• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT (ALE) NASIONAL

Varuliantor Dear

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER

Saipul Hamdi

KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

Fahmi Alusi

MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:

TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Euis Susilawati

PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1

LAPAN

Widodo Slamet

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

(2)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT ALE) NASIONAL ...

Varuliantor Dear

1 – 8

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER ...

Saipul Hamdi

9 – 16

KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) ...

Fahmi Alusi

17 – 24

MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:

TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN ...

Euis Susilawati

25 – 34

PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1

LAPAN ...

Widodo Slamet

35 – 43

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

(3)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA DIRGANTARA

Keputusan Kepala LAPAN Nomor: 98 Tahun 2013 Tanggal: 22 April 2013

Pembina:

Drs. Sri Kaloka Prabotosari Pemimpin Umum: Dra. Ratih Dewanti, M.Sc

Pemimpin Redaksi: Dra. Elly Kuntjahyowati, MM

Redaksi Pelaksana: Adhi Pratomo, S.Sos

Dra. Sri Rahayu Yudho Dewanto, ST

Zubaedi Muchtar Haryati, SAP Penyunting:

Ketua

Dra. Euis Susilawati, M.Si

Anggota Ir. Widodo Slamet, MT Gathot Winarso, ST, M.Sc

Ir. Timbul Manik, M.Eng Dra. Sumaryati, MT Ir. Ediwan, MT Drs. Agus Harno N., M.Sc Tata Letak M. Luthfi

VOL.14 NO.1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 14, No. 1, Maret 2013 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.

Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu, “Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit Komunikasi Radio Hf Berdasarkan Data Jaringan Automatic Link Establishment ALE) Nasional” ditulis oleh Varuliantor Dear. Pada makalah ini disajikan metode penentuan rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data dari jaringan

Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang

saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian maupun bulanan; “Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer” ditulis oleh Saipul Hamdi. Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global, aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan berpotensi mengurangi jumlah curah hujan; “Kajian Pengembangan Knowledge Management System (KMS) untuk Litbang Kedirgantaraan pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)” ditulis oleh Fahmi Alusi. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan Knowledge Management System di Lapan agar

knowledge yang tercipta dalam kegiatan penelitian dapat terpelihara serta

dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge sharing guna meningkatan kinerja Lembaga; “Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau Morotai: Tinjauan Aspek Pertahanan Dan Keamanan” ditulis oleh Euis Susilawati. Pusat peluncuran roket di Pameungpeuk saat ini tidak lagi memenuhi syarat untuk digunakan meluncurkan roket-roket besar yang mampu membawa satelit (RPS). Kajian awal yang dilakukan Lapan merekomendasikan beberapa lokasi baru yang dapat dijadikan pusat peluncuran RPS; Artikel terakhir ditulis oleh Widodo Slamet dengan judul “Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur Inasat-1 Lapan”. Struktur satelit memiliki fungsi sebagai pengikat dan pelindung muatan-muatan yang dibawa oleh satelit tersebut. Inasat-1 merupakan satelit nano yang digunakan sebagai sarana penelitian untuk meningkatkan kemampuan para peneliti di bidang teknologi satelit.

Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali

ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi : LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802 (Hunting) Fax : (012) 4894815 Email : pukasi.lapan@gmail.com

b_dirgantara@hotmail.co.id Milis : berita_dirgantara@mail.lapan.go.id

 Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang kedirgantaraan.

 Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.  Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan

(4)

1

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN

AUTOMATIC LINK

ESTBALISHMENT

(ALE) NASIONAL

Varuliantor Dear

Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,Pusat Sains Antariksa, Lapan e-mail: varuliant@yahoo.com

RINGKASAN

Penentuan frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF untuk menjamin keberhasilan komunikasi erat kaitannya dengan kondisi lapisan ionosfer yang dinamis. Salah satu cara yang telah banyak digunakan hingga saat ini adalah berdasarkan hasil perhitungan nilai frekuensi kerja yang dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer dari variasi nilai frekuensi plasma lapisan ionosfer yang terendah (fmin) maupun yang tertinggi (foF2). Pada makalah ini disajikan metode penentuan rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data dari jaringan Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian maupun bulanan. Dengan menggunakan data periode harian, rujukan dapat digunakan untuk menentukan frekuensi kerja pada hari berikutnya. Sedangkan dengan menggunakan data periode bulanan, perencanaan frekuensi kerja untuk bulan berikutnya dapat dilakukan berdasarkan data satu bulan sebelumnya. Dengan kedua jenis periode data tersebut, informasi yang diperoleh akan dapat digunakan untuk perencanaan penentuan nilai rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF. 1 PENDAHULUAN

Propagasi yang sangat dominan terjadi pada komunikasi radio HF (3-30 MHz) adalah propagasi angkasa (skywave

propagation) (Collin, 1995). Oleh karena

itu keberhasilan komunikasi radio HF sangat erat kaitannya dengan kondisi lapisan ionosfer yang merupakan media utama dari perambatan gelombang radio propagasi angkasa.

Dikarenakan kondisi lapisan ionosfer yang sangat dinamis, penentuan frekuensi kerja komunikasi radio HF yang bertujuan untuk menjamin keberhasilan komunikasi, dilakukan berdasarkan penelitian frekuensi plasma lapisan ionosfer yang menentukan frekuensi terendah dan tertinggi dari pemantulan gelombang radio yang dapat terjadi (Mc Namara, 1991). Dari hasil penelitian yang diperoleh tersebut, rentang nilai frekuensi kerja komunikasi

radio HF yang berupa batas frekuensi terendah (LUF) dan tertinggi (MUF), serta nilai frekuensi yang optimal (OWF), diaplikasikan ke dalam bentuk per-hitungan prediksi frekuensi. Parameter yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah jarak suatu sirkuit komunikasi dan kondisi parameter lapisan ionosfer seperti ketinggian (h) dan frekuensi kritis (fmin atau fo) (Jiyo, 2005). Metoda ini dinyatakan cukup efektif digunakan secara praktek dengan tingkat keberhasilan mencapai 80% (Dear et.al, 2012a).

Saat ini LAPAN telah membangun stasiun komunikasi radio HF di beberapa lokasi di Indonesia, yakni Bandung, Pontianak, Watukosek, Manado, dan Kototabang, yang disebut sebagai jaringan

Automatic Link Establishment (ALE)

Nasional (Dear, 2012b). Jaringan ini

(5)

2

riset dinamika ionosfer yang terkait dengan kondisi propagasi komunikasi radio HF dan hal-hal lain yang terkait. Pada makalah ini dibahas tentang penentuan rentang frekuensi kerja komunikasi radio HF dengan memanfaat-kan data jaringan ALE nasional tersebut. Tujuan dari makalah ini adalah untuk memperkenalkan metode awal dari salah satu pemanfaatan data jaringan ALE nasional yang dapat digunakan pada aplikasi komunikasi radio HF.

2 JARINGAN ALE NASIONAL

Automatic Link Estabilshment (ALE)

merupakan salah satu teknologi terkini dari komunikasi radio HF(HFlink, 2010). ALE dirancang sebagai solusi dari adanya permasalahan perubahan frekuensi kerja akibat kondisi lapisan ionosfer yang cukup dinamis. Dengan teknologi sistem ALE yang diterapkan pada perangkat komunikasi radio, operator radio dapat lebih mudah melakukan komunikasi yang dikehendaki. Hal ini dapat terwujud dikarenakan sistem ALE mampu mengevaluasi kondisi propagasi secara real time.

Dikarenakan perangkat ALE masih dikategorikan relatif mahal, maka penggunaan teknologi ini sangat jarang

dimanfaatkan oleh operator radio secara umum. Hanya beberapa institusi dengan dana yang cukup besar yang mampu menyediakan perangkat ini (Basarnas, 2011). Selain harga perangkat yang cukup mahal, operasional sistem ALE ternyata juga membutuhkan keahlian dan pemahaman khusus oleh operator radio yang melakukan. Sehingga dengan kondisi tersebut perangkat ALE cukup lama untuk dapat diterapkan di masyarakat.

LAPAN saat ini telah mampu menerapkan stasiun ALE dengan meng-gunakan perangkat radio konvensional. Dengan stasiun-stasiun ALE tersebut, LAPAN telah membangun dan terus mengembangkan jaringan ALE nasional yang diperuntukkan untuk kegiatan penelitian dan pengamatan. Beberapa stasiun yang telah dibangun dan juga direncanakan akan diterapkan dalam waktu dekat disajikan pada Gambar 2-1. Dari stasiun-stasiun ALE tersebut, data yang dihasilkan berupa informasi frekuensi kerja dan waktu komunikasi seperti yang disajikan pada Gambar 2-2. Data yang disajikan pada Gambar 2-2 tersebut kemudian diolah kembali untuk kepentingan penelitian yang dilakukan.

Keteranga: Telah dibangun Perencanaan KTB = Kototabang BDG = Bandung PTK = Pontianak WTK = Watukosek MDC = Manado BIK = Biak KOE = Kupang Gambar 2-1: Peta stasiun ALE Lapan

(6)

3

Gambar 2-2: Data yang diperoleh dari stasiun Bandung pada jaringan ALE nasional 3 PENGOLAHAN DATA JARINGAN ALE

UNTUK PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA

Data yang diperoleh dari jaringan ALE dapat diolah menjadi informasi frekuensi kerja suatu sirkit komunikasi berdasarkan waktu yang digunakan. Data ini pertama kali di kelompokan berdasarkan sumber sinyal atau stasiun yang diterima (Callsign ID). Dari kelompok sumber sinyal tersebut data yang diperoleh kemudian disaring (filter) guna menghilangkan data yang tidak valid sesuai dengan metode verifikasi berdasarkan urutan waktu penerimaan data dan kesalahan sistem (Dear, 2012c ).

Setelah data tersebut disaring (filter) maka data yang diperoleh dapat disajikan dalam bentuk informasi frekuensi kerja berdasarkan waktu komunikasi suatu sirkit komunikasi dengan periode harian maupun bulanan. Pada Gambar 3-1 disajikan diagram alur pengolahan data yang dilakukan.

Dari proses yang dilakukan sesuai diagram alur Gambar 3-1, maka akan diperoleh data seperti pada contoh Gambar 3-2. Pada Gambar 3-2 (a) disajikan data teks yang berisikan frekuensi berdasarkan waktu komunikasi dari sebuah sumber stasiun yang kemudian dapat diubah ke dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada Gambar 3-2(b). Pada Gambar 3-2(b)

tersebut disajikan informasi frekuensi kerja rujukan sebuah sirkuit komunikasi radio HF sesuai dengan periode data yang digunakan.

Gambar 3-1: Diagram alur pengolahan data ALE

MULAI

Klasifikasi Sumber

Sinyal (Stasiun)

Filter data yang

valid (Dear, 2012

3

)

Frekuensi Harian,

dan Bulanan per

sirkuit komunikasi

SELESAI

Data ALE

per Stasiun

(7)

4

(a)

(b)

Gambar 3-2: Data hasil pengolahan dalam bentuk (a) teks, dan (b) dalam bentuk grafik

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Gambar 4-1 disajikan contoh hasil pegolahan data ALE selama 3 hari untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek, dan Pontianak-Watukosek yang menunjukkan data dalam periode harian. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa perbedaan frekuensi kerja yang dapat digunakan setiap harinya tidak terlalu jauh berbeda. Terlihat kemiripan pola keberhasilan penggunaan frekuensi antara hari yang satu dengan hari lainnya dengan batas nilai frekuensi tertinggi dan terendah yang tidak jauh berbeda.

Pada Gambar 4-1(a) terlihat bahwa rentang frekuensi yang dapat digunakan antara pukul 13 hingga 23 WIB untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek adalah antara 7 hingga 18 MHz. Data tersebut terlihat pada tanggal 22, 23,

dan 24 Oktober 2012. Dari hasil yang disajikan, terdapat beberapa plot data disekitar frekuensi 18 MHz. Kendatipun demikian dalam rentang waktu tersebut frekuensi yang dominan dapat digunakan adalah frekuensi 18 MHz.

Dari Gambar 4-1(a) terlihat bahwa antara pukul 00 hingga 06 WIB pada tanggal 22 dan 24 Oktober 2012, frekuensi yang dominan tercatat berada pada rentang frekuensi 7 hingga 10 MHz. Namun, pada tanggal 23 Oktober 2012 diperoleh hasil yang berbeda, dimana frekuensi yang dominan tercatat adalah pada rentang 7 MHz. Hal ini menunjukkan bahwa data harian dapat digunakan, akan tetapi cukup signifikan untuk mengalami fluktuasi perubahan yang terjadi secara seketika. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh adanya fenomena kondisi cuaca antariksa yang mempengaruhi ionosfer (McNamara,1991).

(8)

5

(a) (b)

Gambar 4-1: Hasil pengolahan data ALE selama 3 hari dari sirkuit (a) Bandung-Watukosek, dan (b) Pontianak-Watukosek

Hal yang serupa juga ditunjukkan pada data dari sirkuit Pontianak-Watukosek seperti yang disajikan pada Gambar 4-1(b). Pada rentang waktu antara pukul 00 hingga 07 WIB, frekuensi kerja yang berhasil digunakan dominan berada pada rentang 7-10 MHz baik pada tanggal 22, 23, maupun 24 Oktober 2012. Sedangkan pada pukul 14 sampai 23 WIB, rentang frekuensi yang dominan tercatat berada pada frekuensi 7 – 21 MHz hanya terjadi pada tanggal 23 dan 24 Oktober 2012 saja. Pada tanggal 22 Oktober 2012 terlihat bahwa rentang frekuensi yang dominan tercatat hanya berada pada kisaran yang lebih rendah, yakni 7-15 MHz . Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara

tanggal 22 apabila digunakan sebagai rujukan untuk tanggal 23. Frekuensi yang dapat digunakan pada hari berikutnya ternyata memiliki rentang frekuensi kerja yang lebih luas untuk dapat digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang penggunaan frekuensi kerja yang dirujuk pada tanggal 22 tidak 100% sesuai untuk digunakan pada tanggal 23 Oktober 2012 namun masih bisa untuk digunakan.

Penggunaan hasil pengamatan frekuensi kerja dalam periode harian untuk digunakan pada hari berikutnya perlu untuk selalu mempertimbangkan kondisi cuaca antariksa seperti fenomena tertentu pada matahari atau fenomena cuaca antariksa lainnya. Salah satu contoh yang terjadi adalah

(9)

6

pada rentang waktu antara pukul 09-12 WIB untuk tanggal 22 hingga 24 Oktober 2012. Terlihat tidak diperolehnya suatu nilai frekuensi kerja yang dapat digunakan pada rentang waktu tersebut yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kemunculan lapisan E Sporadis. Lapisan E Sporadis dapat memiliki sifat sebagai efek screening (penghalang) dari propagasi yang terjadi (Suhartini, 2010).

Berdasarkan hasil tersebut, rentang frekuensi kerja yang dapat digunakan pada hari berikutnya tidak akan jauh berbeda dengan kondisi pada hari sebelumnya. Pola dan nilai dari rentang frekuensi kerja yang dapat digunakan untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek maupun Watukosek-Pontianak pada hari berikutnya memiliki pola dan nilai yang hampir sama dengan hari sebelumnya. Namun untuk penggunaan informasi frekuensi kerja tersebut perlu memperhatikan kondisi cuaca antariksa yang mempengaruhi ionosfer di hari berikutnya. Salah satu informasi cuaca antariksa yang paling dominan adalah kondisi aktifitas Matahari. Untuk antisipasi serta berdasarkan pertimbangan teknis perencanaan komunikasi yang umum digunakan dalam komunikasi radio HF, penentuan suatu frekuensi kerja umumnya dapat dilakukan untuk skala periode bulanan. Hal ini ditunjukkan seperti hasil yang disajikan dari keluaran prediksi frekuensi yang menyatakan bahwa nilai-nilai frekuensi tersebut merupakan nilai median bulanan dengan tingkat keberhasilan mencapai 90% dalam satu bulan (Lianne, 2010). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan data jaringan ALE yang digunakan, nilai rentang frekuensi kerja rujukan suatu sirkuit komunikasi juga dapat dibuat dalam skala bulanan. Data frekuensi harian dapat dikompilasi ke dalam data frekuensi bulanan yang akan menunjukkan frekuensi kerja yang dapat digunakan setiap jamnya dalam periode bulanan.

Pada Gambar 4-2 disajikan hasil pengolahan data ALE untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek pada

bulan Agustus, September, dan Oktober 2012. Data yang dipilih untuk disajikan merupakan data modus setiap waktunya dalam satu bulan. Hal ini dilakukan agar data yang mewakili data bulanan merupakan data yang sering muncul sesuai dengan intepretasi dari modus suatu data statistik.

Berdasarkan Gambar 4-2 terlihat bahwa pola yang serupa dominan terjadi setiap jamnya dalam ketiga bulan data yang diperoleh. Batas frekuensi tertinggi tercatat dominan berada pada rentang 15 MHz. Sedangkan batas frekuensi terendah yang dominan tercatat berada pada nilai 7 MHz. Dari data yang diperoleh tersebut, hanya terdapat beberapa waktu dengan nilai frekuensi yang lebih tinggi (18-28 MHz) dan rendah (3 MHz) dalam setiap bulannya. Fenomena ini dapat terjadi dikarenakan pada beberapa hari dalam satu bulan, tercatat keberhasilan menggunakan frekuensi–frekuensi tersebut dan dikategorikan sebagai suatu hal yang wajar. Keberhasilan tersebut dapat terjadi karena adanya faktor kemunculan lapisan E sporadis ionosfer dan juga meningkatnya nilai foF2 pada beberapa waktu maupun adanya fluktuasi ketinggian lapisan ionosfer. Dengan kondisi tersebut, dari ketiga bulan data yang diperoleh, data yang diperoleh menunjukkan bahwa rentang frekuensi kerja yang dapat digunakan selama tiga bulan tersebut adalah sama, yakni berada pada rentang 7 hingga 15 MHz. Informasi ini memiliki makna bahwa rujukan rentang frekuensi kerja dari data satu bulan sebelumnya juga dapat digunakan untuk penentuan frekuensi kerja di bulan berikutnya. Kendatipun demikian, apabila periode bulanan digunakan untuk periode lebih dari 3 bulan ke depan, maka informasi aktifitas matahari khususnya tren dari siklus matahari perlu diperhatikan sebagai informasi tambahan. Hal ini terkait dengan proses ionisasi yang memiliki kesesuaian dengan pola bilangan bintik hitam matahari sebagai indikasi dari siklus aktifitas matahari (McNamara,1991).

(10)

7

Gambar 4-2: Hasil pengolahan data ALE untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2012

5 PENUTUP

Penentuan rentang frekuensi kerja komunikasi radio HF dapat dilakukan dengan memanfaatkan data dari jaringan ALE nasional. Penentuan dilakukan dengan merujuk pada data pencatatan frekuensi kerja sistem ALE dalam periode harian maupun bulanan. Berdasarkan analisa dari contoh data

yang diperoleh, penggunaan data pada skala periode harian memungkinkan untuk digunakan sebagai rujukan penentuan rentang frekuensi kerja pada hari berikutnya. Sedangkan data periode bulanan memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam perencanaan penggunaan rentang frekuensi kerja pada satu bulan berikutnya. Namun,

(11)

8

berdasarkan hasil yang diperoleh, penentuan dengan menggunakan data harian masih harus disertai dengan catatan bahwa nilai tersebut dapat digunakan pada saat kondisi cuaca antariksa berada pada kondisi normal. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca antariksa dapat mempengaruhi respon ionosfer secara seketika yang juga mempengaruhi propagasi komunikasi radio HF. Dengan kondisi tersebut, solusi penggunaan data periode bulanan untuk merujuk perencanaan rentang frekuensi kerja dalam satu bulan ke depan merupakan pilihan yang dapat dilakukan. Data periode bulanan yang digunakan juga perlu memperhatikan kondisi aktifitas matahari terutama dari aspek tren siklus aktifitas matahari. Hal ini juga sesuai dengan aplikasi secara nyata dalam suatu perencanaan komunikasi radio HF yang juga dilakukan pada layanan prediksi frekuensi komunikasi radio HF secara umum.

DAFTAR RUJUKAN

BASARNAS, 2011. Kunjungan dan

Diskusi dalam Rapat Kerja BASARNAS April 2011, Ciloto,

Bogor, 2011).

Collin, R.E, 1995. Antennas & Radiowave

Propagation. Mc Graww Hill,

1985, ISBN 0-0711808-6.

Dear, V., Syamsudin, S., Syidik, I.,F., Nurmali, D., Siradj, A.,M., 2012a.

Laporan Triwulan 2 Kegiatan

Penelitian Tahun 2012 Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Pusat Sains Antariksa, LAPAN,

2012.

Dear, V., 2012b. Pengamatan Propagasi

Komunikasi Radio HF Mengguna-kan jaringan Automatic Link Establishment (ALE) Nasional dan Pemanfaatannya. Workshop Kerjasama LAPAN-UNSRAT, Manado 22 November 2012. Dear, V., 2012c. Hasil Awal Uji Indeks T

Ionosfer Regional Menggunakan Jaringan Stasiun Automatic Link Establishment (ALE), Berita Dirgantara, Vol.13 No.3 halaman 102-111.

Hflink, 2010. ALE Handbook for

Government Chapter 3. http://

hflink.com/standards/ download April 2011.

Jiyo, Yatini, C. 2005. Pengaruh Badai

Antariksa Oktober-November 2003 Terhadap Lapisan Ionosfer dan Komunikasi Radio, Warta LAPAN

Vol 7 No.3.

Lianne, 2010. WASAPS Version 5.3 Tutorial, IPS Radio and Space Services, 2010.

McNamara, L.F. 1991. The Ionosphere:

Communications, Surveillance, and Direction Finding, Krieger

Publishing Company.

Suhartini S, 2007. Komunikasi Jarak

Jauh menggunakan 2 Meteran,

Berita Dirgantara, Vol. 8 No. 3, halaman 68-71.

(12)

9

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER

Saipul Hamdi

Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan e-mail: saipulh@yahoo.com

RINGKASAN

Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global, aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak energi matahari untuk memulai reaksi tersebut.

1 PENDAHULUAN

Aerosol memainkan peranan penting dalam iklim global melalui dua mekanisme, yaitu dampak langsung dan dampak tak langsung. Dampak langsung aerosol terhadap iklim adalah dengan cara menyerap dan menghamburkan radiasi matahari sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendinginan global, dan juga meningkatkan albedo awan. Dampak aerosol secara tidak langsung adalah dengan cara memodifi-kasi sifat optis awan. Keberadaan aerosol di stratosfer banyak disebabkan oleh letusan gunung berapi yang dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo (1991) di Filipina, sedangkan sumber aerosol di lapisan troposfer didominasi oleh aktivitas manusia khususnya dalam penggunaan bahan bakar fosil.

Indonesia yang memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya merupakan gunung berapi aktif tentu saja memiliki peluang menjadi penyumbang aerosol yang potensial di lapisan stratosfer. Dengan letak geografis yang sangat representatif di khatulistiwa menjadikan gunung api aktif tersebut akan memainkan peranan penting

dalam iklim global jika terjadi letusan yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat yang dilepaskan dalam letusan gunung berapi masuk ke dalam lapisan stratosfer dapat mencapai ribuan kilometer jauhnya, serta memberikan kontribusi yang nyata dalam perubahan iklim global.

Dalam skala global, aerosol yang dikeluarkan oleh letusan Gunung Pinatubo telah menyebabkan pendinginan global (global cooling) dengan penurunan suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer bawah dan belahan bumi utara pada September 1992 (Dutton and Christy, 1992). Selain berdampak pada iklim global, aerosol juga diyakini dapat menyebabkan hujan asam, bahkan penipisan lapisan ozon melalui proses

heterogeneous reaction, khususnya di

daerah kutub utara. Makalah ini disusun untuk menguraikan sumber aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer, dampak aerosol terhadap iklim global baik langsung maupun tidak langsung, maupun dampaknya terhadap ozon stratosfer, serta kaitan aerosol dengan proses terjadinya hujan asam.

(13)

10

2 AEROSOL DI LAPISAN TROPOSFER DAN STRATOSFER

2.1 Aerosol di Lapisan Troposfer

Aerosol adalah kumpulan dari partikel-partikel padat yang tersuspensi di dalam medium gas dalam waktu yang cukup lama dan memungkinkan untuk diamati dan diukur. Pada umumnya, partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm sehingga kasat mata namun keberadaan-nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol terdapat di atmosfer, dari permukaan hingga ketinggian stratosfer. Bahkan tanpa disadari, aerosol pun banyak terdapat di dalam ruangan, terutama ruangan tertutup dengan ukuran yang sangat halus (nano aerosol).

Aerosol dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu proses buatan dan proses alami yang berasal dari aktivitas makhluk hidup. Pembakaran bahan bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan industri dan transportasi, dipercaya memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap peningkatan jumlah aerosol atmosfer, khususnya di lapisan troposfer bawah. Kandungan sulfur pada bahan bakar fosil akan menghasilkan aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian besar jumlah aerosol yang terdapat di lapisan troposfer bawah merupakan turunan dari sulfurdioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Demikian juga dengan kebakaran hutan yang sering terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, menghasilkan aerosol dalam jumlah yang sangat banyak dan terdistribusi hingga ke tempat yang sangat jauh (remote area).

Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa kebakaran hutan lebih dikenal dengan istilah aerosol organis ataupun black

carbon.

Aerosol juga dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan berupa senyawa organis tidak stabil (VOC: volatile organics

compounds). Informasi mengenai mekanisme pelepasan VOC ini masih sangat sedikit yang diketahui mengingat sangat beragamnya jenis vegetasi yang dikenal. Salah satu jenis VOC yang sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide (DMS), yaitu jenis VOC utama yang dilepaskan oleh phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga menghasilkan aerosol melalui mekanisme

bursting bubbles pada permukaan laut.

Dengan demikian maka lautan merupakan sumber aerosol yang sangat luas bagi atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol yang berasal dari laut utamanya merupakan aerosol garam laut misalnya Cl, Na, dan Ca.

Ditinjau dari segi ukuran maka aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu inti aitken, inti besar, dan inti raksasa. Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini sangat bergantung pada tujuannya (Kumar et al., 2010). Misalnya untuk tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100 nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000 nm). Namun demikian, pembatasan klasifikasi tersebut tidaklah disepakati secara tegas, dan sangat bergantung pada tujuan dan penggunaannya.

Tabel 2-1: KLASIFIKASI AEROSOL BERDASARKAN DIAMETERNYA, SERING DIGUNAKAN OLEH METEOROLOGIST

Ukuran (diameter) Sumber

Inti Aitken < 0,001-0.1 µ Dihasilkan dari pembakaran, dan konversi gas-partikel

Inti besar 0,1 – 1,0 µ Garam, spora halus, hasil pembakaran, penggumpalan inti Aitken

Inti raksasa > 1 µ Garam, spora kasar, hasil dari proses industri

(14)

11 2.2 Aerosol di Lapisan Stratosfer

Munculnya aerosol di lapisan stratosfer didominasi kuat oleh letusan gunung berapi yang menyemburkan ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke

atmosfer di samping material debu lainnya, bahkan mencapai lapisan stratosfer. Gas SO2 dapat berubah

menjadi H2SO4/H2O langsung melalui

konversi gas ini ke partikel serta reaksi heterogen dengan uap air melalui bantuan radiasi matahari pada ketinggian tertentu (McCormick et al., 1995). Di lapisan stratostefer, aerosol sulfat ini dapat menyebar hingga ke daerah yang sangat jauh, bergantung pada keadaan meteo makro dan sirkulasi global atmosfer. Letusan gunung berapi yang dahsyat akan meningkatkan secara cepat jumlah aerosol sulfat di lapisan stratosfer. Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini memiliki waktu hidup yang lebih lama dibandingkan dengan waktu hidupnya di lapisan troposfer, khususnya troposfer bawah.

Salah satu letusan gunung berapi yang cukup dahsyat dan tercatat dalam sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.

Dunia ilmu pengetahuan mencatat bahwa letusan ini telah mengeluarkan sulfurdioksida yang sangat banyak jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei) menjadi 5.000 ton (28 Mei) atau meningkat sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013). Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan selama terjadinya letusan adalah sebanyak 30 juta ton (McCormick et al., 1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur dengan air dan oksigen di atmosfer dan berubah menjadi asam sulfat yang akan mempercepat proses penipisan lapisan ozon. Letusan ini juga menjadi salah satu letusan yang mendapatkan perhatian penuh dari seluruh ilmuwan dunia. Beberapa perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari letusan Mt. Pinatubo antara lain berkaitan dengan proses-proses dinamika awan dan aerosol, proses-proses radiatif bumi, dan proses-proses kimia yang terjadi di atmosfer. Selain berasal dari letusan gunung berapi yang dahsyat, aerosol di lapisan stratosfer juga berasal dari debu-debu meteorit di lapisan mesosfer, dan masuk ke dalam lapisan stratosfer melalui proses pengendapan.

(15)

12

3 DAMPAK AEROSOL TERHADAP IKLIM GLOBAL

3.1 Dampak Langsung

Dampak aerosol secara langsung terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses absorpsi (penyerapan) dan scattering (penghamburan) radiasi matahari, dan (ii) menghamburkan, menyerap, dan memancarkan radiasi panas (Lohmann, U. and J. Feichter, 2005). Adanya aerosol di dalam atmosfer bumi akan meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD) dan memperluas penutupan awan yang berakibat pada menurunnya radiasi net matahari pada puncak awan sehingga terjadilah pendinginan (Lohmann U. and J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol-aerosol karbon dan debu akan menambah

positive forcing pada puncak atmosfer,

setidaknya di daerah dengan albedo permukaan yang tinggi, dan juga secara langsung menghangatkan atmosfer. Efek ini dapat diperkuat jika penyerapan radiasi matahari dari partikel-partikel aerosol ini terjadi di dalam tetes awan (Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan temperatur ini akan mengurangi kelembapan relatif dan bisa juga menurunkan evaporasi tetes awan. Pengurangan penutupan awan dan AOD awan selanjutnya akan memperkuat pemanasan sistem atmosfer bumi.

Akibat penyerapan energi matahari oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi maka sebagian energi sinar matahari akan tersimpan di atmosfer dan berpotensi untuk memanaskan atmosfer bumi. Sementara itu, penghamburan radiasi matahari yang disebabkan oleh aerosol menyebabkan radiasi matahari terpantulbalikkan ke luar atmosfer bumi. Dampak aerosol secara langsung ini sangat bergantung pada sifat fisis aerosol tersebut dan disebut sebagai single

scattering albedo, yaitu perbandingan

antara radiasi yang dihamburkan dengan yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini, aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti Aitken) merupakan partikel yang paling efektif dalam menghamburkan radiasi

matahari sehingga memegang peranan penting dalam iklim global. Karena ukurannya yang sangat kecil dan memiliki bobot yang sangat ringan maka inti aitken berpotensi untuk ditemukan pada ketinggian yang sangat tinggi (lapisan stratosfer).

Sebagai gambaran, aerosol yang bersumber dari letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 berdampak langsung pada menurunnya intensitas radiasi matahari langsung (direct solar

radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi

pengamatan yang disebar pada 4 lintang yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol

Optical Depth (AOD) total yang dihitung

pada 10 bulan pertama setelah letusan adalah sebesar 1,7 kali lebih besar daripada yang teramati mengikuti letusan gunung El Chichon pada tahun 1982. Sementara itu, pada bulan September 1992 temperatur troposfer bawah global dan pada troposfer telah mengalami penurunan (global cooling) masing-masing sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan dengan sebelum terjadinya letusan. Terjadinya global cooling ini dikaitkan dengan berkurangnya jumlah konsentrasi uap air di troposfer (Soden B.J. et al., 2002).

3.2 Dampak Tidak Langsung

Selain berdampak langsung terhadap iklim, aerosol juga memberikan dampak tidak langsung. Dampak tidak langsung aerosol dapat didefinisikan sebagai proses-proses yang disebabkan oleh aerosol dan berdampak pada gangguan keseimbangan radiasi atmosfer bumi dengan cara memodulasi albedo awan ataupun jumlah awan, yaitu bertindak sebagai inti kondensasi awan (CCN: cloud condensation nuclei) dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya aerosol yang tersuspensi ke dalam awan akan menyebabkan semakin banyaknya inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga albedo awan menjadi meningkat dan waktu hidup awan juga menjadi lebih lama. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan.

(16)

13

Gambar 3-1: Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim global adalah dengan cara memodifikasi sifat-sifat fisis awan

Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim lainnya adalah berkurangnya ukuran butiran awan (cloud droplet). Butiran awan yang terdapat di atas samudera atlantik memiliki ukuran yang lebih kecil untuk awan yang terpolusi dibandingkan dengan awan yang bersih (Breguier et al, 2000; Schwartz et al., 2002). Pengamatan jangka panjang menggunakan satelit untuk daerah China dan Eropa menujukkan dampak tidak langsung aerosol yaitu menurunkan planetary

albedo yang dapat dihubungkan dengan

penyerapan aerosol pada musim dingin (Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger et al., 2004). Dengan demikian maka butiran awan yang lebih kecil akan mengurangi efisiensi presipitasi dan sekaligus menambah waktu hidup awan dan reflektivitasnya.

4 DAMPAK AEROSOL TERHADAP HUJAN ASAM

Aerosol yang berada di lapisan troposfer, akan terdeposisi ke permukaan bumi melalui proses deposisi basah dan kering. Deposisi basah terjadi jika aerosol terlarut ke dalam air hujan dan turun bersama-sama dengan hujan. Sebaliknya, deposisi kering terjadi melalui proses pengendapan yang tidak melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol yang terlarut ke dalam air hujan

merupakan senyawa yang bersifat asam (misalnya turunan dari SO2 dan NOx)

maka pH air hujan akan mengarah kepada pH yang bersifat asam. Dalam hal ini, kemampuan tanah dalam menetralisir senyawa yang bersifat asam akan sangat menentukan kelestarian lingkungan hidup. Tanah yang bersifat asam cenderung akan kehilangan zat gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan yang akhirnya akan menurunkan jumlah tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu saja ini akan mengganggu keseimbangan alam.

Efek hujan asam berbeda-beda terhadap lokasi. Rusaknya permukaan dedaunan ataupun batang pohon akan menurunkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan iklim yang ekstrim (panas atau hujan) dan juga mem-pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan dataran tinggi sangat mudah terkena serangan penyakit karena mereka dikelilingi oleh awan ataupun kabut yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan juga menderita karena pengaruh hujan asam terhadap tanah. Kontaminasi hujan asam yang berlebihan pada tanah akan cenderung menghilangkan zat gizi yang penting, dan ini akan menurunkan kandungan aluminium di dalam tanah. Kekurangan senyawa alumunium menyebabkan pertumbuhan tumbuhan menjadi lebih lambat atau bahkan mati sama sekali.

(17)

14

Gambar 4-1: Proses deposisi basah dan kering yang mencuci atmosfer dari senyawa-senyawa aerosol yang bersifat asam

5 DAMPAK AEROSOL TERHADAP PENIPISAN LAPISAN OZON

Pemantauan aerosol stratosfer secara rutin dilakukan sejak Oktober 1978 menggunakan sensor Stratospheric

Aerosol Measurement II (SAM II) yang

ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7. Proyek penelitian ini mengarahkan kepada penemuan PSCs dan diketahui bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman di kedua belahan kutub dunia. Sifat-sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan menggunakan sensor tersebut. Diketahui bahwa koefisien peluruhan (extinction) PSCs berkisar antara 10-3/km hingga

10-2/km. meskipun tidak ditemukan

awan dengan koefisien ekstingsi yang lebih besar daripada 10-2/km namun

ada indikasi bahwa hampir sebagian besar awan memiliki indikasi optical

depth. Ini penting karena meskipun

suhu di stratosfer mencapai -80°C hingga -85°C, namun air murni akan terkondensasi (dengan asumsi bahwa kandungan air 5 ppmv). Jika setiap partikel aerosol stratosfer ambient menjadi tetes awan (water cloud droplet) maka awan akan terkomposisikan dari tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan akan memiliki ekstingsi yang lebih besar daripada 10-1/km.

Gambar 5-1: NIMBUS 7 dan SAM II yang menempel (http://sage.nasa.Gov SAM/

Polar Stratospheric Clouds (PSCs)

merupakan awan stratosfer yang tersusun atas larutan asam nitrit dengan sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs

dapat juga terkomposisi dari campuran bahan-bahan kimia yang lainnya, terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan

merupakan unsur penting dalam peristiwa terjadinya lubang ozon. PSCs memiliki efek yang tidak baik terhadap

(18)

15

ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat (misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat

bereaksi dengan klorin monoksida (ClO) untuk membentuk klorin nitrat (ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai

tempat terjadinya reaksi fase gas yang lambat menjadi sangat cepat secara heterogen (gas yang bereaksi pada permukaan benda padat). Efek yang kedua ini dapat digambarkan sebagai berikut,

HCl + ClONO2 --- pada permukaan es --

 Cl2 (gas) dan HNO3

Reaksi tersebut dapat berlangsung secara cepat pada permukaan butiran awan cirrus stratosfer yang berwujud kristal. Adanya SO2 di dalam butiran

awan akan mengubah sifat optis awan sehingga berwujud sebagai kristal es pada lapisan stratosfer. Selanjutnya, klorin akan mempercepat proses perusakan ozon melalui reaksi sebagai berikut.

(1) Cl + O3  ClO + O2

(2) ClO + O  Cl + O2

Hasil dari rangkaian reaksi tersebut adalah O3 + O  2O2, yaitu berubahnya

satu molekul ozon menjadi 2 molekul oksigen akibat adanya senyawa klorin.

SO2 gunung berapi dapat

mengurangi lapisan ozon dengan cara menyerap radiasi matahari pada panjang gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang gelombang yang bersesuaian dengan proses fotolisis O2 (diperlukan saat

pembentukan molekul ozon). Karena terjadi pengurangan proses fotolisis maka berakibat juga pada berkurangnya proses pembentukan ozon. Selain mengurangi proses pembentukan molekul ozon, SO2 juga dapat menambah

konsentrasi ozon stratosfer, yaitu dengan cara menyerap radiasi ultraviolet matahari untuk menghasilkan precursor

ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2

mengkatalisis proses pembentukan ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut ini:

SO2 + hν  SO + O (λ < 220nm) (5-1)

SO + O2  SO2 + O (5-2)

2(O + O2 + M  O3 + M) (5-3)

3O2  2O3 (5-4)

Pada panjang gelombang kurang dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi

satu molekul SO dan satu atom O yang bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian akan bereaksi dengan molekul oksigen lainnya untuk menghasilkan molekul SO2 kembali dan satu atom O.

Selanjutnya atom oksigen dan molekul oksigen akan bergabung kembali menjadi molekul O3 . Akhirnya, dengan bantuan

molekul SO2 dan radiasi matahari (λ <

220nm) maka 3 molekul oksigen akan diubah menjadi 2 molekul ozon pada lapisan stratosfer.

6 PENUTUP

Aerosol stratosfer memiliki peran yang sangat kuat dalam proses terjadinya perubahan iklim. Dampak langsung yang berkaitan dengan radiasi matahari adalah terjadinya pendinginan global atau global cooling, dan dampak tak langsungnya adalah berkurangnya intensitas hujan (curah hujan) karena berubahnya sifat-sifat fisika awan. Berubahnya sifat fisika awan bisa terjadi dengan semakin mengecilnya diameter butiran awan, ataupun berubahnya titik leleh dan titik beku awan.

Di lapisan troposfer dan per-mukaan, aerosol sulfat banyak dihasilkan dari aktivitas manusia khususnya dalam pemakaian bahan bakar fosil. Melalui deposisi basah maka aerosol sulfat akan terlarut ke dalam air hujan

(19)

16

dan jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk hujan asam. Hujan yang bersifat asam tentu saja akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Dampak langsung hujan asam terhadap tumbuhan adalah menyebabkan tumbuhan menjadi kering dan selanjutnya mati, sedangkan dampak jangka panjangnya adalah mengurangi tingkat kesuburan tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman.

SO2 yang dihasilkan dari letusan

gunung berapi dapat berperan sebagai penghambat proses pembentukan ozon di stratosfer dengan cara menyerap radiasi matahari (λ 180-390 nm) sehingga mengurangi proses fotolisis yang diperlukan dalam pembentukan ozon, dan secara bersamaan dapat pula mengkatalisis proses pembentukan ozon dengan cara menyerap radiasi matahari lainnya (λ < 220 nm).

DAFTAR RUJUKAN

Breguier, J.L.; Pawlowska, H.; Schuller, L.; Preusker, R.; Fischer, J.; and Fouquart, Y., 2000. Radiative

Properties of Boundary Layerclouds: Droplet Effective Radius Versus Number Concentration, J. Atmos.

Sci., 57, 803-821.

Chÿlek, P.; G.B. Lesins; G. Videen; J.G.D. Wong; R.G. Pinnick; D. Ngo; J.D. Klett, 1996. Black

Carbon and Absorption of Solar Radiation By Clouds. J. Geophys.

Res., 101, 23 365–23 371.

Dutton, E.G.; J.R. Christy, 1992. Solar

Radiative Forcing at Selected Locations and Evidence for Global Lower Tropospheric Cooling Following the Eruptions of El Chichón and Pinatubo.

Geophysical Research Letters, Volume 19, p. 2313-2316.

Kumar, P; A. Robins; S. Vardoulakis; R. Britter, 2010. A Review of the

Characteristics of Nanoparticles in the Urban Atmosphere and the

Prospects for Developing Regulatory Controls. Atmospheric Environment,

44.

Krüger, O.; Graßl, H., 2002. The Indirect

Aerosol Effect Over Europe.

Geophys. Res. Lett., 29.

Krüger, O.; Graßl, H., 2004. Albedo

Reduction by Absorbing Aerosols Over China”. Geophys. Res. Lett.

Krüger, O.; R. Marks; H. Graßl, 2004.

Influence of Pollution on Cloud Reflectance. J. Geophys. Res., 109.

Lohmann, U.; J. Feichter, 2005. Global

Indirect Aerosol Effets: a Review.

Atmospheric Chemistry and Physics, 5, 715-737.

McCormick, M.P.; L.W. Thomason; C.R. Trepte, 1995. Atmospheric Effects

of the Mt Pinatubo Eruption.

Nature, 373, 399-404.

McElroy, M.B.; R.J. Salawitch; S.C. Wofsy; J.A. Logan, 1986. Reduction

of Antarctic Ozone Due to Synergistic Interactions of Chloride And Bromine. Nature, 321, 759-762.

Schwartz, S. E.; Harshvardhan; Benkovitz, C., 2002. Influence of

Anthropogenic Aerosol on Cloud Optical Depth and Albedo Shown by Satellite Measurements and Chemical Transport Modeling. Proc.

Nat. Acad. Sciences, 99, 1784– 1789.

Soden, B.J.; R. T. Wetherald; G. L. Stenchikov; A. Robock, 2002.

Global Cooling After Eruption of Mount Pinatubo: a Test of Climate Feedback by Water Vapor.

Science, 297, 727-730.

Solomon, S.; R. R. Garcia; F. S. Rowland; D. J. Wuebbles, 1986. On The

Depletion of Antarctic Ozone.

Nature, 321, 755–758.

Warneck, P., 1988. Chemistry of the

Natural Atmosphere. San Diego

Academic Press.

Wikipedia, 2013. http://en.wikipedia. org/ wiki/Mount_Pinatubo, diunduh pada tanggal 21 Juni 2013 pukul 10:10 WIB.

(20)

17

KAJIAN PENGEMBANGAN

KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS)

UNTUK

LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

Fahmi Alusi

Pranata Komputer Pertama, Biro Kerjasama dan Humas, Lapan e-mail: fahmialusi@lapan.go.id

RINGKASAN

Lapan adalah lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya. Sejak didirikan pada tahun 1963 hingga saat ini sudah banyak karya penelitian dan pengembangan yang dihasilkan. Pengetahuan yang tercipta selama proses penelitian hendaknya dapat disimpan dan dikelola dengan baik untuk dapat dijadikan best practice dikemudian hari. Seringkali pengetahuan tidak terdokumentasi sehingga ketergantungan pada satu orang yang menguasai bidang pekerjaan spesifik sangat tinggi. Supaya penyebaran pengetahuan dapat merata dan kinerja dapat ditingkatkan perlu adanya peran aktif pegawai dalam berbagi pengetahuan. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan

Knowledge Management System di Lapan agar knowledge yang tercipta dalam kegiatan

penelitian dapat terpelihara serta dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge

sharing guna meningkatkan kinerja Lembaga. Metode penelitian yang digunakan

bersifat kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian terhadap dokumen renstra, analisis strategi sistem informasi dan pengembangan konsep KMS. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebutuhan pengembangan KMS berada pada kuadran high

potential. Adapun fitur KMS yang diusulkan terdiri dari taxonomy, search, publishing, personalization, integration, collaboration, web service, security, scalability dan extendibility. Diharapkan dengan menerapkan fitur dan elemen KMS ini dapat

menumbuhkan budaya knowledge sharing guna mendukung peningkatan kinerja lembaga.

1 PENDAHULUAN

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional adalah lembaga pemerintah non kementerian yang bertugas melaksanakan penelitian dan pengembangan (litbang) kedirgantaraan beserta pemanfaatannya. Sebagai lembaga penelitian pastilah sangat banyak pengetahuan yang sudah tercipta dalam kegiatan penelitian. Namun seringkali pengetahuan tersebut tidak terdokumentasi sehingga keter-gantungan pada satu orang yang menguasai bidang pekerjaan spesifik sangat tinggi. Supaya penyebaran pengetahuan dapat merata dan kinerja dapat ditingkatkan perlu adanya peran aktif pegawai dalam berbagi pengetahuan. Saat ini Lapan telah memiliki sistem

perpustakaan online (perpustakaan.lapan.

go.id) yang berfungsi sebagai sistem

informasi transaksi perpustakaan serta sarana dokumentasi koleksi perpusta-kaan. Koleksi ini berupa buku dan publikasi ilmiah baik terbitan Lapan maupun luar. Selain itu Lapan juga telah memiliki sistem jurnal online (jurnal.lapan.go.id) yang berfungsi sebagai sarana dokumentasi khusus publikasi ilmiah terbitan Lapan. Kedua sistem informasi tersebut hanya mendokumen-tasikan pengetahuan berupa hasil litbang yang sudah terpublikasi secara resmi dalam bentuk terbitan, sedangkan pengetahuan yang tercipta dari proses pelaksanaan kegiatan belum terdokumen-tasi. Pengetahuan yang dimaksud contohnya adalah best practice suatu

(21)

18

pelaksanaan kegiatan, panduan penggunaan alat yang spesifik, tahapan instalasi sistem, dan pengetahuan lainnya yang biasanya tersimpan pada seseorang yang menguasai pekerjaan spesifik namun pengetahuan tersebut sangat diperlukan untuk diketahui orang lain demi menjaga kesinambungan jalannya sistem.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya suatu sistem yang dapat mendukung dalam proses penciptaan knowledge, penangkapan

knowledge, penyimpanan knowledge,

penyebaran knowledge, dan pemanfaatan

knowledge. Sistem tersebut dinamakan Knowledge Management System (KMS).

Tulisan ini bertujuan mengkaji mengenai pengembangan KMS untuk litbang kedirgantaraaan di Lapan agar

knowledge yang tercipta pada kegiatan

penelitian dapat terpelihara serta dapat membentuk budaya knowledge sharing guna mendukung peningkatan kinerja Lapan. Metode yang digunakan bersifat kualitatif deskriftif dengan teknik pengambilan data melalui studi dokumen. 2 KNOWLEDGE MANAGEMENT

SYSTEM

Knowledge adalah informasi yang

memiliki nilai dan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dengan tujuan tertentu (Becerra et al, 2004).

Kebanyakan organisasi belum atau tidak mengetahui potensi knowledge tersembunyi yang dimiliki oleh anggotanya. Hal ini juga dapat terjadi di Lapan. Riset Delphi Group menunjukkan bahwa knowledge dalam organisasi tersimpan dalam struktur berikut (Setiarso, 2007):

- 42% dipikiran (otak) pegawai - 26% dokumen kertas

- 20% dokumen elektronik

- 12% knowledge base elektronik.

Data ini menunjukan bahwa porsi

knowledge terbesar (42%) tersimpan

dalam pikiran/otak manusia saja.

Knowledge yang semacam ini disebut

tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang

tersembunyi. Sedangkan explicit knowledge berbentuk dokumen kertas

(26%), dokumen elektronik (20%) dan benda elektronik berbasis knowledge (12%). Potensi tacit knowledge harus digali lalu dieksplisitkan, disimpan, diorganisir bersama komponen knowledge lainnya untuk kemudian di sharing sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Proses tersebut dapat dilakukan melalui knowledge management.

Knowledge Management adalah

sebuah teori manajemen yang diperkenal-kan pada tahun 1990-an dan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli memiliki makna yang berbeda bergantung pada sudut pandang masing-masing ahli tersebut. Gottschalk (2005) mendefinisi-kan knowledge management sebagai metode untuk mensimplifikasi dan meningkatkan, menciptakan, menangkap, proses membagi, mendistribusi, dan memahami knowledge organisasi. Sedangkan sistem yang mendukung dalam proses siklus pengetahuan tersebut dinamakan Knowledge Management System (KMS).

KMS yang akan dibangun hendaklah memenuhi kebutuhan

Knowledge Management proses yang

akan berjalan. Menurut Davenport et.al (1988) sasaran umum dari KMS adalah: a. menciptakan knowledge: knowledge

diciptakan begitu manusia menentukan cara baru untuk melakukan sesuatu atau menciptakan

know-how. Kadang-kadang knowledge

eksternal dibawa ke dalam organisasi/institusi;

b. menangkap knowledge : knowledge baru diidentifikasi sebagai nilai dan direpresentasikan dalam suatu cara yang masuk akal;

c. menjaring knowledge : knowledge baru harus ditempatkan dalam konteks agar dapat ditindaklanjuti. Hal ini menunjukkan kedalaman manusia (kualitas tacit) yang harus ditangkap bersamaan dengan fakta explicit;

(22)

19

d. menyimpan knowledge: knowledge yang bermanfaat harus disimpan dalam format yang baik dalam penyimpanan knowledge, sehingga orang lain dalam organisasi dapat mengaksesnya;

e. mengolah knowledge: seperti perpus-takaan, knowledge harus dibuat

up-to-date. Hal tersebut harus di review

untuk menjelaskan apakah relevan atau akurat.

f. menyebarluaskan knowledge: knowledge harus tersedia dalam

format yang bermanfaat untuk semua orang dalam organisasi yang memerlukan, dimanapun dan tersedia setiap saat.

Analisa Critical Succes Factor (CSF) adalah sebuah teknik yang tidak hanya digunakan untuk mengembangkan strategi sistem informasi tetapi juga untuk pengembangan strategi bisnis. Hasil dari analisis CSF adalah berupa kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh organisasi untuk kemudian direkomendasikan sistem informasi apa yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut. (Bui Ho, 2008).

Gambar 2-1: Kerangka pikir kegiatan

3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Strategi Sistem Informasi

Analisis strategi sistem informasi dilakukan dengan menggunakan teknik

Critical Success Factor dengan merujuk

pada tujuan organisasi dalam dokumen Renstra Lapan, sebagaimana tertera pada Tabel 3-1. Untuk mewujudkan tujuan organisasi yang tertera pada kolom tujuan dibutuhkan suatu kondisi tertentu yang menjadi faktor pendukung kesuksesan pencapaian tujuan (kolom CSF). Untuk mewujudkan faktor kesuk-sesan tersebut dibutuhkan adanya strategi sistem informasi (kolom strategi SI). Pelaksanaan strategi sistem informasi direalisasikan dengan membangun Sistem Informasi yang menjadi Solusi SI. Tabel 3-1: ANALISIS CRITICAL SUCCESS

FACTOR Tujuan CSF Strategi SI Solusi SI Mening katkan Kapasi tas Penguasa an Teknologi Roket, Satelit dan Penerban gan Ada nya akses infor masi dan penge tahu an bidang tekno logi roket, satelit dan pener bang an Mengelola dan menyedia kan informasi penelitian bidang Teknologi Roket, Satelit dan Penerbang an SI Peneliti an bidang Tekno logi Dirgan tara KMS BI Mening katnya Kapasitas Kemandiri an dan Produksi dan Layanan Data/ Informasi Penginde raan Ada nya akses infor masi dan penge tahu an bidang Tekno logi Mengelola dan Menyedia kan Informasi mengenai penelitian di bidang teknologi dan Data pengindera an jauh SI Peneliti an bidang teknolo gi dan Data pengin deraan jauh KMS BI

CSF

Renstra

Port Folio

Aplikasi

User

Requirement

and

Behaviour

Analysis

Fitur dan

Elemen

KMS

LAPAN

Improve Knowledge

Sharing Culture

(23)

20 Jauh Untuk Pengguna Berbagai Sektor dan Data pengin deraan jauh Mening katnya Kapasitas Produksi, Layanan dan Peman faatan Data/Info Sains Atmosfer dan Antariksa Serta Bahan Kebijakan Nasional Kedirgan taraan Ada nya akses infor masi dan penge tahu an bidang Sains Tekno logi Atmos fer dan Anta riksa Mengelola dan Menyedia kan Informasi mengenai penelitian di bidang Sains Teknologi Atmosfer dan Antariksa SI Peneliti an bidang Sains Tekno logi Atmos fer dan Antarik sa KMS BI Mening katnya Kualitas Dukung an Manaje men bagi Koordi nasi dan Pelayanan Perenca naan, Kepega waian, Aset, Keuangan, Pengawa san dan Komuni kasi/ Pelayanan Masyara kat Untuk Mendu kung Kinerja LAPAN Ada nya proses penge lolaan infor masi dan penge tahu an menge nai Mana jemen bagi Koordi nasi dan Pela yanan, Peren cana an, Kepe gawai an, Aset, Ke uang an, Penga wasan dan Komu nikasi / Pela yanan Masya rakat Mengelola dan Menyedia kan Informasi mengenai Manaje men bagi Koordinasi dan Pelayanan, Perenca naan, Kepegawai an, Aset, Keuangan, Pengawas an dan Komunika si/ Pelayanan Masya rakat SI Forenm onev SI Kepega waian SI Aset SI Audit Portal Web SI Keuang an SI e-arsip SJDIH Online Library KMS BI Keterangan: SI = Sistem Informasi

KMS = Knowledge Management Sistem BI = Business Inteligent

Analisis CSF menghasilkan beberapa Solusi SI. Solusi SI ini kemudian dikelompokkan dalam suatu tabel yang disebut portfolio aplikasi dimana dalam tabel ini Solusi SI yang dihasilkan dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu High Potensial (aplikasi yang kemungkinan penting dikemudian hari), Strategic (aplikasi yang kritis terhadap strategi bisnis di masa datang),

Key Operational (aplikasi yang digunakan

saat ini oleh organisasi dan menentukan keberhasilan bisnisnya), Support (aplikasi yang bermanfaat tetapi tidak kritis terhadap keberhasilan bisnis).

Tabel 3-2: PORTFOLIO APLIKASI LAPAN

Strategic High Potential

1. Portal Web 1. Business Inteligence 2. Knowledge

Management System (KMS)

Key Operational Support

1. SI Lit Tekgan 2. SI Lit Inderaja 3. SI Lit Sains Atmosfer dan Antariksa 4. SI Lit Kebijakan Kedirgantaraan 1. Siforenmonev 2. Online Library 3. JDIH 4. SI Keuangan 5. SI e-arsip 6. SI aset 7. SI Kepegawaian Berdasarkan analisis CSF dan portfolio aplikasi di atas dapat disimpulkan bahwa LAPAN memerlukan adanya

Knowledge Management System, dan

posisinya berada pada kuadran high

potential hal ini karena implikasi yang

ditawarkan dari penerapan KMS cukup tinggi terhadap peningkatan kinerja organisasi. Contohnya, knowledge yang sudah tercipta dapat terdokumentasi dan disebarkan dengan baik untuk kemudian dapat dimanfaatkan sebagai referensi kegiatan penelitian selanjutnya sehingga proses penelitian dapat

(24)

21

berjalan berkesinambungan. Hal ini dapat meningkatkan efektifitas dalam kegiatan penelitian yang akan berujung pada peningkatan kinerja lembaga. 3.2 Konsep Knowledge Management

System

Berdasarkan analisis kebutuhan pengguna, knowledge management system LAPAN hendaknya memiliki 7

(tujuh) fitur dan 2 (dua) fitur penunjang. Ketujuh fitur dimaksud adalah sebagai berikut: Taxonomy Search Publishing Personalization Integration Collaboration Web Service

Dan fitur penunjang: Security

Scalability dan extensibility

Taxonomy: pengelompokkan, klasifikasi dan kategorisasi dari isi KMS dilakukan secara hirarkis, artinya item-item yang sama dikelompokkan ke dalam wadah dengan kategori tertentu, kemudian kategori-kategori yang sama dikelompokkan lagi ke dalam wadah yang lebih besar. Dengan demikian akan memudahkan dalam pengelompokan dan penyampaian informasi, dan memudahkan

user dalam mencari dan menggali isi

sistem.

Searching: fitur ini memfasilitasi

pencarian informasi dan pengetahuan yang diinginkan dalam KMS. Dengan fitur ini user akan diantar dan ditunjukkan dimana dan bagaimana pengetahuan dapat diperoleh.

Publishing: fitur ini memfasilitasi

penyampaian informasi, pengetahuan dan dokumen lain sebagai isi KMS kepada seluruh pengguna dengan menggunakan format seperti HTML, PDF, XML dan lain-lain. Dengan fitur ini dimungkinkan user menciptakan pengetahuannya dan kemudian

men-distribusikan pengetahuannya tersebut kepada seluruh user yang mengaksesnya.

Personalization: fitur ini berkaitan

dengan sistem identifikasi user dan sistem update informasi user. Sistem identifikasi user adalah sistem yang memiliki kemampuan untuk menampilkan informasi sesuai dengan status user. Status user dibedakan berdasarkan batasan/wewenang dari user, yaitu: administrator, manajer dan user. Karena perbedaan wewenang tersebut maka digunakan sistem pembeda dalam mengakses KMS. Sistem pembeda menggunakan user identification (user ID) dan password, yang akan selalu ditanyakan di setiap awal penggunaan KMS. Sistem update informasi user adalah sistem yang memberikan fasilitas kepada user untuk meng-update data pribadi user, seperti perubahan alamat, nomor telepon, jadwal, diklat atau seminar yang telah diikuti, memilih menu yang disajikan KMS sesuai kesukaan dan sebagainya.

Integration, fitur ini merupakan

kemampuan sistem menggabungkan data atau aplikasi-aplikasi yang berbeda dalam KMS. Untuk melakukan hal ini KMS dilengkapi dengan software yang dapat mencari dan dapat menjadi tempat penggabungan data/aplikasi yang ada. Fitur ini berperan sebagai

combination pada proses pembentukan

pengetahuan (konsep SECI). Melalui fitur ini, dimungkinkan penciptaan pengetahuan baru, modifikasi atau inovasi-inovasi baru sesuai dengan pemahaman dan interpretasi user terhadap pengetahuan.

Collaboration, fitur ini memfasilitasi user untuk melakukan komunikasi,

koordinasi, diskusi dan bebagi pengetahuan secara on-line. Untuk memenuhi fungsi ini KMS dapat digunakan software seperti Groupware.

Web Service, KMS juga dilengkapi

dengan fitur dimana user dapat menggali pengetahuan di luar organisasi, dengan menghubungkan/menghantarkan user ke dalam dunia internet. World Wide Web

(25)

22

merupakan tempat penyimpanan dinamis dengan jutaaan dokumen dan pengarang/penulis dari seluruh dunia.

Security, sistem keamanan KMS,

selain dilakukan pembatasan akses melalui sistem user ID dan password untuk menghindari pengguna-pengguna yang tidak berwenang (unauthorized user), dapat dilakukan dengan mengaplikasikan

software pengamanan sistem seperti firewall, untuk memblok baik informasi

yang keluar dari organisasi maupun informasi masuk yang akan meng-kontaminasi data-data organisasi.

Scalability dan Extensibility:

skalabilitas berhubungan dengan penambahan atau pengurangan jumlah akses sesuai dengan perubahan jumlah pengguna. Pada umumnya akses lebih besar akan diberikan kepada pegawai yang jabatannya lebih tinggi dan atau yang diberi kewenangan tertentu. Ekstensibilitas berhubungan dengan

update pengetahuan/informasi dalam

KMS. Dengan fitur ini KMS mempunyai kemampuan untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan atau aplikasi-aplikasi baru sesuai perkem-bangan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan oleh organisasi.

Dari 7 (tujuh) fitur yang diusulkan tersebut di atas, 4 (empat) fitur seperti

Taxonomy, Search, Publishing dan Web Service sudah dimiliki oleh Sistem

Informasi Lapan saat ini khususnya Aplikasi Perpustakaan Online namun fungsi dasar Perpustakaan Online berbeda dengan Knowledge Management System. Sehingga pengembangan Knowledge

Management System sangat penting

untuk dilakukan.

3.3 Pengembangan Aplikasi

Pengembangan aplikasi KMS dilakukan melalui dua tahap yaitu:  Memilih penggunaan teknologi untuk

pengembangan aplikasi. Berdasarkan observasi penggunaan teknologi di Lapan sebagian besar aplikasi berbasis website dengan menggunakan database MySQL, oleh karena itu untuk

kemudahan perawatan dan standarisasi teknologi disarankan untuk mengguna-kan aplikasi Apache sebagai web server, MySQL sebagai database server dan PHP sebagai bahasa pemrogramannya. Hal ini dilakukan juga karena Aphace

dan MySQL cukup mudah dalam

implementasi dan pengelolaannya selain itu merupakan aplikasi opensource yang tidak berbayar sehingga dapat menghemat anggaran dalam imple-mentasinya.

 Membuat aplikasi sesuai rancangan proses, kebutuhan dan kondisi organisasi. Untuk hal ini agar mem-permudah dalam proses pengembangan dan efisiensi biaya disarankan untuk menggunakan software Content Management System (CMS) yang

bersifat opensource.

3.4 Menumbuhkan Budaya Knowledge

Sharing

Knowledge management system

merupakan strategi untuk meningkatkan efektifitas dan peluang/kesempatan pengembangan kompetensi. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menumbuh-kan budaya berbagi pengetahuan diantaranya (Munir dkk, 2001):

 Menciptakan know-how dimana setiap pegawai berkesempatan dan bebas menentukan cara baru untuk menyelesaikan tugas dan berinovasi serta peluang untuk mensinergikan pengetahuan eksternal ke dalam institusi.

 Menangkap dan mengidentifikasi pengetahuan yang dianggap bernilai dan direpresentasikan dengan cara yang logis.

 Penempatan pengetahuan yang baru dalam format yang mudah diakses oleh seluruh pegawai dan pejabat.  Pengelolaan pengetahuan untuk

menjamin kekinian informasi agar dapat direview untuk relevansi dan akurasinya.

 Format pengetahuan yang disediakan di KMS adalah format yang user

Gambar

Gambar 3-1: Diagram  alur  pengolahan  data  ALE
Gambar 3-2: Data hasil pengolahan dalam bentuk (a) teks, dan (b) dalam bentuk grafik
Gambar 4-1: Hasil pengolahan data ALE selama 3 hari dari sirkuit  (a)  Bandung-Watukosek, dan (b)  Pontianak-Watukosek
Tabel 2-1:  KLASIFIKASI  AEROSOL  BERDASARKAN  DIAMETERNYA,  SERING  DIGUNAKAN  OLEH  METEOROLOGIST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun kita bersyukur bahwa Firman Tuhan tidak hanya berhenti pada kesadaran dan pengakuan Yesaya akan dosa- dosanya melainkan dilanjutkan kepada tindakan Allah di dalam

Upaya apa sajakah yang dilakukan oleh sekolah, dalam hal ini kepala sekolah untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam penerapan nilai toleransi antarumat beragama

Begitu banyak tokoh yang dapat menjadi inspirasi generasi muda pada saat ini didalam bidang – bidang tertentu, dengan adanya tokoh tersebut akan membuat generasi muda pada

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, menurut Pihak Terkait, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan

Profitabilitas adalah kemampan suatu perusahaan untuk mengetahui besar kecilnya tingkat keuntungan Selama periode tertentu, dan juga memberikan gambaran tentang

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada banyak program olahraga yang melibatkan peserta didik yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat dengan tujuan dan sasaran

Bila hal ini ingin lebih dicermati, sebenarnya dapat dilakukan estimasi yang lebih cermat dengan melakukan pendekatan dengan perhitungan statistik untuk pengujian dengan

SENASTEK yang merupakan agenda tahunan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana adalah sarana komunikasi bagi para peneliti dan pengabdi dari