Perbandingan Tigkat Risiko Pajanan PM
10pada Jalan Raya Bervegetasi
dan Tidak Bervegetasi terhadap Kesehatan Penduduk
Zani Suhananto
Departemen Kesehatan lingkungan FKM-UI
zani.suhananto@yahoo.co.id
Abstrak
Kepadatan kendaraan di jalan Raya Bogor, Kota Depok menyebabkan tingginya masalah polusi udara di jalan tersebut dan dapat mengganggu kesehatan. Penanaman pohon di pinggir jalan dipercayai dapat mengurangi kadar polutan di udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh adanya vegetasi sebagai pembatas jalan terhadap konsentrasi PM10 dan gangguan kesehatan penduduk.
Penelitian ini menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan untuk mengestimasi pajanan PM10 pada jalan raya terhadap gangguan kesehatan
penduduk setempat. Dipilih dua kawasan yang berbeda yaitu jalan raya yang terdapat vegetasai sebagai pembatas jalan dan jalan raya yang tidak bervegetasi. Dipilih 6 titik sampel dengan rincian 3 titik sampel di jalan raya bervegetasi dan 3 titik sampel di jalan raya yang tidak bervegetasi. Pada setiap titik sampel diukur pada titik 5 meter dan 50 meter dari jalan raya. Diambil juga data antropometri penduduk yang beraktivitas di sekitar lokasi sampling. Hasil pengukuran didapatkan nilai tingkat risiko (Risk Quotient) pada responden wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dari responden wilayah bervegetasi. Penghijauan di pinggir jalan raya perlu dilakukan untuk mengurangi konsentrasi PM10di jalan raya.
Kata Kunci: Jalan Raya, PM10, Vegetasi
Pendahuluan
Masalah pencemaran udara merupakan masalah yang mengglobal, hampir di seluruh negara mengalaminya. Pencemaran udara dapat terjadi diluar ruang (outdoor) maupun didalam ruang (indoor). Pencemaran udara diluar ruang terjadi karena adanya polutan udara diluar ruang yang berasal dari sumber bergerak yaitu asap pembakaran kendaraan bermotor seperti mobil, motor, truk, dan bus maupun berasal dari sumber tidak bergerak seperti industri maupun proses pembangunan .Salah satu polutan udara yang dapat menyebabkan masalah dalam kesehatan adalah partikel debu kasar atau particulate matter (PM10) . Particulate matter atau
partikel debu melayang merupakan campuran yang sangat kompleks dari berbagai senyawa organik dan anorganik seperti sulfat, nitrat, ammonia, sodium klorida, karbon, debu mineral, dan air (WHO, 2011).
Efek yang ditimbulkan dari pajanan PM10 bagi kesehatan sudah banyak dialami oleh
masyarakat di pedesaan maupun perkotaan baik di negara berkembang maupun negara maju. Pajanan kronis dari PM10 berperan dalam meningkatnya risiko penyakit
kardiovaskuler maupun penyakit pernafasan termasuk kanker paru (WHO, 2011). Salah satu penyakit pernafasan yang ditimbulkan oleh pajanan PM10 adalah penyakit
penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita (Kementrian Kesehatan, 2010).
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi konsentrasi PM10di udara ambient
di jalan raya. Salah satunya dengan menggunakan vegetasi sebagai pembatas jalan raya dengan kawasan penduduk. Menurut Micah Fuller, dkk (2009), penanaman pohon di pinggir jalan raya dapat digunakan secara optimis untuk mengurangi pajanan PM10 terhadap penduduk yang tinggal di dekat jalan raya. Di lingkungan
urban, kendaraan bermotor merupakan penyumbang utama PM10 di jalan raya.
Deposisi yang dilakukan oleh pohon-pohon di pinggir jalan secara difusi sangatlah efisien untuk mengurangi jumlah PM10dari jalan raya, sekitar 79 persen partikulat di
udara ambien dapat dihapus dengan vegetasi dalam penelitian Cahlil(2008) (dalam Fuller,2009).
Berdasarkan laporan yang diberitakan pada Januari 2012 menyebutkan bahwa di kota Depok terdapak 4 titik yang memiliki konsentrasi udara melebihi baku mutu yang ditentukan oleh Kementrian Lingkungan hidup, yaitu PP NO 41 tahun 1999 tentang pencemaran udara. Keempat lokasi tersebut antara lain jalan Bojongsari, Sawangan, Jalan Raya Bogor dan Cibubur. Jalan Raya bogor memiliki kualitas udara paling buruk yaitu sebesar 337 µg/m3.(Media Indonesia, 2012).
Beberapa hal di atas yang mendorong peneliti ingin melakukan penelitian terkait pengaruh adanya vegetasi di pinggir jalan Raya Bogor tahun 2012 terhadap perubahan konsentrasi PM10 dan juga untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan
penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. Selain itu, peneliti juga ingin membandingkan hal yang sama dengan kawasan penduduk yang tinggal di dekat Jalan Raya tanpa adanya sekumpulan vegetasi sebagai pembatas dengan jalan raya.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL). ARKL merupakan metode untuk menghitung tingkat risiko akibat suatu pajanan lingkungan dalam populasi tertentu. Langkah-langkah dalam studi ARKL ini antara lain identifikasi bahaya, análisis dosis respon, análisis pemajanan, memperkirakan karakteristik risiko, dan manajemen risiko serta komunikasi risiko.
Penelitian ini dilakukan di wilayah penduduk yang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Bogor, Kota Depok, Jawa Barat pada bulan Desember 2012-Januari 2013. Penelitian ini dilakukan di wilayah yang bervegetasi dan tidak bervegetasi. Vegetasi yang dimaksud adalah tanaman atau pepohonan yang berada di pinggir jalan raya dan berjajar dengan jarak tertentu dan terlihat seperti membatasi jalan raya dengan wilayah di balik barisan tanaman tersebut. Tanaman yang dimaksud berupa pohon hijau berbagai jenis yang memeiliki ketinggian lebih dari 10 meter.
Populasi berisiko dalam penelitian ini adalah penduduk seperti satpam,petugas parkir, pedagang kaki lima, dan tukang ojek yang menghabiskan sebagian besar aktivitas hariannya di luar rumah di sekitar jalan Raya Bogor. Sampel manusia yang diambil adalah penduduk yang beraktivitas di luar rumah yang terpapar bahan pencemar dari kendaraan bermotor dengan radius 0 - 100 meter dari pinggir Jalan
yang bekerja lebih lama atau sama dengan satu tahun di tempat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel secara purposive dan penentuan sampel by criteria. Besar sampel yang diambil berdasarkan jumlah responden yang ditemukan di tempat penelitian sesuai dengan kriteria sampel dan bersedia diwawancarai.
Konsentrasi PM10 diambil dengan menggunakan alat Environment Partcullate Air
Particel (EPAM). Jumlah lokasi pengambilan sampel adalah 6 lokasi yang tersebar di
sepanjang jalan Raya Bogor-Kota Depok dengan rincian 3 lokasi di kawasan penduduk pada jalan Raya Bogor yang bervegetasi dan 3 lokasi di kawasan penduduk pada jalan Raya Bogor yang tidak bervegatasi. Pada setiap lokasi, diambil 2 titik pengukuran dengan jarak antara kedua titik itu sebesar 50 meter. Penentuan jarak titik sampel pada masing-masing kawasan penduduk berdasarkan metode pengambilan sampel pada penelitian yang dilakukan oleh Etyemezian,dkk (2004), di mana pengukuran dilakukan pada titik 2 meter dan 50 meter dari sumber risk agent pada jalan raya. Pengukuran konsentrasi PM10 dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data antropometri dan pola aktivitas penduduk yang dilakukan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner.
Data antropometri dan pola aktivitas yang diambil berupa berat badan (W), lama pajanan harian (tE), frekuensi pajanan dalam setahun (fE), durasi pajanan yang telah
diterima oleh individu selama hidupnya di wilayah penelitian (Dreal), dan keluhan
penyakit pernafasan yang dirasakan oleh pekerja dan masyarakat. Data konsenrasi PM10 dan data antropometri responden yang didapat kemudian dianalisis menggunakan metode analisis risiko yaitu dengan menghitung jumlah intake PM10 yang diterima individu per kilogram berat badan per harinya.Tingkat risiko dinyatakan dalam Risk Quotient (RQ) yang dinyatakan sebagai perbandingan antara nilai intake debu yang diterima per hari dengan dosis referensinya (RfC). Suatu keadaan dinyatakan berisiko dan butuh manajemen pengendalian apabila nilai RQ>1.
Hasil
Konsentrasi PM10 didapat dari pengukuran langsung menggunakan alat sampel
digital direct reading Haz-Dust EPAM 5000 USA. Alat ini menggunakan metode laser
analyzer dalam melakukan pengukuran partikulat. Konsentrasi yang tercantum pada
tabel 1 merupakan konsentrasi rata-rata hasil pengukuran yang dilakukan selama 30 menit pada masing-masing titik sampel. Selama pengukuran konsentrasi PM10, juga
dilakukan perhitungan rata-rata volume kendaraan yang melewati titik pengambilan sampel tersebut. Perbedaan masing-masing titik konsentrasi PM10 pada wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi dapat dilihat pada grafik 5.1
RfC I RQ ntake avg B t E E t W D f t R C Intake ¥ ¥ ¥ ¥ ¥
Grafik 1. Konsentrasi PM10 pada Wilayah Bervegetasi dan Tidak Bervegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota
Depok
Tabel 1 dan grafik 1 memperlihatkan bahwa nilai konsentrasi PM10 pada wilayah
jalan raya vegetasi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan jalan raya tidak bervegetasi. Ada satu titik pengukuran konsentrasi PM10 yang melebihi baku mutu jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Perbedaan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata konsentrasi PM10 pada wilayah tidak bervegetasi dan
vegetasi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Konsentrasi Time Weighted Average (TWA) PM10dan Analisis Situasi pada Saat Pengukuran
No Kategori Lokasi Jarak (μg/mTWA3) pengukuranWaktu
Rata-rata kendaraan (/menit) 1 Non vegetasi Titik 1 1 m 50 m 159 55 8.45-9.15 9.20-9.50 120 107 Titik 2 50 m1 m 10250 11.30-12.0012.05-12.35 81,884,2 Titik 3 50 m1 m 14151 13.20-13.5013.55-14.25 93,877,4 2 vegetasi Titik 1 50 m1 m 8554 14.40-15.1015.15-15.45 82,683,8 Titik 2 50 m1 m 6635 16.00-16.3016.35-17.05 102,6109,8 Titik 3 50 m1 m 8513 17.15-17.4517.50-18.20 100,495,6 PP 41/1999
Tabel 2. Konsentrasi PM10pada Wilayah Tidak Bervegetasi dan Vegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota
Depok
Nilai Titik 2 m Vegetasi Titik 50 m Titik 2 mTidak BervegetasiTitik 50 m
Min 0,066 0,013 0,102 0,050
Max 0,085 0,054 0,159 0,055
Mean ± SD 0,0786 ± 0,0109 0,034 ± 0,021 0,134 ± 0,029 0,0520 ± 0,0026
p-value* 0,766 1,000 0,929 0,986
Keterangan : *= Uji Normalitas Data Kolmogorov-Smirnov (One-Sample Kolmogorov- Smirnov Test)
Tabel 3. p-value uji Beda 2 Mean (t-test) dari Parameter Kualitas udara PM10 di Jalan Raya Bogor, Kota Depok
Parameter Vegetasi ( 2 m – 50 m) Tidak bervegetasi (2 m – 50 m)
PM10 (mg/M3) 0,082 0,034
Hasil uji yang tercantum pada tabel 2 menunjukkan bahwa semua distribusi konsentrasi normal (p-value > 0,05) sehingga estimasi asupan PM10 menggunakan
nilai mean. Tabel 3 menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi PM10 di titik 2 meter dan 50 meter pada wilayah tidak bervegetasi lebih bermakna dibandingkan wilayah vegetasi.
Jumlah responden yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 67 responden, dengan rincian sejumlah 31 responden dari wilayah bervegetasi dan 36 responden dari wilayah tidak bervegetasi. Karakteristik responden didapatkan melalui wawancara dengan responden pada saat dilakukan pengukuran konsentrasi PM10
pada masing-masing titik sampel. Variabel-variabel yang diamati adalah variabel sosio-demografi dan pola aktivitas responden yang meliputi perilaku responden dan gangguan kesehatan. Wawancara dilakukan terhadap responden yang sedang beraktivitas di wilayah titik pengukuran sampel PM10 dan terlihat lebih banyak
kontak dengan udara ambien. Hasil-hasil analisis univariat terlihat pada tabel 4 hingga tabel 6.
Tabel 4. Perbedaan Karakteristik Sosio-Demografi Responden Wilayah Vegetasi (n=31) dan Tidak Bervegetasi (n=36) di Jalan Raya Bogor, Kota Depok Tahun 2012
No Variabel Jumlah (Persen)
Vegetasi Tidak Bervegetasi 1 Pekerjaan:
- Kuli atau buruh - Pedagang kaki lima - Pedagang keliling - Pedagang kios - Satpam - Sopir - Tukang ojek - Tukang parker 3 ( 9,7) 13 (41,9) -12 (38,7) 1 ( 3,2) 1 ( 3,2) 1 ( 3,2) -6 (1-6,7) 3 ( 8,3) 3 ( 8,3) 16 (44,4) 3 ( 8,3) 1 ( 2,8) 1 ( 2,8) 1 ( 8,3)
No Variabel Jumlah (Persen)
Vegetasi Tidak Bervegetasi 2 Pendidikan : - Tidak tamat SD - SD - SLTP - SLTA - D3 - S1 2 ( 6,5) 6 (19,4) 14 (45,2) 7 (22,6) 2 ( 6,5) -2 ( 5,6) 8 (22,2) 11 (30,6) 15 (41,7)
-Tabel 5. Berat Badan (Wb) , Lama Pajanan (tE), Frekuensi Pajanan (fE) dan Durasi Pajanan (Dt) Responden
Wilayah Tidak Bervegetasi (n=36) Dibandingkan dengan Responden Wilayah Vegetasi (n=31) di Jalan Raya Bogor, Kota Depok Tahun 2012
Nilai Vegetasi Tidak Bervegetasi
(Wb) (tE) (fE) (Dt) (Wb) (tE) (fE) (Dt) Min 37 8 266 1 34 7 221 1 Max 70 18 364 37 87 20 364 35 Mean ± SD 55,42 ± 9,777 12,23 ± 2,617 336,61 ± 26,182 6^ ± 9,394 58,31 ± 13,827 9^ ± 3,066 302,61 ± 41,997 10,75 ± 11,440 p-value* 0,648 0,427 0,122 0,044 0,436 0,001 0,398 0,061
Keterangan : *= Uji Normalitas Data Kolmogorov-Smirnov (One-Sample Kolmogorov- Smirnov Test) ^ = nilai median
Nilai berat badan (Wb) merupakan nilai yang didapatkan hasil penimbangan langsung
terhadap resonden. Nilai lama pajanan (tE) didapatkan langsung dari responden
menegenai lama bekerja responden dalam satu hari. Nilai frekuensi pajanan (fE)
didapatkan dari hasil pengurangan jumlah hari dalam satu tahun (365 hari) dengan banyaknya hari libur atau hari di mana responden tidak melakukan aktivitasnya di daerah tersebut dalam satu tahun. Sedangkan durasi pajanan (Dt) didapatkan dari
sudah berapa tahun responden beraktivitas di wilayah penelitian ini.
Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa jenis pekerjaan pada kedua kategori wilayah tidak terlalu banyak perbedaan. Pedagang merupakan jenis pekerjaan yang paling mendominasi di kedua wilayah. Tingkat pendidikan responden kedua wilayah juga dilihat masih rendah. Hasil uji normalitas pada tabel 5 menunjukkan bahwa semua variabel berdistribusi normal kecuali pajanan harian pada wilayah tidak bervegetasi (p-value 0,001) dan durasi pajanan pada wilayah vegetasi (p-value 0,044). Oleh karena itu pajanan harian pada wilayah tidak bervegetasi dan durasi pajanan pada wilayah vegetasi menggunakan nilai median, sedangkan variabel lainnya menggunakan mean.
Perbedaan nilai berat badan, pajanan harian, frekuensi pajanan, dan durasi pajanan diuji dengan t-test untuk mengetahui perbedaan nilainya antara responden wilayah bervegetasi dan tidak bervegetasi. Perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada tabel
Tabel 6. p-value uji Beda 2 Mean (t-test) dari Elemen Berat Badan, Pajanan Harian, Frekuensi Pajanan, dan Durasi Pajanan Responden di Jalan Raya Bogor, Kota Depok
Elemen Vegetasi-tidak vegetasi
Berat badan (Kg) 0.235
Pajanan harian (jam/hari) 0.007 Frekuensi pajanan (hari/tahun) 0.000 Durasi pajanan (tahun) 0.350
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa yang memiliki perbedaan bermakna pada responden wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi hanya variabel frekuensi pajanan, di mana responden wilayah vegetasi memiliki frekuensi pajanan yang lebih besar dibandingkan responden wilayah tidak bervegetasi. Selain mengumpulkan data antropometri di wilayah penelitian, juga dikumpulkan data penunjang lain seperti perilaku dan gangguan kesehatan responden.
Tabel 7. Perbedaan Karakteristik Perilaku dan Gangguan Kesehatan Responden Wilayah Vegetasi (n=31) dan Tidak Bervegetasi (n=36) di Jalan Raya Bogor, Kota Depok Tahun 2012
No Variabel Jumlah (Persen)
Vegetasi Tidak Bervegetasi 1 Perilaku : - Penggunaan masker - Kebiasaan merokok Ya 6 (19,4) 18 (58,1) Tidak 25 (80,6) 13 (41.9) Ya 2 ( 5,6) 30 (83,3) Tidak 34 (94,4) 6 (16,7) 2 Gangguan kesehatan :
a. Pernah mengalami gangguan pernafasan seperti sesak nafas selama 2 minggu terakhir
b. Sesak nafas disertai nyeri pada dada c. Nafas berbunyi saat malam harinya
(mengi)
d. Mengalami batuk pada 2 minggu terakhir e. Batuk disertai dahak
f. Pernah mengalami gangguan pernafasan (sesak nafas, nyeri dada, batuk) selama bekerja di tempat ini
g. Pernah mengalami gangguan pernafasan (sesak nafas, nyeri dada, batuk) sebelum bekerja di tempat ini
Ya 4 (12,9) 2 ( 6,5) 1 ( 3,2) 15 (48,4) 4 (12,9) 23 (74,2) 18 (58,1) Tidak 27 (87,1) 29 (93,5) 30 (96,8) 16 (51,6) 27 (87,1) 8 (25,8) 13 (41,9) Ya 6 (16,7) 1 ( 2,8) -13 (36,1) 4 (11,1) 16 (44,4) 12 (33,3) Tidak 30 (83,3) 35 (97,2) 36 (100) 23 (63,9) 32 (88,9) 20 (55,6) 24 (66,7)
Intake PM10 pada responden wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi dihitung
berdasarkan nilai konsentrasi PM10 pada titik 2 meter dan 50 meter pada masing-masing wilayah. Berikut contoh perhitungan intake pada salah satu responden di wilayah tidak bervegetasi Jalan Raya Bogor, Kota Depok berdasarkan durasi pajanan
real time ( Wb = 75 kg; tE= 11 jam/hari; fE= 362 hari/tahun; Dt realtime= 28 tahun; C tidak bervegetasi= 0,093 mg/M3) dan dihitung dengan konsentrasi PM10 di titik 2 meter
dan 50 meter.
Untuk konsentrasi PM10 di titik 50 meter ( C = 0,052 mg/M3 )
Intake juga dapat dihitung untuk pajanan life span yaitu responden terpajan PM10
yang beraktivitas di wilayah vegetasi maupun tidak bervegetasi pada jalan Raya Bogor, Kota Depok sampai 30 tahun ke depan. Berikut contoh perhitungan intake life
span pada responden tadi:
Untuk konsentrasi PM10 di titik 2 meter ( C= 0,134 mg/M3 )
Untuk konsentrasi PM10 di titik 50 meter ( C = 0,052 mg/M3 )
Nilai Intake real time dan intake life span kumulatif pada populasi responden dihitung dengan mencari nilai rata-rata di tiap titik ( 2 m dan 50 meter) . Perbedaan rata-rata intake real time dan life span pada wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota Depok tercantum pada tabel 8 berikut ini.
* nilai intake per individu dapat dilihat pada Lampiran
Karakteristik risiko (RQ) dihitung untuk mengetahui seberapa besar tingkat bahaya dari suatu zat toksik yang memajan suatu populasi. Apabila nilai RQ < 1 berarti pemajanan masih dianggap aman bagi manusia, sedangkan apabila nilai RQ > 1 berarti pemajanan tidak aman bagi manusia sehingga perlu dilakukan pengendalian. Sebagai contoh perhitungan nilai tingkat risiko untuk responden di wilayah yang tidak bervegetasi berdasarkan pajanan intake real time.
= 8,388
Perbandingan nilai RQ untuk pajanan real time dan life span pada populasi berisiko di wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi ( Jalan Raya Bogor, Kota Depok) dapat dilihat pada tabel 9 berikut :
Tabel 9 menunjukkan bahwa pajanan PM10pada kategori wilayah vegetasi dan tidak
bervegetasi dianggap tidak aman bagi populasi berisiko di kedua kategori wilayah tersebut (RQ>1), hanya pada wilayah vegetasi di titik 50 meter yang mempunyai nilai RQ < 1 atau bisa dianggap tidak berisiko. Dapat dilihat juga bawa nilai RQ pada wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RQ wilayah vegetasi. Manajemen risiko dilakukan untuk menentukan konsentrasi risk agent yang paling aman bagi individu atau populasi berisiko atau dengan kata lain memanipulasi komponen yang ada agar diperoleh nilai RQ=1. Beberapa komponen yang bisa dimanipulasi antara lain mengurangi konsentrasi risk agent (nilai C) dengan waktu pajanan harian (nilai tE) dan frekuensi pajanan tahunan (nilai fE) tetap atau dengan
Tabel 8. Intake PM10 untuk Pajanan Real Time dan Life Span pada Populasi Wilayah Tidak
Bervegetasi Dibandingkan dengan Populasi Wilayah Vegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota Depok* No Intake PM10(mg/kg/hari)
Tidak Bervegetasi Vegetasi Titik 2m Titik 50 m Titik 2m Titik 50 m
1 Real time 0,0054 0,0020 0,0026 0,0011
2 Life span 0,0166 0,0064 0,0138 0,0060
Tabel 9. Tingkat Risiko (RQ) PM10untuk Pajanan real time dan life span pada Populasi Wilayah
tidak Bervegetasi Dibandingkan dengan Wilayah Vegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota Depok No Intake PM10(mg/kg/hari)
Tidak Bervegetasi Vegetasi Titik 2m Titik 50 m Titik 2m Titik 50 m
1 Real time 3,0027 1,1652 1,4486 0,6266
menurunkan waktu pajanan harian (nilai tE) dan frekuensi pajanan tahunan (nilai fE)
untuk konsentrasi risk agent (nilai C) tetap.
Berikut ini contoh manajemen risiko yang dilakukan dengan menghitung konsentrasi
risk agent yang aman bagi salah satu responden wilayah tidak bervegetasi di Jalan
Raya Bogor, Kota Depok ( Wb= 75 kg; tE= 11 jam/hari; fE= 362 hari/tahun)
C rata-rata harian
0,0149 mg/M3
Selanjutnya untuk manajemen risiko yang dapat dilakukan apabila konsentrasi risk
agent tetap adalah dengan mengurangi waktu pajanan harian atau frekuensi pajanan
tahunan responden. Berikut contoh perhitungan yang dilakukan pada salah satu responden yang digunakan pada perhitungan sebelumnya. ( Wb = 75 kg; tE = 11
jam/hari; fE= 362 hari/tahun) tE 1,76 jam/hari Atau : fE 58,032 hari/tahun
Pembahasan
Hasil pengukuran konsentrasi PM10 yang dilakukan di sepanjang Jalan Raya Bogor,
Kota Depok memperlihatkan adanya satu titik lokasi pengukuran yang melebihi baku mutu jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu di lokasi 1 titik 2 meter,
pengukuran, terlihat bahwa lokasi 1 merupakan lokasi yang paling komplek terdapat pencemaran udara, yaitu dari industri di sekitar titik, dekat dengan titik kemacetan salah satu jalan di Jalan Raya Bogor, Kota Depok, dan tanpa adanya tutupan vegetasinya. Sedangkan jika dilihat dari rata-rata jumlah kendaraan yang melintas, menunjukkan bahwa jumlah kendaraan ini bisa menjadi salah satu penyebab tingginya konsentrasi PM10 pada titik 2 m di lokasi 1 karena rata-rata jumlah kendaraan yang melintas merupakan yang tertinggi yang melintas dibandingkan dengan pengukuran di wilayah atau lokasi lain.
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa dari masing-masing wilayah terdapat perbedaan konsentrasi PM10 di mana di wilayah tidak bervegetasi memiliki rata-rata konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah vegetasi, baik rata-rata pengukuran di titik 2 meter maupun 50 meter. Berdasarkan pengamatan, kondisi cuaca pada saat pengukuran, cuaca tidak banyak berkontribusi dalam perbedaan konsentrasi di wilayah tidak bervegetasi dan wilayah bervegetasi. Hal ini dikarenakan pada semua titik pengukuran memiliki kondisi cuaca dianggap sama, mendung tipis dan diukur setelah turun hujan pada malam harinya. Situasi di tiap lokasi juga dianggap sama karena baik di wilayah vegetasi maupun tidak bervegetasi juga memiliki sumber pencemar udara lain seperti dari industri dan adanya titik kemacetan.
Konsentrasi PM10 di wilayah vegetasi yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah tidak bervegetasi menunjukkan bahwa vegetasi mempunyai peranan yang signifikan untuk menurunkan konsentrasi PM10 di udara ambien. Keberadaan vegetasi ini memang telah dibuktikan oleh beberapa penelitian dapat mengurangi konsentrasi PM10. Penelitian Pugh (2012) menyebutkan bahwa vegetasi pada jalan
raya dapat mengurangi konsentrasi PM10 hingga 60% pada kondisi tertentu.
Penelitian lain yang dilakukan di Sekolah Dasar Willett, terletak di dekat jalan raya Kota Davis, California, menyebutkan sekumpulan vegetasi yang berada di dekat jalan raya dapat mengurangi konsentrasi PM sebesar 120 Kg/tahun atau sekitar 0,04 µg / m3 per detik (Fuller, 2009).
Karakteristik antropometri dan pola aktivitas yang diukur dalam penelitian ini meliputi pekerjaan, berat badan, pajanan harian dan frekuensi pajanan tahunan. Berdasarkan hasil survey pada kedua kategori wilayah ini, didapatkan jenis pekerjaan paling dominan adalah pedagang, yang terdiri dari pedagang kaki lima, pedagang kios, dan pedagang keliling. Pedagang merupakan jenis pekerjaan yang mengharuskan responden untuk tetap berada pada lokasi tersebut. Hal ini menyebabkan pedagang menjadi lebih berisiko untuk lebih lama terpajan PM10 dibandingkan dengan responden pekerjaan lain. Berbeda dengan pekerjaan tukang ojek di mana responden ini bisa meninggalkan lokasi ini ketika mengantarkan pelanggan. Tingkat pendidikan responden sebagian besar masih rendah atau menengah ke bawah. Pendidikan yang rendah bisa mempengaruhi pengetahuan responden yang rendah mengenai bahaya adanya polusi udara di jalan raya, sehingga responden dengan pendidikan yang rendah akan lebih berisiko untuk terkena gangguan-gangguan kesehatan akibat pajanan pencemar di jalan raya.
Berdasarkan hasil survai yang dilakukan di responden jalan Raya Bogor, Kota Depok rata-rata berat badan di wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah vegetasi, yaitu dengan rata-rata sebesar 58,31 Kg. Nilai mean untuk berat
badan ini hampir sama dengan nilai mean berat badan Pedagang Kaki Lima di wilayah Bundaran HI Jl. MH. Thamrin Jakarta yaitu sebesar 58,24 Kg (Wardani, 2012). Pajanan harian responden wilayah vegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tidak bervegetasi yaitu sebesar 12,23 jam/hari. Frekuensi pajanan wilayah vegetasi juga lebih tinggi dibandingkan wilayah tidak bervegetasi, sedangkan durasi pajanan wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dibandingkan wilayah vegetasi. Nilai pajanan harian (tE), frekuensi pajanan (fE), dan durasi pajanan (Dt) yang tinggi akan mempengaruhi jumlah asupan atau intake yang tinggi terhadap risk agent. Hal ini menyebabkan responden akan menjadi lebih berisiko untuk timbul gangguan-gangguan kesehatan.
Pada tabel 7 masih menunjukkan lebih tingginya jumlah responden yang merokok dan tidak menggunakan masker saat bekerja di dekat jalan Raya Bogor, Kota Depok, baik responden di wilayah bervegetasi dan wilayah tidak bervegetasi. Perilaku responden seperti ini bisa menyebabkan responden menjadi lebih berisiko untuk terkena gangguan kesehatan terkait saluran pernafasan. Pada tabel hasil juga dapat dilihat bahwa responden wilayah vegetasi cenderung lebih banyak terkena gangguan-gangguan kesehatan terkait saluran pernafasan dibandingkan dengan responden di wilayah yang tidak bervegetasi. Hal ini dapat digambarkan mempunyai arah yang sejalan dengan lebih tingginya lama pajanan harian dan frekuensi pajanan responden untuk wilayah bervegetasi.
Pada tabel 8 didapatkan hasil adanya perbedaan nilai intake untuk wilayah tidak bervegetasi dan wilayah vegetasi. Didapatkan juga perbedaan nilai intake pada titik 2 meter dan 50 meter pada masing-masing wilayah. Perbedaan-perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi risk agent, lama pajanan, frekuensi pajanan, dan durasi pajanan. Wilayah tidak bervegetasi memiliki nilai intake wilayah lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah vegetasi, baik untuk intak real time maupun intake life span. Hal ini dipengaruhi oleh nilai konsentrasi PM10 di wilayah
tidak bervegetasi yang tinggi dan nilai durasi pajanan yang tinggi. Berdasarkan titik konsentrasi 2 meter dan 50 meter menunjukkan bahwa intake untuk pajanan di wilayah baik vegetasi maupun tidak bervegetasi, lebih tinggi di 2 meter jika dibandingkan di lokasi 50 meter. Hal ini sejalan dengan penurunan angka konsentrasi PM10 dari titik 2 meter ke 50 meter dari jalan raya. Nilai asupan atau intake yang lebih tinggi ini bisa menjadikan wilayah itu menjadi lebih berisiko dari daerah lain. Sehingga dapat diasumsikan bahwa responden-responden yang mempunyai nilai intake tinggi akan lebih mudah untuk untuk terkena gangguan kesehatan terkait pajanan risk agentnya.
Karakteristik risiko (RQ) yang dikaji dalam penelitian ini untuk membedakan karakteristik risiko responden pada wilayah vegetasi dan tidak bervegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota Depok, serta dibandingkan antara titik 2 meter dengan 50 meter dari masing-masing wilayah. Nilai tingkat risiko (RQ) dihitung berdasarkan durasi pajanan real time dan life span dengan nilai RfC 0,0018 mg/Kg/hari yang merupakan nilai standar dari default berat badan orang dewasa untuk industri dan komersial 70 Kg dan dengan standar laju inhalasi 20 m3/hari.
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai RQ untuk semua kategori wilayah, tidak bervegetasi dan vegetasi, menunjukkan semuanya berisiko (RQ>1), kecuali nilai RQ
responden yang tinggal di titik 50 meter di wilayah bervegetasi tidak berisiko terkena gangguan kesehatan akibat pajanan PM10 pada kondisi tertentu. Perbedaan nilai tingkat risiko di titik 2 meter dan 50 meter pada wilayah bervegetasi dan tidak bervegetasi juga menunjukkan bahwa wilayah bervegetasi mempengaruhi rendahnya tingkat risiko pajanan PM10 serta jarak dari sumber pajanan jalan raya juga mempengaruhinya, semakin jauh jarak dari sumber pajanan, semakin rendah tingkat risikonya. Rendahnya tingkat risiko ini juga dikarenakan rendahnya konsentrasi PM10 di masing-masing lokasi, selain dipengaruhi rendahnya berat badan (Wb) responden dan durasi pajanan (Dt).
Pada dasarnya manajemen risiko merupakan upaya yang didasarkan pada informasi untuk menanggulangi atau mencegah efek yang merugikan akibat pajanan zat toksik. Ada 3 hal yang dapat dilakukan dalam manajemen risiko, yaitu mengurangikonsentrasi pajanan, meminimalisasi waktu pajanan, dan kombinasi dari keduanya (Rahman et.al., 2012). Manajemen risiko ini memanipulasi nilai tingkat risiko agar bernilai sama dengan 1 (RQ = 1). Apabila nilai RQ>1 maka penanggulangan yang harus dilakukan adalah dengan menurunkan nilai intake (I). dari nilai Intake tersebut. Manajemen risiko yang dilakukan pada penelitian Wardani (2012) di wilayah Bundaran HI Jl. MH. Thamrin Jakarta dilakukan dengan 2 cara. Pertama yaitu dengan mengurangi konsentrasi PM10 sampai konsentrasi aman dan
yang kedua mengurangi waktu pajanan baik pajanan harian maupun frekuensi pajanan tahunan.
Berdasarkan cara manajemen risiko yang dilakukan sebelumnya, dapat diterapkan dalm panelitian ini. Namun yang paling disarankan dan dapat dilakukan adalah dengan mengurangi konsentrasi risk agent di wilayah jalan Raya Bogor salah satunya dengan mengacu pada hasil penelitian ini yang menunjukkan peran vegetasi dalam mengurangi konsentrasi PM10 di jalan Raya Bogor, Kota depok. Waktu pajanan harian responden tidak memungkinkan untuk dikurangi karena hal ini akan membebankan responden mengingat lokasi jalan Raya Bogor, Kota Depok ini merupakan sumber utama mata pencaharian responden yang merupakan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kesimpulan dan Saran
Tingkat risiko pajanan PM10 pada wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah bervegetasi di Jalan Raya Bogor, Kota Depok. Responden yang beraktivitas di wilayah bervegetasi jalan Raya Bogor, Kota Depok,tidak berisiko terkena gangguan kesehatan akibat pajanan PM10 apabila beraktivitas pada jarak 50 meter dari sumber pencemar jalan raya (RQ<1). Hal-hal yang mempengaruhinya antara lain terkait besarnya asupan pajanan PM10 baik real
time maupun life span pada responden wilayah tidak bervegetasi lebih tinggi dari
responden wilayah vegetasi di Jalan Raya Bogor, kota Depok. Manajemen risiko yang dipilih untuk mengurangi pajanan PM10 agar tidak mengganggu kesehatan responden yang tinggal di dekat Jalan Raya Bogor, Kota Depok adalah dengan mengurangi konsentrasi PM10 dengan memanfaatkan tutupan vegetasi di pinggir jalan raya.
Responden diharapkan lebih waspada lagi terhadap bahaya polusi udara di jalan raya. Dapat memulai untuk membiasakan menggunakan masker ketika jalan raya
ramai dengan kendaraan yang melintas. Rekomendasi ditujukan untuk industri-industri besar yang ada di pinggir jalan Raya Bogor, Kota depok agar dapat mengendalikan emisi dari industri tersebut sehingga tidak menambah tingkat pencemaran polusi udara di jalan Raya Bogor, Kota depok maupun di sekitar industri. Selain itu, diharapkan dapat turut serta mengurangi tingkat pencemaran udara dengan melakukan penghijauan di sekitar industri dan jalan Raya Bogor, Kota Depok melalui bagian CSR masing-masing. Bagi pihak Badan Pengelola Lingkungan Hidup setempat disarankan untuk melakukan pengawasan lebih ketat lagi terhadap pengendalian emisi yang dilakukan oleh industri-industri serta bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat agar dilakukan evaluasi berdasarkan hasil pantauan kualitas udara di Jalan Raya Bogor, Kota Depok terhadap gangguan kesehatan penduduk di sekitar jalan raya tersebut. Sehingga dapat dijadikan bahan acuan untuk melakukan intervensi kesehatan penduduk.
Rekomendasi juga ditujukan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian analisis risiko cakupan vegetasi jalan raya ini dengan membandingkan jenis-jenis vegetasi yang lebih spesifik dan kerapatan tanaman, atau melakukan penelitian analisis risiko kualitas udara ambien dengan cakupan vegetasi yang ada di sebuah daerah atau kota terhadap gangguan kesehatan penduduk di kota tersebut, serta dipetakan wilayah-wilayah yang berisiko tinggi pencemaran udaranya.
Daftar Pustaka
Acero,J.A., Simon,A. (2010). Influence of Vegetation Scenarios On The Local Air Quality of a
City Square. Spain : LABEIN-Tecnalia
Boogard,H. et al. (2012). Contrast in Oxidative Potential and Other Particulate matter Characteristics Collected near major Streets and Background Locations.
Environmental Health Perspectives, Vol 120: 185-191
Brook, Jeffrey R, Tom F. Dann, Richard T. Burnett. (1997). The Relationship Among TSP, PM10, PM2.5, and Inorganic Constituents of Atmospheric Particulate Matter at Multiple
Canadian Locations. J. Air & Waste Management Association, Vol 47: 2-19
Chang, C.T. et al. (2008). Fugitive Dust Emission Source Profiles and Assessment of Selected Control Strategies for Particulate Matter at Gravel Processing Sites in Taiwan. Journal of The Air & Waste Managenet, Vol 60: 1262-1268
Cowherd,Jr.C. Grelinger,M.A.(2010). Development of an Emission Reduction Term for
Near-Source Depletion. Kansas City
Cozzi,F. et al. (2008). Is PM10 mass Measurement a Reliable Index for Air Quality Assessment? An Environmental Study in a Geographical Area of North-Eastern Italy.
Environ Monit Assess (2008), Vol 144: 389-401
Donahue, J.D. (2011). An Empirical Analysis of The Relationships Between tree Cover, Air
Quality, And Crime in Urban Areas. A Thesis, School of Arts and Sciences of
Georgetown University.
Fuller et al. (2009). Practical Mitigation Measures for Diesel Particulate Matter: Near-Road
Vegetation Barriers. California : The U.C. Davis-Caltrans. Air Quality Project
F. Amato et al. (2009). Spatial and Chemical Patterns of PM10 In Road Dust Deposited In
Urban Environment. Elsevier-Atmospheric Environment, Vol 43: 1650–1659
Grelinger, Mary Ann and Chatten Cowherd, Jr. (2005). Development of an Emission Reduction Term for Near-Source Depletion. Elsevier.
-.(2010). Riset Kesehatan Dasar. RISKESDAS 2010
Media Indonesia. (2012). Kualitas Udara di Empat Titik di Depok Buruk.
www.mediaindonesia.com. diakses pada tanggal 11 Januari 2013
M.Bovenzi et al. (2008). Is PM10 Mass Measurement a Reliable Index for Air Quality Assessment? An Environmental Study in a Geographical Area of North-Eastern Italy.
Environ Monit Assess, Vol 144: 389-401
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 41 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara
Pugh, T.A.M., MacKenzie, A.M., J Whyatt, J.D. & Hewitt, C.N. (2012). Green Infrastructure In
Street Canyons Could Reduce Air Pollution. England : European Commision
Rahman, A. (2004). Analisis Kualitas Lingkungan. Modul Mata Kuliah Analisis Kualitas Lingkungan, Depok, FKM UI
Ugazio, Giancarlo et al. (2009). Monitoring of Submicron Particulate Matter Concentrations in the Air of Turin City, Italy : Influence of Traffic-limitations. Water Air Solit Pollut, Vol 196: 141-149
Wardani, Tri Kusuma. (2012). Perbedaan Tingkat Risiko Kesehatan oleh Pajanan PM10, So2
dan NO2 pada Hari Kerja, Hari Libur dan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Bundaran HI Jakarta. Skripsi, Program Studi Kesehatan Lingkungan FKM UI
WHO. (2011) Health Aspects of Air Pollution with Particulate matter, Ozone and Nitrogen
Dioxide. Report on WHO Working Group: Bonn
United States. Environmental Protection Agency (EPA). (2013). Particulate Matter (PM) –
Basic Information. www.epa.gov. Diakses pada tanggal 11 januari 2013
- (2011). Air Quality Planning and Standards.www.epa.gov. Diakses pada tanggal 11 januari 2013