ke Pengadilan Niaga, sebagaimana terekam dalam putusan nomor 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst, tanggal 7 April 2016. Dalam permohonannya pekerja mengklaim bahwa PT MNA mempunyai utang uang pesangon sebesar lebih dari 850 juta, akibat adanya pemutusan hubungan kerja terhitung sejak bulan juli 2014. Selain itu, pemohon juga menyebutkan bahwa termohon mempunyai utang pesangon terhadap 114 pekerja lainnya sebesar 71,5 miliar sebagai kreditor lainnya.6 Namun sangat disayangkan oleh para pekerja bahwa hakim menyatakan menolak permohonan. Putusan ini kemudian diperkuat oleh putusan kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016 yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dan perkara tidak bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang.
Hakim dalam menolak permohonan pailit yang diajukan oleh pekerja salah satu pertimbanganya yaitu berdasarkan pada pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau “Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik”, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa PT MNA merupakan BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik karena 96,99 sahamnya dipegang oleh Negara Republik Indonesia dan 3,01% nya lagi dipegang oleh PT Garuda Indonesia yang juga merupakan BUMN. Berdasarkan hal tersebut saham PT MNA merupakan milik negara, sehingga
6 https://www.google.com/amp/s/buruh-online.com/2016/05/milik-negara-permohonan-pailit-dua-pegawai-merpati-ditolak.html/amp diakses pada tanggal 04 Febuari 2020, pukul 09:45 WIB
permohonan pailit terhadap PT MNA tidak dapat diajukan oleh pekerja melainkan hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Melihat pertimbangan hakim tersebut terjadi kebimbangan mengenai pengajuan permohonan pailit terhadap BUMN Persero, dimana disatu sisi modal/saham PT MNA berasal dari negara dan dipegang seluruhnya oleh negara sehingga yang bisa mempailitkan hanya menteri keuangan. Namun disisi lain, PT MNA adalah Persero dikarenakan menggunakan kata PT dan terdapat pembagian saham didalamnya sehingga seharusnya pada kepailitan Persero tunduk pada UU PT sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 UU BUMN, dalam hal ini berarti dapat diajukan pailit oleh para pihak sesuai dengan ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU.7
Pada Perusahaan Perseroan yang sahamnya dimiliki oleh negara, masih terjadi kerancuan terhadap konsep tentang kedudukan BUMN Persero dalam hal diajukan pailit sebagaimana dimaksud dalam UU kepailitan dan PKPU karena terdapat dua bentuk BUMN, akan tetapi dalam UU kepailitan tidak secara tegas menjelaskan bentuk BUMN mana yang hanya dapat diajukan pailit oleh menteri keuangan. Dengan tidak adanya kejelasan ini, maka dalam praktik mengakibatkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan inkonsistensi pada putusan hakim saat memutus perkara kepailitan BUMN. Permasalahan atas rancunya konsep kepailitan pada BUMN khususnya BUMN Persero menjadi pokok permasalahan yang akan ditulis oleh peneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Permohonan Pailit
PT Merpati Nunsatara Airline Sebagai BUMN Persero (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst)”.
7 https://www.google.com/amp/amp.kontan.co.id/news/ini-kata-pakar-soal-kepailitan-bumn diakses pada tanggal 04 Febuari 2020 pukul 13:01 WIB
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan penafsiran mengenai kedudukan BUMN Persero terhadap kekayaan negara yang dipisahkan ketika diajukan permohonan pernyataan pailit.
b. Tujuan dan maksud pendirian BUMN Persero dalam hal kepentingan publik atau untuk mencari keuntungan
c. Yang berhak mengajukan permohonan pailit pada BUMN Persero d. Pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor
04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst
2. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah peneliti paparkan, agar masalah yang peneliti bahas tidak dijabarkan terlalu luas dan menimbulkan ketidakjelasan. Oleh karena itu, peneliti membatasi pembahasan dengan membuat pembatasan hanya pada perkara pengajuan permohonan pailit terhadap BUMN Persero dengan objek penelitian adalah studi putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini adalah adanya kerancuan mengenai kedudukan BUMN Persero dalam hal diajukan permohonan pailit, dalam kaitannya dengan putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti membuat rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:
a. Bagaimana kedudukan BUMN Persero dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN Niaga Jkt Pst mengenai kepailitan PT Merpati Nusantara Airline sebagai BUMN Persero ditinjau dari Hukum Kepailitan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan BUMN Persero dalam proses kepailitan.
b. Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN Niaga Jkt Pst
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis
Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan serta pemikiran yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum dalam hukum bisnis khususnya dalam masalah kepailitan pada BUMN Persero.
b. Manfaat Praktis
Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi peneliti lain, serta diharapkan dapat memberikan maanfaat bagi pemerintah sebagai regulator dalam rangka penyempurnaan perangkat hukum yang berkeadilan bagi para pihak yang berkepentingan mengenai masalah kepailitan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti adalah penelitian yuridis-normarif. Dikatakan penelitian hukum normatif karena masalah yang akan diteliti
tersebut berhubungan erat dengan law in books yang menelusuri buku-buku hukum, jurnal jurnal hukum dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang undangan dan putusan putusan pengadilan.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum normatif ini, menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst perkara antara PT Merpati Nusantara Airline (Persero) dengan Karyawannya.
3. Sumber Data
a. Sumber data primer
Data primer merupakan bahan hukum yang diperoleh langsung dari sumber asli. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari putusan Mahkamah Agung nomor 447 K/Pdt.Sus-Pailit/2016, putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN Niaga Jkt Pst, KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang – Undang Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data primer berupa buku buku hukum yang ditulis oleh ahli hukum dan hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, termasuk skripsi dan jurnal jurnal hukum.
c. Sumber data tersier
Data tersier dapat berupa KBBI, Kamus Hukum, Black Law Dictonary, Insklopedia, dan media internet lainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik studi dokumentasi yaitu dengan melakukan penelusuran data melalui studi kepustakaan dan studi dokumen. Penelusuran keputakaan dalam penelitian ini yaitu pada Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Univeristas Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Penulusuran dokumen dalam penelitian ini yaitu melalui website Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst.
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Pengelolaan data dalam penelitian ini adalah dengan menghubungkan bahan hukum primer, bahan hukum skunder serta bahan non hukum menjadi sedemikian rupa sehingga dalam penyajian penulisan dalam menjawab permasalahan penelitian menjadi terstruktur dan dapat dengan mudah dipahami. Pengelolaan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deduktif yaitu mengambil kesimpulan dari permasalahan yang sifatnya umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 8 Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif.
8 Jhony Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang; Bayu Media
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang ada dalam buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
E. Sistematika Pembahasan
Untuk menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan yang benar, sistematis dan teratur, maka skripsi ini dirancang dengan sistematikan penulisan yang terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti menjelaskan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan Sistematika Penelitian.
BAB II KEPAILITAN TERHADAP BADAN USAHA MILIK
NEGARA
Pada bab ini menjelaskan tentang kerangka konseptual dan teoritis yang mengacu pada kajian kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian yaitu berkaitan dengan Kepailitan, BUMN dan Keuangan Negara serta teori-teori hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dalam bab ini terdapat pula tinjauan (review) kajian terdahulu yang berhubungan dengan Kepailitan BUMN
BAB III PROFIL PT MERPATI NUSANTARA AIRLINE
Dalam bab ini berisikan mengenai data data penelitian, dimana peneliti akan memaparkan tentang profil PT Merpati Nusantara Airline, kondisi persusahaan PT Merpati Nusantara Airline (Persero) serta duduk perkara antara
pegawai PT Merpati Nusantara Airline (Persero) dengan PT Merpati Nunsantara Airline (Persero)
BAB IV KEDUDUKAN BUMN PERSERO DALAM PROSES
KEPAILITAN
Dalam bab ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian yaitu analisis kedudukan BUMN Persero dalam proses permohonan pailit serta membahas mengenai pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor 04/pdt.sus-pailit/2016/PN Niaga Jkt Pst
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang didalamnya berisi kesimpulan dan rekomendasi dari bab-bab sebelumnya
13
BAB II
KEPAILITAN DAN BADAN USAHA MILIK NEGARA
A. Kerangka Konseptual
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
a. Pengertian, Tujuan dan permodalan BUMN
Definisi Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi BUMN tersebut terdapat beberapa yang hal perlu dipenuhi agar suatu badan usaha dapat dikategorikan sebagai BUMN yaitu merupakan badan usaha, modal suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh negara, negara melakukan penyertaan modal secara langsung dan penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.1
Maksud dan tujuan didirikannya BUMN terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU BUMN yaitu :
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; 2. Mengejar keuntungan;
3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
1 Ridwan Khairandy, Pokok Pokok Pengantar Hukum Dagang Indonesia, (FH UII Press,
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN terdapat beberapa sumber permodalan dan penyertaan modal Negara dalam rangka pendirian BUMN yaitu bersumber dari :
1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2) Kapitalisasi Cadangan
3) Sumber lainnya
Berdasarkan hal tersebut dapat dipertegas bahwa modal BUMN berasal dari negara melalui penyertaan langsung, yang menunjukkan negara memasukkan modalnya secara langsung kedalam BUMN tanpa melalui campur tangan pihak lain (diluar pemerintah). Harta tersebut haruslah berupa penyertaan modal BUMN. Modal tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan artinya dipisahkan dari sistem keuangan negara, sehinnga pengelolaannya tidak dikendalikan berdasarkan sistem APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sejalan dengan kedudukannya sebagai perusahaan, pengelolaan BUMN termasuk keuangannya berdasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.2
b. Bentuk Bentuk BUMN
Sebelum berlakukanya Undang - Undang nomor 19 Tahun 2003 berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1969, BUMN diklasifikasi menjadi 3 (tiga) yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero). Tetapi dikarenakan sifat BUMN yang menumpuk keuntungan dan melaksanakan kemafaatan umum, sehingga dalam UU BUMN disederhanakan menjadi 2 jenis yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum), yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut:
2 Gatot Supramono, BUMN ditinjau dari segi Hukum Perdata, (Rineka Cipta; Jakarta,
1) Perusahaan Perseroan (Persero)
Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero diatur dalam pasal 1 angka 2 UU BUMN yaitu BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Menurut pasal 12 UU BUMN dijelaskan maksud dan tujuan Persero yaitu menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Penjelasan pasal 12 UU BUMN menentukan :
“Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut untuk dapat memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik dipasar dalam negeri maupun internasional. Dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan dan nilai persero yang bersangkutan sehingga akan memberikan manfaat yang optimal bagi pihak pihak yang terkait.”
Berdasarkan maksud dan tujuan tersebut, Persero dituntut untuk dapat menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi agar perusahaan perseroan mampu menghadapi perkembangan dalam dunia bisnis, selain itu Persero juga mempunyai sifat mengejar keuntungan yang merupakan konsekuensi langsung dari kedudukan Persero sebagai Perseroan Terbatas (PT).
Kemudian mengenai pendirian Persero diusulkan oleh menteri kepada presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan menteri teknis dan menteri keuangan. Pengkajian tersebut ditujukan untuk menentukan apakah layak atau tidak sebuah Persero didirikan, melalui kajian atas perencanaan bisnis dan kemampuan untuk mandiri serta
mengembangkan usaha dimasa mendatang. Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh mentri mengingat mentri merupakan wakil negara selaku pemegang saham pada persero dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.3
Dalam Persero telah ditegaskan bahwa Persero berbentuk PT maka membawa konsekuensi bahwa dalam Persero berlaku Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Hal tersebut juga ditegaskan pada Pasal 11 UU BUMN, yaitu terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (yang kemudian diganti dengan UU Nomorr 40 Tahun 2007).
Modal Persero terbagi atas saham, karena UU PT memberikan syarat demikian, dan pendiriannya wajib mengambil bagian atas saham. Sebagaimana BUMN, Persero didirikan oleh negara maka saham seluruh atau saham mayoritas wajib dimiliki oleh negara, yang dalam hal ini negara berkedudukan sebagai pemegang saham.4
Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero memiliki organ-organ perusahaan yang mirip dengan PT yaitu, 5 Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi Persero, Komisaris Persero. a) Rapat Umum Pemegang Saham (yang selanjut nya disebut
RUPS) merupakan organ persero yang memiliki kekuasaan tertinggi dan memiliki wewenang yang tidak diberikan oleh direksi dan komisaris. Pada persero berlaku ketentuan apabila seluruh saham dimiliki oleh negara 100% maka yang bertindang selaku RUPS adalah menteri. Menteri yang ditunjuk
3 Muhladi, Hukum Perusahaan Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Ghalia
Indonseia, Bogor, 2002), h.168.
4 Gatot Supramono, BUMN ditinjau dari segi Hukum Perdata, …. h.41.
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung; Citra Aditya Bakti;
mewakili negara selaku pemegang saham dalam setiap keputusan tertulis yang berhubungan dengan Persero merupakan keputusan RUPS. Namun Persero atau Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki negara kurang dari 100% maka menteri berkedudukan selaku pemegang saham dan keputusannya diambil bersama sama dengan pemegang saham lainnya dalam RUPS. Pada praktiknya menteri dapat memberikan kuasa dengan hak subtitusi kepada perorangan ataupun badan hukum untuk mewakili RUPS. Pihak yang mnerima kuasa harus mendapat persetujuan mentri untuk mengambil keputusan dalam RUPS hal ini sebagaimana disebutkan dalam 14 ayat (3) UU BUMN yaitu mengenai perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, rencana penggunaan laba, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero, terhadap investasi dan pembiayaan jangka panjang, kerjasama Persero, pembentukan anak perusahaan atau penyertaan dan pengalihan aktiva. Namun, dalam hal dipandang perlu, tidak menutup kemungkinan kuasa juga bisa diberikan kepada badan hukum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.6
b) Direksi Persero merupakan organ BUMN baik Persero maupun Perum yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik didalam maupun diluar pengadilan. Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS.7 Direksi dan anggota direksi dalam melakukan tugasnya harus mematuhi anggaran dasar dan peraturan perundang undangan. Dalam hal ini peran dan kedudukan direksi BUMN sangat menentukan karena tanggung jawab pengurus BUMN seluruhnya dipegang oleh direksi.
6 Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, .... h.170. 7 Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, ….. h.170.
Dengan kata lain maju mundurnya, berhasil atau tidaknya usaha BUMN dalam mengemban misinya seperti yang diharapkan oleh pemerintah/negara selaku pemegang saham sangat ditentukan oleh kemampuan direksi dalam mengurus dan mengelola BUMN.8
c) Komisaris Persero adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero. Sama hal nya dengan direksi, komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Anggota komisaris diangkat berdasarkan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang meadai di bidang usaha Persero. Komposisi komisaris harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen.
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang ada dalam BUMN Persero antara lain berbentuk Perseoan Terbatas, terbagi atas saham, tujuan utamanya untuk mencari keuntungan guna meningkatkan hasil perusahaan dan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, dipimpin oleh direksi
2) Perusahaan Umum (Perum)
Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum dapat dikatakan bukan perusahaan atau persekutuan, melainkan perusahaan milik negara yang didirikan dengan peraturan pemerintah atas kuasa undang undang.9 Berdasarkan UU BUMN pasal 1 angka 4 dijelaskan bahwa Perum adalah BUMN yang
8 Rahayu Hartini, BUMN persero (Konsep Keuangan Negara dan Hukum Kepailitan Di Indonesia), (Setara Press, Jakarta, 2018), h.34.
seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip prinsip pengelolaan perusahaan.
Dalam pasal 36 ayat (1) UU BUMN dijelaskan bahwa maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Perum tidak berupa saham, syarat modal Perum harus 100% (seratus persen) berasal dari negara. Hal ini menunjukan bahwa didalam mendirikan Perum, negara bertindak sendiri karena tidak dimungkinkan untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (dalam hal ini swasta) dalam menumpuk modal. Disamping itu dengan modal seluruhnya dari negara, Perum tidak dapat dikelola seperti lembaga negara/pemerintah dengan sistem keuangan negara, oleh karena didalam pengertian tersebut ditekankan pengelolaannya berdasarkan pada prinsip perusahaan. Perum dalam hal ini berbeda dengan Perseroan, Perum tidak tunduk dengan UU PT, sehingga dalam Perum tidak berlaku UU PT. Perum hanya tunduk dengan UU BUMN karena didalam UU BUMN telah mengatur secara khusus aturan mengenai Perum.10 Perum mempunyai organ yaitu11 Menteri, Direksi Perum dan Dewan Pengawas
a) Menteri menurut undang-undang BUMN adalah menteri yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah sebagai pihak yang memiliki modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 ayat (1) UU BUMN
10 Gatot Supramono, BUMN ditinjau dari segi Hukum Perdata, …. h. 42. 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, .... h.191.
menegasakan bahwa menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh direksi. Sebagai wakil pemerintah dan pemilik modal Perum, menteri menetapkan kebijakan pengembangan Perum yang bertujuan menetapkan arah dalam mencapai tujuan perusahaan baik penyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha sumber pembiayaannya, penggunaan hasil usaha perusahaan, dan kebijakan pengembangan. Kemudian Pasal 39 UU BUMN menyebutkan bahwa Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum kecuali menteri beiktikad buruk memanfaatkan Perum untuk kepentingan pribadi, menteri terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan Perum serta menteri secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.
b) Direksi Perum diangkat dan diberhentikan oleh menteri sesuai dengan mekanisme dan ketentuan perturan perundang-undangan. Terdapat beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh dirksi dalam melaksanakan tugas tugasnya yaitu, direksi wajib mencurahkan tenaga dan pikiran serta perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapain tujuan Perum, direkai juga wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis memuat sasaran dan tujuan perum yang akan dicapai dalam jangan waktu lima tahun, dirksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang, direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada menteri untuk memperoleh pengesahan, dalam waktu lima bulan setelah tahun buku Perum ditutup, direksi wajib
menyampaikan laporan tahunan kepada menteri untuk memperoleh pengesahan.12
c) Dewan pengawas adalah organ Perum yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Perum. Dewan pengawas diangkat dan diberhentikan oleh mentri sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan.13 Dewan pengawas bertugas untuk mengawasi direksi dalam melaksanakan pengurusan Perum dan juga meberikan nasihat kepada direksi.
Berdasarkan beberapa uraian terkait Perum dapat disimpulkan bahwa Perum memiliki karakteristik yaitu, tujuan utamanya disamping melayani kepentingan umum sekaligus menumpuk keuntungan, berstatus sebagai badan hukum, bergerak dalam bidang bidang vital, mempunyai nama dan kekayaan sendiri, modal seluruhnya dimiliki oleh negara, dipimpin oleh direksi.14
2. Tinjauan Umum Kepailitan
a. Pengertian dan Tujuan Kepailitan
Istilah pailit dapat dijumpai dalam bahasa Belanda, Perancis, Inggris dan Latin dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Perancis istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh karena itu, orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar disebut le failli. Untuk arti yang sama dengan bahasa perancis, dalam bahasa Belanda juga digunakan istilah faillete, lalu di dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah to fail dan dalam bahasa Latin digunakan istilah fallire.15
12 Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, …. h.180. 13 Mulhadi, Hukum Perusahaa: Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, …. h.80. 14 Farida Hasyim, Hukum Dagang, …. h.166.
15 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia, (Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2003), h.23.
Dalam Black’s Law Dictonary mendefinisikan pailit atau “Bankrupt is the state or condition of a person (individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an voluntary petition has been filed, or who has been adjudged a bankrupt”. Jadi berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black’s
Law Dictonary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.16
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secata proposional dan sesuai dengan struktur kreditor.17
Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Menurut Kartini Muljadi, rumusan pada Pasal 1131 KUH Perdata menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam lapangan
16 Gunawan Widjaja, Risiko hukum & bisnis perusahaan pailit, (Forum Sahabat, Jakarta,
2009), h.15-16.
harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaan maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaan. Adapun rumusan Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut secara18 :
1) Pari passu yaitu secara bersama sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan; dan
2) Pro rata atau prposional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 entang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga menjelaskan mengenai pengertian kepalitan yaitu kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepailitan merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditor. Lalu, debitor tersebut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga atas permohonananya sendiri atau para kreditornya. Terhadap permohonan pernyataan pailit tersebut, debitor telah kehilangan hak-hak keperdataannya dalam mengelola seluruh kekayaan dan aset asetnya. Kemudian seluruh aset tersebut berpindah status penguasaannya kepada kurator untuk dilakukan pemberesan dan pengurusan aset yang diperuntukan untuk membayar hutang debitor.
b. Tujuan Kepailitan
Tujuan kepailitan pada dasarnya adalah memberikan solusi ketika terjadi keadaan dimana debitor berhenti membayar atau tidak mampu membayar utang utangnya terhadap para kreditor. Dalam penjelasan umum UU Kepailitan dan PKPU Tahun 2004 dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, sebagai berikut :19
1) Untuk menghindari perbuatan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa faktor kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.
3) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberikan keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harya kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
Dengan adanya lembaga kepailitan ini diharapkan dapat menjadi lembaga yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan permasalahan utang piutang antara debitor dan kreditor. Lembaga kepailitan ini juga diharapkan dapat menjadi suatu lembaga yang dapat mencegah terjadinya kesewenang wenangan pihak kreditor yang
19 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan (Pustaka Utama Grafiti; Jakarta, 2010), h.28.
dengan menggunakan berbagai cara memaksa debitor untuk melunasi utang-utangnya.20
c. Syarat – Syarat Pengajuan Permohonan Pailit
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa syarat-syarat debitor yang dapat diajukan pailit yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas seditkitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Selanjutnya, pada ketentuan pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakn pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat pengajuan permohonan pailit sebagai berikut:
1) Syarat adanya 2 (dua) atau lebih kreditor (Concursus Creditorum). Syarat ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa harta kekayaan debitor merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan hasil penjualan harus dibagikan kepada kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya, kecuali jika diantara kreditor itu berdasarkan undang-undang harus didahulukan dalam pembagiannya.21Sedangkan apabila debitor hanya berutang kepada satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari
20 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri PT Disertai Dengan Ulasan Menurut UU No.1 Tahun 1995 Tentang PT, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995), dalam Peter Mahmud dan Rahayu
Hartini, Hukum Kepailitan, (Penertbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2007), h.22
21 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
passu. Dengan demikian debitur tidak dapat dituntut pailit, jika
debitur hanya mempunyai satu kreditur.22 2) Syarat Adanya Utang
Dalam kepailitan, utang merupakan konsep yang paling menentukan, karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi asset debitor untuk membayar utang-utangnya terhadap para kreditornya.23
Definisi utang disebutkan dalam pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU yaitu utang merupakan kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari karta kekayaan debitor.
Menurut Kartini Muljadi yang mana istilah utang merujuk pada hukum perikatan dalam Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Dari uraian pendapatnya dapat disimpulkan bahwa utang sama dengan kewajiban, yang dimaksud adalah kewajiban dari setiap perikatan, yang menurut Pasal 1233 KUH Perdata dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Selanjutnya Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam pasal 1233 dengan Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan (menimbulkan kewajiban) untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
22 Jono, Hukum Kepailitan,… h.5.
23 Hadi Subhan, Hukum kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta;
berbuat sesuatu.24 Jadi, beliau berpendapat bahwa utang adalah kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, sehingga utang ini menganut pengertian secara luas.
Menurut Prof Sutan Remy Sjahdeini, utang tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan kewajiban setiap debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditur, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.25
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, pada dasarnya utang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Yang mana pengertian utang dalam arti sempit hanya sebatas pada kewajiban yang timbul dari perjanjian utang piutang (pinjam meminjam) saja. Sedangkan, pengertian utang dalam arti luas yaitu utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.26
3) Syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Suatu utang dapat dikatakan telah jatuh tempo dan dapat ditagih apabila utang tersebut sudah pada waktunya untuk dibayarkan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih merupakan
24 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Failissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1998 , (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), h.109.
25 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Failissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1998, …. h.110.
dua istilah yang memiliki pengertian yang berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih. Namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.27
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah merumuskan pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan saksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur agar memenuhi prestasinya.28
4) Syarat atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya
Dalam pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah:
1. Debitor sendiri
2. Seorang kreditor atau lebih
3. Kejaksaan, dalam Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa permohonan pailit terhadap debitor juga dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
4. Bank Indonesia, Pasal 2 ayat (3) menjelaskan nahwa permohonan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan oleh
27 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas Dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta; Prenamedia Group, 2016),
h.137.
Bank Indonesia berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan.
5. Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam, dalam pasal 2 ayat (4) pemohon pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyelesaian, hanya dapat diajukan oleh Bapepam.
6. Mentri Keuangan, dalam Pasal 2 ayat (5) menjelaskan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi. Perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh mendtri keuangan.
5) Dapat dibuktikan secara sederhana
Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 8 ayat (4) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkan hukuman pailit. Keadaan tidak mau atau tidak mampu membayar itu diucapkan apabila secara sederhana terbukti tidak ada peristiwa atau keadaan yang menunjukkan bahwa keadaan tidak mau atau tidak mampu membayar itu ada.
d. Akibat Kepailitan
Kepailitan mengakibatkan seorang debitor yang telah dinyatakan pailit demi hukum kehilangan segala hak keperdataanya dalam menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa:
1) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
2) Tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.
3) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan
4) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di Bursa Efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.
B. Kerangka Teoritis 1. Teori Badan Hukum
Untuk mengetahui apa hakikat badan hukum, para ahli hukum telah mengemukakan teori teori baik dengan jalan menafsiran secara deomagtis dengan penafisran teologis yaitu sebagai berikut29 :
a. Teori Fiksi
Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savign, ia mengemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi bukan merupakan suatu hal yang konkret, sehingga karena hanya suatu abstraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa. Badan hukum semata mata hanyalah buatan pemerinta atau negara. Badan hukum itu suatu yang fiksi maksudnya adalah sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menarangkan suatu hal. Artinya sebenarnya menurut alam hanya manusia yang merupakan subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam
bayangannya badan hukum selaku subjek hukum, diperhitungkan sama dengan manusia.
b. Teori Organ
Teori ini dipelopori oleh Otto Van Gierke Sebagai reaksi terhadap teori fiksi munculah teori organ. Menurut Otto badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis diatas kertas. Apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Badan hukum menurut teori ini bukan merupakan suatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum tidak berbeda dengan manusia, karena itu tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan orang adalah badan hukum.
c. Teori kekayaan bersama
Teori ini dikemukakan oleh Rudolf Von Jhering. Teori ini menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Badan hukum bukan merupakan abstraksi dan juga bukan organisme. Pada hakikatnya, hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Harta kekayaan badan itu merupakan milik bersama seluruh anggotanya. Teori ini juga disebut propriete collective theorie (Planiol), atau teori kepunyaan kolektif (Utrecht), collectiviteitstheorie dan bestemmingstheorie.
d. Teori kekayaan bertujuan
Teori ini dikemukakan oleh E.M Meijers, dan dianut oleh Paul Scholten. Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba bukan khayal tetapi suatu kenyataan yuridis. Jadi menurut teori ini, badan hukum adalah wujud
yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain lain perikatan. Menurut Paul Scholten teori ini berasal dari teori organ yang sudah diperhalus artinya tidak begitu mutlak lagi, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan nama tangannya, mana otaknya dan sebagainya.
Pendapat lain mengenai badan hukum yaitu dikemukakan oleh Mertokusumo yang menyatakan bahwa badan hukum ialah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban badan hukum dilaksanakan oleh pengurusnya. Menurut Supramono, badan hukum juga dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang berada dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, serta dapat melakukan hak hak dan kewajibannya yang berhubungan dengan kekayaan tersebut.30
Sejalan dengan pendapat subekti menegenai badan hukum yaitu suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak hak dan melakukan perbuatan sendiri seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri dapat digugat dan menggugat didepan hakim.31
Menurut Wijono Prodjodikoro mengatakan bahwa badan hukum sebagai badan disamping manusia perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan hukum.32
Berdasarkan teori hukum diatas maka pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa badan hukum disamakan dengan subyek hukum, dalam hal ini ciri badan hukum yang dapat dikatakan sebagai subyek hukum yaitu :
a. Terdiri dari sekelompok orang b. Memiliki hak dan kewajiban
30 Gatot Soepomo, BUMN Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata, …. h.181 31 Chaidir Ali, Badan Hukum, (PT.Alumni, Bandung, 1999), h.18.
c. Memiliki susunan pengurusan
d. Dapat melakukan perbuatan hukum dalam suatu hubungan hukum e. Memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari para pengurusnya
atau anggotanya
f. Mempunyai kedudukan dimuka hukum yaitu dapat digugat ataupun menggungat di pengadilan.
2. Asas Corporate Separate Legal Personality
Apabila melihat konsep pendirian Perseroan Terbatas maka muncul asas corporate separate legal personality, dalam hal ini Yahya Harahap mengemukakan bahwa Perseroan Terbatas mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbedaa dari orang yang menciptakannya atau disebut personalitas perseroan. Ciri Personalitas Perseroan sebagai Badan hukum yang paling utama adalah perseroan merupakan wujud atau entitas (entity) yang ‘terpisah’ dan ‘berbeda’ dari pemiliknya dalam hal ini pemegang saham (separate and distinct from its owner).33 Asas ini berangkat dari
suatu doktrin dasar PT, dalam hal ini PT adalah suatu perusahaan yang merupakan suatu kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari Perusahaan tersebut. Terdapat suatu tabir pemisah (veil) antara Perusahaan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari Perusahaan tersebut.34
Asas ini muncul sebagaimana terdapat dalam pasal 3 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melibihi nilai saham yang telah diambilnya. Penjelasan pasal 3 ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa ketentuan dalam pasal 3 ayat (1) mempertegas ciri perseroan terbatas, bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Beranjak
33 Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Sinar Grafika, Jakarta, 2009), h.57. 34 Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, (Refika Aditama,
dari uraian tersebut Asas hukum Corporate Separate Legal Personality menyatakan dengan tegas bahwa PT merupakan suatu kesatuan hukum yang terpisah (separate legal entity) dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendirinya dalam hal ini pemegang saham, sehingga tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas sebesar nilai sahamnya (limited
liability of its shareholders)
3. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum adalah kejelasan sekenario berperilaku yang bersifat umum dan mengikat semua masyarakat termasuk konsekuensi konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum juga dapat berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal hal yang konkret.35 Dalam hal ini, kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan. Dengan adanya kepastian hukum diharapkan dapat memberikan kejelasan dan ketegasan terhadap sutau hukum pada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan banyak perbedaan pendapat. 36
Menurut Urecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu37
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis Dogmatik yang berdasarkan pada aliran pemikiran positivits dalam dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom mandiei karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu
35 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Pradya Paramita; Jakarta, 1990), h.25. 36 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, …. h.24
37 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti; Bandung,