• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Transkrip Wawancara

Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan Chik Rini, penulis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft, pada Senin, 23 Juli 2012 via telepon seluler.

T : Bagaimana awal karir Kak Chik sebagai wartawan? J : Waktu itu tahun 1999, di Analisa.

T : Itu selepas kuliah?

J : Iya, tapi sempat kerja juga sekitar setengah tahun lebih setelah wisuda sebagai pendamping riset orang utan di TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser). Mendampingi orang Belanda, asisten peneliti waktu itu. Setelah itu baru masuk ke Analisa sebagai reporter, koresponden Banda Aceh. T : Ini sampai tahun berapa kak?

J : Kak Chik keluar sekitar Agustus atau September 2011. T : Setelah dari sini, langsung masuk ke Pantau atau bagaimana?

J : Ya, artinya waktu itu memutuskan untuk jadi wartawan freelance. Kak Chik waktu itu gak cuma nulis di pantau aja. Tapi untuk media lain juga. Kak Chik juga kerja sebagai stringer foto di kantor berita Associated Press, nulis di beberapa majalah juga. Pokoknya permasalahannya masih seputar Aceh.

T : Jadi waktu nulis di Pantau, masih bergabung di Analisa atau bagaimana? J : Kak Chik sempat menulis pendek. Artikel pendek beberapa kali di

Pantau, waktu masih di Analisa. Waktu itu diminta, karena ada teman di Pantau. Dia tahu Kak Chik kerja di Aceh. Ada kasus waktu itu di Aceh, dia minta tolong ditulisin artikelnya. Ada kematian seorang wartawan di Aceh. Karena kan waktu itu Pantau masih spesialis kajian media dan jurnalisme. Mereka itu awalnya kayak jurnal gitu. Walaupun kemudian waktu Mas Andreas (Andreas Harsono) masuk, aku lupa tahun berapa, dia membawa genre baru, setelah dia pulang dari Harvard. Aku ingat

(2)

banget, dia membawa genrenya naratif atau jurnalisme sastrawi ini, dia adopsi ke pantau. Berubahlah waktu itu format majalah pantau. Yang tadinya kayak jurnal-jurnal gitu untuk analisis media aja, ini mulai dimasukkan tulisan panjang. Tapi tetap pada konten membangun jurnalisme dan pekerjaan wartawan.

T : Jadi begitu keluar Analisa, langsung masuk ke Pantau?

J : Iya, jadi salah satu yang mendorong Kak Chik untuk mengambil keputusan untuk keluar dari Analisa adalah Mas Andreas. Dia bilang, dia melihat ada bakat, “Kamu bisa menulis bagus dari Aceh.” Nah dia juga tidak punya kenalan yang bisa menulis dari Aceh. Mungkin dia baca tulisan-tulisan yang awal. “Ya udah, kamu jangan takut,” gitu. Walaupun ada ketakutan kan ketika kita menjadi wartawan freelance, secara finansial kan tidak ada kepastian. Tapi ternyata itu keputusan yang luar biasa. Yang mengubah Kak Chik yang mungkin jadi wartawan yang biasa aja di Analisa, tapi setelah jadi wartawan freelance malah membuka kesempatan, kita bisa menulis lebih banyak. Artinya kita bisa menulis. Bisa dalam, ya bisa menulis Simpang Kraft itu.

T : Berarti di pantau itu sistemnya freelance ya?

J : Iya. Kontributor. Semua orang diuji dulu di tulisan pendek. Tapi enggak tahu ya kalau wartawan-wartawan yang sudah punya nama, mungkin mereka langsung dikasi kesempatan untuk nulis panjang. Kan awalnya masukin proposal dulu tuh, proposal liputan, disetujui oleh editor. Ada juga beberapa yang kebobolan. Ternyata hasilnya tidak secemerlang yang diharapkan. Malah biaya liputannya ada yang lebih besar dari liputan Kak Chik. Waktu itu Kak Chik takut, awal-awal. Waktu itu berapa ya Kak Chik ajuin, 1 juta atau 1,5 juta. Bisa mengcover berapa provinsi itu. Jalan dari Jakarta, Medan, Aceh.

T : Itu karena takut overbudget?

J : Ya, Kak Chik takut aja pakai uang orang. Kita kan enggak pernah gitu. Haha.. Jadi, itu memutuskan untuk jadi wartawan freelance itu juga

(3)

mana, Kak Chik selalu bilang, jangan takut mengambil keputusan. Kita enggak tahu apa yang ada di depan kita.

T : Kalau Kak Chik sendiri, awalnya kan harian, di Analisa. Itu kan straightnews. Bagaimana akhirnya hingga kakak bisa menulis jurnalisme sastrawi?

J : Nah waktu itu kan kak chik enggak tahu gaya Pantau. Waktu lepas dari Analisa, Kak Chik ke Jakarta. Berdiskusi. Kak Chik berdiskusi dengan banyak orang. Jadi satu bulan di Jakarta itu hanya untuk diskusi. Datang ke pantau, berdiskusi. Di sana kan banyak ketemu orang-orang hebat, orang-orang yang pikirannya lebih terbuka. Jadi beda dengan pikiran kita di Aceh. Tidak ada ruang diskusi publik yang bisa membangun. Nah di Pantau itu ruang redaksinya juga sangat terbuka. Tim redaksinya kecil, hanya ada beberapa orang. Tapi mereka banyak kontributor. Jadi banyak bertanyalah. Itu, Mas Andreas kan pulang dengan segundang ide, tentang jurnalisme sastrawi atau narrative journalism yang dia pelajari di Harvard. Dia yang sodorkan Kak Chik beberapa karya klasik. Yang pertama kali itu John Hershey, yang Hiroshima. Kerjaan kak chik itu membaca. Menterjemahkan bahasa inggris, kan lama-lama pusing juga. Apa ini? Yaudah. Belajar dari situ. Terus juga belajar apa model yang diinginkan Pantau. Jadi dulu juga ada tulisan tentang jurnalisme sastrawi, artikel yang dimuat di Pantau oleh Septiawan Santana Kurnia. Ini juga membantu Kak Chik memahami, yang diinginkan itu seperti apa. Genre apa ini.

T : Kenapa bisa nulis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft?

J : Jadi waktu itu ditanya, kamu mau nulis apa nih? Nulis dong sesuatu yang menarik dari Aceh. Nah waktu itu kan Kak Chik nginap di kosan teman, dia wartawan detik.com. Dia itu dekat sama Imam Wahyudi. Dia cerita, dia dekat sama Mas Imam. Mas Imam itu gini-gini. Dia cerita tentang pengalaman (Mas Imam) di Simpang Kraft. Jadi Kak Chik coba menarik-narik, lah. Apa yang bisa dihubungkan, menulis dengan gayanya Hiroshima, terus juga ada cerita wartawannya, biar ada hubungannya

(4)

dengan Pantau. Langung cari Mas Imam nih. Yauda, aku mau nulis itu aja. Waktu itu awalnya malah mau nulis tentang seorang kolonel intelijen, tapi mentok. Gak berani Kak Chik. Kayaknya ini yang lebih terbuka, orangnya juga inspiratif, sangat membantu, Mas Imam itu. Mas Imam itu seorang pencerita yang baik. Ingatannya juga sangat kuat, ya dia itu kan termasuk reporter lapangan yang sangat berpengalaman kan. Paling senior waktu itu di RCTI. Orangnya ramah. Jadi menggali informasi dari dia itu tidak begitu sulit. Apalagi dia punya dokumen-dokumen, rekaman Fipin. Dia sempat memperlihatkan. Tapi kan rekamannya enggak boleh dibawa pulang, tuh. Jadi Kak Chik rekam dengan recorder. Jadi berapa kali nonton, ini bisa membangun rantai ceritanya seperti apa. Tapi yang penting voicenya itu Kak Chik dapat. Karena dari voice itu Kak Chik dapat aura ketika nulis. Menaikkan aura. Kita juga kalau menulis kan penting menaikkan aura. Apa ya, sense menulis itu harus ditingkatkan. Itu yang Kak Chik rasa saat menulis Simpang Kraft, kenapa adegan itu bisa kuat. Cerita Simpang Kraft itu salah satu yang Kak Chik ingat banget itu memasukkan unsur-unsur suara yang membuat dia lebih hidup. Itu kak chik terbantu dengan tape recorder itu.

T : Mana yang lebih dulu, konsep tulisan atau ide cerita?

J : Ide cerita duluan. Karena itulah yang dapat dari Kak Rehan (teman sekos). Cara menulisnya, plotting, alurnya belum dapat. Pokoknya Kak Chik wawancara orang aja dulu. Mas Imam pencerita yang baik, dia cerita secara kronologis, itu yang membantu Kak Chik. Dari semua narasumber, dia yang sangat membantu Kak Chik membuat alur. Karena dia ceritanya mengalir, enggak lompat-lompat. Memang kata kawan Kak Chik, Kak Rehan itu, peristiwa simpang kraft itu benar-benar terekam di benaknya.

T : Kembali ke kolonel yang tadi, itu kolonel berkaitan dengan kasus Simpang Kraft, atau beda lagi?

(5)

J : Enggak. Lain lagi. Tapi dia bertugas di Lhokseumawe juga. Waktu itu ada kematian tiga orang aktivis. Dia salah satu orang yang terlibat dan dia sempat ditahan di penjara militer di Medan. Waktu itu Kak Chik ketemu dia di situ. Nah Kak Chik melihat dia sosok yang menarik untuk ditulis. Konsep jurnalisme sastrawi kan dibilang cari tokoh semenarik mungkin. Itu salah satu unsur, ya. Bisa orang jahat, orang baik, orang naif. Kak Chik ingin menggambarkan dia sebagai orang jahat yang berpura-pura baik. Itu aja. Tapi itu terlalu susah. Resikonya besar kali waktu itu, kan. Tahun 2001 itu masih panas-panasnya.

T : Bagaimana dengan proses pelacakan narasumber? Apa tidak sulit?

J : Kak Chik semua dapat masukannya dari Mas Imam. Karena dia yang Kak Chik ingin angkat jadi tokoh utama, walaupun pada saat penulisan berkembang jadi ada lima tokoh. Terus ya mengalirnya dari Imam. Imam ketemu Fipin, terus mereka merekomendasikan ketemu Umar HN sama Ali Raban di aceh. Ya itu aja. Pulang ke aceh ya Kak Chik riset. Riset peristiwa. Dokumen-dokumen, kliping koran. Waktu itu belum ada google itu. Meski cari hard copy-nya. Pergi ke LSM lah. LSM Koalisi NGO HAM, mereka yang mendampingi masyarakat korban. Nah tapi Kak Chik belajar banyak bagaimana meriset. Jadi jangan pernah percaya laporan LSM. Tetap kita bersandar pada reportase kita di lapangan. Itu aja kekuatan kita, wartawan. Tetap berbeda. Kak chik lihat apa yang Kak Chik tulis, dengan laporan LSM, tetap ada fakta-fakta yang berbeda. Enggak ngerti, apakah itu disetir, atau mereka tidak melakukan investigasi di lapangan dengan benar, tidak mewawancarai orang dengan benar, jangan-jangan mereka hanya mewawancarai orang yang hanya mendengar. Kalau kita kan memang disuruh cari orang yang mengalami langsung di lapangan. Jadi kalau yang cuma katanya itu cuma sebagai background aja untuk mengecek ke mana kita harus mengejar siapa yang tahu itu. Jangan percaya juga sama dokumentasi tentara. Walaupun dokumentasi tentara itu laporan dari intelijen. Di situlah kita harus

(6)

belajar, meski dokumen asli, tetap harus kita cek dan ricek lagi ke narasumber utamanya.

T : Total orang yang diwawancara, di luar narasumber utama, ada berapa orang?

J : Kak Chik enggak ingat lagi sebenarnya ada berapa orang. Tapi sekitar di bawah 50. Tapi enggak lebih dari 50.

T : Ini cuma untuk membangun nuansa dalam cerita?

J : Iya membangun cerita. Karena dalam suatu peristiwa, ada yang tak terlihat oleh tokoh ini. Nah ini yang kita coba kaitkan. Tapi si sudut pandang ini, dia gak perlu muncul kan orangnya. Ini kenapa kita harus wawancara banyak orang. Orang-orang ini akan merekatkan sebuah peristiwa. Dari banyak sudut pandang itu akan terbangun ceritanya dengan detail.

T : Kalau dari pihak militer, ada enggak Kak Chik coba cari tahu atau melacak orang-orang yang terlibat?

J : Kak Chik ke tentara, yang satu-satunya Kak Chik datang masuk itu ke Kodam. Yang lain enggak ada wawancara. Hanya ke Kodam Bukit Barisan, Medan. Dulu enggak ada Kodam di Aceh. Korem sama Batalyon masih di bawah Bukit Barisan semua. Kak Chik cukup membaca dokumennya aja. Baca dokumen laporan peristiwa versi mereka. Makanya Kak Chik enggak ada menceritakan bagaimana person, person ya, dari tentara. Ada terceritakan person dari tentara. Tentara yang masih tersenyum. Itu hanya Kak Chik dapat dari visual video. Ada tentara bergerak, itu dari video. Itulah sayangnya, seharusnya Kak Chik dapat yang dari Ali Raban. Ali Raban tu yang versi lengkap lagi. Yang dijual ke Reuters kan gambarnya.

T : Berapa lama waktu liputan?

J : Mulainya bulan sebelas (November 2001), proses wawancara segala macam. Bulan lima terbit, editing, berarti ada enam bulan.

(7)

J : Masa editing juga masa perbaikan. Kak chik pernah harus balik lagi ke aceh karena ada yang tertinggal.

T : Apa kesulitan terbesar saat liputan?

J : Kesulitannya itu ketemu narasumber. Itu susah banget. Pernah narasumber Kak Chik pergi ke barber shop, apa, tukang pangkas. Nunggu di situ Kak Chik. Pada waktu itu, orang tidak seperti sekarang terbukanya. Waktu itu Aceh masih konflik, curiganya besar. Itu susahnya yang Kak Chik rasakan. Jadi itu juga belajar ya. Artinya kita juga harus punya trik kalau mau menembus narasumber. Bawalah teman atau kita harus kenal kerabat dia mau teman mau saudara. Itu Kak Chik pelajari setelah bertahun-tahun nulis. Panjang ya? Kalau ke lapangan, temuilah wartawan-wartawan lokal di sana. Karena mereka yang punya link ke narasumber. Juga datangilah LSM, mereka juga akan sangat membantu. T : Bagaimana dengan kelima narasumber utama? Ada kesulitan dalam

liputan? Misalnya ada trauma?

J : Umumnya mereka waktu itu gampang bercerita. Ada juga di antara mereka bukan pencerita yang baik. Banyak lupa. Jadi kita kalau menghadapi yang kayak gitu, kita hanya untuk memastikan aja posisi dia. Mengingatkan lagi, betul enggak ini seperti ini? Tapi kalau mengharapkan dia akan menceritakan sesuatu yang bisa kita korek, ya susah.

T : Bagaimana dengan proses pemilihan judul?

J : Ini sih karena Imam juga. “Ini gila, ini gila.” Akhirnya ada kata gila di judul. Kegilaan. Meskipun untuk kalimat Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft itu dipoles editor, Mas Andreas. Tapi tetap awalnya dari statement, “Ini gila, ini gila.”

T : Jadi dari awal sudah ada terpikir unsur kata “gila” dari Kak Chik?

J : Belum. Judul itu terakhir. Kami berdua yang sepakati (Chik Rini dan Andreas Harsono).

T : Kalau kesulitan waktu nulis apa? J : Menjaga independensi.

(8)

T : Sulitnya gimana?

J : Kak Chik enggak suka dengan perjuangan GAM. Secara pribadi Kak Chik menganggap GAM bikin kesulitan dengan kehidupan masyarakat. Mungkin kalau tidak ada pemberontakan, Aceh tidak akan seperti ini. Itulah melepaskan itu. Ya di sini Kak Chik memposisikan, tentara yang salah. Dalam banyak dokumen dan berita, tidak terbawa-bawa nama GAM. Tidak ada satu pun. Tetapi Kak Chik memunculkan. Di sinilah Kak Chik ingin bilang bahwa ini juga ada peranan GAM. Enggak mungkin suatu hal itu tidak ada behind the scene-nya. Kak Chik selalu percaya itu. Dan itu memang terbukti kan dari wawancaranya Pak Marzuki sama Azhari bagaimana mereka melihat ada orang-orang bersenjata di lapangan. Kak Chik ingin memunculkan suatu hal itu pasti ada peranan mereka. Karena Kak Chik juga menulis jauh setelah peristiwa, dua tahun setelahnya. Nah, 2001 itu peranan GAM kan sudah besar di Aceh. Kak Chik percaya banyak kejadian sebelumnya itu ada settingan-settingan atau keterlibatan mereka juga. Waktu itu mungkin namanya belum Gam. Masih Aceh Merdeka. Di koran atau media lain enggak pernah ada cerita itu. Itulah salah satu yang ingin kak chik munculkan.

T : Tapi poin utamanya kan tetap pada tentara yang menembaki masyarakat. Unsur GAM-nya enggak kuat di sini…

J : Ya karena itu fakta. Itulah fakta. Itulah wartawan. Wartawan bukan menambah-nambahi. Wartawan hanya menulis fakta. Faktanya memang tentara yang nembak. Mana bisa bilang itu GAM yang nembak. Itulah, orang mengambil kesimpulan itu bukan karena kita yang nulis. Tapi silakan pembaca mengambil sendiri.

T : Walaupun memang di akhir Kak Chik ada selipkan tentang GAM ya (orangnya mengaku pada marzuki kalau dia anggota gam)…

J : Mungkin karena Kak Chik menulis dua tahun setelah kejadian. Kalau orang menulis pada waktu itu, pasti tidak akan pernah terpikir, karena

(9)

mereka (GAM) belum muncul. Kelompok ini kan belum muncul, belum kuat.

T : Untuk pengawalan liputan sendiri, bagaimana proses pengawalan dari editor?

J : Ya lapor dulu mau nulis ini. Kalau disetujui bikin proposal, TOR (term of reference), rencana budget. Setiap ke lapangan harus bikin laporan. Hari ini ngapain. Hari ini ngapain. Waktu itu udah ada email, ke warnet. Peranan editor itu memang besar. Makanya ketika menulis, carilah editor yang juga luar biasa. Kalau editor kita biasa-biasa aja, tulisan kita juga acakadut. Di situ lah belajar bagaimana menulis jurnalisme sastrawi, dalam proses editing. Kalau enggak kita enggak pernah tahu yang diinginkan itu apa. Sampai kadang-kadang dia minta detail, di situlah belajar. Dimerahin, di-highlight kan… coba gambarkan, seperti ini, orangnya seperti apa. Terus juga kalau di dialog enggak perlu ada kata ‘katanya’, ‘sebutnya’, itu diputusin, gitu, dibuang. Jadi di proses editing itu kita belajar banyak dan tahu apa yang dibutuhkan.

T : Lalu bagaimana mengenai proses verifikasi. Misalnya untuk deskripsi dan pengecekan fakta. Apa sepenuhnya percaya pada wartawan atau bakal ada mengecek fakta-fakta tertentu?

J : Kak Chik enggak tahu apa Mas Andreas waktu itu ada menghubungi narasumber Kak Chik apa enggak. Tapi memang kalau dia agak ragu, dia tanya, ini udah betul enggak? Ya bagaimana kita juga meyakinkan editor. “Ini udah oke nih, Mas”, “Ini udah dua orang yang ngomong gini-gini”, “Ini cuma satu, gimana ya Mas?”. Kayak Azhari kan, rata-rata satu. Susah ngecek dia. Karena enggak ada yang ngekor. Tidak ada yang satu sudut pandang dia. Tapi Kak Chik meyakinkan, “Oke mas. Sudah cek.”. Jadi sampai berapa kali verifikasi, balik ke orangnya. Ya itu tadi, susah cari orang yang bisa confirm tentang dia. Tapi itu bukan yang fatal-fatal ya. Maksudnya bukan fakta peristiwa yang penting kayak penembakan duluan atau pelemparan batu duluan. Kalau ini harus wawancara banyak

(10)

orang. Cari fakta peristiwa yang sebenarnya. Cek dan riceknya harus keras.

T : Istilah ‘dakwah GAM’. Itu istilah dari mana?

J : Itu istilah yang populer waktu itu. Di media juga. Orang-orang kampung menyebutnya seperti itu. Ada yang bilang dakwah GAM, ada yang bilang ceramah GAM. Itu Kak Chik dapat dari Pak Marzuki.

T : Kalau penggunaan ‘pemerintahan Indonesia Jawa’?

J : Nah, itu Mas Andreas tuh! Kak Chik juga terkejut-kejut itu. Tapi itu alasannya untuk menarik jarak. Bahwa kita si penulis, kita harus membayangkan bahwa yang membaca tulisan kita bukan orang indonesia. Tapi orang-orang luar. Penulis harus menarik diri sebagai orang Indonesia. Ada juga penyebutan ‘rezim Soeharto’. Kak Chik waktu itu di media kita waktu itu, di Analisa mana pernah nyebut-nyebut kayak gitu. Media kan sangat hati-hati. Jadi Kak Chik cukup terkejut-kejut dengan pemilihan katanya, rezim, tentara indonesia. Itu tuh ngerasa, apa kita bukan orang indonesia? Terkoyak-koyak juga nasionalisme kak chik. Kata Mas Andreas, “Kamu itu kok masih mikirin nasionalisme aja? Lihat itu tentara kamu, negara kamu, menembaki orang-orang.”

T : Kalau penggunaan topi taliban? Hanya sekadar untuk deskripsi, atau ada makna tersendiri?

J : Waktu itu tren. Ala taliban. Kelompok-kelompok taliban itu jadi tren di aceh. Salah satu kekuatan baru lah di aceh, semacam ormas-ormas gitu. Seperti FPI lah… Waktu itu pertama kali muncul di media kelompok taliban, rabithah taliban, ada juga organisasinya, rabitah taliban. Walaupun kita juga enggak pernah tahu. Makanya Kak Chik enggak bilang dia rabitah taliban.

T : Kakak kan orang Aceh juga ni kan, di bagian mana dalam tulisan ini yang sulit buat kakak untuk tidak subjektif?

J : Apa ya? Mungkin di hal-hal yang kita dipaksa harus menarik diri. Seperti pemilihan kata ‘rezim soeharto’, ‘tentara indonesia’… Itu kan suatu hal

(11)

akhirnya itu berada di tangan editor. Secara kronologis Kak Chik enggak ada yang berat. Karena memang itu fakta yang kita dapat di lapangan. Tetapi untuk pemakaian istilah-istilah. Ya itu yang berat. Karena kita terbiasa di media mainstream kan, kalimatnya santun-santun kali. Dia enggak mau cari masalah. Kita kan tidak diajari untuk seperti itu. Makanya Kak Chik bilang di Pantau itu kelompok orang-orang berpikiran liberal semua. Kelompok orang anti islam pun ada di situ, kelompok liberal islam ada, marxis pun ada.

T : Tadi Kak Chik ada bilang, yang paling susah itu menjaga independensi saat menulis. Nah, gimana usaha Kak Chik hingga akhirnya Kak Chik bisa tetap independen?

J : Ya bersandar sama fakta di lapangan. Seperti apa adanya. Jangan nambah-nambahin apa-apa. Gak bisa kita bilang tentara itu menembak karena terpaksa udah dilempari. Ya udah, dia nembak, nembak aja. Dia ngamuk, kita tulis dia ngamuk. Dia menembak serampangan, tulis dia nembak serampangan. Itulah, belajar posisi wartawan itu tetap independen. Tulis apa adanya, tidak menambah-nambahi. Ternyata betul. Waktu Kak Chik belajar jurnalisme sastrawi, kan ada itu beberapa hal yang jadi sandaran. Salah satunya tulis apa adanya, tidak menambah-nambahkan. Bersandar pada reportase anda sendiri. Cuma kan waktu itu kak chik enggak belajar teorinya dulu. Kak chik duluan turun ke lapangan.

T : Gimana cara kakak supaya pembaca tahu kalau kakak sudah independen, hanya dengan membaca tulisan kakak?

J : Kakak sih enggak sampai ke sana. Enggak sampai pada kesimpulan kalau orang nganggap Kak Chik ini independen. Cuma waktu itu terbit, waktu itu kan majalahnya terbit terbatas di kelompok wartawan di aceh. Ya mereka bilang, “Kok berani kali nulis kayak gitu?”. Ya gitu lah. Kak chik enggak dalam posisi bilang “Aku udah independen ya”. Ya itu tadi, tulis mengalir apa adanya.

(12)

J : Ini ya, empati. Banyak orang aceh yang baca tulisan itu, terkesan biasa aja. Sesuatu yang sering terjadi itu bisa melunturkan empati orang. Alah bisa karena biasa. Sesuatu yang terjadi dianggap hal biasa. Lumrah. Yang banyak respons seperti menangis, itu orang di luar aceh. Kak chik berpikiran, kita di aceh, saat terus-menerus mengalami konflik, itu jadi hal yang biasa. Karena itu tadi, karena banyaknya darah, jadi terbiasa lihat darah. Inilah kenapa kak chik memutuskan berhenti menjadi wartawan.

Referensi

Dokumen terkait

Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat jenderal Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Permohonan pelepasan Cherax quadricarinatus (huna

Dalam menyelenggarakan setiap kegiatan tetap diperlukan persiapan. Hal ini diperlukan agar kegiatan yang dilaksakan dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan.

tujuan dan pandangan yang jelas dalam membidik masa depan mereka, memiliki prinsip dan kepercayaan yang tinggi dalam kehidupannya. keuntungan bagi umat adalah

Pada hasil KLT, setelah dilakukan pemberiandengan uap amonia pada lampu UV 254 nm terdapat noda yang berfluoresensi kuning, pada lampu UV 366 nm berfloresensi

Modul Teknik Komputer Jaringan : Menginstalasi Jaringan Nirkabel ::: SMK Muhammadiyah 5 Babat | MATERI UNIT

menggambarkan struktur ridges dan valleys yang jelas, dimana Ridge-Valley Thickness Ratio (RVTR) adalah: nilai parameter sidik jari kering kurang dari 7.75E- 05,

Skrip kalkul.php ini akan menampilkan informasi kepada pemakai aplikasi untuk memasukan suatu nilai yang berfungsi sebagai nilai penukar dari mata uang pertama

Tanah vertisol dan mineral zeolit yang memiliki kelengasan sesuai dengan ekologi nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae sehingga dapat hidup pada jangka