• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kompensasi

Anthony dan Govindarajan (2005:249) mengemukakan bahwa:

“setiap organisasi memiliki tujuan. Suatu peranan penting dari sistem pengendalian manajemen adalah untuk memotivasi para anggota organisasi untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang paling efektif untuk memotivasi para anggota organisasi adalah dengan memberikan kompensasi atau insentif kepada mereka. Manajer biasanya melakukan usaha yang lebih besar untuk aktivitas yang dihargai dan lebih sedikit untuk aktivitas-aktivitas yang tidak dihargai.”

Robbins (1996:246) mengemukakan:

“kompensasi yang mengandung pengertian yang sama dengan upah variabel yaitu bagian dari upah seseorang karyawan yang didasarkan pada suatu ukuran kinerja individual atau organisasi. Upah variabel tersebut terdiri dari upah berdasarkan potongan, bonus, berbagai laba dan berbagai hasil.”

Sementara itu Luthans (1992:147) mengungkapkan :

“Incentive, at the end of the motivation cycle is the incentives defined as anything that will alleviate a need and reduce a drive, thus attaining an incentive will tend to restore physiological and physiological balance and will reduce or cut off the drive. Eating food, drinking water, and obtaining friends will tend to restore the balance and reduce the corresponding drivers, food, water, and friends are the incentives in these examples.”

(2)

Yang berarti bahwa kompensasi pada akhir daur motivasi didefinisikan sebagai segala sesuatu yang akan meringankan kebutuhan dan mengurangi gerakan, dengan demikian pencapaian kompensasi akan menuju kepada perbaikan keseimbangan fisiologis dan psikologis dan akan mengurangi atau menghilangkan gerakan. Memakan makanan, meminum air, dan memperoleh teman akan menuju kepada perbaikan keseimbangan dan mengurangi penyesuaian gerakan, makan, air, dan teman adalah kompensasi dari contoh – contoh diatas.

2.1.1. Jenis-Jenis Kompensasi

Mulyadi (2004) menggolongkan penghargaan ke dalam dua kelompok, yaitu:

“Penghargaan intrinsik berupa rasa puas diri yang diperoleh seseorang yang telah berhasil menyelesikan pekerjaannya dengan baik dan telah mencapai sasaran tertentu, misalnya dengan penambahan tanggung jawab, pengayaan pekerjaan (job enrichment) dan usaha lain yang meningkatkan harga diri sesorang dan yang mendorong orang untuk menjadi yang terbaik. Penghargaan ekstrinsik terdiri dari kompensasi yang diberikan kepada karyawan baik berupa kompensasi finansial seperti gaji, honorarium dan bonus, penghargaan tidak langsung seperti asuransi kecelakaan, honorarium liburan dan tunjangan masa sakit serta penghargaan non keuangan berupa ruang kerja yang memiliki lokasi istimewa, peralatan kantor yang istimewa, tempat parkir khusus, gelar istimewa dan sekretaris pribadi.”

Sementara Michael dan Harold dalam Murty dan Hudiwinarsih (2012) membagi kompensasi dalam tiga bentuk, yaitu material, sosial dan aktivitas.

1. Kompensasi material, tidak hanya berbentuk uang, seperti gaji, bonus, dan komisi, melainkan segala bentuk penguat fisik (phisical reinforcer), misalnya fasilitas parkir, telepon dan ruang kantor yang nyaman, serta berbagai macam bentuk tunjangan misalnya pensiun, asuransi kesehatan.

2. Kompensasi sosial, berhubungan erat dengan kebutuhan berinteraksi dengan orang lain. Bentuk kompensasi ini misalnya status, pengakuan sebagai ahli di

(3)

bidangnya, penghargaan atas prestasi, promosi, kepastian masa jabatan, rekreasi, pembentukan kelompok – kelompok pengambilan keputusan, dan kelompok khusus yang dibentuk untuk memecahkan permasalahan perusahaan.

3. Kompensasi aktivitas, merupakan kompensasi yang mampu mengkompensasikan aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukainya dengan memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas tertentu. Bentuk kompensasi aktivitas dapat berupa “kekuasaan” yang dimiliki seorang karyawan untuk melakukan aktivitas di luar pekerjaan rutinnya sehingga tidak timbul kebosanan kerja, pendelegasian wewenang, tanggung jawab (otonomi), partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta training pengembangan kepribadian.

Mondy et al., (1993:442-443) mengemukakan bahwa bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Financial Compensation

a. Direct Financial Compensation

Direct financial compensation consists of the pay that a person receives in the form of wages, salaries, bonuses, and commissions.

b. Indirect Financial Compensation

Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included in direct compensation. This form of compensation includes a wide variety of rewards that are normally received indirectly by the employee. This form of compensation includes:

1. Insurance plans : life, health, surgical, dental, casualty, etc.

2. Social assistance benefits : retirement plans, social security, workers’ compensation, educational assistance, employee services.

3. Paid absences : vacations, holidays, sick leave, etc.

2. Nonfinancial Compensation

Nonfinancial compensation consists of the satisfaction that a person receives from the job itself or from the psychological and/or physical environment in which the person works. This type of nonfinancial compensation consists of the satisfaction received from performing meaningful job-related tasks. This form of nonfinancial compensation involves the psychological and/or physical environment in which the person works. This form of compensation includes : a. The Job : interesting duties, challenge, responsibility, opportunity for

(4)

b. Job environment : sound policies, competent supervision, congenial coworkers, appropriate status symbols, comfortable working conditions, flextime, compressed workweek, job sharing, cafeteria compensation, telecommuting.

2.1.2. Kepuasan Terhadap Kompensasi

Meskipun kompensasi bukan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan karyawan, akan tetapi diyakini bahwa kompensasi merupakan salah satu faktor penentu dalam menimbulkan kepuasan karyawan yang tentu saja akan memotivasi karyawan untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Jika karyawan merasa bahwa usahanya akan dihargai dan jika perusahaan menerapkan sistem kompensasi yang dikaitkan dengan evaluasi pekerjaan, maka perusahaaan telah mengoptimalkan motivasi. Djati dan Khusaini (2003) menyatakan bahwa kompensasi dapat berperan meningkatkan prestasi kerja dan kepuasan karyawan jika kompensasi dirasakan :

1. Layak dengan kemampuan dan produktivitas pekerja. 2. Berkaitan dengan prestasi kerja

3. Menyesuaikan dengan kebutuhan individu

Lebih lanjut Djati dan Khusaini (2003) menyebutkan bahwa Ada beberapa penyebab dari kepuasan dan ketidakpuasan karyawan atas kompensasi yang mereka terima, yaitu:

1. Kepuasan individu terhadap kompensasi berkaitan dengan harapan dan kenyataan terhadap sistem kompensasi. Kompensasi yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan, apabila kompensasi yang diterima terlalu kecil jika dibandingkan dengan harapannya.

(5)

2. Kepuasan dan ketidakpuasan karyawan akan kompensasi juga timbul karena karyawan membandingkan dengan karyawan lain di bidang pekerjaan dan organisaasi sejenis. Rasa ketidakpuasan akan semakin muncul manakala atasan mereka bersifat tidak adil dalam memperlakukan bawahan serta memberikan wewenang yang berbeda untuk karyawan dengan level jabatan yang sama.

3. Karyawan sering salah persepsi terhadap sistem kompensasi yang diterapkan perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan tidak mengkomunikasikan informasi yang akurat mengenai kompensasi dan tidak mengetahui jenis kompensasi yang dibutuhkan oleh karyawan.

4. Kepuasan dan ketidakpuasan akan kompensasi juga tergantung pada variasi dari kompensasi itu sendiri. Kompensasi tersebut mempunyai fungsi yang berbeda sehingga kombinasi variasi kompensasi yang baik akan memenuhi kebutuhan dan kepuasan karyawan.

2.2. Pengertian Motivasi

Kondalkar (2007) dalam Apriwandi (2013) mengungkapkan bahwa

motivasi adalah “nafsu mendalam yang disebabkan oleh kebutuhan, keinginan dan hasrat yang mendorong seorang individual untuk menggunakan kekuatan fisik dan mental untuk mencapai tujuan.” Sementara Latham dan Pinder (2005) dalam

Apriwandi (2013) menyatakan bahwa:

“motivasi merupakan proses psikologikal yang berasal dari interaksi antara individu dan lingkungannya. Manager menciptakan situasi mendorong karyawan melakukan aktivitas yang mungkin memotivasi mereka untuk mencapai tujuan.”

2.2.1. Teori Motivasi

Ada dua kelompok kajian dalam studi organisasi yang berkenaan dengan teori motivasi (Steers et al., 1996), yaitu teori-teori isi (content theories) dan teori-teori proses (process theories).

(6)

Teori-teori isi dalam motivasi kerja berasumsi bahwa faktor berada di dalam diri individu, yang memacu, mengarahkan dan memantapkan perilaku seperti hirarki kebutuhan Maslow, teori ERG-Alderfer, teori hygiene-motivation Herzberg dan teori kebutuhan McClelland. Sedangkan teori-teori proses motivasi menjelaskan bagaimana perilaku individu dipacu, diarahkan dan dimantapkan, seperti teori keadilan (equity theory), teori penetapan tujuan (goalsetting theory), dan teori ekspektansi (expectancy theory).

2.2.1.1.Teori Ekspektansi (Expectancy Theory)

Teori Harapan/Teori Ekspektansi (Expectancy Theory of motivation) dikemukakan oleh Victor H. Vroom pada tahun 1964. Vroom lebih menekankan pada faktor hasil (outcomes), dibanding kebutuhan (needs) seperti yang dikemukakan oleh Maslow and Herzberg. Tiga asumsi pokok Vroom dari teorinya adalah sebagai berikut :

1. Setiap individu percaya bahwa bila ia berprilaku dengan cara tertentu, ia akan memperoleh hal tertentu. Ini disebut sebuah harapan hasil (outcome expectancy) sebagai penilaian subjektif seseorang atas kemungkinan bahwa suatu hasil tertentu akan muncul dari tindakan orang tersebut.

2. Setiap hasil mempunyai nilai, atau daya tarik bagi orang tertentu. Ini disebut valensi (valence) sebagai nilai yang orang berikan kepada suatu hasil yang diharapkan.

3. Setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit mencapai hasil tersebut. Ini disebut harapan usaha (effort expectancy) sebagai kemungkinan bahwa usaha seseorang akan menghasilkan pencapaian suatu tujuan tertentu.

(7)

Teori ini menyatakan bahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu.

Vroom dalam Koontz (1990) mengemukakan bahwa “orang-orang akan termotivasi untuk melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.” Teori harapan ini didasarkan atas :

Harapan (Expectancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena perilaku atau suatu penilaian bahwa kemungkinan sebuah upaya akan menyebabkan kinerja yang diharapkan.

Nilai (Valence) adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat tertentu (daya/nilai motivasi) bagi setiap individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, Valence merupakan hasil dari seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan/ signifikansi yang dikaitkan oleh individu tentang hasil yang diharapkan.

Pertautan (Instrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama ekspektansi merupakan sesuatu yang ada dalam diri individu yang terjadi karena adanya keinginan untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan atau keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan.

(8)

Ekspektansi merupakan salah satu penggerak yang mendasari seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Karena dengan adanya usaha yang keras tersebut, maka hasil yang didapat akan sesuai dengan tujuan. Dalam teori ini disebutkan bahwa seseorang akan memaksimalkan sesuatu yang menguntungkan dan meminimalkan sesuatu yang merugikan bagi pencapaian tujuan akhirnya.

Expectancy Theory berasumsi bahwa seseorang mempunyai keinginan untuk menghasilkan suatu karya pada waktu tertentu tergantung pada tujuan-tujuan khusus orang yang bersangkutan dan juga pemahaman seseorang tersebut tentang nilai suatu prestasi kerja sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Ini adalah kepuasan yang diharapkan dan tidak aktual bahwa seorang karyawan mengharapkan untuk menerima setelah mencapai tujuan. Harapan adalah keyakinan bahwa upaya yang lebih baik akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Harapan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepemilikan keterampilan yang sesuai untuk melakukan pekerjaan, ketersediaan sumber daya yang tepat, ketersediaan informasi penting dan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Notasi matematis Expectancy Theory adalah :

M = [ ( E – P ) ] [( P – O ) V ]

Keterangan :

M = Motivasi (Motivation) E = Pengharapan (Expectation) P = Prestasi (Performance)

(9)

O = Hasil (Outcome) V = Penilaian (Value)

Jadi harapan seseorang mewakili keyakinan seorang individu bahwa tingkat upaya tertentu akan diikuti oleh suatu tingkat kinerja tertentu. Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Pinder (1948) dalam bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat harapan atau ekspektansi seseorang yaitu :

a. Harga diri

b. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas

c. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan d. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas e. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja

2.3. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi sering dikaitkan dengan keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Berikut ini adalah beberapa definisi komitmen organisasi menurut para ahli (Sopiah, 2008 : 155-157) :

1. Robbins

Komitmen organisasional adalah suatu sikap merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap organisasi.

2. Mowday

Komitmen organisasi merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasi merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan angota organisasi untuk tetap

(10)

mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi.

3. Steers dan Porter

Suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan.

4. Newstroom

Komitmen organisasi ditandai oleh tiga hal, yaitu :

 Adanya rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.

 Adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh – sungguh demi organisasi.

 Adanya hasrat yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam suatu organisasi.

2.3.1. Dimensi Komitmen Organisasi

Dimensi komitmen organisasi yang paling sering digunakan oleh para peneliti adalah dimensi komitmen organisasi menurut Meyer, Allen dan Smith dalam

Greenberg dan Baron (2008) yaitu :

1.Komitmen afektif (Affective commitment)

Komitmen ini mengacu pada hubungan emosional anggota terhadap organisasi. Orang-orang ingin terus bekerja untuk organisasi tersebut karena mereka sependapat dengan tujuan dan nilai dalam organisasi tersebut. Orang-orang dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi memiliki keinginan untuk tetap berada di organisasi karena mereka mendukung tujuan dari organisasi tersebut dan bersedia membantu untuk mencapai tujuan tersebut.

2.Komitmen Berkelanjutan (Continuance commitment)

Komitmen ini mengacu pada keinginan karyawan untuk tetap tinggal diorganisasi tersebut karena adanya perhitungan atau analisis tentang untung dan rugi dimana nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Semakin lama karyawan tinggal dengan organisasi mereka, semakin mereka takut kehilangan apa yang telah mereka investasikan di dalam organisasi selama ini.

(11)

3.Komitmen Normatif (Normative commitment)

Komitmen ini mengacu pada perasaan karyawan dimana mereka diwajibkan untuk tetap berada di organisasinya karena adanya tekanan dari yang lain. Karyawan yang memiliki tingkat komitmen normatif yang tinggi akan sangat memperhatikan apa yang dikatakan orang lain tentang mereka jika mereka meninggalkan organisasi tersebut. Mereka tidak ingin mengecewakan atasan mereka dan khawatir jika rekan kerja mereka berpikir buruk terhadap mereka karena pengunduran diri tersebut. Affective commitment memiliki hubungan yang lebih erat dengan hasil – hasil organisasi seperti kinerja dan perputaran karyawan bila dibandingkan dengan dua dimensi komitmen lain. Suatu penelitian menemukan bahwa affective commitment adalah pemprediksi berbagai hasil (persepsi karakteristik tugas,kepuasan karier, niat untuk pindah) dalam 72 % kasus, dibandingkan dengan hanya 36 % untuk normative commitment dan 7 % untuk continuance commitment. Hasil yang lemah untuk continuance commitment adalah masuk akal karena jika dibandingkan dengan kesetiaan (affective commitment) atau kewajiban (normative commitment), continuance commitment mendeskripsikan seorang karyawan yang terikat dengan seorang pemberi kerja hanya karena tidak ada hal lain yang lebih baik

(Robbins, 2008 : 103). Sebuah penelitian menarik dari Randall, Fedor, dan Longenecker (1990) yang menelliti karyawan pada sebuah perusahaan

manufaktur. Mereka menemukan bahwa organisasi komitmen tidak berpengaruh terhadap keinginan untuk pindah.

2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Komitmen karyawan terhadap organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain (McShane dan Glinow, 2000 :

209-210) :

1. Keadilan dan Kepuasan Kerja

Hal yang paling mempengaruhi loyalitas karyawan adalah pengalaman kerja yang positif dan adil. Komitmen organisasi tampaknya sulit dicapai ketika karyawan menghadapi beban kerja yang meningkat di perusahaan tetapi profit yang didapatkan oleh perusahaan hanya dinikmati oleh manajer tingkat atas.

(12)

Oleh karena itu, perusahaan dapat membangun komitmen organisasi dengan berbagi keuntungan yang diperoleh perusahaan kepada karyawan.

2. Keamanan Kerja

Karyawan membutuhkan hubungan kerja yang saling timbal balik dengan perusahaan. Keamanan kerja harus diperhatikan untuk memelihara hubungan dimana karyawan percaya usaha mereka akan dihargai. Di sisi lain, ketidakamanan kerja mengakibatkan hubungan kontrak yang lebih formal tetapi dengan hubungan timbal balik yang rendah. Tidak mengherankan jika ancaman PHK adalah salah satu pukulan terbesar bagi loyalitas karyawan, bahkan diantara mereka yang perkerjaannya tidak beresiko.

3. Pemahaman Organisasi

Affective commitment adalah identifikasi secara perorangan terhadap organisasi, jadi masuk akal jika sikap ini akan menguat ketika karyawan memiliki pemahaman yang kuat tentang perusahaan. Karyawan secara rutin harus diberikan informasi mengenai kegiatan perusahaan dan pengalaman pribadi dari bagian lain. Seorang eksekutif dari American Fence Corp.memperingatkan, “Ketika orang-orang tidak mengetahui apa yang terjadi diorganisasinya, mereka akan merasa tidak nyambung.”

4. Keterlibatan Karyawan

Karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi ketika mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan perusahaan. Melalui partisipasi ini, karyawan mulai melihat perusahaan sebagai refleksi dari keputusan mereka. Keterlibatan karyawan juga membangun loyalitas karena dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan berarti perusahaan mempercayai karyawannya

5. Kepercayaan Karyawan

Kepercayaan berarti yakin pada seseorang atau kelompok. Kepecayaan juga merupakan sebuah aktivitas timbal balik. Untuk memperoleh kepercayaan, kamu harus menunjukkan kepercayaan. Kepercayaan penting untuk komitmen organisasi karena menyentuh jantung dari hubungan kerja. Karyawan merasa wajib bekerja untuk perusahaan hanya ketika mereka mempercayai pemimpin mereka.

(13)

2.4. Kinerja

Kinerja didefinisikan sebagai “the extent of actual work performed by individual“ atau sampai sejauh mana kerja aktual yang diperlihatkan oleh seorang individu (Shore, 1990). Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Robbins (1998) menyatakan bahwa “kinerja karyawan adalah sebagai fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi.”

As’ad (2003) mengutip dua buah pendapat tentang kinerja:

“Yang pertama adalah pandangan dari Meyer yang memberi batasan bahwa kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan, pandangan yang kedua adalah dari Lawler dan Porter, yang menyatakan kinerja adalah “ succesfull role achievement “ yang diperoleh seseorang dari perbuatannya.”

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kinerja dipandang sebagai hasil yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Berhasil tidaknya kinerja yang telah dicapai oleh organisasi dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari karyawan secara individu maupun kelompok, dimana kinerja diukur dengan instrument yang dikembangkan dalam studi yang tergantung dengan ukuran kinerja secara umum, kemudian diterjemahkan kedalam penilaian perilaku secara mendasar yang dapat meliputi berbagai hal, yaitu : kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil dalam melakukan pekerjaan dan deskripsi pekerjaan.

(14)

2.4.1. Pengukuran Kinerja

“Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran.” (Whittaker, 1993). Sedangkan menurut Junaedi (2002 : 380-381) “Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer perusahaan menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur keuangan dan non keuangan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.

2.4.2. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja

Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah

(15)

ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan (Mulyadi &

Setyawan 1999: 227).

Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah untuk (Gordon,

1993 : 36) :

1. Meningkatkan motivasi karyawan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi.

2. Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kinerja masing-masing karyawan.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan sebagai dasar untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan dan pengembangan karyawan.

4. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan, seperti produksi, transfer dan pemberhentian.

Sementara itu manfaat sistem pengukuran kinerja adalah (Mulyadi &

Setyawan, 1999: 212-225):

1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh personil terlibat dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan.

2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal.

3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut.

4. Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih kongkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran perusahaan.

2.4.3. Sistem Pengukuran Kinerja

Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih

(16)

disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur kinerja, pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu yang telah ditetapkan.

Menurut Cascio (2003: 336-337), kriteria sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:

1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian.

2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem penilaian kinerja dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.

3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.

4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.

5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.

Pendapat senada dikemukakan oleh Noe et al (2003: 332-335), bahwa kriteria sistem pengukuran kinerja yang efektif terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut:

1. Mempunyai Keterkaitan yang Strategis (strategic congruence). Suatu pengukuran kinerja dikatakan mempunyai keterkaitan yang strategis jika sistem pengukuran kinerjanya menggambarkan atau berkaitan dengan tujuan-tujuan organisasi. Sebagai contoh, jika organisasi tersebut menekankan pada pentingnya pelayanan pada pelanggan, maka pengukuran kinerja yang digunakan harus mampu menilai seberapa jauh pegawai melakukan pelayanan terhadap pelanggannya.

(17)

2. Validitas (validity). Suatu pengukuran kinerja dikatakan valid apabila hanya mengukur dan menilai aspek-aspek yang relevan dengan kinerja yang diharapkan.

3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi pengukuran kinerja yang digunakan. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas suatu pengukuran kinerja adalah dengan membandingkan dua penilai yang menilai kinerja seorang pegawai. Jika nilai dari kedua penilai tersebut relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut reliabel.

4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya. Hal ini menjadi suatu perhatian serius mengingat sekalipun suatu pengukuran kinerja valid dan reliabel, akan tetapi cukup banyak menghabiskan waktu si penilai, sehingga si penilai tidak nyaman menggunakannya.

5. Spesifisitas (specificity). Spesifisitas adalah batasan-batasan dimana pengukuran kinerja yang diharapkan disampaikan kepada para pegawai sehingga para pegawai memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana cara untuk mencapai kinerja tersebut. Spesifisitas berkaitan erat dengan tujuan strategis dan tujuan pengembangan manajemen kinerja.

Dari pendapat Casio dan Noe et al, ternyata suatu instrumen penilaian kinerja harus didesain sedemikian rupa. Instrumen penilaian kinerja, berdasarkan konsep Casio dan Noe et al, terutama harus berkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh pegawai. Mengingat jenis dan fungsi pegawai dalam suatu organisasi tidak sama, maka nampaknya, tidak ada instrumen yang sama untuk menilai seluruh pegawai dengan berbagai pekerjaan yang berbeda.

2.4.4. Indikator Kinerja

Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada enam indikator, yaitu (Robbins, 2006:260):

(18)

1. Kualitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.

2. Kuantitas. Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.

3. Ketepatan waktu. Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.

4. Efektivitas. Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.

5. Kemandirian. Merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari orang lain atau pengawas.

6. Komitmen Kerja . Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.

2.5. Kerangka Pemikiran

Setiap perusahaan memiliki tujuannya masing – masing. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya yang ada dalam perusahaan khususnya karyawan non manajemen. Namun sejalan dengan hal tersebut karyawan non manajemen pun memiliki kebutuhan yang harus mereka penuhi. Maslow dalam

Edy (2002) mengungkapkan bahwa “seorang individu memiliki kebutuhan

berdasarkan jenjang yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.” Dalam teorinya ia berpendapat bahwa setiap individu pasti mementingkan kebutuhan tingkat dasar terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lainnya yaitu kebutuhan fisiologis seperti sandang, pangan, papan dll.

(19)

Untuk menyelaraskan kedua tujuan tersebut maka diperlukan timbal balik yang diberikan perusahaan kepada karyawan atas jasa yang telah diberikan karyawan kepada perusahaan dalam melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawabnya. Pemberian kompensasi merupakan hal yang paling pokok yang diberikan perusahaan dan tentunya sangat diharapkan oleh karyawan untuk dijadikan alat pemenuhan kebutuhan. Davis dan Werther dalam Sudarsono (2008) menyebutkan “beberapa tujuan dari pemberian kompensasi salah satunya untuk memotivasi karyawan.” Hal tersebut mengindikasikan bahwa kompensasi yang memadai akan meningkatkan motivasi karyawan dalam menjalankan setiap tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sementara Murty dan Hudiwinarsih (2012) menyatakan bahwa “seorang karyawan yang termotivasi akan bersifat energik dan bersemangat dalam mengerjakan tugas – tugas yang diberikan kepadanya.” Hal tersebut menandakan bahwa secara tidak langsung motivasi akan meningkatkan kinerja karyawan.

McShane dan Glinow (2000) menyebutkan bahwa “pemberian kompensasi

merupakan indikator kepuasan kerja yang paling pokok.” Kepuasan kerja nantinya akan mempengaruhi perilaku individu di dalam perusahaan seperti komitmen karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi dirasa penting karena menyangkut pencapaian tujuan perusahaan. Mathis dan Jackson (2001) mengungkapkan definisi komitmen organisasi yaitu “tingkat sampai sejauh mana karyawan merasa yakin dan menerima tujuan organisasi, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi.” Seseorang dengan komitmen organisasi yang tinggi akan berusaha semaksimal mungkin dan mengerahkan kemampuan dalam dirinya demi

(20)

tercapainya tujuan dari perusahaan. Maka dari itu secara tidak langsung kompensasi mempengaruhi kinerja karyawan melalui komitmen organisasi terlebih dahulu.

Berikut adalah gambar paradigma/model penelitian tentang hubungan antara kompensasi, motivasi, komitmen organisasi dan kinerja karyawan non manajemen:

H2 H3 H1 H4a H5a H4b H5b H4c H5c Gambar 2.1 Model Penelitian Komitmen Normatif Kompensasi Motivasi Kinerja Komitmen Afektif Komitmen Berkelanjutan Komitmen Normative

(21)

2.6. Peneliti Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Windy aprilia

Murty dan Gunasti Hudiwinarsih, 2012. The Indonesian Accounting Review.

Pengaruh kompensasi, motivasi, dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan bagian akuntansi (studi kasus pada perusahaan manufaktur di Surabaya)

Penelitian ini menggunnakan nonrandom sample dengan responden sebanyak 32 karyawan bagian akuntansi. Dari hasil uji T menunjukkan bahwa secara parsial kompensasi dan motivasi berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. Sementara komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

2 Arywarti Marganingsih dan Dwi Martani, 2010. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.7

Antesenden komitmen organisasi dan motivasi: konsekuensinya terhadap kinerja auditor intern pemerintah

Penelitian ini memberikan gambaran tentang kondisi nyata yang terdapat dalam APIP LPND terkait faktor yang mungkin mempengaruhi komitmen dan motivasi auditor. Juga apakah variable tersebut berpengaruh pada kinerja auditor. Penelitian ini tidak berhasil

membuktikan bahwa besaran imbalan moneter dapat meningkatkan komitmen dan kinerja auditor. Namun dari komitmen auditor sendiri terbukti meningkatkan motivasi dan juga pendorong utama terjadinya peningkatan kinerja. 3 Endang Suswati

dan arif Budianto, 2013. Proceding Seminar Nasional dan Call For Papers Sancall

Komitmen organisasi sebagai salah satu penentu kinerja pegawai

Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda untuk melihat ada tidaknya pengaruh variable independen affective, continuance dan normative commitment terhadap variable dependen kinerja karyawan. Berdasarkan analisis data, affective commitment dan continuance commitment secara parsial berpengaruh terhadap kinerja pegawai KPP Pratama Malang Utara. Adapun normative commitment menurut hasil penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.

4 Apriwandi, 2013. Proceding Call for Papaers dan Seminar Nasional

Komitmen, self-efficiacy dan motivasi: pengaruh umpan balik dan insentif pada karyawan non

manajemen

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dimana peneliti memanipulasi beberapa variable, mengamati dan mengobservasi efeknya.

Hasilnya menunjukkan bahwa tipe umpan balik tidak signifikan korelasi baik itu antara

komitmen dan self efficiacy. Sementara itu sistem reward mempengaruhi dimensi normative commitment. Serta Continuance dan normative commitement tersebut secara parsial

(22)

mempengaruhi motivasi karyawan. Dan juga dibuktikan bahwa motivasi karyawan mempengaruhi kinerja karyawan. 5 Heri Sudarsono, 2008. Fakultas Ekonomi Universitas Tekhnologi Surabaya

Analisis pengaruh kompensasi terhadap motivasi dan kinerja (studi kasus dosen ekonomi pada perguruan tinggi swasta)

Pada prinsipnya baik kompensasi finansial dan non finansial mempengaruhi motivasi intrinsik. Namun terdapat kontribusi yang kecil yaitu masing – masing 30,13 persen dan 15,87 persen

6 Asriyanti Amrullah, 2012. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanudin Makassar

Pengaruh kompensasi finansial dan nonfinansial terhadap kinerja karyawan PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. wilayah Makassar

Baik secara parsial maupun simultan kompensasi finansial dan nonfinansial mempengaruhi kinerja apabila dilihat dari t hitung yang lebih besar dari t table.

7 Eko Muryanto, 2011. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pengaruh kompensasi terhadap kinerja dengan motivasi sebagai variabel moderating. (studi pada kantor pengawasan dan pelayanan bead an cukai tipe madya se-Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta

Penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana. Hasil penelitiannya kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Namun motivasi tidak mempengaruhi hubungan antara kompensasi dan kinerja pegawai dan bertindak sebagai variable moderasi melainkan bertindak sebagai variable independen. 8 Anandhika Angga Mahennoko, 2011. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Pengaruh motivasi kerja dan

komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai bidang keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Demak

Hasil kesimpulan dari penelitian ini motivasi kerja dan

komitmenorganisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Nilai

koefisien regresi pada variabel komitmen organisasi memiliki kontribusi paling besar daripada nilai variabel motivasi. Angka koefisien determinasi 38,4%

menunjukan secara bersama-sama mempengaruhi kinerja pegawai bidang keuangan. Sedangkan sisanya dapat dijelaskan sebesar 61,6% dijelaskan variabel

(23)

2.7. Hipotesis Penelitian

2.7.1. Hubungan Antara Kompensasi dan Kinerja

Bagi perusahaan, karyawan sangat diperlukan dalam menjalankan dan mencapai tujuan perusahaan. Sebaliknya, bagi karyawan yang memiliki berbagai macam kebutuhan, perusahaan merupakan salah satu tempat untuk dapat memuaskan kebutuhannya. Keduanya menjalin suatu kerja sama yang saling terkait demi keselarasan pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu, agar karyawan senantiasa melaksanakan tugas mereka dengan selalu berupaya tingkat tinggi dan memiliki kinerja yang tinggi, karyawan perlu diberi timbal balik yang memadai berupa kompensasi. Keadilan dalam pemberian kompensasi kepada karyawan tentunya akan meningkatkan kinerja karyawan dalam melaksanakan tugas mereka karena apa yang diharapkan oleh karyawan terpenuhi.

Murty dan Hudiwinarsih (2012) menyatakan dalam hasil penelitiannya

bahwa “kompensasi secara parsial berpengaruh secara tidak signifikan terhadap kinerja karyawan.” Sementara Amrullah (2012) menyatakan bahwa “baik itu kompensasi finansial ataupun non finansial berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.” Konsisten dengan hal tersebut, Muryanto (2011) pun menyebutkan bahwa “kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.” Berdasarkan peneliti diatas maka hipotesis yang peneliti ajukan yaitu:

H1: Kompensasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan non manajemen PT.Ewindo.

(24)

2.7.2. Hubungan Antara Kompensasi dan Motivasi

Kompensasi merupakan segala bentuk timbal balik sebagai balas jasa perusahaan kepada karyawan. Anthony dan Govirandajan (2003) mengungkapkan “kompensasi atau insentif merupakan mekanisme untuk mendorong dan memotivasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.” Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kunci untuk memotivasi orang untuk berperilaku dalam sikap yang memajukan tujuan organisasi terletak pada cara insentif organisasi yang menghubungkan dengan tujuan individu. Imbalan berupa kompensasi merupakan daya tarik bagi karyawan untuk memuaskan kebutuhan mereka.

Davis & Werther (1996) menyebutkan “beberapa tujuan dari pemberian

kompensasi salah satunya adalah untuk memotivasi karyawan.” Sudarsono (2008) mengungkapkan dalam penelitiannya, “kompensasi baik itu secara finansial dan non finansial berpengaruh terhadap motivasi.” Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa

H2: Kompensasi berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi karyawan non manajemen PT.Ewindo.

2.7.3 Hubungan Antara Motivasi dan Kinerja Karyawan

Kondalkar (2007) mengungkapkan bahwa “motivasi adalah nafsu mendalam

(25)

individual untuk menggunakan kekuatan fisik dan mental untuk mencapai tujuan.”

Murty dan Hudiwinarsih (2012) mengungkapkan bahwa

motivasi dapat menyebabkan seseorang berperilaku baik sehingga motivasi yang tinggi berbanding lurus dengan kinerja perusahaan. Selain daripada itu, seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi akan bersifat energik dan bersemangat dalam mengerjakan tugas – tugas yang diberikan kepadanya akibatnya kinerja menjadi tinggi pula.

Konsisten dengan Apriwandi (2013), bahwa “tingginya tingkat motivasi tugas seseorang berhubungan dengan kinerja yang tinggi.” Juga Darke et al (2007) yang menemukan karyawan dengan motivasi tugas yang tinggi akan meningkatkan kinerja mereka. Setiap individu kinerjanya meningkat apabila bentuk bentuk nafsu, kebutuhan dan keinginan mereka terpenuhi. Berdasarkan penelitian diatas maka hipotesis yang diajukan yaitu:

H3: Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan non manajemen PT.Ewindo

2.7.4 Hubungan Antara Kompensasi dan Komitmen Organisasi

Imbalan moneter merupakan salah satu faktor yang mungkin dapat menentukan komitmen seseorang terhadap organisasinya. Suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan

(26)

segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan. Steers dan Porter

dalam Sopiah (2008) mengungkapkan

“Suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan.”

Riedel et al (1988) dalam Breaux (2004) menguji pengaruh imbalan moneter

terhadap komitmen dalam rangka mencapai tujuan organisasi dan kinerja kerja. Hasil penelitian mereka mengindikasikan bahwa seseorang yang menerima imbalan moneter akan memiliki komitmen lebih besar daripada individu yang tidak menerima imbalan moneter. Sementara Apriwandi (2013) dalam penelitiannya membuktikan bahwa “insentif hanya mempengaruhi komitmen normatif, sementara tidak terdapat korelasi yang signifikan antara insentif berbasis kinerja pada komitmen afektif dan berkelanjutan.” Berdasarkan uraian diatas penulis berasumsi bahwa

H4a: Kompensasi berpengaruh secara signifikan terhadap affective commitment karyawan non manajemen PT.Ewindo.

H4b: Kompensasi berpengaruh secara signifikan terhadap continuance commitment karyawan non manajemen PT.Ewindo.

H4c: Kompensasi berpengaruh secara signifikan terhadap normative commitment karyawan non manajemen PT.Ewindo.

(27)

2.7.5 Hubungan Antara Komitmen Organisasi dan Kinerja Karyawan

Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tidak terlepas dari kinerja masing – masing anggotanya. Komitmen yang muncul dalam diri seseoarang membawa dampak sebagai dorongan dan motivasi dalam mencapai tujuan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi akan berupaya semaksimal mungkin agar organisasi tempat ia bernaung selalu berhasil dalam mencapai tujuannya. Dengan kata lain apabila komitmen dari karyawan tinggi maka akan meningkatkan pula kinerjanya.

Sudah banyak sekali peneliti yang melakukan penelitiannya terkait pengaruh komitmen terhadap kinerja. Seperti yang dilakukan oleh Mahennoko (2011) yang menemukan bahwa “komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.” Murty dan Hudiwinarsih (2012) menemukan bahwa “dari hasil uji t menunjukkan bahwa komitmen organisasional secara parsial berpengaruh secara tidak signifikan terhadap kinerja karyawan.” Sementara itu Suswati dan Budianto

(2013) “melihat ada tidaknya pengaruh variable independen affective, continuance

dan normative commitment terhadap variable dependen kinerja karyawan.” Berdasarkan analisis data, affective commitment dan continuance commitment secara parsial berpengaruh terhadap kinerja pegawai KPP Pratama Malang Utara. Adapun normative commitment menurut hasil penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan uraian tersebut, penulis berasumsi:

(28)

H5a: Affective commitment berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan non manajemen PT.Ewindo.

H5b: Continuance commitment berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan non manajemen PT.Ewindo.

H5c: Normative commitment berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan non manajemen PT.Ewindo.

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

merencanakan operasional penyusunan Perjanjian Kinerja, Standar Pelayanan (SP) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) urusan Kepala Bidang Penanganan Masalah

Irfan Prasatya adalah praktisi yang sangat berpengalaman di bidang Leadership, HRD dan Service Excellence selama lebih dari 20 tahun, Berbagai posisi manajerial di

Melihat luasnya cakupan masalah dan keterbatasan waktu, maka penulis membatasi masalah penelitian ini berfokus pada pengaruh persepsi risiko, online customer review

Kegiatan ini dilaksanakan di Mitra 1 Kelompok Ternak Anugrah dan Mitra 2 Kelompok Peternak Makmur, kedua mitra berada di Desa Kerapuh Kecamatan Dolok Masihul

Bahwa pada saat Terdakwa sudah berada diatas kendaraan seluruh anggota diperintahkan turun kembali oleh Dandenpal karena masih ada senjata laras panjang FNC yang

Oleh : R.A .z. Kartini Djauhari Yurisdiksi negara yang berlaku terhadap pelaku penguasaan pesawat udara seeara melawan hukum adalah yurisdiksi dari negara tempat

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa kelas yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi lebih tinggi dari hasil