• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus

fuscoguttatus)

Ikan kerapu (Epinephelus sp) atau dikenal dengan nama dagang groupers merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan berpeluang dipasarkan baik di domestik maupun internasional. Ada beberapa macam ikan kerapu di pasaran, diurut dari nilai ekonomis yang tertinggi, yaitu ikan kerapu lodi, kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu tikus, kerapu bebek dan lainnya. Di pasaran ikan kerapu yang banyak dijumpai adalah jenis ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) (Bahar, 2006).

Ikan kerapu macan dalam perdagangan internasional, dikenal dengan nama

carped cod. Ikan kerapu ini mirip dengan kerapu lumpur, namun ukuran

tubuhnya lebih tinggi dengan noda-noda pada tubuhnya yang lebih rapat dan berwarna gelap. Seluruh tubuh berwarna cokelat kemerahan atau merah, termasuk sirip-siripnya (Murtidjo, 2001). Menurut Andreas dan Soeharmoko (1997), ciri-ciri morfologis dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) bentuknya agak bulat memanjang dan mempunyai ukuran badan lebih tinggi, sirip dada berwarna kemerahan dan sirip lainnya mempunyai tepi kecoklatan. Bentuk dari ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Heemstra dan Randall (1993) sistematika pengklasifikasian ikan kerapu macan adalah:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Family : Serranidae Genus : Epinephelus

(2)

Sumber: www.fishyforum.com (2009)

Gambar 1 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).

2.2 Tingkah Laku Makan Ikan Kerapu

Kerapu merupakan ikan yang bersifat nokturnal. Pada malam hari aktif bergerak di kolom perairan untuk mencari makan sedangkan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang (Valenciennes, 1828). Kemudian Tampubolon dan Mulyadi (1989) yang dikutip oleh Maryati (2004) menyatakan ikan kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif lagi pada waktu fajar dan senja hari. Menurut Indonesia Corel Reef

Foundation (2004), kerapu termasuk ikan jenis crepuscular, yang merupakan ikan

yang aktif di antara waktu siang dan malam hari.

Ikan kerapu termasuk jenis karnivora. Kerapu dewasa memangsa ikan-ikan kecil, kepiting dan udang-udangan, sedangkan pada saat larva memangsa larva moluska (trokofor), rotifera, mikro crustacea, copepoda dan zooplankton. Sebagai ikan karnivor, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken, 1988).

Ikan kerapu biasanya mencari makan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Ikan kerapu juga bersifat kanibalisme jika kekurangan makanan. Kanibalisme biasanya mulai terjadi pada larva berumur 30 hari, dimana pada saat itu cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999 yang dikutip oleh Maryati, 2004)

2.3 Reaksi Penciuman Ikan terhadap Rangsangan Bau

Menarik perhatian ikan dengan menggunakan umpan merupakan cara pertama yang dilakukan manusia untuk menangkap ikan (Gunarso, 1985). Jenis rangsangan untuk menarik perhatian ikan dibagi menjadi lima, yaitu:

(3)

1) Rangsangan kimiawi (chemical stimulating), yaitu rangsangan yang akan merangsang indera penciuman dan perasa;

2) Rangsangan berdasarkan penglihatan (optical stimulating), yaitu rangsangan yang diberikan atau ditimbulkan untuk merangsang penglihatan sebagai akibat dari gerak, bentuk maupun warna;

3) Rangsangan berdasarkan pendengaran (acoustic stimulating), yaitu rangsangan yang diberikan atau ditimbulkan untuk indera pendengaran dan indera peraba atau linea lateris;

4) Rangsangan listrik (electrical stimulating), yaitu memberikan rangsangan pada kemampuan merasakan arus listrik; dan

5) Rangsangan berupa tempat-tempat berlindung untuk mengumpulkan ikan. Dalam perikanan pancing, jenis rangsangan yang paling berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan ikan adalah rangsangan kimia yang berasal dari umpan. Umpan yang baik adalah umpan yang dapat dideteksi oleh ikan pada jarak yang lebih jauh. Rangsangan penglihatan dapat membantu ikan menemukan lokasi umpan.

Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea (Engas dan Lokkerborg, 1994 dikutip oleh Fitri, 2008). Berdasarkan hasil beberapa analisis elektrofisiologi bahwa asam amino merupakan atraktan (stimuli) yang efektif untuk organ penciuman dan rasa pada ikan (Sola dan Tongiorgi, 1998 dikutip oleh Fitri, 2008). Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan atlantik salmon adalah glutamin dan alanin (Caprio, 1982 dikutip oleh Fitri, 2008). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektifitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah alanin, glutamin, lystein dan methionin. Kandungan alanin terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea dan ikan teleostei. Sedangkan untuk arginin terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish reseptor penciuman sangat besar responsnya pada kandungan lystein dan methionin dan pada reseptor rasa sangat besar reseptornya pada kandungan alanin dan arginine masih belum diketahui. Nukkleosid, nukleotid dan tiga jenis asam amino aromatik (phenylalanine, tryptophan dan tyrosan) dan histidin

(4)

diidentifikasi sebagai stimulan makanan (Lokkerberg, 1990 dikutip oleh Fitri, 2008).

Pada ikan cod asam amino yang dapat menstimuli ikan adalah Leusin, metionin, asparagin, glutamin, alanin dan threonin menurut Yacob et al (2004) Menurut Hara (2006) dikutip oleh Fitri (2008) yang asam amino yang dapat menstimuli ikan air tawar adalah sistein, arginin dan glutamin.

2.4 Tingkah Laku Ikan Mendekati Umpan

Tingkah laku ikan adalah suatu gerakan total secara menyeluruh baik gerakan dari dalam maupun dari luar tubuh yang diperagakan dalam bentuk tingkah laku untuk merespons perubahan lingkungannya. Menurut Mulyadi (2001) tingkah laku dapat diartikan sebagai reflek atau respons ikan terhadap segala bentuk stimulan yang datang dari luar maupun dari dalam dan diaktualisasikan dalam bentuk gerak berpola sesuai dengan jenis stimulan yang mempengaruhi.

Tingkah laku ikan biasanya didasarkan pada indera ikan, salah satunya adalah indera penciuman. Pada jenis tertentu indera ini lebih berkembang daripada mata dalam mencari mangsa, misalnya ikan hiu. Tingkah laku ini dimanfaatkan pada pengopersian alat tangkap dengan umpan misalnya bubu dan rawai. Secara umum ikan menggunakan saraf penciuman, penglihatan atau keduanya secara bersamaan dan pendengaran untuk mendeteksi makanan di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam memilih umpan disesuaikan dengan kesukaan makanan ikan. Sasaran dan kecenderungan ikan dalam mendeteksi makanan (Wudianto et al., 1993).

Hal tersebut diperkuat oleh Zarochman (1996) yang mengatakan bahwa keberhasilan penggunaan umpan untuk penangkapan direkayasa sesuai dengan kebiasaan terpenting dalam kehidupan hewan melakukan perburuan mencari makanan. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai kebiasaan makan akan membantu dalam memahami hubungan antara ikan sasaran dengan alat tangkap yang dipasangi umpan.

Menurut Ferno dan Olsen (1994) ada empat fase tingkah laku ikan terhadap umpan dan pancing:

(5)

1) Timbul selera (arousal)

Fase ini disebabkan oleh karena ikan dapat mendeteksi keberadaan umpan. Respons ikan akibat kehadiran umpan sebagai makanan merupakan salah satu yang penting dalam proses rangkaian aktivitas mencari makan bagi ikan. Pada umumnya ikan menggunakan organ olfactory bulb untuk mendeteksi jarak atau keberadaan makanan (umpan).

Ikan dapat mengetahui keberadaan makanan atau umpan akibat adanya organ chemosensory yang dapat mendeteksi jarak atau posisi dimana ikan itu berada. Dari hasil penelitian didapat adanya pengaruh lama perendaman pancing terhadap hasil tangkapan pancing dengan menggunakan umpan ikan segar.

Umpan mackerel yang digunakan dalam keadaan segar dan lama waktu perendaman selama 24 jam menghasilkan tangkapan 50% dari rata-rata hasil tangkapan. Hal tersebut membuktikan bahwa umpan ikan yang telah lama terendam akan kehilangan bau amisnya dan tidak dapat lagi menarik ikan-ikan yang menjadi target tangkapan (Lokkerberg, 1996 dikutip oleh Fitri, 2008).

2) Menentukan lokasi (location phase)

Setelah fase pertama, ikan-ikan akan berorientasi untuk dapat mencari lokasi umpan yang telah dideteksinya melalui organ chemoreceptor ataupun organ deteksi lainnya. Biasanya pada tahap ini ikan-ikan akan menggunakan organ penglihatannya untuk menemukan makanan atau umpan. Pada fase ini arus juga memegang peranan penting begi keberhasilan ikan dalam menemukan makanan atau umpan tersebut, karena arus merupakan media transfer bau yang baik di perairan.

Pengamatan di lapangan terhadap tingkah laku ikan Gadus meriangus (whitting) menuju umpan pada pancing dan diterangkan pula bahwa lebih banyak ikan yang tertarik menuju umpan dalam kondisi perairan berarus. Hal ini disebabkan rangsangan bau aroma dapat dibawa oleh arus pada jangkauan yang lebih jauh, sedangkan dalam kondisi air tenang atau berarus lemah daya hantar aroma dari umpan semakin lemah sehingga ikan yang tertarik kepada umpan jumlahnya sedikit. Sumber makanan dengan cepat lebih mudah ditemukan oleh ikan hiu dalam kondisi air berarus, sedangkan pada perairan yang berarus lemah

(6)

sampai tenang lokasi umpan hanya ditemukan secara alami (Ferno dan Olsen, 1994).

Jenis ikan catfish (Ictalarus sp) dan hiu (Sphyrna sp) akan berenang zig-zag dalam mencari makan atau umpan, kemungkinan pada jenis ikan-ikan ini pencarian makanan melalui adaptasi chemo-orientation memiliki konsentrasi yang berbeda.

3) Mengidentifikasikan umpan (up take)

Pada fase ini ikan akan berhasil menemukan umpan dan akan mencari tahu apakah umpan ini cocok untuk dimakan atau tidak. Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium ikan yang menemukan umpan akan berhenti sejenak sebelum mulai memakannya (Riyanto, 2008).

Menurut Ferno dan Olsen (1994) ikan-ikan akan menggunakan penglihatannya dan mechanoreceptor untuk mengidentifikasi dan memutuskan makanan yang layak atau tidak untuk dimakan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lokkerborg (1996) yang mangatakan bahwa sosok atau wujud umpan yang tertampak oleh penglihatam merupakan fakor penting dalam penerimaan umpan. 4) Fase masuknya makanan (umpan) ke dalam mulut ikan (food ingestion)

Fase ini adalah dimana umpan mulai masuk ke dalam mulut ikan. Pada fase inilah kesempatan mata pancing mengait ikan. Hal yang sangat berpengaruh pada fase ini adalah ukuran dan bentuk umpan, dimana umpan yang terlalu besar tidak akan termakan oleh ikan yang berukuran kecil. Sedangkan umpan yang terlalu kecil akan sulit terdeteksi atau terlihat oleh ikan.

2.5 Organ Penglihatan (Visual Organ)

Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan, menghindari predator/pemangsa atau dari kepungan suatu alat tangkap. Ketajaman pada mata ikan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui area kekuatan pandang untuk melihat suatu objek benda melalui metode tingkah laku ikan (Muntz, 1974 yang dikutip oleh Purbayanto, 1999)

Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasikan untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter, 1980).

(7)

Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian sel dari retina mata diketahui, dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memilki nilai kepadatan sel kon yang tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura, 1957). Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter, 1980).

Menurut Natsir (2008) susunan sel reseptor dari retina mata ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terdiri dari sel kon tunggal (single cone cell) dan sel kon ganda (twine cone cell) yang membentuk mozaik, sedangkan sel rod tidak terdapat pada susunan tersebut. Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity). Ukuran diameter lensa akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan.

Kepadatan sel kon berbanding terbalik dengan ukuran panjang tubuh. Semakin besar ukuran panjang tubuh Epinephelus fuscoguttatus maka kepadatan sel konnya akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan ukuran sel sel kon akan tetap selama ikan hidup (Natsir, 2008). Menurut Purbayanto (1999) bahwa diameter lensa mata ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian Natsir (2008) diketahui bahwa Epinephelus

fuscoguttatus memiliki sumbu penglihatan yang mengarah ke depan-naik (upper-fore). Hal ini dapat dilihat dari padatnya sel kon pada bagian ventro-temporal,

dengan menarik garis lurus melalui lensa mata maka terlihatlah arah penglihatan ikan kerapu macan.

2.6 Organ Penciuman (Olfactory Bulb)

Menurut Hoar dan Randall (1971) “hidung” pada ikan teleost merupakan sepasang cekungan penciuman (olfactory) yang biasanya terletak di sisi dorsal bagian kepala dan sedikit agak jauh dari posisi mulut.

Secara umum olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh

(8)

epithelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros (Pitcher,

1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies. Bentuk hidung ikan dan bagian-bagiannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan:

(a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella Sumber: Harder (1975) yang dikutip oleh Fujaya (2004)

Gambar 2 Bentuk hidung ikan dan bagiannya.

Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk sinyal elektrik yang berasal dari cilia, disebabkan oleh arus lemah yang melewati lamella, selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat. Sistem saraf

olfactory yang menuju ke otak memiliki dua konfigurasi.

Ikan mendeteksi adanya reseptor pembau dalam bentuk stimuli kimia. Stimuli tersebut melalui lubang hidung (nostril) dan dirubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory

lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian

diterjemahkan pada otak telencephalon.

Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri, 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sendiri. Bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut.

(9)

Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di habitatnya (Wudianto et al., 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985), bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari

natural behavior.

2.7 Otak dan Bagian-bagiannya

Menurut Bone dan Marshall (1982) otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ sensoris pada hewan. Otak ikan memiliki bagian-bagian yang menunjukan susunan yang berbeda pada kelompoknya. Secara umum, otak ikan dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu otak depan (forebrain) disebut juga prosencephalon, otak tengah (mesencephalon) dan otak belakang (rhombencephalon). Pembagian otak ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Bagian utama dan sub bagian otak ikan

No Bagian Utama Sub Bagian

1 Forebrain (prosencephalon)

Lobus olfactoris

Telencephalon (cerebral hemisphere) Diencephalon (between brain)

2 Midbrain (mesencephalon) Lobus opticus

3 Hindbrain (rhombencephalon) Metencephalon (cerebellum)

Myelencephalon (medulla oblongata)

Sumber: Bone dan Marshall (1982)

Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan.

Bagian ini disebut juga otak depan (forebrain). Pada ikan, telencephalon merupakan tempat penerimaan, elaborasi dan meneruskan impuls aroma (bau). Ukurannya bervariasi, sesuai dengan peranan relatif yang dimainkannya bagi kehidupan ikan yang diuji.

Mesencephalon merupakan otak tengah (midbrain), pada ikan relatif besar

terdiri dari lobus opticus dorsal, di bagian dorsal terdapat dua lobus opticus dan

ventral tegmentum. Lobus opticus merupakan bagian depan dari retina yang

diteruskan proyeksinya ke dalam bagian belakang contra-lateral dari lobus

(10)

Perkembangan otak depan yang sangat besar dibandingkan dengan kelompok ikan bertulang sejati maupun hewan vertebrata lainnya, merupakan indikasi bahwa hewan predator seperti ikan cucut, buaya dan anjing sangat mengandalkan indera penciuman sebagai detektor mangsanya dari jarak yang cukup jauh (Razak, 2006).

Dari hasil penelitian Sejati (2008) dan Fitri (2008), otak Epinephelus

fuscoguttatus bagian telencephalon berukuran besar, demikian juga pada bagian optic tectum. Cerebellum melengkung ke atas dan di belakang cerebellum

ditemukan medulla oblongata. Otak ikan kerapu menunjukan bahwa

telencephalon dan optic tectum berkembang. Gambar otak Epinephelus fuscoguttatus disajikan pada Gambar 3.

Keterangan: 1) Olfactory bulb (Ob); 2) telencephalon (Tel); 3) sulcus ypsiliformis; 4) optic tectum (Ot); 6) eminentia granularis (Eg); 7) spinal cord (Sc)

Sumber: Sejati (2008) dan Fitri (2008)

Gambar 3 Otak Epinephelus fuscoguttatus.

2.8 Umpan

Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat dan cara pemasangan (Sadhori, 1985). Subani (1983) mengklasifikasikan jenis umpan yang digunakan dalam tujuan penangkapan ikan menjadi tiga, yaitu:

(11)

1) Umpan tipuan (artificial bait), yaitu jenis umpan yang dibuat asal saja, artinya tidak dibuat menyerupai umpan alami dan dibuat dari bahan tertentu misalnya: bulu ayam atau bulu domba;

2) Umpan tiruan (imitation bait), yaitu jenis umpan yang dibuat mnyerupai umpan alami (ada yang menyerupai ikan baik warna maupun bentuknya, ada yang menyerupai udang atau cumi-cumi). Misalnya: umpan dari plastic yang berbentuk mirip udang atau cumi-cumi yang digunakan untuk pancing dengan joran; dan

3) Umpan alami (natural bait), yaitu jenis umpan yang didapatkan dari alam (ikan segar, potongan daging ikan dan sebagainya).

Syarat umpan yang baik (Djatikusumo, 1975 yang dikutip oleh Piterurbinas, 2000)

1) Tahan lama artinya tidak mudah busuk; 2) Mempunyai ukuran yang memadai; 3) Harga terjangkau;

4) Mempunyai bau yang spesifik yang dapat merangsang; 5) Mempunyai warna yang mudah dilihat; dan

6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Akan tetapi tidak semua jenis ikan akan merespons jenis ikan yang sama, dimana masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda.

Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasikan dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea, dan hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkerborg, 1994 dikutip oleh Fitri, 2008). Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang memakan makanan yang tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciuman mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membedakan stimuli asam amino.

(12)

2.9 Arginin dan Leusin

Arginin (Arg atau disingkat R) adalah α-asam amino yang merupakan asam amino yang paling umum. Pada mamalia, arginin diklasifikasikan sebagai semiessensial atau asam amino esensial kondisional, tergantung pada tahap perkembangan dan status kesehatan individu. Rumus kimia dari arginin adalah C6H14N4O2 dengan massa molekul 174,2 g mol -1 (Wikipedia, 2009). Menurut

Riyanto (2008) didapatkan hasil komposisi arginin yang dapat dijadikan atraktan ikan kerapu macan adalah 40 mg/g.

Leusin merupakan asam amino essensial yang paling umum dijumpai pada protein yang diperlukan dalam perkembangan atau pertumbuhan. Leusin berperan dalam menjaga perombakan dan pembentukan protein otot. Rumus kimia leusin adalah C6H13NO2 dengan massa molekul 131,18 g mol-1 (Wikipedia, 2009).

Menurut Riyanto (2008) didapatkan hasil komposisi leusin yang dapat dijadikan atraktan ikan kerapu macan adalah 50 mg/g.

2.10 Pengamatan Skala Laboratorium

Untuk mengembangkan suatu alat tangkap agar lebih efektif dan efisien, perlu dilakukan percobaan-percobaan terhadap alat tangkap yang masih mempunyai kendala dalam pengoperasiannya serta mempelajari pola tingkah laku ikan target, dimana pengujian dilakukan terlebih dahulu dalam skala laboratorium. Gunarso (1985) menyatakan terdapat beberapa cara untuk mengamati tingkah laku ikan, antara lain:

1) Pengamatan langsung dengan bantuan penyelam pada waktu siang hari;

2) Pengamatan dilakukan melalui akuarium atau tangki percobaan. Hal ini dilakukan untuk mengamati tingkah laku ikan terhadap benda yang diam atau bergerak. Pengamatan ini bisa dibantu dengan kamera atau handycam; dan 3) Pengamatan secara tidak langsung dalam hubungannya dengan alat

penangkapan yang dioperasikan di laut dengan bantuan berbagai peralatan seperti sonar yang diatur dengan pengontrol jarak jauh.

Penelitian yang dilakukan dalam skala laboratorium, seoptimal mungkin kondisinya disesuaikan dengan kondisi alam yang sebenarnya. Parameter-parameter lingkungan, terutama dalam bak selalu dijaga agar tetap optimal. Hal ini berhubungan dengan kondisi ikan uji. Irawati (2002) menyatakan bahwa suhu

(13)

air optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar 22-28°C, jika suhu air turun sampai di bawah 15°C akan menyebabkan metabolisme tubuh ikan menurun sehingga ikan tidak mau makan dan aktivitsnya berkurang, sedangkan jika suhu terlalu tinggi (panas) akan menyebabkan metabolisme respirasi berlangsung cepat dan proses metabolism terhenti. Untuk salinitas optimal berkisar 28-32 ppt.

Derajat keasaman (pH) perairan yang optimum untuk kehidupan ikan berkisar 5-8,7. Ikan kerapu macan dapat hidup pada derajat keasaman (pH) 6,5-8. Ikan dihindarkan dari perubahan pH perairan secara mendadak agar tidak stress dan dapat bertahan hidup (Fridudin, 2007).

Sebelum ikan diuji, dilakukan aklimatisasi ikan laut terhadap lingkungan yang baru diperlakukan waktu rata-rata empat hari agar ikan dapat beradaptasi. Pemberian makanan dua kali sehari selama aklimatisasi. Frekuensi pemberian makan yang tepat ditujukan agar pertumbuhan ikan baik, karena berkaitan dengan pencernaan dan pemakaian energi (Informasi Pelabuhan Perikanan DKP, 2006).

Gambar

Gambar 1  Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).
Gambar 2  Bentuk hidung ikan dan bagiannya.
Gambar 3 Otak Epinephelus fuscoguttatus.

Referensi

Dokumen terkait

Awal mula perubahan fungsi ini tentu disebabkan karena beberapa faktor antara lain kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam upaya pelestarian Iyabelāle ini

Selain ketiadaan instrumen penilaian praktik yang baku, karena kurangnya kesempatan bagi guru di sekolah untuk melakukan penelitian pengembangan instrumen penilaian otentik

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, dirasa perlu dilakukan penelitian dengan menganalisa sistem pemilihan Rektor yang selama ini terjadi di

Pola tanam petani yang dilaksanakan pada musim hujan adalah menanam padi lokal dari bulan Agustus sampai dengan bulan Pebruari, sedangkan padi unggul penanaman dilakukan

Eluen yang terbaik untuk pemisahan senyawa triterpenoid dari ekstrak metanol tanaman alga merah Eucheuma cottonii dengan menggunakan kromatografi lapis tipis KLT adalah eluen

Fanda Bunga Prasetyaningrum. Analisis Deskriptif Harmonisasi Pasar Tradisional Dengan Pasar Modern Di Kecamatan Kartasura Perekonomian. Universitas Muhammadiyah

Klju~ne rije~i: Hedychium larsenii (Zingiberaceae), eteri~no ulje, GC, GC-MS, antibakterijsko djelovanje Tropical Botanic Garden and Research Institute,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapatkan kajian tentang pengaruh lokasi, keragaman produk dan store atmosphere terhadap keputusan berkunjung