8 II. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Kelembagaan (Institutional Theory)
Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan struktur sosial yang telah mencapai ketahanan tertinggi dan terdiri dari budaya kognitif, normatif, dan regulatif yang sarat dengan perubahan. Elemen-elemen ini secara bersama-sama mempengaruhi kegiatan dan sumber daya untuk memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan sosial. Dalam upaya memberikan stabilitas ini maka sebuah lembaga perlu memperhatikan unsur-unsur seperti rules, norms, cultural benefit, peran dan sumber daya material. Hal inilah yang dapat membentuk komitmen organisasi dalam memberikan stabilitas melalui berbagai kebijakan dan program yang ada.
Teori kelembagaan menggambarkan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya; tentang bagaimana dan mengapa organisasi menjalankan sebuah struktur dan proses serta bagaimana konsekuensi dari proses kelembagaan yang dijalankan tersebut (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam Villadsen (2011) menyatakan bahwa teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan peran dan pengambilan keputusan dalam organisasi bahwa struktur, proses dan peran organisasi seringkali dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan yang dianut oleh lingkungan organisasi. Misalnya organisasi yang berorientasi pada
9 layanan publik, dalam pengambilan keputusan sudah tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan yang berlaku di pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan masyarakat. Berangkat dari hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa organisasi sebagai pihak yang menerapkan kebijakan harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan tugasnya agar tujuan akhir dari sebuah kebijakan dapat tercapai.
Teori ini menjadi penjelas yang kuat dan populer bagi tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan oleh faktor eksogen, eksternal, sosial, ekspektasi masyarakat, dan lingkungan (Ridha dan
Basuki, 2012). Faktor-faktor ini cenderung
menunjuk pada hubungan organisasi dengan pihak eksternal, seperti domain Negara (state), sektor swasta (private), akademisi dan masyarakat (society). Organisasi pemerintah selaku pihak internal
memiliki legitimasi untuk
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan
pemerintahannya kepada pihak eksternal.Dengan demikian dalam menjalankan fungsinya, organisasi rentan juga terhadap tekanan eksternal.
Bagi organisasi pemerintah, secara umum yang diutamakan adalah legitimasi dan kepentingan politik. Organisasi yang mengutamakan legitimasi akan memiliki kecenderungan untuk berusaha
10 menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau sosial (DiMaggio dan Powell 1983; Ashworth et al., 2009). Penyesuaian pada harapan eksternal atau sosial mengakibatkan timbulnya kecenderungan organisasi untuk memisahkan kegiatan internal mereka dan berfokus pada sistem yang sifatnya simbolis pada pihak eksternal (Meyer dan Rowan, 1977). Secara tidak
langsung, kemauan organisasi tersebut telah
menggambarkan kuatnya komitmen organisasi
tersebut. Misalnya, jika masyarakat mengharapkan untuk menegakkan kesetaraan gender dalam seluruh aspek pembangunan maka idelnya organisasi harus
mewujudkan hal tersebut demi kepentingan
legitimasinya di mata masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Meyer dan Rowan (1977) bahwa banyak posisi, kebijakan, program dan prosedur internal organisasi dipengaruhi oleh opini publik, pandangan konstituen, pengetahuan sah melalui sistem pendidikan, prestise sosial, hukum, dan pengadilan. Inti dari pandangan tersebut adalah perilaku dan keputusan yang diambil oleh organisasi cenderung dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar
organisasi. Organisasi akan berupaya untuk
menyesuaikan diri dengan harapan eksternal untuk mempertahankankan eksistensi dan legitimasinya. Hal ini memang merupakan bentuk pengabdian organisasi pemerintah terhadap masyarakat. Namun, organisasi
11 ini pun harus memiliki komitmen yang kuat agar mendukung dirinya untuk pencapaian tujuan suatu
kebijakan, seperti kesetaraan gender. Jika
organisasi tidak memiliki komitmen yang kuat maka secara perlahan harapan-harapan eksternal tersebut dapat menjadi seperti tekanan bagi organisasi
karena sepanjang waktu organisasi harus
menyesuaikan praktiknya dengan harapan
eksternal. Tekanan seperti inilah yang disebut tekanan eksternal. Tekanan eksternal dapat dijadikan sebagai variabel yang memoderasi
(mengganggu) hubungan antara komitmen
organisasi dengan kinerja penyusunan ARG. Isomorfisme Kelembagaan (Institutional Isomorphism)
Hawley (1968) dalam DiMaggio dan Powell (1983) menyatakan bahwa isomorfisme (isomorphism) adalah proses yang mendorong satu unit dalam suatu populasi untuk menyerupai unit yang lain dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Dorongan ini dapat bersifat memaksa atau menekan organisasi (coercive).Penelitian terbaru telah menunjukkan bagaimana organisasi publik menjadi subjek tekanan institusional yang mendalam sehingga menyebabkan pada umumnya organisasi publik menjadi lebih mirip (Ashworth et al., 2009). Tekanan institusional ini dapat dicerminkan melalui
12
banyaknya peraturan perundang-undangan dan
kebijakan pemerintah. Banyaknya peraturan ini dapat mengganggu komitmen organisasi dalam penerapan suatu praktik yang baru. Apalagi dalam kondisi ketidakpastian, organisasi banyak yang memilih untuk meniru (mimetic) praktek organisasi lain bukan karena memahami esensi penerapan praktik tersebut. Tekanan institusional inilahyang membawa organisasi publik pada sebuah kesamaan praktik atau isomorfisme. Dengan kata lain, kemiripan praktik yang terjadi di pemerintahan dapat disebabkan oleh adanya peraturan dari pemerintah pusat.
Coercive isomorphism adalah respon terhadap tekanan dari organisasi lain di mana organisasi kita bergantung serta tekanan untuk memenuhi harapan masyarakat. Respon ini dapat berarti bahwa proses penerapan peraturan atau penyesuaian menuju kesamaan terjadi dengan suatu paksaan. Perasaan terpaksa ini juga datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Mimetic isomorphism terjadi jika
organisasi bercita-cita untuk meniru proses,
strukturdan praktek organisasi lain. Ini merupakan respon terhadap situasi ketidakpastian di mana
organisasi berada di bawah tekanan untuk
meningkatkan kinerja, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara untuk mencapai tujuan ini. Normative isomorphism diasosiasikan dengan profesionalisasi dan
13 menangkap tekanan normatif yang muncul di bidang tertentu. Jadi kemiripan terjadi atas dasar
tekanan yang dikaitkan dengan
profesionalisme(DiMaggio dan Powell, 1983). Penyusunan Anggaran Responsif Gender Pengertian Gender
Gender adalah segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron and Byrne, 1979 dalam Kestari, 2011). Hal serupa dikatakan oleh Kessler dan McKenna (1978) dalam Kestari (2011), bahwa gender adalah sesuatu yang dilihat sebagai “psychological, social, and culturalaspects of maleness and femaleness”. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dinamakan sosialisasi gender (gendersocialization).
Pengertian Anggaran Responsif Gender
Secara umum, anggaran Pemerintah Daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate sehingga faktor
14 manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, disamakan tanpa terpikirkan. Hal ini kemudian menghasilkan kebijakan yang bias sehingga dampak yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat setara bagi perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan
memperhatikan kesenjangan gender (Mundayat, 2006 dalam Kestari, 2011).
ARG merupakan sistem penganggaran yang mengakomodasikan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses dan manfaat yang setara, serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mengontrol sumber daya (PPRG Bappeda Kota Salatiga, 2013). Menurut Budlender et al (2006), ARG merupakan alat untuk memfasilitasi suatu usaha berdampak gender dalam anggaran pemerintah. ARG menambahkan item E ke-4 yaitu equity ke dalam tiga E penganggaran: efficiency, effectivenes dan economy. ARG tidak menambah beban kerja pemerintah namun
memperkuat apa yang dilakukan pemerintah
(Budlender, 2011 dalam Kestari 2011).
Definisi konsep ARG di atas kemudian
dikembangkan oleh PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) sehingga sesuai dengan konteks di Indonesia, di mana kemiskinan ada di mana-mana (Sundari, 2008 dalam Kestari, 2011). ARG adalah
15 anggaran yang berpihak kepada masyarakat, memprioritaskan pembangunan manusia] dan meresponi kebutuhan yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Implementasi ARG dapat
meresponi kebutuhan berdasarkan lokasi geografis (desa-kota), kemampuan yang berbeda (normal-penyandang cacat), dan kelompok umur (anak, remaja, lansia). Berdasarkan konsep ARG ini, maka definisi ARG yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggaran yang berpihak kepada seluruh kelompok masyarakat, yang memberi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, partispasi dan kontrol terhadap sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan.
Kinerja Penyusunan Anggaran Responsif Gender Prawirosentono (1999) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam satu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.Kinerja mencakup beberapa variabel yang berkaitan yaitu input, perilaku-perilaku (proses), output dan outcome(dampak).
Menurut Budlender (2006), proses penyusunan anggaran responsif gender (ARG) merupakan
16 serangkaian aktivitas penentuan kebijakan untuk pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah, yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok sosial yang berbeda secara merata. Sedangkan Rostanty (2007) menyebutnya sebagai strategi untuk mengurangi kesenjangan gender dalam pembangunan dengan menggunakan perspektif gender dalam proses pengalokasian anggaran. Kedua definisi ini memiliki arti bahwa proses penyusunan ARG idealnya harus menjamin perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses (acces), kontrol (control), manfaat dan partisipasi secara merata dalam pengambilan keputusan dan menikmati hasil pembangunan.
Berdasarkan definisi di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kinerja penyusunan anggaran
responsif gender merupakan tingkat capaian
pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok sosial yang berbeda secara merata. UNIFEM (United Nation Development Fund for Women) menyebutkan bahwa ARG memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. ARG bukan anggaran terpisah bagi laki-laki atau perempuan;
2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran;
3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder perempuan;
17 4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan
pemerintah dilakukan dengan responsif gender; 5. Meningkatkan efektivitas penggunaan
sumber-sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan sumber daya manusia;
6. Menekankan pada re-prioritas daripada
meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah; 7. Melakukan re-orientasi dari program-program
dalam sektor-sektor dari pada menambah angka pada sektor-sektor khusus.
Suatu anggaran bisa dikatakan responsif gender jika memenuhi kriteria umum anggaran responsif gender. Kriteria ini disusun berdasarkan target-target dalam MDGs (Millenium Development Goals)dan CEDAW (Convention on the Elimination ofAll Forms of Discrimination Against Women) yang dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam program dan kegiatan daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Kriteria umum ARG mencakup (Sundari et al, 2008 dalam Kestari, 2011):
1. Memprioritaskan pembangunan manusia;
2. Memprioritaskan upaya untuk mengurangi
kesenjangan gender;
3. Memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat;
4. Memprioritaskan upaya peningkatan daya beli masyarakat.
18 Secara umum, tujuan penyusunan ARG adalah
memastikan apakah perempuan dan laki-laki
diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh akses, kontrol, partisipasi dan memperoleh manfaat (AKPM) yang sama dalam pembangunan. Akses yaitu peluang
atau kesempatan dalam memperoleh atau
menggunakan sumber daya tertentu. Kontrol yaitu
penguasaan, wewenang atau kekuatan untuk
mengambil keputusan. Partisipasi yaitu keikutsertaan seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau pengambilan keputusan. Manfaat yaitu kegunaan sumber daya yang dapat dinikmati secara optimal.
Pengintegrasian perspektif gender menjadikan perencanaan lebih tepat sasaran dan efektif, karena didahului oleh analisis determinan sosial dan perspektif gender.Sebuah anggaran dikatakan responsif gender jika proses penyusunan melibatkan langkah-langkah sebagai berikut:
Teknik atau cara mengintegrasikan gender dalam proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Rinusu, 2006:59):
a. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi laki-laki
dan perempuan dan menyusun prioritas
kebutuhannya.
b. Menetapkan program dan proyek sesuai hasil pemetaan kebutuhan yang telah diidentifikasi dan disepakati bersama dengan masyarakat.
19
c. Menetapkan perkiraan anggaran untuk
membiayai program dan proyek.
d. Mengukur keberhasilan pelaksanaan program dan proyek, apakah mempunyai manfaat dan
dampak terhadap perubahan masyarakat
sebelum dan sesudah proyek diberlakukan.
Selain itu, teknik pengintegrasian gender dalam proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan langkah seperti berikut:
a. Melakukan analisis gender untuk mengetahui peran dan relasi gender yaitu perempuan dan laki-laki yang mempengaruhi status dan kebutuhan mereka; b. Melakukan perencanaan kebijakan, program, dan
kontrol terhadap upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang setara antara perempuan dan laki-laki sehingga perempuan dan laki-laki sesuai dengan status dan kebutuhan mereka;
c. Menyusun anggaran berdasarkan hasil analisis gender untuk mencapai target indikator kinerja
20
program dan kegiatan yang adil terhadap
perempuan dan laki-laki;
d. Menjadi alat monitoring dan evaluasi untuk
mengetahui keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan, khususnya dalam menurunkan kesenjangan status antara perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian, dengan pemahaman yang benar mengenai pengarusutamaan gender maka proses penyusunan ARG pun dapat terlaksana dengan benar dan pada akhirnya menghasilkan kinerja yang baik. Capaian dari penyusunan ARG dapat berupa dokumen anggaran yang telah mengakomodasi kebutuhan gender yang berbeda. Berhasil atau tidaknya sebuah proses penyusunan ARG dapat terlihat pada kinerja yang
dihasilkan. Aliran terakhir dari proses
pengarusutamaan gender dalam anggaran pemda ini adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkurangnya kesenjangan gender.
Komitmen Organisasi
Komitmen Organisasi didefinisikan sebagai kuatnya keinginan untuk tetap sebagai anggota organisasi, bekerja keras sesuai sasaran organisasi, serta menerima nilai dan tujuan organisasi (Luthans, 2005).Dengan kata lain, sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses
21 mengekspresikan perhatian dan keberhasilannya terhadap organisasi. Komitmen organisasi biasanya tumbuh disebabkan oleh individu dalam organisasi
yang memiliki ikatan emosional terhadap
organisasi. Ikatan emosional tersebut meliputi dukungan moral dan penerimaan nilai yang ada untuk mengabdi pada organisasi.
Setiap organisasi perlu memiliki komitmen yang tinggi dalam penyelenggaraan tugasnya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh nilai lingkungan yang
bertentangan. Komitmen organisasi dapat
diasosiasikan dengan normative isomorphism.
Normative isomorphismmenggambarkan bahwa organisasi secara profesional mengerti tentang norma, peraturan atau regulasi yang ada (DiMaggio and Powell, 1983). Sehingga walaupun norma dan regulasi tersebut bersifat menekan namum anggota organisasi tetap mematuhinya sebagai bentuk
pengabdiannya kepada organisasi. Hal ini
merupakan bentuk komitmen individu dalam organisasi tersebut.
Organisasi berada dalam lingkungan yang majemuk dan dinamis sehingga terkadang dapat terpengaruholeh norma serta aturan yang telah lama berlaku di lingkungan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang tinggi agar organisasi dapat tetap berpraktik sesuai norma dan regulasi,
22
dengan tujuan mengabdi bagi organisasi.Bagi
organisasi publik, norma tersebut dapat berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan masyarakat. Aturan-aturan ini bersifat dinamis, dapat berubah seiring meningkatnya kebutuhan organisasi.
Namun terkadang perubahan tersebut juga
mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dacin et al (2002) bahwa perubahan dalam institusi atau organisasi dapat berdampak pada masalah komitmen dan integritas organisasi tersebut. Paine (1994) menyatakan bahwa strategi integritas merupakan sesuatu yang lebih luas, lebih dalam dan lebih menuntut daripada inisiatif kepatuhan atas hukum. Kepatuhan atas hukum dan peraturan akan terwujud bila diikuti oleh komitmen organisasi yang tinggi.
Institusionalisasi merupakan proses penetapan suatu karakter yang ditentukan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi organisasi (Selznick, 1992 dalam Dacin, 2002). Kesetaraan gender merupakan salah satu nilai (Inpres No 9 tahun 2000)
yang harus dipegang oleh organisasi dalam
penyusunan ARG untuk menunjang pembangunan yang berkeadilan gender. Oleh sebab itu, ARG perlu diterapkan dalam sebuah organisasi publik. Penerapan ARG membutuhkan komitmen yang tinggi dari organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan
23 mendorong organisasi untuk berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Porter et. al., 1974).Pemda sebagai pelaku dalam penyusunan anggaran perlu memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung penyusunan ARG (Diop-Tine,2002). Sawer (2002) dalam Rubin dan Bartle (2005) menyatakan bahwa kurangnya komitmenorganisasi menjadi alasanutama tidak optimalnya kinerja penyusunan ARG.
Hasil penelitian sebelumnya yang ditemukan oleh Karim (2006) dalam Nordiana (2009) bahwa
komitmen organisasi berpengaruh signifikan
terhadap kinerja penyusunan ARG. Komitmen ini terwujudkan melalui tersedianya data terpilah gender, adanya kepekaan gender dari perencana dan pembuat keputusan, kesadaran dari pengambil kebijakan.
Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat diduga bahwa kinerja penyusunan ARG sangat bergantung pada besarnya komitmen organisasi.
Semakin tinggi komitmen organisasi maka
kinerjapenyusunan ARG semakin baik, artinya semakin menghasilkan anggaran yang responsif gender; menjawab kebutuhan gender secara merata. Untuk itu, dirumuskan hipotesis pertama sebagai berikut:
24 H1: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja penyusunan anggaran responsif gender.
Tekanan Eksternal
Tekanan eksternal adalah suatu daya dari luar organisasi yang membatasi ruang gerak organisasi sehingga dapat menurunkan tingkat kemampuan, menimbulkan kejenuhan dan rasa tertekan bagi organisasi dalam melaksanakan tugas (Frumkin and Galaskiewicz, 2004). Menurut Olivier Nay (2011) tekanan eksternal dapat dirasakan melalui banyaknya peraturan legal, budaya birokrasi organisasi, adanya klaim/tuntutan langsung pemangku kepentingan (mitrakebijakan, organisasimasyarakat, masyarakat, pihak swasta). Tekanan eksternal memaksakan organisasi untuk melakukan suatu tindakan demi memenuhi harapan eksternal.Halini menunjukkan bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi cenderung menerima tekanan dari lingkungannya sehingga tekanan eksternal ini yang memastikan cara organisasi berpraktik (DiMaggio dan Powell, 1983).
Coercive isomorphism terjadi karena tekanan dari pihak ekternal, seperti organisasi lain dan masyarakat. Hal inimerupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain di mana organisasi bergantung dalam menjalankan fungsinya. Coercive isomorphism juga dapat berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi
25 (DiMaggio dan Powell, 1983). Kekuatan koersif ini terkait dengan tekanan yang diberikan oleh peraturan pemerintah atau lembaga lain untuk mengadopsi suatu struktur atau sistem (Ashworth et al., 2009). Adanya peraturan ini ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Di sisi lain, peraturan ini pun dapat menyebabkan
adanya kecenderungan organisasi untuk
memperoleh legitimasi (legitimate coercive) (scott, 2004), sehingga hanya menekankan aspek-aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak eksternal. Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif dapat menyebabkan organisasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik daripada teknis (Ashworth et al., 2009).
Tekanan yang diberikan melalui peraturan dan kebijakan menjadi sebuah saranabagi pemerintah kota dalam penyelenggaraan tugasnya. Namun terkadang semakin banyak tekanan yang diberikan dapat berakibat pada kejenuhan pemerintah kota dalam penerapan suatu praktik. Tekanan melalui peraturan yang lebih dipengaruhi oleh legitimasi akan mengakibatkan praktik-praktik yang terjadi dalam organisasi hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi, dan tidak didukung oleh kesadaran yang kuat.
26 Berkaitan dengan penyusunan ARG, berhasil atau tidaknya proses penyusunan ARG ini bergantung pada seberapa banyak tekanan yang datang dari pihak-pihak eksternal. Hasil penelitian Frumkin and Galaskiewicz (2004) menemukan bahwa tekanan yang semakin kuat
dapat menyebabkan organisasi merasa jenuh,
mengganggu komitmen organisasi sehingga tidak berusaha keras bekerja dalam hal ini untuk menyusun ARG. Dengan kata lain, tekanan eksternal yang tinggi dapat mengganggu komitmen organisasi untuk mencapai kinerja penyusunan ARG. Demikian pula halnya, dengan rendahnya tekanan eksternal, diduga
dapat mendukung komitmen organisasi untuk
mencapai kinerja penyusunan yang baik.
Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut:
H2: Tekanan eksternal memoderasi hubungan komitmen organisasi dengan kinerja penyusunan anggaran responsif gender.
Komitmen organisasi yang tinggi dapat mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula jika tekanan eksternal yang dirasakan rendah, dan sebaliknya tidak mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG jika tekanan eksternalnya tinggi. Ketidakpastian Lingkungan
Ketidakpastian Lingkungan didefinisikan sebagai rasa ketidakmampuan individu untuk memprediksi
27 sesuatu yang terjadi di lingkungannya secara
akurat (Darlis, 2002). Luthans (2005)
mendefinisikannya sebagai situasi seseorang yang terkendala untuk memprediksi situasi di sekitar sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu dalam menghadapinya. Duncan (1972) dalam Darlis (2002) mendefinisikannya sebagai keterbatasan individu dalam menilai probabilitas gagal atau berhasil keputusan yang disebabkan karena kesulitan memprediksi kemungkinan di masa depan. Seperti yang dikemukakan Fisher (1996) dalam Darlis (2002) bahwa pada kondisi ketidakpastian tinggi, maka individu sulit memprediksi kegagalan dan keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya.
Ketidakpastian lingkungan dapat dikaitkan dengan isomorfisme mimetik. Isomorfisme mimetik
adalah kecenderungan organisasi untuk
memodelkan dirinya pada praktik organisasi lain (DiMaggio dan Powell, 1983) yang muncul sebagai
tanggapan terhadap suatu ketidakpastian
lingkungan (Mizruchi dan Fein, 1999). Isomorfisme mimetik dapat ditunjukkan dengan cara meniru praktik terbaik di lapangan (benchmarking) dan pelaku dalam organisasi yang berpengalaman (leading players) (Tuttle and Dillard, 2007). Ketidakpastian ini dapat disebabkan oleh hal di dalam maupun di luar organisasi, seperti
28 perubahan peraturan atau kebijakan yang cepat dalam satu rentang waktu tertentu serta adanya perbedaan peraturan. Ketidakpastian mengakibatkan organisasi mengubah proses dan struktrurnya. Hasil penelitian Govindarajan (1984) menemukan bahwa perubahan proses dan struktur yang seringkali terjadi dapat mengganggu komitmen organisasi dalam melaksanan tugasnya. Dengan demikian ketidakpastian lingkungan ini turut mempengaruhi komitmen organisasi dalam mencapai kinerja penyusunan ARG.
Perubahan proses dan struktur organisasi sebagai respon terhadap ketidakpastian lingkungan tidaklah mudah. Ketidaksiapan organisasi terhadap suatu perubahan peraturan dapat mengakibatkan rendahnya pemahaman organisasi terhadap peraturan yang baru. Dalam situasi yang tidak pasti ini, pemimpin organisasi akan memutuskan bahwa respon terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan meniru organisasi yang mereka anggap berhasil (Mizruchi dan Fein, 1999).
Implementasi ARG telah menjadi perhatian
pemerintah sejak awal era reformasi pada tahun 2000, dengan adanya UU terkait pengarusutamaan gender. Telah ada banyak peraturan yang dibuat pemerintah untuk menyukseskan jalannya amanat ARG ini, namun fakta menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di masyarakat (Nordiana, 2009; Kestari, 2011; Sopanah, 2012). Ketidakpastian yang terjadi di
29
lingkungan pemerintahan melalui perubahan
peraturan dan tumpang tindihnya peraturan dapat membuat organisasi merasa jenuh sehingga berdampak pada upaya atau komitmen organisasi dalam menerapkan peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik atau
tidaknya kinerja penyusunan ARG dapat
bergantung pada kepastian lingkungan organisasi tersebut.
Berdasarkan teori dan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut: H3: Ketidakpastian lingkungan memoderasi hubungan komitmen organisasi dengam kinerja penyusunan anggaran responsif gender.
Ketidakpastian lingkungan yang tinggi dapat
mengganggu komitmen organisasi dalam proses penyusunan ARG. Komitmen organisasi yang tinggi mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula apabila tingkat ketidakpastian lingkungan rendah. Sebaliknya komitmen organisasi yang rendah
tidak dapat mendukung pencapaian kinerja
penyusunan ARG yang tinggi apabila tingkat ketidakpastian lingkungan tinggi.