• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAH PENGATURAN TATA BATAS MUKIM DI KABUPATEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARAH PENGATURAN TATA BATAS MUKIM DI KABUPATEN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Qanun Kota Banda Aceh Nomor 16 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota (RPJPK) Kota Banda Aceh 2007 – 2027).

Rencana Strategis Bappeda Kota Banda Aceh 2012-2017.

Renstra Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Jaya 2012-2017.

Surat Keputusan Walikota Nomor 270 Tahun 2013 tentang Pembentukan T i m P e l a k s a n a a n R e f o r m a s i Birokrasi di Lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh.

ARAH

PENGATURAN TATA BATAS MUKIM DI KABUPATEN

1

ACEH BARAT

Setting Direction of Habitation Boundaries in The Regency of Aceh Barat

2 3

Sulaiman Tripa dan Taqwaddin Husin

Email: sulaiman.fh@unsyiah.ac.id

ABSTRACT

The regulation of habitation borders was possibly carried out after the amendment of the Constitution of 1945 about recognition of indigenous law peoples. After the enactment of Law No. 11 of 2006, it was given a mandate for regency to regulate habitation. One of the regency that have completed the habitation Qanun is West Aceh, that is the Qanun No. 3 of 2010 of West Aceh on Government Habitation. The important thing emphasized in this Qanun is the boundaries of the habitation. This setting is related to other variety things, it is not only the implementation of the government, but in terms of natural resource management in habitation area as well. To answer this question, it needs a model and direction setting of habitation borders, and it is expected that Qanun of habitation can be operated and implemented in the field.

Keywords: Setting Direction, Boundaries, Habitation

ABSTRAK

Pengaturan batas mukim mungkin dilakukan setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang pengakuan masyarakat hukum adat. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, diberikan amanah bagi kabupaten untuk mengatur mukim. Salah satu kabupaten yang sudah menyelesaikan Qanun Mukim adalah Kabupaten Aceh Barat, yakni Qanun Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim. Hal yang penting ditegaskan dalam Qanun ini adalah mengenai tata batas mukim. Pengaturan ini terkait dengan berbagai hal lain, di samping pelaksanaan pemerintahan, juga dalam hal pengelolaan sumber daya alam wilayah mukim. Untuk menjawab masalah ini, dibutuhkan model dan arah pengaturan tata batas mukim, diharapkan Qanun Mukim menjadi operasional dan implementatif di lapangan.

Kata Kunci: Arah Pengaturan, Tata Batas, Mukim

1

Naskah diterima 6 Mei 2015. Direvisi 20 Mei 2015.

2

Staf Pengajar di Universitas Syiah Kuala.

3

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

(2)

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

da perubahan besar sistem

A

h u k u m , p o l i t i k , d a n pemerintahan di Indonesia sejak era Reformasi. Terjadinya perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengubah sistem hukum, politik, dan pemerintahan tersebut.

Desentralisasi di Indonesia sangat berpengaruh bagi lahirnya konsep pemerintahan holistik. Beberapa undang-undang yang lahir pasca reformasi semakin membuka peluang bagi otonomi yang lebih besar bagi daerah (Sulaiman, 2009). Wujud p e r u b a h a n y a n g t e r j a d i d a l a m pemerintahan adalah hubungan antara pusat dan daerah yang kian berubah. K e k u a s a a n s e n t r a l i s t i k y a n g dilaksanakan di Indonesia dalam tiga dekade, kemudian digantikan dengan corak desentralisasi. Perubahan ini membawa konsekuensi bahwa daerah tidak lagi dibagi secara hirarki atas daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan Pemerintahan Desa sebagai unit p e m e r i n t a h a n y a n g s e r a g a m , sebagaimana dipraktekkan Rezim Orde Baru. Rezim Orde Reformasi dengan konsep desentralisasi, kekuasaan dipilah menurut jenisnya, yakni daerah otonomi provinsi, daerah otonomi kabupaten, daerah otonomi kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonomi asli (Darmansyah, 2003).

Melalui amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah ditegaskan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah secara tersurat dinyatakan di dalam Pasal 18 B

ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

A d a n y a k e t e n t u a n d i a t a s , menunjukkan bahwa posisi masyarakat h u k u m a d a t b e s e r t a h a k - h a k tradisionalnya telah memiliki basis konstitusi yang cukup kuat, yang selanjutnya harus diderivasi (diatur lebih lanjut) dalam legislasi dan regulasi, yaitu u n d a n g - u n d a n g d a n p e r a t u r a n perundang-undangan lainnya. Hal tersebut harus dilakukan agar apa yang d i a t u r d a l a m K o n s t i t u s i b i s a dilaksanakan sebagaimana harapan.

H a s i l k a j i a n m e n u n j u k k a n beberapa peraturan perudang-undangan telah diterbitkan sehubungan dengan amanah ketentuan konstitusi di atas, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun peraturan daerah, antara lain: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang N o m o r 4 1 T a h u n 1 9 9 9 t e n t a n g Kehutanan; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Undang-Undang Nomnor 32 Tahun 2009 tentang P e r l i n d u n g a n d a n P e n g e l o l a a n Lingkungan Hidup; dan lain-lain

(Taqwaddin, 2011).

Dalam konteks Aceh, lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh kian memperkuat posisi masyarakat h u k u m a d a t . S a l a h s a t u w u j u d masyarakat hukum adat di Aceh adalah Mukim.

Terdapat sejumlah pasal terkait Mukim, yakni Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 114 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Salah satu klausul penting adalah Qanun Aceh N o m o r 4 T a h u n 2 0 0 3 t e n t a n g Pemerintahan Mukim sebagai turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku lagi bila telah ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sebaliknya, jika belum ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim, maka Qanun Nomor 4 Tahun 2003 itu tetap masih berlaku.

Salah satu satu kabupaten yang sudah menyelesaikan Qanun Mukim adalah Kabupaten Aceh Barat, yakni Qanun Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim. Qanun ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Juni 2010.

Hal yang penting ditegaskan dalam qanun ini adalah mengenai tata batas mukim. Pengaturan ini terkait dengan b e r b a g a i h a l l a i n , d i s a m p i n g pelaksanaan pemerintahan, juga dalam hal pengelolaan sumber daya alam wilayah mukim.

B. PEMBAHASAN

1. S E J A R A H M U K I M D A N PENGELOLAANNYA

Menurut Taqwaddin (2009), pemerintahan mukim sangat penting di Aceh karena dalam sejarahnya ia tidak bisa dilepaskan dari suasana kehidupan

beragama. Mukim dikaitkan dengan Mesjid, karena Mazhab Syafi'i untuk mendirikan salat Jum'at diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipastikan bahwa setiap Mukim mempunyai sekurang-kurangnya satu buah masjid. Mukim adalah gabungan dari Gampong dan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bercorak agama. Pemimpin Mukim disebut dengan Imeum Mukim (Syahbandir, 2014).

Tiga ciri lain yang menggambarkan t e s a t e r s e b u t , a d a l a h : P e r t a m a , memperhatikan syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada t i n g k a t M u k i m . K e d u a , s i s t e m pengelolaan tanah umum, selalu dikaitkan dengan kepunyaan Allah (tanoh Potallah). Ketiga, penyelesaian s e n g k e t a y a n g m e n g e d e p a n k a n perdamaian dan bertujuan membangun kembali harmonisasi dalam kehidupan masyarakat (Sanusi, 2005).

Pemolaan mukim kemudian terjadi perkembangan. Di kawasan Aceh Besar, pada masa Kesultanan Aceh, beberapa Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim. Tiap gabungan Mukim dipimpin oleh seorang Ulee Balang. Federasi Mukim seperti di atas b e r l a n g s u n g h i n g g a k e k u a s a a n Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Pola seperti ini juga ditemukan dalam masyarakat Pidie misalnya Mukim Pidie, Mukim Aree, dsb, hingga ke Samalanga. Pemolaan demikian juga diikuti seluruh sekutu Kerajaan Aceh Darussalam (Ismail, 1980).

Mengenai stratifikasi pemerinta-han mukim dan gampong sudah dikenal

(3)

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

da perubahan besar sistem

A

h u k u m , p o l i t i k , d a n pemerintahan di Indonesia sejak era Reformasi. Terjadinya perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengubah sistem hukum, politik, dan pemerintahan tersebut.

Desentralisasi di Indonesia sangat berpengaruh bagi lahirnya konsep pemerintahan holistik. Beberapa undang-undang yang lahir pasca reformasi semakin membuka peluang bagi otonomi yang lebih besar bagi daerah (Sulaiman, 2009). Wujud p e r u b a h a n y a n g t e r j a d i d a l a m pemerintahan adalah hubungan antara pusat dan daerah yang kian berubah. K e k u a s a a n s e n t r a l i s t i k y a n g dilaksanakan di Indonesia dalam tiga dekade, kemudian digantikan dengan corak desentralisasi. Perubahan ini membawa konsekuensi bahwa daerah tidak lagi dibagi secara hirarki atas daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan Pemerintahan Desa sebagai unit p e m e r i n t a h a n y a n g s e r a g a m , sebagaimana dipraktekkan Rezim Orde Baru. Rezim Orde Reformasi dengan konsep desentralisasi, kekuasaan dipilah menurut jenisnya, yakni daerah otonomi provinsi, daerah otonomi kabupaten, daerah otonomi kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonomi asli (Darmansyah, 2003).

Melalui amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah ditegaskan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah secara tersurat dinyatakan di dalam Pasal 18 B

ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

A d a n y a k e t e n t u a n d i a t a s , menunjukkan bahwa posisi masyarakat h u k u m a d a t b e s e r t a h a k - h a k tradisionalnya telah memiliki basis konstitusi yang cukup kuat, yang selanjutnya harus diderivasi (diatur lebih lanjut) dalam legislasi dan regulasi, yaitu u n d a n g - u n d a n g d a n p e r a t u r a n perundang-undangan lainnya. Hal tersebut harus dilakukan agar apa yang d i a t u r d a l a m K o n s t i t u s i b i s a dilaksanakan sebagaimana harapan.

H a s i l k a j i a n m e n u n j u k k a n beberapa peraturan perudang-undangan telah diterbitkan sehubungan dengan amanah ketentuan konstitusi di atas, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun peraturan daerah, antara lain: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang N o m o r 4 1 T a h u n 1 9 9 9 t e n t a n g Kehutanan; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Undang-Undang Nomnor 32 Tahun 2009 tentang P e r l i n d u n g a n d a n P e n g e l o l a a n Lingkungan Hidup; dan lain-lain

(Taqwaddin, 2011).

Dalam konteks Aceh, lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh kian memperkuat posisi masyarakat h u k u m a d a t . S a l a h s a t u w u j u d masyarakat hukum adat di Aceh adalah Mukim.

Terdapat sejumlah pasal terkait Mukim, yakni Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 114 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Salah satu klausul penting adalah Qanun Aceh N o m o r 4 T a h u n 2 0 0 3 t e n t a n g Pemerintahan Mukim sebagai turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku lagi bila telah ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sebaliknya, jika belum ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim, maka Qanun Nomor 4 Tahun 2003 itu tetap masih berlaku.

Salah satu satu kabupaten yang sudah menyelesaikan Qanun Mukim adalah Kabupaten Aceh Barat, yakni Qanun Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim. Qanun ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Juni 2010.

Hal yang penting ditegaskan dalam qanun ini adalah mengenai tata batas mukim. Pengaturan ini terkait dengan b e r b a g a i h a l l a i n , d i s a m p i n g pelaksanaan pemerintahan, juga dalam hal pengelolaan sumber daya alam wilayah mukim.

B. PEMBAHASAN

1. S E J A R A H M U K I M D A N PENGELOLAANNYA

Menurut Taqwaddin (2009), pemerintahan mukim sangat penting di Aceh karena dalam sejarahnya ia tidak bisa dilepaskan dari suasana kehidupan

beragama. Mukim dikaitkan dengan Mesjid, karena Mazhab Syafi'i untuk mendirikan salat Jum'at diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipastikan bahwa setiap Mukim mempunyai sekurang-kurangnya satu buah masjid. Mukim adalah gabungan dari Gampong dan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bercorak agama. Pemimpin Mukim disebut dengan Imeum Mukim (Syahbandir, 2014).

Tiga ciri lain yang menggambarkan t e s a t e r s e b u t , a d a l a h : P e r t a m a , memperhatikan syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada t i n g k a t M u k i m . K e d u a , s i s t e m pengelolaan tanah umum, selalu dikaitkan dengan kepunyaan Allah (tanoh Potallah). Ketiga, penyelesaian s e n g k e t a y a n g m e n g e d e p a n k a n perdamaian dan bertujuan membangun kembali harmonisasi dalam kehidupan masyarakat (Sanusi, 2005).

Pemolaan mukim kemudian terjadi perkembangan. Di kawasan Aceh Besar, pada masa Kesultanan Aceh, beberapa Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim. Tiap gabungan Mukim dipimpin oleh seorang Ulee Balang. Federasi Mukim seperti di atas b e r l a n g s u n g h i n g g a k e k u a s a a n Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Pola seperti ini juga ditemukan dalam masyarakat Pidie misalnya Mukim Pidie, Mukim Aree, dsb, hingga ke Samalanga. Pemolaan demikian juga diikuti seluruh sekutu Kerajaan Aceh Darussalam (Ismail, 1980).

Mengenai stratifikasi pemerinta-han mukim dan gampong sudah dikenal

(4)

pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Hurgronje mencatat tanda-tanda tertentu yang menjadi batas dari sebuah wilayah. Khusus mengenai Mukim, menurut Hurgronje, Aceh Besar sudah memiliki perkembangan Mukim yang tertata.

Menurut Taqwaddin (2013), p e r k e m b a n g a n m u k i m s e c a r a kronologis, dapat dilihat dalam beberapa fase berikut:

a. Naskah Qanun Syara' Kesultanan Aceh yang ditulis Teungku di Mulek pada 1270 Hijriah, atau pada masa b e r k u a s a n y a S u l t a n A l a u d d i n Mansyur Syah (memerintah sejak 1257 H), dapat disimpulkan bahwa k e b e r a d a a n M u k i m s e b a g a i persekutuan gampong di Aceh mulai mendapatkan penataan ketika berkuasanya Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah (sekitar 913 H/1507 M) (Sani, 2005). Pada 1607-1636, penataan kehidupan adat diperkuat oleh Sultan Iskandar Muda, melalui Qanun Al Asyi atau Adat Meukuta Alam. Dalam hal ini, sesungguhnya telah terjadi penguatan dalam hal keberadaan Mukim dalam salah satu strata pemerintahan di

4 Aceh.

b. Masa Belanda dan Jepang, posisi tersebut sedikit berubah, sesuai dengan kepentingan negara tersebut. Dapat dilihat misalnya Pada 1935, P e m e r i n t a h H i n d i a B e l a n d a mengeluarkan Ordonasi 1935 Nomor 102 (Pasal 3a RO), yang untuk pertama kali mengakui keberadaan Peradilan

Adat (Sanusi, 2005). Posisi peradilan adat dapat menjadi tanda akan adanya otoritas penting yang diberikan kepada Mukim dalam struktur pemerintahan. Bahkan pada tahun 1937, pada masa kolonial Belanda keberadaan imeum mukim tetap diakui, diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Pada 1942-1945, Masa penjajahan Jepang, pemerintahan mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944.

c. Pada awal kemerdekaan Indonesia, 1945, keberadaan Mukim tetap diakui dan diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun

5

1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong (Mahdi, 1995).

d. Masa Orde Baru (1966-1998), mukim dihapus dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

t e n t a n g P e m e r i n t a h a n D e s a . Sesungguhnya sejak kemerdekaan Indonesia, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan eenheidsstaat. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula kedalam daerah-daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi. Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti Desa (Jawa dan Bali), Nagari (Minangkabau), Dusun dan Marga (Palembang) dan lain-lain. Termasuk ke dalam kategori tersebut adalah Gampong di Aceh.

e. Masa Reformasi (1998 – 2012), dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dan Aceh menjadi daerah otonomi khusus dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Implementasi pember-lakuan Undang-Undang tersebut, disahkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, yang mengakui mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dan masyarakat hukum adat.

f. Setelah reformasi, terjadi amademen Kedua UUD 1945 (Tahun 2000), Pasal 18B menyebutkan, negara mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara mengakui d a n m e n g h o r m a t i k e s a t u a n masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang

6 diatur dalam Undang-Undang.

g. Pasca Tsunami dan MoU Helsinki melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim.

Dengan beranjak dari kronologis di atas, maka secara de jure, kedudukan Mukim dan Imuem Mukim sudah diakui dalam Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat dalam posisi Mukim sebagai lembaga pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (3) huruf (b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Ditegaskan juga dalam Pasal 3 Qanun N o m o r 3 T a h u n 2 0 0 9 , M u k i m mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangun-an, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam.

Di samping itu, ada satu penjelasan mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (19) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Namun isi dalam

4

Pada fungsi ini, seolah menjadi cermin bahwa adat dan hukum adat tidak mungkin dilepaskan dari tujuan mengatur kehidupan.

5

Pada masa ini Aceh merupakan suatu keresidenan dalam Provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang berkedudukan: di Medan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil).

6

Penghormatan secara khusus kepada “Pemerintah Daerah yang bersifat khusus”, masuk dalam 174 ketentuan baru (25 butir tidak diubah) pascaamandemen UUD Tahun 1945, yang telah dilakukan empat kali perubahan. Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999. Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000. Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001. Perubahan Keempat, disahkan 10 Agustus 2002.

(5)

pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Hurgronje mencatat tanda-tanda tertentu yang menjadi batas dari sebuah wilayah. Khusus mengenai Mukim, menurut Hurgronje, Aceh Besar sudah memiliki perkembangan Mukim yang tertata.

Menurut Taqwaddin (2013), p e r k e m b a n g a n m u k i m s e c a r a kronologis, dapat dilihat dalam beberapa fase berikut:

a. Naskah Qanun Syara' Kesultanan Aceh yang ditulis Teungku di Mulek pada 1270 Hijriah, atau pada masa b e r k u a s a n y a S u l t a n A l a u d d i n Mansyur Syah (memerintah sejak 1257 H), dapat disimpulkan bahwa k e b e r a d a a n M u k i m s e b a g a i persekutuan gampong di Aceh mulai mendapatkan penataan ketika berkuasanya Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah (sekitar 913 H/1507 M) (Sani, 2005). Pada 1607-1636, penataan kehidupan adat diperkuat oleh Sultan Iskandar Muda, melalui Qanun Al Asyi atau Adat Meukuta Alam. Dalam hal ini, sesungguhnya telah terjadi penguatan dalam hal keberadaan Mukim dalam salah satu strata pemerintahan di

4 Aceh.

b. Masa Belanda dan Jepang, posisi tersebut sedikit berubah, sesuai dengan kepentingan negara tersebut. Dapat dilihat misalnya Pada 1935, P e m e r i n t a h H i n d i a B e l a n d a mengeluarkan Ordonasi 1935 Nomor 102 (Pasal 3a RO), yang untuk pertama kali mengakui keberadaan Peradilan

Adat (Sanusi, 2005). Posisi peradilan adat dapat menjadi tanda akan adanya otoritas penting yang diberikan kepada Mukim dalam struktur pemerintahan. Bahkan pada tahun 1937, pada masa kolonial Belanda keberadaan imeum mukim tetap diakui, diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Pada 1942-1945, Masa penjajahan Jepang, pemerintahan mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944.

c. Pada awal kemerdekaan Indonesia, 1945, keberadaan Mukim tetap diakui dan diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun

5

1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong (Mahdi, 1995).

d. Masa Orde Baru (1966-1998), mukim dihapus dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

t e n t a n g P e m e r i n t a h a n D e s a . Sesungguhnya sejak kemerdekaan Indonesia, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan eenheidsstaat. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula kedalam daerah-daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi. Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti Desa (Jawa dan Bali), Nagari (Minangkabau), Dusun dan Marga (Palembang) dan lain-lain. Termasuk ke dalam kategori tersebut adalah Gampong di Aceh.

e. Masa Reformasi (1998 – 2012), dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dan Aceh menjadi daerah otonomi khusus dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Implementasi pember-lakuan Undang-Undang tersebut, disahkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, yang mengakui mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dan masyarakat hukum adat.

f. Setelah reformasi, terjadi amademen Kedua UUD 1945 (Tahun 2000), Pasal 18B menyebutkan, negara mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara mengakui d a n m e n g h o r m a t i k e s a t u a n masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang

6 diatur dalam Undang-Undang.

g. Pasca Tsunami dan MoU Helsinki melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim.

Dengan beranjak dari kronologis di atas, maka secara de jure, kedudukan Mukim dan Imuem Mukim sudah diakui dalam Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat dalam posisi Mukim sebagai lembaga pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (3) huruf (b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Ditegaskan juga dalam Pasal 3 Qanun N o m o r 3 T a h u n 2 0 0 9 , M u k i m mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangun-an, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam.

Di samping itu, ada satu penjelasan mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (19) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Namun isi dalam

4

Pada fungsi ini, seolah menjadi cermin bahwa adat dan hukum adat tidak mungkin dilepaskan dari tujuan mengatur kehidupan.

5

Pada masa ini Aceh merupakan suatu keresidenan dalam Provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang berkedudukan: di Medan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil).

6

Penghormatan secara khusus kepada “Pemerintah Daerah yang bersifat khusus”, masuk dalam 174 ketentuan baru (25 butir tidak diubah) pascaamandemen UUD Tahun 1945, yang telah dilakukan empat kali perubahan. Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999. Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000. Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001. Perubahan Keempat, disahkan 10 Agustus 2002.

(6)

pengaturan ini sepertinya tidak tegas.. Posisi lain dari Mukim adalah sebagai lembaga adat yang berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan keter-tiban masyarakat, serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Hal ini ditentukan secara tegas dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Seadainya dikembalikan kepada konsep masyarakat hukum adat, maka penjelasannya masih kabur dan bisa ditafsirkan berbagai ragam. Penjelasan pada istilah adalah Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wilayahnya sendiri, yang dalam konsep di atas, juga dikonkretkan dengan gabungan beberapa gampong. Logika ini sepertinya tidak mengingkari keberadaan mukim sebagai lembaga pemerintahan dan lembaga adat.

M e n u r u t P r o f . D a h l a n d a n Bathlimus, istilah “kesatuan masyarakat hukum” merupakan sebuah pengertian yang bersifat teknis yuridis, yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (ke luar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.

Dengan konsep dasar dari Van Vollenhoven, Prof. T. Djuned menyebut-k a n b a h w a s e t i a p p e r s e menyebut-k u t u a n masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa

k e w e n a n g a n d a n h a k - h a k : ( 1 ) menjalankan sistem pemerintahan sendiri; (2) menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Bertindak ke luar atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4) hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; (5) hak membentuk adat; dan (6) hak menyelenggarakan sejenis peradilan.

Konsep demikian selaras dengan Penjelasan Pasal 67 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataan-nya memenuhi unsur antara lain: (1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; (4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan demikian, mengacu pada kewenangan hak asal usul yang dikemukakan Prof. T. Djuned dan Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan di atas, dapatlah dipahami bahwa lembaga mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat, karena keenam persyaratan tersebut dimiliki oleh lembaga mukim.

I m p l i k a s i p o s i s i d e m i k i a n , sejumlah harta kekayaan yang secara sendirinya masuk ke dalam Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim,

berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim.

Harta kekayaan Mukim darat dan laut, setidaknya terdiri atas: (1) wilayah laut, sampai batas pukat darat (sekitar 300-500 meter dari bibir pantai), antara lain dalam pengaturan jermal, keramba, rumput laut, kerang, dsb; (2) teluk yang menjorok ke darat tidak terlalu jauh; (3) wilayah darat, mencakup: areal bebas ( g a b u n g a n b e b e r a p a g a m p o n g ) –termasuk padang meurabe; areal tepi sungai (aliran DAS); tempat penyerapan air (seperti rawa-rawa)/lahan gambut; daerah semak belukar, bukit-bukit; potensi tambang yang dikuasai lembaga adat; potensi jasa lingkungan (penyerap sumberdaya air, dll); hutan mukim (uteun mukim); perbukitan (glee); alur (alue); sungai (krueng); delta (pante); rawa (paya); pantai laut (pasi); laut (laoet); tanah umum (tanoh meusara); waqaf (wakeuh); danau; kuala, dan lain-lain.

Kondisi tersebut diperkuat dengan adanya Putusan MK No.35/PUU-IX/2012 yang menganulir konsep hutan a d a t y a n g d a l a m U U 4 1 / 1 9 9 9 dimasukkan dalam lingkup hutan negara. Dengan Putusan MK, posisi hutan adat dipisahkan dari konsep hukum “hutan negara” tersebut. Putusan MK ini juga berimplikasi pada cara pandang negara terhadap lembaga dan masyarakat hukum adat yang harus berubah. Dalam konteks mukim, dengan konsep sebagaimana dijelaskan di atas, maka hutan mukim (sebagai hutan adat)

adalah sesuatu yang ada dalam kenyataan masyarakat Aceh. Dengan d e m i k i a n d a l a m p e n g a t u r a n pengelolaannya, hutan mukim haruslah

7 diikutkan.

Dengan penjelasan teoritis dan pengaturan demikian, maka pengelolaan wilayah mukim yang dilakukan Pemerintahan Mukim sangat mungkin dilakukan. Dalam hal ini harus didukung oleh pengaturan hukum yang jelas untuk menjawab kebutuhan hukum pengelola-an sumber daya alam oleh Mukim.

2. PENGATURAN TATA BATAS MUKIM

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memposisikan Mukim secara yuridis dalam salah satu strata pemerintahan di Aceh. Secara konsep yuridis, yang dimaksudkan dengan mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat (dalam Pasal 1 ayat (19) UU No. 11/2006).

Sebagaimana sudah dijelaskan di a t a s , b a h w a M u k i m k e m u d i a n didudukkan dalam dua bentuk. Pertama, apa yang diatur dalam Pasal 98 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menyebut bahwa imuem mukim sebagai salah satu lembaga adat (lembaga tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana p a r t i s i p a s i m a s y a r a k a t d a l a m

6

Dalam konsep akademis, kondisi ini seperti nafas segar. Namun dalam kenyataan, yang berlaku bermacam-macam. Salah satunya misalnya ditinggalkan Mukim dalam konsep pembangunan tata ruang. Sulaiman Tripa, “Mukim dan Tata Ruang”, Serambi Indonesia, 21 Januari 2014. Lihat juga, Sulaiman Tripa, “Sejarah Kelembagaan Mukim dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”, Makalah Workshop Tata Batas Wilayah Mukim, “Penegasan Batas Wilayah Memperkuat Eksistensi Mukim, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan JKMA, Meulaboh, 24 Juni 2014.

(7)

pengaturan ini sepertinya tidak tegas.. Posisi lain dari Mukim adalah sebagai lembaga adat yang berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan keter-tiban masyarakat, serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Hal ini ditentukan secara tegas dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Seadainya dikembalikan kepada konsep masyarakat hukum adat, maka penjelasannya masih kabur dan bisa ditafsirkan berbagai ragam. Penjelasan pada istilah adalah Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wilayahnya sendiri, yang dalam konsep di atas, juga dikonkretkan dengan gabungan beberapa gampong. Logika ini sepertinya tidak mengingkari keberadaan mukim sebagai lembaga pemerintahan dan lembaga adat.

M e n u r u t P r o f . D a h l a n d a n Bathlimus, istilah “kesatuan masyarakat hukum” merupakan sebuah pengertian yang bersifat teknis yuridis, yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (ke luar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.

Dengan konsep dasar dari Van Vollenhoven, Prof. T. Djuned menyebut-k a n b a h w a s e t i a p p e r s e menyebut-k u t u a n masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa

k e w e n a n g a n d a n h a k - h a k : ( 1 ) menjalankan sistem pemerintahan sendiri; (2) menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Bertindak ke luar atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4) hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; (5) hak membentuk adat; dan (6) hak menyelenggarakan sejenis peradilan.

Konsep demikian selaras dengan Penjelasan Pasal 67 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataan-nya memenuhi unsur antara lain: (1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; (4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan demikian, mengacu pada kewenangan hak asal usul yang dikemukakan Prof. T. Djuned dan Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan di atas, dapatlah dipahami bahwa lembaga mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat, karena keenam persyaratan tersebut dimiliki oleh lembaga mukim.

I m p l i k a s i p o s i s i d e m i k i a n , sejumlah harta kekayaan yang secara sendirinya masuk ke dalam Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim,

berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim.

Harta kekayaan Mukim darat dan laut, setidaknya terdiri atas: (1) wilayah laut, sampai batas pukat darat (sekitar 300-500 meter dari bibir pantai), antara lain dalam pengaturan jermal, keramba, rumput laut, kerang, dsb; (2) teluk yang menjorok ke darat tidak terlalu jauh; (3) wilayah darat, mencakup: areal bebas ( g a b u n g a n b e b e r a p a g a m p o n g ) –termasuk padang meurabe; areal tepi sungai (aliran DAS); tempat penyerapan air (seperti rawa-rawa)/lahan gambut; daerah semak belukar, bukit-bukit; potensi tambang yang dikuasai lembaga adat; potensi jasa lingkungan (penyerap sumberdaya air, dll); hutan mukim (uteun mukim); perbukitan (glee); alur (alue); sungai (krueng); delta (pante); rawa (paya); pantai laut (pasi); laut (laoet); tanah umum (tanoh meusara); waqaf (wakeuh); danau; kuala, dan lain-lain.

Kondisi tersebut diperkuat dengan adanya Putusan MK No.35/PUU-IX/2012 yang menganulir konsep hutan a d a t y a n g d a l a m U U 4 1 / 1 9 9 9 dimasukkan dalam lingkup hutan negara. Dengan Putusan MK, posisi hutan adat dipisahkan dari konsep hukum “hutan negara” tersebut. Putusan MK ini juga berimplikasi pada cara pandang negara terhadap lembaga dan masyarakat hukum adat yang harus berubah. Dalam konteks mukim, dengan konsep sebagaimana dijelaskan di atas, maka hutan mukim (sebagai hutan adat)

adalah sesuatu yang ada dalam kenyataan masyarakat Aceh. Dengan d e m i k i a n d a l a m p e n g a t u r a n pengelolaannya, hutan mukim haruslah

7 diikutkan.

Dengan penjelasan teoritis dan pengaturan demikian, maka pengelolaan wilayah mukim yang dilakukan Pemerintahan Mukim sangat mungkin dilakukan. Dalam hal ini harus didukung oleh pengaturan hukum yang jelas untuk menjawab kebutuhan hukum pengelola-an sumber daya alam oleh Mukim.

2. PENGATURAN TATA BATAS MUKIM

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memposisikan Mukim secara yuridis dalam salah satu strata pemerintahan di Aceh. Secara konsep yuridis, yang dimaksudkan dengan mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat (dalam Pasal 1 ayat (19) UU No. 11/2006).

Sebagaimana sudah dijelaskan di a t a s , b a h w a M u k i m k e m u d i a n didudukkan dalam dua bentuk. Pertama, apa yang diatur dalam Pasal 98 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menyebut bahwa imuem mukim sebagai salah satu lembaga adat (lembaga tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana p a r t i s i p a s i m a s y a r a k a t d a l a m

6

Dalam konsep akademis, kondisi ini seperti nafas segar. Namun dalam kenyataan, yang berlaku bermacam-macam. Salah satunya misalnya ditinggalkan Mukim dalam konsep pembangunan tata ruang. Sulaiman Tripa, “Mukim dan Tata Ruang”, Serambi Indonesia, 21 Januari 2014. Lihat juga, Sulaiman Tripa, “Sejarah Kelembagaan Mukim dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”, Makalah Workshop Tata Batas Wilayah Mukim, “Penegasan Batas Wilayah Memperkuat Eksistensi Mukim, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan JKMA, Meulaboh, 24 Juni 2014.

(8)

penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat (Pasal 98 ayat (1)), serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat (Pasal 98 ayat (2)). Qanun pelaksana sebagaimana diamanahkan Pasal 98 ayat (4)) Undang-Undang tersebut sudah ditetapkan, yakni Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Kedua, pengaturan dalam Pasal 114 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, yang menyebutkan mengenai ketentuan pembentukan mukim yang terdiri atas beberapa gampong yang dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama lain. Ketentuan tersebut melahirkan dua amanah, yakni Qanun Kabupaten/Kota yang mengatur mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim (Pasal 114 ayat (4)), dan Qanun Aceh mengenai tata cara pemilihan imeum mukim (Pasal 114 ayat (5)). Amanah tersebut, antara lain melahirkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Dalam Qanun ini juga diberikan klausul, bahwa Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 t e n t a n g P e m e r i n t a h a n M u k i m dinyatakan tidak berlaku lagi apabila telah ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sebaliknya, jika belum ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim, Qanun Nomor 4 Tahun 2003 itu tetap masih berlaku.

Sebagai implikasi dari pengatur-an tersebut, maka salah satu kabupaten yang sudah menyelesaikan Qanun

Mukim adalah Kabupaten Aceh Barat, yakni Qanun Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim. Qanun ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Juni 2010.

Terkait dengan kajian ini, ada dua hal yang penting untuk dijelaskan, yakni masalah harta kekayaan mukim dan tata batas. Pasal 1 angka (8) Qanun Nomor 3 Tahun 2010 disebutkan bahwa Harta Kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh Mukim atau nama lain dan tidak diserahkan kepada Gampong serta sumber pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan Pasal 1 angka (10) menyebutkan: Tanah Ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah Mukim yang dikuasai dan diatur oleh Hukum Adat.

Di samping itu, Pasal 7 ayat (1) huruf j menjelaskan salah satu tugas dan kewajiban Imum Mukim adalah membina dan memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta memelihara kelestarian fungsi ekologi dan sumberdaya alam.

Media pencapaian kesejahteraan ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1), dimana harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21 ayat (2): Jenis jumlah kekayaan Mukim harus diinventariskan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim. Harta kekayaan ini yang menjadi salah satu pendapatan mukim (Pasal 22 ayat (1)).

Q a n u n t e r s e b u t k e m u d i a n menegaskan bahwa sumber pendapatan kabupaten yang ada di Mukim, baik pajak maupun retribusi yang telah dipungut oleh Pemerintah Kabupaten, tidak boleh ada pungutan tambahan oleh Mukim.Pemerintah Kabupaten dapat memberikan bagian atas sumber pendapatan kepada Mukim dengan pembagian secara proporsional, layak dan adil yang diatur selanjutnya dengan Peraturan Bupati (Pasal 25).

Harta kekayaan Mukim tersebut terkait dengan tata batas. Pasal 18 menegaskan: Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepa-katan Musyawarah Mukim dari Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten. Qanun ini sama sekali tidak mengatur mengenai batas Mukim yang sudah ada.

Sesungguhnya Qanun Mukim (Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003), Qanun Kabupaten/Kota (Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2003), dan Qanun Gampong (Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003), menyebutkan bahwa cakupan wilayah mukim adalah beberapa gampong. Dalam Penjelasan Qanun Mukim disebutkan bahwa setiap Mukim memiliki batas wilayah masing-masing, yang ditandai dengan batas-batas alam ( k r u e n g , a l u e , j a l a n , j u r o n g , teureubeng/tebing, gle, dll). Batas-batas ini perlu dibuatkan akta (perlu dirumuskan secara tertulis), sehingga Mukim memiliki batas-batas wilayah yang jelas, yang dapat dijadikan pedoman bagi generasi selanjutnya.

Batas wilayah mukim adalah batas terluar dari gampong-gampong yang menjadi cakupan wilayah mukim yang bersangkutan dan berbatasan dengan

8

wilayah Mukim lainnya. Batasan seperti ini mengacu pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dimana D a e r a h A c e h d i b a g i a t a s Kabupaten/Kota, Kabupaten Kota dibagi atas Kecamatan, Kecamatan dibagi atas Mukim, Mukim dibagi atas gampong.

Batas wilayah mukim dibuat dalam bentuk peta yang ditetapkan dalam q a n u n K a b u p a t e n / K o t a s e b a g a i lampiran yang tidak terpisahkan dari q a n u n K a b u p a t e n / K o t a t e n t a n g pembentukan mukim. Peta dibuat harus mengikuti mekanisme pemetaan secara kartometrik, jelas skala dan titik koordinat, serta mempertimbangkan batas-batas alam dan kearifan lokal. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik perbatasan, termasuk kejelasan aset dan potensi ekonomi pada wilayah perbatasan.

Sesuai dengan Qanun Mukim (Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003), Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah Mukim dari Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota yang bersangkutan.

Merujuk pada Qanun Syara' Kerajaan Aceh, batas mukim mencakup batas 3-8 kampung yang menjadi wilayah mukim. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam satu bahasan yang menjelaskan: “bahawa diwajibkan oleh kanun syarak

8

Dalam konsep yang berbasis kearifan lokal, hutan mukim diukur dengan capaian “siuroe jak”. Konsep ini masih membutuhkan penjelasan dalam konteks kekinian, mengingat berbagai perkembangan yang semakin bisa diperdebatkan, misalnya tentang batas yang bisa ditempuh dalam sehari jalan.

(9)

penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat (Pasal 98 ayat (1)), serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat (Pasal 98 ayat (2)). Qanun pelaksana sebagaimana diamanahkan Pasal 98 ayat (4)) Undang-Undang tersebut sudah ditetapkan, yakni Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Kedua, pengaturan dalam Pasal 114 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, yang menyebutkan mengenai ketentuan pembentukan mukim yang terdiri atas beberapa gampong yang dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama lain. Ketentuan tersebut melahirkan dua amanah, yakni Qanun Kabupaten/Kota yang mengatur mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim (Pasal 114 ayat (4)), dan Qanun Aceh mengenai tata cara pemilihan imeum mukim (Pasal 114 ayat (5)). Amanah tersebut, antara lain melahirkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Dalam Qanun ini juga diberikan klausul, bahwa Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 t e n t a n g P e m e r i n t a h a n M u k i m dinyatakan tidak berlaku lagi apabila telah ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sebaliknya, jika belum ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim, Qanun Nomor 4 Tahun 2003 itu tetap masih berlaku.

Sebagai implikasi dari pengatur-an tersebut, maka salah satu kabupaten yang sudah menyelesaikan Qanun

Mukim adalah Kabupaten Aceh Barat, yakni Qanun Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim. Qanun ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Juni 2010.

Terkait dengan kajian ini, ada dua hal yang penting untuk dijelaskan, yakni masalah harta kekayaan mukim dan tata batas. Pasal 1 angka (8) Qanun Nomor 3 Tahun 2010 disebutkan bahwa Harta Kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh Mukim atau nama lain dan tidak diserahkan kepada Gampong serta sumber pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan Pasal 1 angka (10) menyebutkan: Tanah Ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah Mukim yang dikuasai dan diatur oleh Hukum Adat.

Di samping itu, Pasal 7 ayat (1) huruf j menjelaskan salah satu tugas dan kewajiban Imum Mukim adalah membina dan memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta memelihara kelestarian fungsi ekologi dan sumberdaya alam.

Media pencapaian kesejahteraan ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1), dimana harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21 ayat (2): Jenis jumlah kekayaan Mukim harus diinventariskan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim. Harta kekayaan ini yang menjadi salah satu pendapatan mukim (Pasal 22 ayat (1)).

Q a n u n t e r s e b u t k e m u d i a n menegaskan bahwa sumber pendapatan kabupaten yang ada di Mukim, baik pajak maupun retribusi yang telah dipungut oleh Pemerintah Kabupaten, tidak boleh ada pungutan tambahan oleh Mukim.Pemerintah Kabupaten dapat memberikan bagian atas sumber pendapatan kepada Mukim dengan pembagian secara proporsional, layak dan adil yang diatur selanjutnya dengan Peraturan Bupati (Pasal 25).

Harta kekayaan Mukim tersebut terkait dengan tata batas. Pasal 18 menegaskan: Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepa-katan Musyawarah Mukim dari Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten. Qanun ini sama sekali tidak mengatur mengenai batas Mukim yang sudah ada.

Sesungguhnya Qanun Mukim (Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003), Qanun Kabupaten/Kota (Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2003), dan Qanun Gampong (Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003), menyebutkan bahwa cakupan wilayah mukim adalah beberapa gampong. Dalam Penjelasan Qanun Mukim disebutkan bahwa setiap Mukim memiliki batas wilayah masing-masing, yang ditandai dengan batas-batas alam ( k r u e n g , a l u e , j a l a n , j u r o n g , teureubeng/tebing, gle, dll). Batas-batas ini perlu dibuatkan akta (perlu dirumuskan secara tertulis), sehingga Mukim memiliki batas-batas wilayah yang jelas, yang dapat dijadikan pedoman bagi generasi selanjutnya.

Batas wilayah mukim adalah batas terluar dari gampong-gampong yang menjadi cakupan wilayah mukim yang bersangkutan dan berbatasan dengan

8

wilayah Mukim lainnya. Batasan seperti ini mengacu pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dimana D a e r a h A c e h d i b a g i a t a s Kabupaten/Kota, Kabupaten Kota dibagi atas Kecamatan, Kecamatan dibagi atas Mukim, Mukim dibagi atas gampong.

Batas wilayah mukim dibuat dalam bentuk peta yang ditetapkan dalam q a n u n K a b u p a t e n / K o t a s e b a g a i lampiran yang tidak terpisahkan dari q a n u n K a b u p a t e n / K o t a t e n t a n g pembentukan mukim. Peta dibuat harus mengikuti mekanisme pemetaan secara kartometrik, jelas skala dan titik koordinat, serta mempertimbangkan batas-batas alam dan kearifan lokal. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik perbatasan, termasuk kejelasan aset dan potensi ekonomi pada wilayah perbatasan.

Sesuai dengan Qanun Mukim (Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003), Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah Mukim dari Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota yang bersangkutan.

Merujuk pada Qanun Syara' Kerajaan Aceh, batas mukim mencakup batas 3-8 kampung yang menjadi wilayah mukim. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam satu bahasan yang menjelaskan: “bahawa diwajibkan oleh kanun syarak

8

Dalam konsep yang berbasis kearifan lokal, hutan mukim diukur dengan capaian “siuroe jak”. Konsep ini masih membutuhkan penjelasan dalam konteks kekinian, mengingat berbagai perkembangan yang semakin bisa diperdebatkan, misalnya tentang batas yang bisa ditempuh dalam sehari jalan.

(10)

kerajaan, atas sekalian geuchik-geuchik masing-masing kampung beserta tuha peut dan imam rawatib (Imuem meunasah, pen) dengan wakil geuchik, jumlah tujuh orang pada tiap-tiap kampung, berhak memilih imam (imuem) mukim. Sebab karena tiap-tiap satu mukim itu satu mesjid jumaat didirikan, dengan ijmak mufakat ulama Ahli Sunnah wal Jamaah. Maka tiap-tiap satu mukim[,] ada yang lima meunasah [,] dan ada yang tujuh meunasah[,] dan ada yang delapan meunasah [,] dan sekurang-kurangnya tiga meunasah menurut 'uruf tempatnya masing-masing.

Dari aspek jumlah penduduk, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut angka fantastis, yakni satu desa di Sumatera minimal 4.000 jiwa (800 Kepala K e l u a r g a ) . S e b e l u m n y a m e l a l u i Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 28 Tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk calon desa pemekaran untuk wilayah sumatera minimal 1.000 jiwa saja (200 KK). Dengan demikian, bila dalam satu Mukim bisa dua gampong, maka sekarang ini minimal 8.000 jiwa, dan angka sulit dicapai di Aceh.

Mengenai daerah yang memiliki permasalahan dengan batas, dalam konteks batas mukim dapat diselesaikan dengan dua cara, yakni: Pertama, konsep p e n y e l e s a i a n d e n g a n m e n g i k u t i pengaturan dari atas, sebagaimana dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Kedua, pengaturan dari bawah, sebagaimana ditegaskan melalui Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 tentang batas desa. Logika yang kedua menjadi lebih mudah, asal saja yang

masuk dalam wilayah mukim tertentu sudah jelas jumlah gampongnya. Maka batas mukim ditentukan dengan batas dari gampong yang menjadi bagian dari mukim.

Sementara terkait dengan proses penegasan batas daerah dilakukan oleh tim yang dipimpin Bupati/Walikota atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, Sekretaris Daerah (Wakil Ketua), dengan anggota masing-masing: (1) Asisten yang membidangi urusan pemerintahan; (2) Kepala Bagian yang membidangi pemerintahan; (3) Kepala Bagian Hukum; Kepala SKPD yang membidangi urusan perencanaan pembangunan daerah; (4) Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional; dan (5) Pejabat dari Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait lainnya (Pasal 19).

Prosesnya dilakukan melalui serangkaian langkah, dimulai Ketua Tim PBD dapat menugaskan wakil ketua dan/atau anggota Tim PBD atau Pejabat y a n g d i t u n j u k a t a u d i t u g a s k a n menghadiri kegiatan penegasan batas daerah. Wakil ketua dan/atau anggota Tim PBD atau Pejabat yang ditunjuk atau ditugaskan berwenang dan bertang-gungjawab menandatangani Berita Acara dalam setiap tahapan kegiatan penegasan batas daerah (Pasal 21).

Sementara dalam Permendagri batas Desa Nomor 27 Tahun 2006 disebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, berdasarkan asal usul dan adat yang diakui dalam NKRI.

Dalam hal ini, batas merupakan batas teritorial/yurisdiksi pemisah penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan desa yang berbeda dengan desa lainnya. Untuk hal tersebut, diperlukan penetapan dan penegasan terhadap batas-batas.

Sebagai teritori gabungan dari gampong, maka penjelasan di atas pada dasarnya menggambarkan bahwa Mukim merupakan teritorial kekuasaan (administrasi pemerintahan). Konse-kuensinya adalah areal yang ada di dalamnya mengikuti apa yang diatur dalam konsep teritorial administrasi kekuasaan tersebut.

3. M O D E L D A N A R A H P E N G A T U R A N P E R A T U R A N TATA BATAS

Dengan mengacu pada Qanun Mukim Aceh Barat, ada satu hal yang seyogianya ditindaklanjuti adalah mengenai penegasan tata batas mukim yang harus ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati. Dalam Qanun Aceh Barat ditentukan bahwa pengaturan tata batas bisa dilakukan beriringan dengan inventarisasi dan pendaftaran harta kekayaan mukim.

Dengan asumsi demikian, maka dua pertanyaan penting yang muncul adalah: Pertama, apakah dengan menafsirkan Mukim sebatas sebagai lembaga adat, maka dapatkah mukim mengelola sumber daya alam? Kedua, sejauh mana para Imuem Mukim sesungguhnya menyadari dari posisi Mukim tidak semata-mata sebagai l e m b a g a a d a t ? S e h i n g g a k e t i k a melakukan berbagai kegiatannya, mereka mengetahui kewenangan secara m e n y e l u r u h , d e n g a n d e m i k i a n m e m a h a m i a p a y a n g m e s t i diperjuangkan?

Dari dua pertanyaan penting

tersebut, diharapkan akan muncul pemahaman mengenai pentingnya pengaturan kepemilikan bersama dalam pengelolaan sumberdaya alam pada tingkat Mukim. Pengaturan tersebut diharapkan akan menjawab harapan kesejahteraan di satu pihak, dan jaminan keberlanjutan di pihak yang lain.

Konsep pengaturan demikian, harus mengkonkretkan hak dan t a n g g u n g j a w a b M u k i m d a l a m pengelolaan, pemanfaatan, dan mem-proteksi sumberdaya alam yang ada pada tingkat Mukim.

Namun konsep demikian bukan tanpa tantangan. Penguatan tata kelola sumberdaya alam pada tingkat mukim harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami bahwa perlu melakukan perubahan pengelolaan dan tahu akan perlu melakukan pengelolaan tersebut.

D e n g a n s e j a r a h p a n j a n g , keberadaan Mukim sebagai lembaga pemerintahan kini terulang lagi. Van Vollenhoven dan C. Snouck Hurgronje sebagai dua sosok penting Belanda, mengakui Mukim sebagai lembaga yang k h a s A c e h y a n g b e r k u a s a a t a s wilayahnya, baik laut maupun darat. Pengelolaan atas apa yang di laut dan di darat tersebut sudah dilakukan sejak masa itu. Pada masa itu telah ada kekuasaan dan kewenangan Mukim dalam mengatur dan mengelola hutannya, yang dinamakan dengan “uteun mukim” sebagai “Hak Kullah” mereka. Maksud “Hak Kullah” ini adalah hak ulayat karena “Poe teu Allah” (milik Allah).

Dengan mengacu pada konsep d e m i k i a n , m a k a p e n g e l o l a a n sumberdaya alam secara berkelanjutan

(11)

kerajaan, atas sekalian geuchik-geuchik masing-masing kampung beserta tuha peut dan imam rawatib (Imuem meunasah, pen) dengan wakil geuchik, jumlah tujuh orang pada tiap-tiap kampung, berhak memilih imam (imuem) mukim. Sebab karena tiap-tiap satu mukim itu satu mesjid jumaat didirikan, dengan ijmak mufakat ulama Ahli Sunnah wal Jamaah. Maka tiap-tiap satu mukim[,] ada yang lima meunasah [,] dan ada yang tujuh meunasah[,] dan ada yang delapan meunasah [,] dan sekurang-kurangnya tiga meunasah menurut 'uruf tempatnya masing-masing.

Dari aspek jumlah penduduk, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut angka fantastis, yakni satu desa di Sumatera minimal 4.000 jiwa (800 Kepala K e l u a r g a ) . S e b e l u m n y a m e l a l u i Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 28 Tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk calon desa pemekaran untuk wilayah sumatera minimal 1.000 jiwa saja (200 KK). Dengan demikian, bila dalam satu Mukim bisa dua gampong, maka sekarang ini minimal 8.000 jiwa, dan angka sulit dicapai di Aceh.

Mengenai daerah yang memiliki permasalahan dengan batas, dalam konteks batas mukim dapat diselesaikan dengan dua cara, yakni: Pertama, konsep p e n y e l e s a i a n d e n g a n m e n g i k u t i pengaturan dari atas, sebagaimana dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Kedua, pengaturan dari bawah, sebagaimana ditegaskan melalui Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 tentang batas desa. Logika yang kedua menjadi lebih mudah, asal saja yang

masuk dalam wilayah mukim tertentu sudah jelas jumlah gampongnya. Maka batas mukim ditentukan dengan batas dari gampong yang menjadi bagian dari mukim.

Sementara terkait dengan proses penegasan batas daerah dilakukan oleh tim yang dipimpin Bupati/Walikota atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, Sekretaris Daerah (Wakil Ketua), dengan anggota masing-masing: (1) Asisten yang membidangi urusan pemerintahan; (2) Kepala Bagian yang membidangi pemerintahan; (3) Kepala Bagian Hukum; Kepala SKPD yang membidangi urusan perencanaan pembangunan daerah; (4) Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional; dan (5) Pejabat dari Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait lainnya (Pasal 19).

Prosesnya dilakukan melalui serangkaian langkah, dimulai Ketua Tim PBD dapat menugaskan wakil ketua dan/atau anggota Tim PBD atau Pejabat y a n g d i t u n j u k a t a u d i t u g a s k a n menghadiri kegiatan penegasan batas daerah. Wakil ketua dan/atau anggota Tim PBD atau Pejabat yang ditunjuk atau ditugaskan berwenang dan bertang-gungjawab menandatangani Berita Acara dalam setiap tahapan kegiatan penegasan batas daerah (Pasal 21).

Sementara dalam Permendagri batas Desa Nomor 27 Tahun 2006 disebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, berdasarkan asal usul dan adat yang diakui dalam NKRI.

Dalam hal ini, batas merupakan batas teritorial/yurisdiksi pemisah penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan desa yang berbeda dengan desa lainnya. Untuk hal tersebut, diperlukan penetapan dan penegasan terhadap batas-batas.

Sebagai teritori gabungan dari gampong, maka penjelasan di atas pada dasarnya menggambarkan bahwa Mukim merupakan teritorial kekuasaan (administrasi pemerintahan). Konse-kuensinya adalah areal yang ada di dalamnya mengikuti apa yang diatur dalam konsep teritorial administrasi kekuasaan tersebut.

3. M O D E L D A N A R A H P E N G A T U R A N P E R A T U R A N TATA BATAS

Dengan mengacu pada Qanun Mukim Aceh Barat, ada satu hal yang seyogianya ditindaklanjuti adalah mengenai penegasan tata batas mukim yang harus ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati. Dalam Qanun Aceh Barat ditentukan bahwa pengaturan tata batas bisa dilakukan beriringan dengan inventarisasi dan pendaftaran harta kekayaan mukim.

Dengan asumsi demikian, maka dua pertanyaan penting yang muncul adalah: Pertama, apakah dengan menafsirkan Mukim sebatas sebagai lembaga adat, maka dapatkah mukim mengelola sumber daya alam? Kedua, sejauh mana para Imuem Mukim sesungguhnya menyadari dari posisi Mukim tidak semata-mata sebagai l e m b a g a a d a t ? S e h i n g g a k e t i k a melakukan berbagai kegiatannya, mereka mengetahui kewenangan secara m e n y e l u r u h , d e n g a n d e m i k i a n m e m a h a m i a p a y a n g m e s t i diperjuangkan?

Dari dua pertanyaan penting

tersebut, diharapkan akan muncul pemahaman mengenai pentingnya pengaturan kepemilikan bersama dalam pengelolaan sumberdaya alam pada tingkat Mukim. Pengaturan tersebut diharapkan akan menjawab harapan kesejahteraan di satu pihak, dan jaminan keberlanjutan di pihak yang lain.

Konsep pengaturan demikian, harus mengkonkretkan hak dan t a n g g u n g j a w a b M u k i m d a l a m pengelolaan, pemanfaatan, dan mem-proteksi sumberdaya alam yang ada pada tingkat Mukim.

Namun konsep demikian bukan tanpa tantangan. Penguatan tata kelola sumberdaya alam pada tingkat mukim harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami bahwa perlu melakukan perubahan pengelolaan dan tahu akan perlu melakukan pengelolaan tersebut.

D e n g a n s e j a r a h p a n j a n g , keberadaan Mukim sebagai lembaga pemerintahan kini terulang lagi. Van Vollenhoven dan C. Snouck Hurgronje sebagai dua sosok penting Belanda, mengakui Mukim sebagai lembaga yang k h a s A c e h y a n g b e r k u a s a a t a s wilayahnya, baik laut maupun darat. Pengelolaan atas apa yang di laut dan di darat tersebut sudah dilakukan sejak masa itu. Pada masa itu telah ada kekuasaan dan kewenangan Mukim dalam mengatur dan mengelola hutannya, yang dinamakan dengan “uteun mukim” sebagai “Hak Kullah” mereka. Maksud “Hak Kullah” ini adalah hak ulayat karena “Poe teu Allah” (milik Allah).

Dengan mengacu pada konsep d e m i k i a n , m a k a p e n g e l o l a a n sumberdaya alam secara berkelanjutan

(12)

dan berwawasan lingkungan selaras bagi Mukim yang berkepentingan terhadap sumberdaya alamnya, karena mereka di samping sebagai penerima manfaat pertama, sekaligus mereka juga akan menjadi korban pertama jika alamnya rusak. Mereka memiliki kearifan tradisonal dalam pengelolaan hutan, mulai dari bagaimana memilih lokasi lahan, dimana letak ideal bangunan dalam hutan dapat didirikan, anjuran dan pantangan apa yang harus mereka patuhi. Mereka telah memiliki larangan mendirikan bangunan pada koridor satwa. Semua itu, dibawah koordinasi Imeum Mukim yang dilaksanakan oleh “pangima uteun” atau “pawang glee”.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sejumlah hal yang seyogianya terakomodir dalam Peraturan Mukim t e n t a n g T a t a B a t a s M u k i m d a n Inventarisasi Harta Kekayaan Mukim, adalah sebagai berikut: Pertama, pertimbangan lahirnya Peraturan Bupati ini jelas memiliki dasar yuridis yang jelas, y a n g d i j a d i k a n s e b a g a i d a s a r kewenangan pengaturan Peraturan Bupati.

Kedua, dasar hukum yang dapat d i j a d i k a n l a n d a s a n , s e t i d a k n y a mencakup: (1) domain pemerintahan; (2) domain pengelolaan sumberdaya alam; (3) domain tata ruang; (4) domain adat; dan (5) domain penyelesaian sengketa.

Ketiga, ketentuan umum, berisikan pengertian-pengertian peristilahan yang digunakan dalam Peraturan Bupati ini. Dalam ketentuan ini, berbagai istilah yang digunakan harus dijelaskan untuk dapat dimengerti.

Keempat, asas-asas dan tujuan berisikan prinsip-prinsip dasar dan tujuan pengaturan Peraturan Bupati.

Asas-asas yang dimaksudkan sebagai akar dasar dalam pengaturan hukum secara konfrehensif.

Kelima, terdapat paling tidak, sembilan bab pengaturan, yang akan menjadi isi dari peraturan ini. Bab Pertama mengenai penegasan batas. Dalam bab ini, pengaturan batas penting d i a t u r b e r k a i t a n d e n g a n u p a y a menghindari konflik dan semacamnya. Dalam bab ini turut dimasukkan konsep hukum adat dalam pengaturan dan penyelesaian masalah batas. Proses penetapan batas dilakukan secara partisipatif oleh para Imum Mukim dan Tuha Lapan dalam suatu kawasan. Setelah adanya penegasan batas, lalu dilakukan pengukuhan batas melalui Keputusan Bupati.

Bab Kedua, mengenai wilayah kelola kekayaan Mukim. Hasil dari penetapan batas, merupakan kawasan yang menjadi wilayah kelola kekayaan Mukim. Mekanisme penentuannya menggunakan batas alam dipadukan dengan alat-alat teknologi penentu batas kartometrik [ilmu pemetaan] dan GIS [Geografi Informasi Sistem]).

Bab Ketiga, mengenai invetarisir harta kekayaan. Dalam bab ini diatur m e n g e n a i k e h a r u s a n d a n p r o s e s melakukan inventarisir harta kekayaan Mukim. Di samping itu, ada penegasan bahwa yang melakukan inventarisir h a r t a k e k a y a a n M u k i m a d a l a h P e m e r i n t a h a n M u k i m b e r s a m a Pemerintahan Gampong dalam Mukim yang bersangkutan. Dalam bab ini, juga ada proses legalisasi atau verifikasi oleh Bupati.

Bab Keempat mengenai partisipasi masyarakat. Dalam penegasan batas, melibatkan Keusyik yang menjadi

gabungan Mukim, bersama Keusyik dan Mukim yang berbatasan. Sementara untuk proses penegasan batas Mukim yang berbatasan dengan kabupaten lain, melibatkan para camat kabupaten bersebelahan, melalui koordinasi antar Bupati.

Bab Kelima mengenai pendanaan. Dalam bab ini diatur mengenai kewajiban Pemerintahan Kabupaten membiayai program Tata Batas Mukim dan Inventarisasi Harta Kekayaan Mukim, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Barat dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat.

B a b K e e n a m m e n g e n a i p e n y e l e s a i a n s e n g k e t a . B a b i n i m e n e n t u k a n k o n s e p p e n g a t u r a n penyelesaian masalah, apabila dalam p r o s e s T a t a B a t a s M u k i m d a n Inventarisasi Harta Kekayaan Mukim tersebut muncul sengketa. Dalam penyelesaian sengketa, melibatkan berbagai stakeholders.

B a b K e t u j u h m e n g e n a i kelembagaan dan pejabat penyelesaian sengketa batas. Dalam bab ini, ditegaskan mengenai pentingnya sebuah tim yang memiliki fungsi, tugas pokok, dan wewenang: (1) penyelesaian sengketa batas, (2) melakukan sosialisasi, dan (3) memfasilitasi mukim serta memberikan jaminan bahwa mukim masuk dalam RTRW Kabupaten. Unsur tim yang harus terlibat dalam penyelesaian sengketa b a t a s , a d a l a h : ( 1 ) P e j a b a t y a n g menangani pembinaan pemerintahan (Asisten I); (2) Pejabat yang menangani bagian hukum (Bagian Hukum Setda); (3) Pejabat yang membidangi tanah (BPN); (4) Pejabat yang membidangi tata ruang (Bappeda); (5) Pejabat dari Satuan Kerja

Perangkat Daerah terkait lainnya (Dinas Kehutanan; Dinas Kelautan dan Perikanan, dll); Selain pejabat tersebut, proses penyelesaian sengkata juga melibatkan partisipasi dari Imuem Mukim, Tuha Lapan, dan Keusyik dalam Mukim ybs.

Bab delapan mengenai aturan Peralihan. Dalam bab ini diatur bahwa harta kekayaan mukim dapat saja berada dalam wilayah kemukiman lain, penegasan dan pengukuhan harta kekayaan mukim didalam wilayah kemukiman lain merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Bupati ini.

Bab sembilan penutup. Dalam bab ini, ditegaskan bahwa Peraturan Bupati berlaku sejak tanggal disahkan, dan diperintahkan untuk diundangkan dalam Lembaran Kabupaten.

C. PENUTUP

Sejak era reformasi beberapa Undang-undang dikeluarkan oleh p e m e r i n t a h u n t u k m e n g a t u r pemerintahan Mukim di Aceh, mulai dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Khusus Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 menjadi dasar dalam pembentukan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan Mukim.

Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, posisi mukim harus diatur oleh Qanun Kabupaten/ Kota. Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu kabupaten yang sudah memiliki qanun tersebut. Dengan demikian sejumlah hal yang harus ditindaklanjuti sudah diatur.

Berdasarkan qanun tersebut, menjadi sangat penting kemudian

Referensi

Dokumen terkait

Setelah selesai dibuat dilakukan preview (evaluasi) media, untuk melihat apakah yang dibuat benar-benar sudah sesuai dengan perencanaan yang ada pada naskah, serta efektif untuk

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012, tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik (Berita Negara Republik Indonesia

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan termasuk memelihara yang mencakup aspek tempat tempat penyimpanan (Instalasi Farmasi atau gudang ), barang dan

Aktivitas kendaraan pada Area Sukun dan Terminal Terboyo yang menghasilkan emisi terjadi pada saat hot start dan cold start, kendaraan bergerak, ketika waktu

Dalam konsep perangan hotel kapsul, didesain dari lantai 2 hingga lantai 8 merupakan fungsi hunian, namun untuk memodifikasi hal yang desain monoton, maka desain di buat dengan

Venting system, yaitu suatu alat instrumentasi yang berfungsi sebagai alat keselamatan, yang mana mutlak harus di install atau dipasang dibagian atas dari bejana tekan, alat ini

Berbeda dengan kedua narasumber di atas, seorang mahasiswi semester dua kelas A2, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Ramadhani Periko Putri berpendapat bahwa bentuk

Untuk menghitung derajat keanggotaan sudut topografi digunakan bentuk fungsi keanggotaan segitiga seperti terlihat pada Gambar 15 (dengan R melambangkan fungsi