• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tebu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen gula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tebu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen gula"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Kebutuhan akan gula dari setiap negara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga karena gula merupakan bahan pemanis utama yang digunakan sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman.1 Kondisi geografis Indonesia yang cukup berpotensi untuk menghasilkan tanaman tebu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen gula terbesar di dunia.

Sejarah gula di Indonesia dimulai ketika Belanda membuka koloni di Pulau Jawa. Banyak tuan-tuan tanah pada abad ke-17 membuka perkebunan monokultur yang pertama kalinya di Batavia. Industri gula pada masa kolonial Belanda lebih berorientasi pada ekspor, di mana bidang pemasarannya dikuasai oleh badan pemerintah yang independen dalam upaya mengamankan penerimaan pemerintah kolonial Belanda dari cukai dan mengawasi jumlah konsumsi dalam negeri untuk meningkatkan ekspor tersebut.

Lahan perkebunan di Jawa sangat menguntungkan, terutama gula yang merupakan perusahaan milik Kolonial Belanda.2 Keuntungan yang diperoleh penduduk ialah dari segi perekonomiannya. Industri gula dan perkebunan tebu

1Husein Sawit, dkk, Ekonomi Gula di Indonesia, (Jakarta: Percetakan IPB,

1999), hlm. 2. 2

Gordon Alec (1982), “Ideologi, Ekonomi dan Perkebunan, Runtuhnya Sistem Gula Kolonial dan Merosotnya Ekonomi Indonesia Merdeka”, Prisma, No. 7, hlm. 32.

(2)

telah membuka kesempatan kerja yang luas bagi penduduk desa. Keuntungan eksportir gulaJawa adalah nomer dua terbesar setelah Cuba dalam pasaran dunia. Keuntungan ini tidak hanya menutupi biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga diperlukan untuk mendukung posisi keuangan di Negeri Belanda yang sedang memburuk. Sebagai akibat dari perang-perang Napoleon hutang dalam Negeri Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi.3

Pada tahun 1830, atas inisiatif van den Bosch, di Jawa dimulailah sistem cultuurstelsel4. Tujuan van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa ialah selain mentransformasi Pulau Jawa menjadi exporter besar-besaran dari produk agraria, dengan keuntungan dari penjualannya terutama mengalir ke kas Belanda juga untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan itu ia menganjurkan pembudidayaan berbagai tanaman, seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh, lada dan kayumanis. Persamaan dari semua tanaman perkebunan yang diusahakan oleh petani dilaksanakan karena mendapat paksaan dari pemerintah untuk memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara voluntary atau sukarela.5

Pada masa sistem tanam paksa, tebu mulai ditanam oleh pemerintah di Kabupaten Kendal-Keresidenan Semarang. Pada tahun 1832, tebu mulai ditanam

3

Mufiddatut Diniyah “Sejarah Perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan Pengaruhnya Terhadap Kondsi Sosial Ekonomi Masyarakat Kendal Tahun 1975-1997”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2011), hlm. 1.

4

Cultuurstelsel dalam historiografi Indonesia istilah itu diganti menjadi “tanam paksa”.

5

Leirissa R.Z., Ohorella G.A. dan Yuda B. Tangkilisan, Sejarah Perekonomian Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 50-51.

(3)

di Distrik Perbuan, sebagai percobaan tanaman perkebunan. Beberapa tahun kemudian, perkebunan diperluas ke Distrik Truka, Kendal dan Kaliwungu, yang semuanya terletak di Kabupaten Kendal.6 Penanaman tebu di empat distrik di Semarang tidak menunjukkan peranan yang penting dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa, akan tetapi beban penanaman tebu adalah yang terberat di Jawa, yaitu di Distrik Kendal, Truka, Perbuan dan Kaliwungu. Kendal, Truka dan Perbuan pada tahun 1845 tiap keluarga penanam rata-rata mengerjakan 0,33 bau7, sedangkan di Kaliwungu rata-ratanya 0,38 bau.8 Beban kewajiban bila dibandingkan dengan keresidenan lainnya di seluruh Jawa dalam periode tanam paksa bahwa beban kewajiban tersebut yang paling berat di empat distrik tersebut. Sejak berdiri tegak setelah Revolusi berakhir, Republik Indonesia menghadapi keadaan ekonomis yang kurang menguntungkan, antara lain mewarisi keuangan Federal dan RI Yogyakarta dengan defisit besar, kecenderungan inflasi kuat, bahkan tidak seimbang antara ekspor dan impor. Proses pemulihan perkebunan berjalan dengan lambat dan selama perang, Indonesia telah kehilangan sebagian besar pasarannya sebelum perang. Kemerosotan produksi tidak mendukung untuk segera mengejar ketinggalan atau memulihkan pasaran dunia.

6

Rachmat Susatyo, Industri Gula di Kabupaten Kendal pada Masa Kolonial, (Bandung: Univeritas Padjajaran, 2007), hlm. 31.

7

Satuan bau adalah satuan luas tanah, 1 bau= 0,70 hingga 0,74 hektar (7000-7400 meter persegi).

8

Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm. 24-26.

(4)

Sejak 1950 pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan yaitu difungsionalkan kembali perkebunan untuk memperoleh devisa di satu pihak dan di pihak lain menata kembali urusan tanah dan tenaga sehingga dapat menarik investasi modal dalam perusahaan perkebunan. Dampak yang dihadapi setelah Perang Dunia II adalah kerusakan berat pada perkebunan, maka diperlukan usaha pemugaran secara besar-besaran. Berdasarkan ketentuan Perundingan Meja Bundar akhir 1949 perkebunan milik asing perlu dikembalikan sedang perkebunan milik pemerintah Kolonial diambil alih oleh pemerintah RI, begitu pula milik asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemiliknya.9

Mulai tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia melalui menteri pertahanan RI saat itu melakukan pengambilalihan semua perusahaan dan perkebunan milik Belanda. Pada November 1958, kabinet mengajukan Rancangan Undang-Undang Nasionalisasi nomer 86 tahun 1958 tentang “nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia”.10 Untuk pengelolaan selanjutnya didirikan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) yang ada didalamnya bernaung empat badan usaha yaitu Badan Usaha Dagang (BUD), Badan Penguasaan Perusahaan Pharmasi (BAPHAR), Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN Baru) dan Badan Penguasaan Industri dan Tambang (BAPPIT).

Nasionalisasi tanpa persiapan matang membuat industri gula terguncang dengan hebat. Tidak hanya managemen yang mengalami kemandekan, produksi

9 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia:

Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 166.

10

Mubyanto, dkk., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 26.

(5)

gula pun menurun. Penutupan usaha dagang Cina membuat jaringan distribusi terputus. Menghadapi kondisi seperti itu, tiada cara selain menata managemen industri dan perdagangan gula. Strategi kebijakan yang kemudian diambil adalah “sentralisasi” industri dan perdagangan gula: managemen industri dan tata niaga gula diatur langsung oleh pemerintah. Masalah ketersediaan lahan tebu untuk pabrik gula diatasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 38 Tahun 1960. Peraturan tersebut memberi kuasa dan kewenangan kepada Menteri Agraria untuk menetapkan luas lahan minimum yang harus disediakan oleh satu desa untuk ditanami tebu.11

Ketika masa revolusi usai dan situasi ekonomi Indonesia belum menampakkan perkembangan yang menguntungkan, maka dalam perusahaan perkebunan tebu tercipta organisasi produksi baru guna menyesuaikan perubahan kondisi di pedesaan.12 Sistem tersebut adalah pemberian kepercayaan kepada petani untuk menjaga tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan. Sistem demikian kemudian melahirkan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi atau yang lebih dikenal sebagai TRI.

Program Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal dimulai pada tahun 1981 di Kecamatan Pegandon dan dilanjutkan ke Kecamatan Gemuh, Cepiring, Weleri, Patebon dan Kendal. TRI di Kabupaten Kendal dibagi menjadi dua yaitu TRI Jasa dan TRI Murni. Pelaksanaan TRI dilakukan secara bertahap dan menggunakan sistem glebagan. Dipilihnya tahun 1990 sebagai batasan akhir

11

Khudori, Gula Rasa Neoliberalisme Pergumulan Empat Abad Industri Gula, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 41-42.

(6)

pada penelitian ini adalah pada tahun tersebut TRI berakhir di Kabupaten Kendal. Banyak masyarakat yang tidak mau menanam tebu dan lebih memilih untuk mananam tembakau dan padi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik menjadi beberapa rumusan masalah yang dijadikan dasar dalam melakukan penelitian ini. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran umum Kabupaten Kendal?

2. Bagaimana pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal? 3. Apa dampak pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi?

C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

1. Meningkatkan kemampuan berfikir secara analitis, objektif dan sistematis dalam penulisan karya sejarah.

2. Menerapkan metodologi penelitian sejarah dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah secara mendalam, yang telah diperoleh selama kuliah.

3. Untuk menambah pengalaman dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah.

b. Tujuan Khusus

(7)

2. Mengetahui pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal.

3. Mengetahui dampak dari pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi.

D. Manfaat Penelitian

Dalam pengerjaan penelitian, penulis berharap karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

1. Bagi Pembaca

a. Dengan membaca karya ini diharapkan pembaca dapat memahami dan mendapat kejelasan mengenai pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi khususnya di Kabupaten Kendal.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian sejarah di masa yang akan datang.

c. Memberikan pengetahuan bagi pembaca tentang perkembangan sejarah perkebunan di Kendal.

2. Bagi Penulis

a. Sebagai tolak ukur kemampuan penulis untuk meneliti, menganalisa, membaca sumber dan menuliskannya menjadi suatu karya sejarah.

b. Memberi wawasan sejarah yang kritis dan berfaedah bagi penulis. c. Melatih kemampuan peneliti dan merekonstruksi sebuah peristiwa

(8)

d. Memberi suatu inspirasi dari sejarah bahwa dengan adanya semangat dan niat maka harapan apapun akan teratasi.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka memiliki peranan penting dalam penelitian sejarah sebagai sarana untuk menelaah literatur yang baik dan benar yang dilandasi oleh pemikiran dan penelitian. Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.13 Kajian pustaka sangat penting dalam kaitannya dengan penelitian sejarah, dimana peneliti dapat mengarahkan ke kerangka pikir untuk merekonstruksi suatu peristiwa sejarah. Melalui kajian pustaka akan didapatkan landasan pemikiran dari karya tulis ilmiah yang nantinya digunakan untuk penelitian sejarah. Kajian pustaka dapat menambah informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam proses penulisan. Hasil dari rekonstruksi melalui beberapa rujukan diharapkan dapat dipertanggungjawabkan peneliti. Sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan telah memberikan gambaran terhadap penelitian ini.

Kabupaten Kendal merupakan suatu wilayah yang agraris di pesisir utara Jawa Tengah. Hal tersebut dapat ditinjau dari besarnya area pertanian dan perkebunan yang ada. Besar dari seluruh area pertanian di Kabupaten Kendal adalah 75,83 %, sedangkan pengolahan agraria tersebut biasanya berupa sawah, tegalan, tambak, kolam dan perkebunan. Dalam segi topografi, Kabupaten Kendal

13 Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,

(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), hlm. 6.

(9)

dapat dibagi dalam tiga jenis wilayah, yaitu wilayah pegunungan di selatan, wilayah perbukitan di tengah, dan wilayah dataran tengah di utara.14

Pengertian Tebu Rakyat Intensifikasi adalah tanaman tebu rakyat yang dilaksanakan dalam rangka usaha untuk meningkatkan produktivitas dalam menghasilkan tebu dan gula dengan menerapkan teknologi yang dianjurkan untuk dapat meningkatkan hasil persatuan luas dari usaha tani tebu. Program TRI dilaksanakan dalam rangka peningkatan usaha tani yang terpadu dengan program intensifikasi khusus.

Latar belakang dilaksanakannya tebu rakyat intensifikasi tidak pernah lepas dari pengaruh Kolonial Belanda dengan diberlakukannya sistem tanam paksa dan berlanjut hingga masuknya penetrasi modal perkebunan onderneming. Seiring dengan berjalannya waktu kebutuhan akan gula semakin meningkat, pabrik-pabrik gula juga membutuhkan areal untuk penanaman tebu maka banyak pabrik gula yang menyewa lahan kepada petani untuk digarap tebu.

Setelah berdirinya pemerintah Republik Indonesia, pada bulan Agustus 1951 dibentuklah Kantor Tebu Rakyat sebagai bagian dari Jawatan Perkebunan. Dalam bulan Februari 1952 kantor tersebut diganti dengan dengan nama Bagian Urusan Hubungan Petani dan Perkebunan Besar, karena tugasnya meliputi pula tanaman tembakau dan rosella. Menteri Pertanian membentuk Yayasan Tebu Rakyat (YATRA), ajakan membentuk Koperasi Tebu Rakyat kepada seluruh Organisasi Penyelenggara di Jawa disampaikan oleh yayasan tersebut.

14 Dian Ariwibowo, “Perjuangan Rakyat Kendal pada Masa Perang

Kemerdekaan Tahun 1947-1949”, Skripsi, (Yogyakarta: FIS-UNY, 2012), hlm. 28.

(10)

Pada periode tahun 1958-1975, pabrik gula nasional menguasai seluruh bisnis pertebuan. Pabrik menyewa lahan petani untuk ditanami tebu. Tenaga kerja untuk pabrik disediakan oleh petani apakah dalam bentuk “tenaga kampanye” ataukah dalam bentuk “tenaga musiman”. Pada periode ini, petani memiliki banyak alternatif untuk menambah penghasilan keluarganya, meski diasumsikan kemudian bahwa hubungan pabrik gula dengan petani sedemikian ini kurang menguntungkan, karena petani tidak menguasai sendiri tanah mereka.15

Salah satu tujuan pokok pengalihan sistem pengusahaan tebu dari sistem sewa ke sistem TRI adalah untuk menaikkan produksi gula. Sebenarnya sejak semula kedua hal ini tidak dapat berjalan paralel, karena pada kenyataannya hasil gula per hektar tebu rakyat selalu lebih rendah dari tebu pabrik. Hasil rata-rata per hektar menurun secara konsisten setiap tahunnya walaupun produksi total gula rata-rata naik. Kenaikan produksi total gula disebabkan karena perluasan areal tanaman tebu yang naik mencapai 12,2 persen selama periode 1975-1980.16 Adapun tingkat hasil per hektar dari tanaman TRI di sawah-sawah yang subur tidak terlalu jauh menurun, karena masih menunjukkan fluktuasi naik turun dengan pola yang tidak menentu.

Peserta TRI meliputi petani pemilik tanah yang mengusahakan tanaman tebu pada sawah miliknya sendiri, pemegang bengkok yang mengusahakan tanaman tebu dan penggarap yang diberi surat kuasa oleh pemilik tanah atau

15

Hotman M. siahaan, Skema Tebu Rakyat Intensifikasi dan Perubahan Struktur Sosial Petani, (t. kt. : t. p., t. t.), hlm. 2.

16

Mubyarto (1981), “Tebu Rakyat Intensivikasi: Prospek dan Masalahnya”, Prisma, no. 10, hlm. 51-53.

(11)

pemegang bengkok yang disahkan oleh kepala desa dengan ketentuan tanah garapannya termasuk tanahnya sendiri tidak lebih dari 2 Ha. Petani peserta TRI disatukan dalam wadah Kelompok Tani Hamparan. Perorangan, sekelompok orang, petugas negara dan badan usaha yang akan mengusahakan tanaman tebu pada tanah milik orang lain dengan sistem sewa tidak diperkenankan. Menjadi tuan di atas tanahnya sendiri memang mempunyai nilai ekonomis tersendiri karena mendorong maksimalisasi pengeluaran, tetapi sebaliknya justru dapat menjadi suatu kemalangan, tergantung dari lingkungan spesifik yang dihadapi.17

Ketentuan utama TRI meliputi pabrik gula wajib menyediakan sarana produksi dan penyuluhan teknis bagi petani tebu, lokasi ditetapkan oleh pejabat Bimas dengan memperhatikan usulan pabrik gula dan petani melalui KUD, Bank Rakyat Indonesia menyediakan kredit murah, pengelolaan usaha tani dilakukan oleh petani dan tebu yang dihasilkan dijual ke pabrik gula dengan sistem bagi hasil berdasarkan kadar rendemen yang ditetapkan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian.18

Dampak sosial ekonomis yang ditimbulkan oleh perusahaan perkebunan adalah diciptakannya kesempatan kerja baik dalam kegiatan produksi maupun pelaksanaan.19 Ini adalah akibat langsung yang melibatkan petani pemilik lahan

17

Hotman M. siahaan, op.cit., hlm. 3.

18 Khudori, op.cit., hlm. 48.

19

Soegijanto Padmo, “Ekonomi Perkebunan dan Keresahan di Pedesaan Sebuah Survei Awal”, Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan Pembangunan Bangsa, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1994), hlm. 6-7.

(12)

yang digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan, khususnya tanaman tebu. Dari berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat, beberapa diantaranya bisa jadi terlibat di dalam kegiatan pengusahaan industri perkebunan dengan intensitas yang berbeda.

F. Historiografi yang Relevan

Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses, itulah yang dinamakan dengan historiografi.20 Tulisan sejarah sebagai suatu karya ilmiah, perlu didukung oleh historiografi yang relevan. Historiografi memiliki pengertian kajian-kajian historis yang mendahului sebuah penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama.

Kegunaan dari historiografi yang relevan yaitu untuk menunjukkan keaslian dari sebuah karya ilmiah, sehingga karya tersebut bisa dipertanggungjawabkan sebagai sebuah karya yang original, bukanlah plagiarisme dari karya yang sebelumnya. Historiografi yang relevan bisa berupa buku, skripsi, disertasi maupun tesis yang mana kesemuanya itu bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Dalam penelitian ilmiah, penulis menggunakan beberapa historiografi yang relevan. Harapannya dengan adanya historiografi agar dapat memperoleh karya sejarah yang benar-benar baru, dengan upaya ini tidak terjadi kesamaan dalam pembahasan.

Historiografi relevan pertama adalah karya Mufiddatut Diniyah dalam bentuk Skripsi pada program studi Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang.

(13)

Adapun judul dari skripsi tersebut adalah Sejarah Perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kendal Tahun 1975-1997. Skripsi ini berisi mengenai gambaran perkembangan sosial ekonomi masyarakat Cepiring pada tahun 1975-1997 dimana kondisi masyarakat di Kendal terutama di Cepiring menghadapi perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pabrik gula Cepiring. Dimana dampak yang dihadapi masyarakat menganai kondisi sosial ekonomi serta kondisi lingkungan. Serta perkembangan pabrik gula Cepiring sebelum tahun 1975 sampai ditutupnya pabrik gula Cepiring tahun 1997.

Adapun yang membedakan karya Mufiddatut dengan penulis adalah peristiwa yang dikaji serta scoop waktu yang sedikit berbeda juga mengenai lokasi, jika karya Mufiddatut Diniyah mengambil lokasi di Kecamatan Cepiring maka penulis mengambil lokasi di Kabupaten Kendal yang mana lokasi yang dipilih oleh Mufidatut Diniyah masuk dalam salah satu lokasi yang penulis pilih. Perbedaan lain adalah karya Mufiddatut Diniyah mengambil bagaimana perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan dampaknya bagi masyarakat Kecamatan Cepiring sedangkan penulis mengenai pelakanaan tebu rakyat intensifikasi di Kabupaten Kendal. Penulis akan membahas mengenai peristiwa pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kendal pada tahun 1985-1990. Namun nantinya akan ada beberapa kesamaan yakni dalam kajian mengenai pabrik gula Cepiring dan sedikit mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi.

Historiografi relevan kedua adalah karya Jati Istanto dalam bentuk Skripsi dengan judul Pelaksanaan Program Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten

(14)

Klaten 1975-1997, skripsi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini memaparkan mengenai pelaksanaan TRI di Kabupaten Klaten dan dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi petani di Kabupaten Klaten.

Adapun yang membedakan karya Jati Istanto dengan penulis adalah tempat atau lokasi dan tahun pelaksanaannya sedikit berbeda. Karya Jati Istanto mengambil lokasi di Kabupaten Klaten pada tahun 1975-1997 sedangkan penulis di Kabupaten Kendal pada tahun 1981-1990.

G. Metode Penelitian

Sejarah adalah salah satu cabang dalam ilmu sosial yang memiliki metode dalam penelitiannya yang disebut dengan metode sejarah. Menurut Louis Gotschalk, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.21 Metode sejarah juga dapat merekonstruksi sebanyak-banyaknya peristiwa masa lampau manusia.22 Metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahap pokok yaitu pengumpulan data (Heuristik), kritik sumber (Verifikasi), penafsiran (Intepretasi) dan penulisan sejarah (Historiografi).

1. Heuristik

Heuristik merupakan pemilihan sesuatu subjek dan pengumpulan informasi mengenai subjek. Kegiatan ini ditujukan untuk menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang sebenarnya mencerminkan

21 Ibid., hlm. 32. 22

Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store, 1984), hlm. 22-23.

(15)

berbagai aspek aktifitas manusia masa lampau. Tujuannya agar kerangka pemahaman yang didapatkan berdasarkan sumber-sumber yang relevan untuk dapat disusun secara jelas, lengkap dan menyeluruh.23

Pengumpulan sumber penelitian dilakukan di Yogyakarta dan di Kendal. Adapun tempat-tempat yang dikunjungi dalam proses heuristik antara lain Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Kolese St. Ignatius Yogyakarta, Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan, Perpustakaan Pedesaan Universitas Gadjah Mada dan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kendal. Adapun sumber-sumber yang digunakan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah antara lain:

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber informasi yang keberadaannya sejaman dengan peristiwa. Sumber primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepalanya sendiri, yakni saksi dengan panca indera atau alat mekanis (yang juga bisa menghasilkan suatu rekaman yang bisa di indera).24 Sumber primer dapat juga disebut arsip atau manuskrip. Posisi arsip sebagai sumber menempati kedudukan yang tertinggi dibandingkan dengan sumber sejarah lainnya.25 Sumber primer dapat dikatakan pula sebagai bukti kontemporer atau sezaman dengan

23

Helius Sayamsudin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 89.

24 Louis Gottschalk, op.cit., hlm. 43. 25

Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 3.

(16)

peristiwa yang terjadi. Sumber tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni, tertulis dan tidak tertulis. Sumber tertulis misalnya, dokumen-dokumen, dan sumber tidak tertulis misalnya foto.

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

ANRI, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Intensifikasi Tebu Rakyat.

KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Dati II Kendal Kantor Kecamatan Gemuh, Nomor: 525/672 Perihal: Mohon Petunjuk, Akan Memberlakukan Keputusan Desa yang Belum Mendapat Pengesahan dari Bapak Bupati KDH TK II Kendal, Senarai Arsip Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan (Permanen) Eks Pembantu Bupati Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem Kabupaten Kendal, No. 175.

KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor: Ek. 525.1/4612. Perihal: Persiapan Pengadaan Areal TRI 85/86, Senarai Arsip Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan (Permanen) Eks Pembantu Bupati Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem Kabupaten Kendal, No. 175. KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomer: Ek.

525/3964 Hal: Ploteng Areal TRI Mt. 1983-1984, Senarai Arsip Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan (Permanen) Eks Pembantu Bupati Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem Kabupaten Kendal, No. 175. Surat Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Koordinasi BIMAS Nomor

:011/SK/MENTAN/BIMAS/XII/1981 Tentang Program Tebu Rakyat Intensifikasi Musim Tanam Tahun 1982/1983.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan kesaksian dari orang yang bukan merupakan pelaku suatu peristiwa. Sumber tersebut berasal dari orang yang bukan merupakan saksi mata, yaitu dari seseorang yang tidak hadi pada peristiwa yang dikisahkan. Sumber sekunder dapat berupa buku-buku, surat kabar, skripsi yang tidak diterbitkan dan karya tulis ilmiah yang relevan dengan penelitian. Sedangkan

(17)

menurut Nugraha Notosusanto sumber sekunder adalah sumber yang di dapat dari sumber lain.

2. Verifikasi

Verifikasi atau kritik sumber merupakan suatu pengujian sumber dan menganalisa secara kritis mengenai keontetikan sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Kritik sumber ada dua macam yaitu, otensitas atau keabsahan sumber atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kebiasaan dipercayai atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern.26 Kritik sumber ekstern merupakan kritik sumber sejarah dari luar, misalnya mengenai keaslian dari kertas yang dipakai, ejaan, tinta, gaya tulisan, dan semua penampilan luarnya untuk mengetahui keontikanya. Kritik sumber intrern yaitu penilaian atau pengujian sumber sejarah dari isi sumber dokumen tersebut, sehingga sumber tersebut dapat dianalisis berdasarkan isinya. 27 Kritik sumber diperlukan dalam sebuah penelitian sejarah karena semakin kritis dalam menilai sumber sejarah, maka akan semakin otentik penilaian sejarah yang dilakukan.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai bidang subjektivitas. Interpretasi ada dua macam, yaitu analisis dan sintesis.28 Analisis disini berarti menguraikan sedangkan Sintesis berarti menyatukan. Intepretasi yaitu merangkai fakta-fakta yang telah ditemukan dan ditetapkan melalui kritik sumber ekstern

26 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013),

hlm. 77.

27 Ibid., hlm. 78. 28 Ibid., hlm 78-79.

(18)

maupun intern agar menjadi sebuah makna yang saling berhubungan. Fakta-fakta tersebut dirangkai, dikaitkan dengan fakta lain, agar terlihat sebagai rangkaian fakta yang masuk akal, dan menunjukkan sebuah arti dan kecocokan satu sama lainnya.

4. Historiografi

Historiografi atau penulisan yang penyampaian sintesis yang diperoleh melalui penelitian. setelah melakukan analisis data akan menghasilkan sintesis hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk karya tulis sejarah. Tahap ini merupakan tahap terakhir bagi penulis untuk menyajikan fakta kedalam bentuk penulisan sejarah.

Penulisan adalah langkah akhir seorang sejarawan dalam melakukan penelitiannya. Adapun hasil akhir adalah menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut dengan historiografi.29

H. Pendekatan Penelitian

Mengkaji dan memahami suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, pendekatan merupakan satu hal yang penting dalam proses penelitian.30 Pendekatan berguna untuk mengungkap atau menganalisis suatu peristiwa dengan menggunakan teori atau konsep dari ilmu bantu lainnya. Maka, untuk melakukan penulisan sejarah diperlukan penulisan sejarah menggunkan pendekatan secara

29 Helius Syamsudin, op.cit., hlm. 56. 30

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Grameda Pustaka Utama, 1992), hlm. 2.

(19)

multidimensional, yang melihat peristiwa melalui sudut pandang dari beberapa segi.

Pendekatan pertama yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis digunakan untuk menerangkan sosiologi dalam menjelaskan perilaku manusia. Pendekatan ini digunakan untuk melihat suatu gejala aspek sosial yang mencakup hubungan social, interaksi, jaringan dan struktur sosial. Dalam hal ini pendekatan sosiologi mampu melihat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Kendal dengan diberlakukannya program tebu rakyat Intensifikasi. Skripsi ini menggunakan teori perubahan sosial yang diungkapkan oleh Rogers et.al. Menurut Rogers perubahan sosial adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarakatan. Ada tiga tahapan utama dalam proses atau perubahan sosial, berawal dari diciptakannya atau lahirnya sesuatu, mungkin sesuatu yang diidamkan atau sesuatu kebutuhan, yang kemudian berkembang menjadi suatu gagasan yang baru. Bila gagasan tersebut sudah menggelinding seperti roda yang berputar pada sumbunya, sudah tersebar di kalangan anggota masyarakat, proses perubahan sosial tersebut sudah mulai memasuki tahapan yang kedua. Tahapan berikutnya sebagai tahapan ketiga, yaitu hasil.31 Berdasarkan teori ini maka diperoleh landasan untuk melihat perubahan-perubahan sosial masyarakat yang disebabkan karena adanya program TRI.

Pendekatan kedua yang digunakan adalah pendekatan ekonomi, pendekatan ekonomi digunakan untuk menerangkan kondisi perekonomian

31

Bahrein T. Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 55.

(20)

masyarakat Kendal saat penanaman tebu. Penggunaan pendekatan ekonomi dalam skripsi ini dikarenakan permasalahan yang diangkat adalah mengenai sejarah sosial ekonomi. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisa persoalan ekonomi yang berkaitan dengan masalah pertanian tebu, yang meliputi proses pertanian, hasil pertanian, pemasaran dan hasil sumber daya manusia serta perbaikan perekonomian bagi masyarakat Kabupaten Kendal serta pengaruh sosial ekonomi bagi masyarakat yang tanahnya digunakan dalam penanaman tebu dapat terjawab. Skripsi ini menggunakan teori shared poverty yang diungkapkan oleh Clifford Geertz.

Menurut Clifford Geertz pada masyarakat petani Jawa yang terinvolusi sudah ditandai dengan kondisi mekanisme kalahkan diri yang mengarah pada bentuk kehidupan yang statis dengan beban kemiskinan yang dipikul bersama (shared poverty). Dibawah tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat dan sumber daya yang terbatas, masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua dan tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonomis yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikan rezeki yang ada, hingga makin lama makin sedikit yang diterima oleh masing-masing anggota masyarakat (shared poverty).32

I. Sistematika Penulisan

Penyusunan hasil penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifiksi di Kabupaten Kendal Tahun 1981-1990” akan disusun dalam lima bab pembahasan. Berikut ini adalah gambaran mengenai isi dari hasil penelitian

32

Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, 1983), hlm. 102.

(21)

tersebut yang akan dituliskan dalam sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Bab petama menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian ini. Pada bab ini berisi gambaran umum mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode yang diterapkan, pendekatan penelitian dan sistematika pembahasan. Adapun sistematika dalam bab I ini dibuat menyesuaikan dengan ketentuan penulisan tugas akhir skripsi yang dibuat oleh Tim Prodi Ilmu Sejarah UNY.

BAB II. Gambaran Umum Kabupaten Kendal

Bab kedua akan mendeskripsikan dan menganalisa mengenai letak geografis Kabupaten Kendal, demografi Kabupaten Kendal, dan perkebunan tebu di Kabupaten Kendal sebelum TRI.

BAB III. Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal

Bab ketiga berisi tentang penetapan areal tanaman tebu rakyat intensifikasi, pengelolahan dan pemeliharaan tanaman Tebu Rakyat Intensifikasi hasil produksi tebu rakyat dan permasalahan dalam pelaksanaan tebu rakyat intensifikasi.

BAB IV. Dampak Sosial Ekonomi Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi bagi Masyarakat Kabupaten Kendal

Bab keempat akan menjelaskan pengaruh pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi dalam perubahan sosial masyarakat Kabupaten Kendal dan pengaruh

(22)

pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi terhadap perekonomian masyarakat Kabupaten Kendal.

BAB V. Kesimpulan

Bab terakhir ini memberikan kesimpulan dari penjabaran pada bab-bab sebelumnya. Dalam kesimpulan ini akan diberikan pula jawaban dari rumusan masalah yang telah ditentukan.

Referensi

Dokumen terkait

Sangat Baik Baik Cukup Perlu Pendampingan Melengkapi kalimat yang rumpang dengan kata yang tepat Semua kata dipilih dengan tepat Ada 1-2 kekeliruan memilih kata

PT Henan Putihrai Sekuritas tidak akan bertanggung jawab atas setiap kehilangan dan/atau kerusakan yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh laporan ini atau

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Furqony (2018) tentang strategi pengembangan Basecamp Mawar di gunung Ungaran juga memiliki hasil yang berbeda dengan

Perubahan fasad bangunan di kawasan kampung Laweyan disebabkan oleh status kepemilikan, perpektif pewaris dan faktor ekonomi, pola berdagang dengan dukungan teknologi.

Dosen Pembimbing Nama Mahasiswa NIM Hari Mulai Berakhir Ruang

Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan lima orang narasumber di luar 50 orang responden, tiga orang diantaranya merupakan customer yang sering

1) Hasil observasi siklus I pertemuan pertama adalah aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran model Make A Match dengan media gambar menunjukkan bahwa:

Dalam usaha untuk mengurangi jumlah logam Cd yang terdapat dalam kerang darah yang berasal dari Muara Sungai Banjir Kanal Barat di Semarang agar aman dikonsumsi