• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007 dan Per- 03/Bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari ah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007 dan Per- 03/Bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari ah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

This paper examines the Tafsir of Sharia Economic Law Against Government Regulation Number: PER-04/bl/2007 and PER-03/bl /2007 About Leases for Sharia Business. From this explanation it can be seen that the lease of sharia is a business activity undertaken by business actors either business organizations or individuals by utilizing the media services. The problem arising from this activity is the accountability of the consumer or the customer. The most frequent offenses committed by the first party are dishonest behavior toward the consumer about the product being offered, such as hiding the product information, where the main weakness is the prospective customer only know the product through the image and product information of interest from the information given by the second party. So the ethical principles of buying and selling are not strictly enforced in leases in order to protect consumers. In this case, the authors are interested in discussing about the legal interpretation after the lease regulations issued by the government that essentially still reap problems in the aspects of syar’i.

Keywords: Leases, Ijarah, Ijarah Muntahiah bi at-Tamlik

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap

Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007

dan Per- 03/Bl/2007

Tentang Sewa Guna Usaha Syari’ah

M. Arif Kurniawan

Dosen Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Bisnis Islam Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur Bantul Yogyakarta

Email : leody1986@gmail.com

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap

Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007

dan Per- 03/Bl/2007

Tentang Sewa Guna Usaha Syari’ah

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap

Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007

dan Per- 03/Bl/2007

(2)

Abstrak

Tulisan ini mengkaji tentang Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Ter hadap Peraturan Pemerintanh Nomor: PER- 04/bl/2007 dan PER- 03/bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari’ah. Dari papa ran ini dapat diketahui bahwa sewa guna usaha syariah adalah aktivitas bisnis yang dilakukan oleh para pelaku bisnis baik itu organisasi bisnis maupun individu dengan memanfaatkan media jasa. Permasalahan yang timbul dari adanya aktivitas ini adalah pertanggungjawaban terhadap konsumen atau pelanggan. Pelanggaran yang sering sekali dilakukan oleh pihak pertama adalah sikap tidak jujur terhadap konsumen tentang produk yang ditawarkan, seperti menyembunyikan informasi produk tersebut, di mana kelemahan utamanya adalah calon konsumen hanya mengetahui produk melalui gambar dan informasi produk yang diminati dari keterangan yang diberikan oleh pihak kedua. Maka prinsip-prinsip etika dalam jual beli tidak diterapkan secara tegas dalam sewa guna usaha demi melindungi konsumen. Dalam hal ini, penulis tertarik membahas tentang tafsir hukum setelah peraturan sewa guna usaha dikeluarkan oleh pemerintah yang pada esensinya masih menuai problematika dalam aspek syar’i.

Kata kunci : Sewa Guna Usaha, Ijarah, Ijarah Muntahiah Bi at-Tamlik Pendahuluan

Dalam bisnis modern yang memerlukan barang-barang modal dalam jumlah besar, tantangan utama yang dihadapi suatu perusahaan adalah keterbatasan biaya untuk mengadakan atau membeli barang-barang modal untuk keperluan usaha. Untuk mengatasi kesulitan ini, pembiayaan dengan model Sewa Guna Usaha (leasing) adalah pilihan tepat. Sewa Guna Usaha atau leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan leasing (lessor) dengan menyediakan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan lain yang membutuhkan barang-barang modal tersebut dalam menjalankan usahanya (leasee) untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan alternatif hak pilih pasca berakhirnya perjanjian bagi perusahaan penyewa untuk membeli barang-barang modal yang disewa atau tidak, atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama. Dengan melakukan leasing perusahaan penyewa dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli, dapat langsung digunakan berproduksi, dan dapat diangsur pembayaran sewanya berdasar

(3)

kesepakatan, setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak

lessor.

Melalui pembiayaan leasing, perusahaan leasee dapat memperoleh barang-barang modal untuk operasional perusahaan dengan mudah dan cepat. Hal ini sungguh berbeda jika perusahaan itu mengajukan kredit kepada bank yang memerlukan persyaratan serta jaminan besar. Bagi perusahaan yang modalnya terbatas, dengan melakukan perjanjian

leasing dapat membantu perusahaan menjalankan kegiatan usahanya.

Setelah jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian leasing selesai, perusaha an dapat memutuskan sesuai kesepkatan untuk membeli atau tidak membeli barang modal yang disewa. Bagi perusahaan yang secara mendadak memerlukan barang modal tertentu dalam proses produksi misalnya, tetapi tidak mempunyai dana tunai cukup, mengadakan per-janjian leasing adalah solusi tepat, dengan melakukan perper-janjian leasing akan lebih menghemat biaya dibanding dengan membeli secara tunai.

Sewa Guna Usaha (leasing) ini dapaat dilakukan berdasarkan keten-tuan syariah. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah mengeluarkan dua peraturan penting untuk hal ini, yaitu Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

Bagaimanakah kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) syariah menurut ke dua peraturan itu dilaksanakan, adakah kelemahannya serta apakah ke-dua peraturan itu menjadi dasar hukum kuat untuk operasional leasing syariah adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini, dengan harapan dapat memberikan masukan bagi pelaku bisnis bagaimana mengoperasionalkan leasing secara syariah dan memberikan masukan bagi pejabat berwenang pembuat regulasi seperti ketua Bapepam-LK tentang bagaimana menyempurnakan regulasi leasing syariah yang ada.

Pengertian Sewa Guna Usaha

Sewa Guna Usaha adalah istilah yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris leasing, berasal dari kata dasar lease, artinya sewa menyewa.

(4)

Dalam dunia bisnis leasing berkembang sebagai bentuk khusus sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiayaan perusahaan berupa penyediaan barang modal yang digunakan untuk menjalankan usaha dengan membayar sewa selama jangka waktu tertentu.1 Pasal 1 angka (5) Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan menyebutkan bahwa Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi2 (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating

Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lease) selama jangka

waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.3

Dalam pembiayaan Sewa Guna Usaha (leasing) ada tiga pihak yang terlibat, yaitu:4

1. Pihak Lessor. Yaitu Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) yang memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan ini menye diakan pembiayaan dengan cara Sewa Guna Usaha kepada pihak yang membutuhkan dan bersifat multifinance ialah khusus bergerak dalam bidang Sewa Guna Usaha. Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya peru sahaan ini berhubungan langsung dengan pihak penjual (supplier) dan telah melunasi harga atas beban biaya perusahaannya. Tujuan perusahaan ini adalah mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk mem biayai penyediaan barang modal dan memperoleh keuntungan (financial lease), atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa pemeliharaan serta pengoperasian modal (operating

lease).

2. Pihak Lessee. Yaitu perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir kontrak Sewa Guna Usaha.

Lessee mengembalikan barang modal kepada Lessor (operating lease),

kecuali jika ada hak opsi untuk membeli dengan berdasarkan nilai sisa (financial lease).

3. Pihak Supplier. Yaitu penjual barang modal yang menjadi obyek

1 Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 145

2 Hak perusahaan penyewa memilih untuk memiliki barang modal dengan cara membeli dari perusahaan yang menyewakan barang modal itu.

3 Pasal 1 angka (5) Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan 4 Abdul Ghofur Anshori..., h. 146-148

(5)

Sewa Guna Usaha. Harga barang modal itu dibayar tunai oleh Lessor ke pada Supplier untuk kepentingan Lessee. Supplier dapat berstatus Peru sahaan Produsen Barang Modal atau pihak penjual biasa. Ada juga Sewa Guna Usaha yang tidak melibatkan Supplier, melainkan hubu ngan bila teral antara pihak Lessor dan Lesse, misalnya dalam bentuk sale and lease back. Pada financial lease, pihak Supplier lang-sung menyerahkan barang modal kepada Lessee tanpa melalui Lessor sebagai pihak yang menyediakan pembiayaan. Sebaliknya pada

Opera ting lease, Pihak Supplier menjual barang modal langsung

ke-pada Lessor dengan pembayaran yang telah disepakati, secara tunai atau berkala.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis leasing, yaitu, pertama, Operating Leasing; merupakan leasing di mana di akhir masa leasing tidak diberikan hak pilih (opsi) bagi Lessee untuk mem beli barang leasing tersebut. Kedua, Financial Leasing; merupakan leasing dimana di akhir masa leasing diberikan hak pilih (opsi) bagi

Lessee untuk memiliki barang modal tersebut dengan jalan membelinya

dengan harga yang ditetapkan bersama. Dan ketiga, Sale and Lease Back; meru pakan jenis leasing di mana barang modal berasal dari Lessee sendiri. Kemudian barang tersebut dijual kepada Lessor (pemberi dana) dan selanjutnya Lessor menyewakan barang tersebut kepada Lessee kembali, yang biasanya digunakan jenis financial leasing. 5

Sementara itu, situs smecda.com milik Kementerian Koperasi dan UKM dalam salah satu artikel singkatnya membagi leasing ke dalam dua kategori, yaitu:6

1. Finance Lease (Full-pay Out Leasing), yaitu suatu bentuk pembiayaan dengan cara kontrak antara Lessor dengan Lessee dengan memberikan hak opsi kepada Lessee pada akhir periode lease. Selanjutnya, Finance

Lease ini terbagi dalam berbagai bentuk transaksi, sebagai berikut: a. Direct Financial Lease/True Lease, yaitu transaksi dimana Lessor

membeli suatu barang atas permintaan pihak Lessee dan sekaligus menyewa guna-usahakan barang tersebut kepada Lessee yang

5 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 152

6 “Sewa Guna Usaha (Leasing)” http://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/

(6)

bersangkutan.

b. Sale and Lease Back, yaitu transaksi dimana pihak Lessee sengaja

menjual barang modalnya kepada Lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut dengan tujuan untuk memperoleh tambahan dana untuk modal kerja. Jadi transaksi ini bersifat refinancing.

c. Leveraged Lease, adalah transaksi dimana pihak yang memberikan

pembiayaan di samping Lessor juga pihak ketiga. Biasanya dilakukan terhadap barang modal yang bernilai sangat tinggi, dimana pihak Lessor hanya mampu membiayai antara 20% sampai 40% harga barang modal. Selebihnya dibiayai pihak ketiga dengan memakai kontrak leasing bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini disebut juga credit provider atau debt participant.

d. Syndicated, adalah transaksi leasing yang dilakukan lebih dari

satu Lessor atas suatu objek leasing.

e. Cross Border Lease, adalah transaksi leasing yang dilakukan di luar

batas negara, yaitu negara Lessor berbeda dengan negara Lessee.

f. Vendor Program, adalah suatu metode penjualan yang dilakukan

oleh produsen atau dealer, dimana perusahaan leasing mem-berikan atau menyediakan fasilitas leasing kepada pembeli barang.

2. Operating Lease, adalah suatu bentuk pembiayaan dengan cara kontrak antara Lessor dengan Lessee tanpa pemberian hak opsi kepada

Lesse pada akhir periode lease, jumlah seluruh pembayaran berkala

tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh ter sebut berikut dengan bunga/bagi hasilnya.

Perbedaan dasar antara Finance Lease (Full-pay Out Leasing) dengan

Operating Lease, dapat dilihat pada tabel berikut:7

No. Finance Lease Operating Lease

1. Perjanjian tidak dapat dibatalkan, jika dibatalkan dikenakan denda

Dapat dibatalkan setiap saat

(7)

2. Masa sewa selama umur ekonomis diberikan hak opsi beli

Masa sewa relatif singkat 3. Menggunakan transaksi keuangan

(renral)

Tidak ada transaksi keuangan

4. Tidak kena pajak Angsuran leasing kena PPN dan PPh

Ps 23

5. Bersifat full pay out Tidak bersifat full pay out

6. Tiak dikenakan biaya lease Transaksi biaya sewa menyewa 7. Lessor dapat menyusutkan barang

modal

Lessor tidak dapat menyusutkan barang modal.

Dalam menjalankan kegiatan usahanya Perusahaan Leasing dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, ialah:

1. Independent Leasing Company, yaitu jenis pembiayaan leasing

di-mana Lessor bebas menentukan pembelian barang dari berbagai Supplier yang kemudian dilease kepada pemakai.

2. Captive Lessor, yaitu jenis pembiayaan dimana Lessor memiliki Sup-plier tersendiri yang berperan sebagai perusahaan induk. Pihak

per-tama terdiri dari perusahaan induk dan anak perusahaan dan pihak keduanya Lessee sebagai pemakai barang.

3. Lessee Broker atau Packager, yaitu jenis pembiayaan leasing dimana

Broker yang biasanya tidak memiliki barang/peralatan hanya ber-fungsi mempertemukan calon Lessee dengan Lessor.

Dan dalam operasional kegiatannya, leasing mempunyai 4 tahap, yaitu:

1. Perjanjian antara pihak Lessor dan pihak Lessee.

2. Berdasarkan perjanjian Sewa Guna Usaha, Lessor mengalihkan hak penggunaan barang kepada pihak Lessee.

3. Lessee membayar kepada Lessor uang sewa atas penggunaan barang

(aset).

4. Lessee mengembalikan barang tersebut pada Lessor pada akhir

periode yang ditetapkan lebih dahulu dan jangka waktunya kurang dari umur ekonomi barang tersebut.

(8)

Dasar Hukum Sewa Guna Usaha

Secara umum dasar hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah Per pres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Regulasi pada level bawah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Perpres No. 9 tahun 2009 ini masih mengacu kepada regulasi-regulasi tentang lembaga pembiayaan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Dasar hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Menkeu No. 84/PMK. 012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan

2. Peraturan Menkeu No. 166/PMK.010/2008 tentang Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan

3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), menggantikan KMK No. 48/ KMK/013/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha

4. Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing)

5. Peraturan Menteri Keuangan No. 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank (dalam PMK ini termasuk juga Lembaga Pembiayaan). 6. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2008 tentang

Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan

7. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

8. Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 9. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. 1500/

LK/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyampaian Pelaporan Perusahaan Pembiyaan

10. Lampiran I-B1 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-2833/LK/2003 untuk Perusahaan Pembiayaan

Secara khusus regulasi terkait Sewa Guna Usaha Syariah cukup baik dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor:

(9)

PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/ BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Namun, jika dilihat dari aspek hukum positif nampak terdapat problem yuridis di dalamnya. Produk regulasi ini hanya dikeluarkan oleh pejabat selevel ketua Bapapam-LK dan pengaturan prinsip syariah di dalamnya dan tidak hierarkis/harmonis8 dengan peraturan perundangan di atasnya yang dijelaskan, sebab dalam peraturan yang dibuat oleh pejabat di atasnya tidak disebutkan pengaturan terkait prinsip syariah.

Regulasi ini sebenarnya hasil inisiatif dari ketua Bapepam sendiri, karena peraturan yang lebih tinggi yang dijelaskan dalam regulasi ini, sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 106 Tahun 2007); b. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga

Pembiayaan (Lembaran Negara R.I Tahun 1988 No. 53, diganti dan disempurnakan oleh Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan)

c. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);

e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;

Peraturan-peraturan itu tidak menyebut secara eksplisit diboleh-kannya model pembiayaan dengan konsep syariah beroperasi. Terobosan Ketua Bapepam dalam hal ini patut diapresiasi, meski jika dilihat dari

8 Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”.

Lihat: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Harmonisasi Peraturan Perundang-Perundang-undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/49-kegiatan-direktorat-harmonisasi.html (8 Desember 2017)

(10)

sudut pandang Hukum Tata Negara, konten regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat yang diberi kewenangan mengatur oleh undang-undang, tidak boleh menyimpang dari peraturan hukum di atasnya yang di jelaskan. Tafsir Hukum Ekonomi Syariah

Kegiatan leasing dapat dilakukan dengan berbasis syariah, meskipun Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang menjadi dasar hukum utama leasing tidak mengatur leasing berdasar prinsip sya-riah. Namun demikian, ketua Bapepam-LK dengan kewenangan yang di-milikinya telah mengeluarkan regulasi yang mengatur leasing dengan dasar syariah, yaitu Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua peraturan ini bersumber dari fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) khususnya fatwa terkait ijarah, seperti Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan fatwa Fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

Menurut Pasal 1 angka 9 Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah.

Disebutkan bahwa sumber pendanaan bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib diperoleh berdasarkan prinsip syariah,9 seperti melalui:10 (a) Pendanaan Muḍârabah

Mutlaqah (unrestricted investmen);11 (b) Pendanaan Muḍârabah Muqayyadah

9 Pasal 2 ayat (1) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

10 Ibid. Pasal 2 ayat (2)

11 Pendanaan Muḍârabah Mutlaqah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), dimana şâhibul mâl tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam

(11)

(restricted investment);12 (c) Pendanaan Muḍârabah Musytarakah;13 (d)

Pen-danaan Musyârakah (Equity participation);14 dan (e) Pendanaan lainnya

yang sesui dengan prinsip syariah.

Sewa Guna Usaha dalam kegiatan pembiayaannya menggunakan akad berdasar Ijârah, atau Ijârah Muntahiyah Bitamlik.15 Disebutkan

bah-wa akad Ijârah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.16 Sedangkan Ijârah Muntahiyah Bitamlik adalah akad penya-luran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pem biayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.17

Berikut adalah proses kegiatan Sewa Guna Usaha dengan Akad

Ijârah dan kegiatan Sewa Guna Usaha dengan Akad Ijârah Muntahiyah Bitamlik.

akad

12 Pendanaan Muḍârabah Muqayyadah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), di mana şâhibul mâl tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang telah ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad

13 Pendanaan Muḍârabah Musytarakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), dimana şâhibul mâl dan Perusahaan Pembiayaan selaku pengelola (muḍârib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad

14 Pendanaan Musyârakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad

15 Pasal 6a Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

16 Pasal 8 ayat (1) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

17 Pasal 8 ayat (2) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

(12)

Sewa Guna Usaha dengan Akad Ijârah

Dalam akad Ijârah, Perusahaan Pembiayaan leasing berlaku sebagai pemberi sewa dan mempunyai hak antara lain meliputi: (a) memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir); dan (b) mengakhiri akad Ijârah dan menarik obyek Ijârah apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.18 Ada pun kewajiban Perusahaan Pembiayaan leasing sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain meliputi: (a) menyediakan obyek Ijârah yang di-sewakan; (b) menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijârah; dan (c) men jamin obyek Ijârah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.19

Sedangkan penyewa (musta’jir) mempunyai hak antara lain meli-puti: (a) menerima obyek Ijârah dalam keadaan baik dan siap di operasi-kan; dan (b) menggunakan obyek Ijârah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.20 Dan kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain meliputi: (a) membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; (b) mengembalikan obyek Ijârah apabila tidak mampu membayar sewa; (c) menjaga menggunakan obyek Ijârah sesuai yang diperjanjikan; dan (d) tidak menyewakan kembali dan atau memindahtangankan obyek Ijârah kepada pihak lain.21

a. Obyek Ijârah adalah berupa barang modal yang memenuhi keten-tuan antara lain:22

b. Obyek Ijârah merupakan milik dan atau dalam penguasaan Peru-sahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);

c. Manfaat obyek Ijârah harus dapat dinilai;

d. Manfaat obyek Ijârah harus dapat diserahkan Penyewa (musta’jir); e. Pemanfaatan obyek Ijârah harus bersifat tidak dilarang secara syariah

(tidak diharamkan);

f. Manfaat obyek Ijârah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan spesifikasi obyek Ijârah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya.

18 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

19 Ibid. Pasal 2 ayat (2) 20 Ibid. Pasal 3 ayat (1) 21 Ibid. Pasal 3 ayat (2) 22 Ibid. Pasal 4

(13)

Obyek Ijârah dimaksud antara lain berupa: (a). alat-alat berat (Heavy Equipment); (b). alat-alat kantor (Office Equipment); (c). alat-alat foto (Photo Equipment); (d). alat medis (Medical Equipment); (e). alat printer (Printing Equipment); (f.) mesin-mesin (Machineries); (g). alat-alat pengangkutan (Vehicle); (h). gedung (Building); (i). komputer; dan (j). peralatan telekomunikasi atau satelit.23

Persyaratan penetapan harga sewa (ujrah) atas obyek Ijârah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:24

a. Besarnya harga sewa (ujrah) atas obyek Ijârah dan cara pembayaran ditetapkan menurut kesepakatan yang dibuat dalam akad secara tertulis; dan

b. Alat pembayaran harga sewa (ujrah) obyek Ijârah adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama yang tidak ber tentangan dengan Prinsip Syariah.

Dalam surat perjanjian Ijârah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:25

a. Identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir);

b. Spesifikasi obyek Ijârah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan/penempatan obyek Ijârah;

c. Spesifikasi manfaat obyek Ijârah;

d. Harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa Ijârah; e. Jangka waktu sewa;

f. Saat penyerahan obyek Ijârah;

g. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;

h. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh

masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijârah;

j. Ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijârah oleh Peru sahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan

23 Ibid. Pasal 5 24 Ibid. 25 Ibid. Pasal 7

(14)

k. Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Ijârah Muntahiah Bit Tamlik

Dalam pelaksanaan Ijârah Muntahiah Bit Tamlik, Perusahaan Pem-biayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa’ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik pada akhir masa sewa.26 Wa’ad sebagaimana dimaksud bersifat tidak mengikat bagi penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan.27

Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain adalah: (a). memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir); (b). Menarik obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan (c). Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijârah Muntahiah Bit

Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta’jir)

sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek Ijârah

Munta hiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari

calon penggantinya.28 Adapun Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (Muajjir) antara lain adalah: (a). Menyediakan obyek

Ijârah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan; (b). Menanggung biaya

pemeliharaan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan (c). Menjamin obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.29

Hak penyewa (musta’jir) antara lain adalah: (a). menggunakan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan; (b). menerima obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; (c). pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek Ijârah

Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa; dan (d). membayar

sewa sesuai dengan yang diperjanjikan.30 Adapun kewajiban penyewa

26 Ibid. Pasal 9 ayat 1 27 Ibid. Pasal 9 ayat 2 28 Ibid. Pasal 10 ayat 1 29 Ibid. Pasal 10 ayat 2 30 Ibid. Pasal 11 ayat 1

(15)

(musta’jir) antara lain adalah: (a). membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; (b). menjaga dan menggunakan obyek Ijârah Muntahiah

Bit Tamlik sesuai yang diperjanjikan; (c). tidak menyewakan kembali

obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak lain; dan (d). melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek Ijârah Muntahiah Bit

Tamlik.31

Obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:32

a. Obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);

b. Manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang;

c. Manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir); d. Manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam;

e. Manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan

f. Spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud antara lain: (a). alat-alat berat (Heavy Equipment); (b). alat-alat kantor (Office

Equi pment); (c). alat-alat foto (Photo Equipment); (d). alat-alat medis

(Medi cal Equipment); (e). alat-alat printer (Printing Equipment); (f). mesin-mesin (Machineries); (g). alat-alat pengangkutan (Vehicle); (h). gedung (Building); (i). komputer; dan (j). peralatan telekomunikasi atau satelit.33

Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijârah

Munta-hiah Bit Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal akad.34 Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa,35 dan dibuat secara tertulis dalam perjanjian pemindahan kepemilikan.36 Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara syariah.37

31 Ibid. Pasal 11 ayat 2 32 Ibid. Pasal 12 33 Ibid. Pasal 13 34 Ibid. Pasal 14 ayat 1 35 Ibid. Pasal 14 ayat 2 36 Ibid. Pasal 14 ayat 3 37 Ibid. Pasal 14 ayat 4

(16)

Perjanjian dalam Ijârah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang me-muat hal- hal sebagai berikut:38

a. Identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir);

b. Spesifikasi obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek sewa;

c. Spesifikasi manfaat obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik;

d. Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga sewa (ujrah), ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek Ijârah Muntahiah Bit

Tamlik;

e. Jangka waktu sewa;

f. Saat penyerahan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik;

g. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;

h. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh

masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak ber-fungsinya obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik;

j. Ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijârah Munta-hiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan

k. Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.

Demikian mekanisme kegiatan Sewa Guna Usaha Syariah menurut Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini cukup baik bagi landasan leasing syariah di Indonesia. Namun demikian, masih juga terdapat kekurangan dari kedua peraturan ini, yaitu tidak adanya penjelasan rinci terkait mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Telah menjadi kelaziman bahwa seluruh operasional kegiatan usaha lembaga keuangan/pembiayaan ekonomi syariah termasuk Sewa Guna Usaha Syariah, perlu pengawasan untuk menjamin agar pelaksanaannya benar-benar sesuai dengan prinsip

(17)

syariah, ini dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Pasal 10 Peraturan Ketua Bapepam-LK No. PER-03/BL/2007 ten-tang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah ha-nya menyebut kewajiban perusahaan pembiayaan untuk memiliki DPS minimal 2 orang, yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, dengan tugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan dengan DSN-MUI. Namun, mekanisme lebih lanjut terkait teknik pengawasanya tidak dijelaskan, baik oleh peraturan itu sendiri atau oleh peraturan penjelas lainnya. Mestinya, Ketua Bapepam-LK memberikan penjelasan secara rinci tentang mekanisme pengawasan ini, bisa tercantum langsung dalam peraturan itu atau dengan cara membuatkan peraturan khusus yang menjelaskan mekanisme pengawasan DPS untuk semua kegiatan ekonomi syariah di Indonesia.

Kesimpulan

Bisnis Sewa Guna Usaha dapat dijalankan secara syariah, dan untuk keperluan ini Ketua Bapepam-LK telah mengeluarkan peraturan yang cukup baik untuk dijadikan acuan bagi pengelola perusahaan leasing dan perusahaan leasee untuk mengadakan akad perjanjian leasing berdasarkan syariat Islam, meskipun bila dilihat dari sudut pandang hukum positif, peraturan Ketua Bapepam-LK yang mengatur pembiayaan leasing syariah ini yaitu Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 ten-tang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah tidak harmonis dengan peraturan diatasnya, dan kurang memberikan kejelasan teknis operasional pengawasan Dewan Pengawas Syariah tentang bagaimana seharusnya mereka melakukan tugas operasional pengawasan yang menjadi tanggungjawabnya. Regulasi Sewa Guna Usaha (leasing) Syariah yang dikeluarkan oleh ketua Bapepam-LK itu jauh lebih kuat kedudukannya dalam hukum positif bila dipayungi oleh Undang-Undang atau Keputusan/Peraturan Presiden dan dijelaskan lebih lanjut oleh keputusan atau peraturan Menteri terkait yang secara

(18)

khusus mengatur hal ini, dalam upaya mewujudkan kepastian hukum bagi pelaku bisnis syariah di Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga

Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/49-kegiatan-direktorat-harmonisasi.html

Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang

Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan

“Sewa Guna Usaha (Leasing)”

http://www.smecda.com/Files/Dep_Pem-biayaan/Informasi/07_10_Sewa_Guna_Usaha.pdf

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum

Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: YLBHI, 2007

Adiwarman A. Karim. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011. Burhanuddin S. Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: UII Press, 2011. Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Press,

1998.

Lukman Dendawijaya. Manajemen Perbankan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2003.

Marzuki. Metodologi Riset. Yogyakarta: BPFE UII, 1986.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

(19)

Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah. Jakarta: PKES, 2007.

Nurul Huda dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam:

Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2010.

Oyos Saroso dan Ridwan Saifuddin. Bukan Sekedar Petruk Jadi Ratu. Solo: Rumah Pengetahuan, 2011.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif:

Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Soeratno dan Lincolin Arsyad. Metodelogi Penelitian untuk Ekonomi dan

Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1993.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Suhrawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta:

Sinar Grafika, 2012.

Suraya Murcitaningrum. Pengantar Metodelogi Penelitian Ekonomi Islam. Yogyakarta: Prudent Media, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Prevalensi adalah jumlah seluruh kasus kusta baik baru maupun lama, hasilnya adalah jumlah prevalensi kusta tahun 2019 di Kabupaten Blora 1/10.000 penduduk, artinya ada

Untuk meningkatkan kebugaran jasmani dapat dilakukan dengan latihan aerobik yang berpedoman: 1) Latihan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 3-5 kali per minggu, 2)

Unsur karakter bangsa yang terdapat dalam cerita rakyat Si Mardan secara umum yakni (1) nilai kejujuran, (2) nilai toleransi (3) nilai disiplin (d) nilai kerja keras, (5) mandiri,

Krech dan Crutchfield (1977) menyebutkan persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor stuktural. Faktor-faktor fungsional berasal dari kebutuhan

Perbezaan pandangan serta kekeliruan keterangan yang terdahulu akan dikemukakan bagi memberikan kesedaran bahawa sejarah lisan nyata akan memberikan satu pemahaman

Kriteria milik umum di dalam pasal 5 Huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek,dan penjelasan pasal 5 huruf c bahwa kriteria milik umum kurang

Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang

Bagian tanaman yang dimanfaatkan oleh Masyarakat desa Salimuran adalah pati sagu untuk bahan makanan, daun untuk bahan atap rumah dan kulit batang untuk bahan kayu