• Tidak ada hasil yang ditemukan

ITSBAT NIKAH DAN MASALAH SOSIAL Ahmad Fathoni Ramli 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ITSBAT NIKAH DAN MASALAH SOSIAL Ahmad Fathoni Ramli 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

ITSBAT NIKAH DAN MASALAH SOSIAL Ahmad Fathoni Ramli1

Maraknya perkara permohonan dan gugatan itsbat nikah yang diterima pengadilan agama khususnya di daerah-daerah urbanis, menarik perhatian yang memerlukan kajian lebih mendalam. Maksud menarik disini adalah, apakah produk Pengadilan Agama terhadap perkara itsbat nikah itu mencerminkan keadilan hukum masyarakat ataukah justru membuka peluang dan kesempatan kepada sebagian masyarakat untuk melakukan upaya penggelapan hukum yang dalam hal ini sebagian para pegiat hak-hak perempuan justru menolaknya. Menolak karena dalam perkara itsbat nikah biasanya diikut sertakan kegiatan adanya “pelanggaran” hukum lainnya seperti poligami tanpa izin pengadilan.

Penulis mencoba mencermati dalam hal mendudukkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u sya-i fii mahallih).

Pengertian isbat nikah adalah putusan pengadilan dari perkara voluntair maupun contentious yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik isteri, suami, keluarga dari suami isteri tersebut maupun pejabat yang berkepentingan.

Pengadilan Agama sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam itsbat nikah ini didasari putusannya dengan hukum acara yang berlaku. Hukum yang berlaku dimaksud adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan umum (ex Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009) dan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang tersebut.

Masalahnya apakah setiap perkara itsbat nikah yang telah memenuhi unsur formil dan materil harus ditetapkan dan diterima oleh pengadilan agama? Begitu juga apakah ada kewajiban untuk mencatatkan pernikahannya setelah adanya itsbat nikah? Apabila ada kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, siapakah yang

(2)

2

diperintah oleh Hakim dalam amar putusannya, apakah para pemohon ataukah Kepala KUA Kecamatan?2

Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, adanya bukti perkawinan dapat dilihat melalui akta nikah. Apabila akta nikah tidak didapat, maka dapat diajukan itsbat nikah. Perkara itsbat nikah yang dimaksud dalam pasal ini adalah adanya keraguan terhadap perkawinan dan adanya perkawinan yang dilaksanakan sebelum berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974.

Sedangkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang syarat dan rukun nikah, yang apabila telah terpenuhinya seluruh syarat dan rukun tersebut, maka pernikahannya harus dinyatakan sah.

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon Suami;

b. Calon Isteri; c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul.

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini tidak mensyaratkan sahnya suatu perkawinan karena dicatat. Akta nikah hanya sebuah pernyataan dari pihak pemerintah yang mencatat adanya peristiwa hukum berupa pernikahan. Begitu banyak pakar hukum yang menyatakan sahnya perkawinan tidak harus dicatat, hanya tidak mempunyai kekuatan hukum apabila berhadapan dengan hukum lainnya.

Dalam hal pencatatan perkawinan apabila tidak dilaksanakan maka akan melanggar Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah); begitu juga terhadap poligami yang dilaksanakan tanpa izin pengadilan agama yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, maka secara hukum sah pernikahannya tetapi tidak ada pencatatannya di Kantor Urusan Agama karena tidak dimintakan izin poligami ke Pengadilan Agama. Terhadap perkara ini Hakim Peradilan Agama disibukkan dengan menafsirkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam

2

Hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten telah mendiskusikan secara berkala, di Aula/Ruang Sidang PTA Banten, Rabu, 09 dan 16 Januari 2013 M / 27 Shafar dan 05 Rabi’ul Awwal 1433 H dengan pemakalah Drs. H. Maraenda Harahap, S.H, M.H. dan Drs. H. Marluddin A. Jalil, M.H.

(3)

3

tentang syarat dan rukun perkawinan yang bersinergi dengan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya upaya hukum itsbat nikah.

Hingga kini para pakar hukum dan hakim yang menjatuhkan terhadap perkara tersebut masih berbeda pendapat, ada yang tidak menerima itsbat nikah pernikahan berseri (poligami) meskipun telah memenuhi unsur syarat dan rukun nikah ex Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam contoh pernikahan A. Rafiq dengan isteri keduanya, yang sejak di Pengadilan Agama hingga Mahkamah Agung tetap ditolak itsbat nikah terhadap pernikahan keduanya, tetapi justru anak-anaknya bertambah selama proses hokum berlangsung.

Ada pula yang menerima itsbat nikah sepanjang telah memenuhi syarat dan rukun nikah ex Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Terhadap pendapat kedua ini, berdasarkan hasil diskusi dari beberapa hakim senior dan berpengalaman penerapan pasal pelanggaran, maka Penulis mencoba mengaktualisasikan pendapat tersebut.

Dasar hukum pencatatan perkawinan dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk:

Cerai dan Rujuk (NTCR): Nikah yang dilakukan menurut agama Islam,

selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan dimana

Pegawai Pencatat Nikah bertugas, agar mendapat kepastian hukum.

2. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk3;

3

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 merupakan Penjelasan tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk.di seluruh luar Jawa dan Madura.

(4)

4

Maksud pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut-paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan. Menurut hukum agama Islam nikah itu ialah perjanjian antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai pencatat nikah untuk menjadi wakilnya; tetapi ia boleh pula diwakili orang lain dari pada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akad nikah itu. Pada umumnya jarang sekali Wali melakukan akad nikah, sebab sedikit sekali yang mempunyai kepandaian yang dibutuhkannya untuk melakukan akad nikah itu. Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat 1 dan 3 pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan; akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak dan rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu. Yang dimaksud dengan mengawasi ialah kecuali hadir pada ketika perjanjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika kedua belah (wali dan bakal suami) menghadap pada pegawai pencatat nikah ada tidaknya rintangan untuk nikah dan apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum agama Islam tidak dilanggar. Selanjutnya perubahan yang penting-penting dalam pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menunjuk pegawai pencatat nikah, menetapkan tempat kedudukan dan wilayah pegawai pencatat nikah, jatuh masing-masing dari tangan Bupati/Raad Kabupaten ke tangan Menteri Agama, atau pegawai yang ditunjuk olehnya atau pada Kepala Jawatan Agama Daerah, sedang biaya nikah, talak dan rujuk tidak dibagi-bagi lagi antara pegawai-pegawai pencatat nikah, akan tetapi masuk ke Kas Negera dan Pegawai pencatat nikah diangkat sebagai pegawai Negeri. Yang dimaksud dengan Jawatan Agama Daerah ialah Jawatan Agama Karesidenan atau Jawatan Agama di Kota Jakarta Raya dan Surakarta. Surat keterangan tidak mampu harus diberikannya dengan percuma, menjaga supaya orang yang tidak mampu jangan diperberat.

(5)

5

3. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal senada juga ditegaskan dalam pasal ini.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1,2,3):

(1). Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2). Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, di lakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undang mengenai pencatatan perkawinan.

(3). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 6 ayat (1,2):

(1). Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

(2). Setelah penelitian tehadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1). Pegawai Pencatat meneliti pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul

(6)

6

calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, peekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan dimaksud dalam pasal 6 ayat (2),(3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d. Izin Pengadlian sebagai dimaksud pasal 4 Undang-Undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri; e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang;

f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian:surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mengeri

HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 jo. Pasal 6 ini secara teknis lebih memperjelas arti pencatatan pernikahan.

5. Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(7)

7

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

d. Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,

anak-anak mereka,wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

6. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007

Peraturan Menteri Agama yang berlaku sejak tanggal 25 Juni 2007 ini mengatur secara teknis substansial mengenai tata cara pernikahan, setelah perceraian dan rujuk serta pencatatannya, baik di KUA Kecamatan maupun di Kantor selain KUA Kecamatan (Pengadilan dan Kantor Catatan Sipil) dengan 21 BAB dan 43 pasal.

7. Pasal 9 ayat (1, 2, 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan:

(1). Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewenangan yang meliputi:

a. Memperoleh keterangan dan data yang benar tentang Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dilaporkan Penduduk; b. Memperoleh data mengenai Peristiwa Penting yang dialami

Penduduk atas dasar putusan atau penetapan pengadilan;

c. Memberikan keterangan atas laporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pembuktian kepada lembaga peradilan; dan

d. Mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil untuk kepentingan pembangunan.

(8)

8

(2). Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berlaku juga bagi KUA Kec, khususnya untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam.

(3). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mempunyai kewenangan untuk mendapatkan data hasil pencatatan peristiwa perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam dari KUA Kec.

Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut dengan kependudukan harus dicatat, seperti: kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu dicatat ini untuk menjaga ketertiban dan jangan sampai ada kekacauan.

Pasal 9 ayat 2 jo. Ayat 1 (a) secara jelas tentang perintah pencatatan nikah karena adanya peristiwa hukum (pernikahan) bagi penduduk yang beragama Islam. Sedangkan pasal 1 ayat (b) perintah pencatatan setelah adanya peristiwa hukum dengan adanya putusan pengadilan (dalam hal ini putusan gugatan/permohona Itsbat Nikah).

Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan:

(1). Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. (2). Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat

Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

(3). Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri.

(4). Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.

(9)

9

(5). Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana

(6). dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.

(7). Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil.

(8). Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan:

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan

b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan:

(1). Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Penting dalam hal:

a. kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (4) atau Pasal 30 ayat (6) atau Pasal 32 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (1);

b. perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 37 ayat (4);

c. pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1); d. perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) atau Pasal 41

ayat (4);

e. pembatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1);

f. kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau Pasal 45

(10)

10

g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) atau Pasal 48 ayat (4);

h. pengakuan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1);

i. pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1);

j. perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2);

k. perubahan status kewarganegaraan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1); atau

l. Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2).

(2). Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, maka dapat disimpulkan pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban setiap warga Negara demi tertib hukum dan ketertiban bermasyarakat sebagaimana tujuan bernegara, bukan merupakan syarat sahnya sebuah perkawinan.

Di dalam masyarakat yang beragama Islam, mengenai sahnya perkawinan apakah harus dicatat atau cukup dengan syarat dan rukunnya nikah, di kalangan akademis sangat berbeda di kalangan masyarakat bawah. Masyarakat muslim pada umumnya tidak mensyaratkan sahnya perkawinan dengan dicatat, sedangkan beberapa pakar hokum yang mensyaratkan sahnya perkawinan dengan adanya pencatatan.

Sebagai upaya mengurai missing link4 pemahaman tentang sah perkawinan menurut peraturan perundang-udangan, sangat menarik untuk dikemukakan fatwa Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq5 tentang al-zawaj al-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan

4

Prof Dr H Asasriwarni, MH.(Rais Syuriyah PW Nahdlatul Ulama Sumatera Barat) , Kepastian

Hukum “Itsbat Nikah” Terhadap Status Perkawinan, Anak dan Harta Perkawinan, dipresentasikan pada Penelitian dan Diskusi Terbatas Dihadapan Kalangan Hakim Lingkungan Peradilan Agama di Wilayah Padang, 24 Mei 2012.

5

DR. Jaad Haq ‘Ali Jaad Haq adalah mantan Syaikh Azhar (Guru Besar) pada universitas al-Azhar, Cairo Mesir.

(11)

11

yang berlaku. Syaikh Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifat al-Tawtsiqiy.

Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan hukum

syara’.

Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.

Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari adanya pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk itu.

(12)

12

Menurut Undang-Undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931 menyatakan tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya dokumen resmi pernikahan. Namun demikian menurut fatwa Jad Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’iy nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur dalam Syari’at Islam.

Apabila hakim sudah memutuskan secara constitutive6 adanya peristiwa hukum tentang sahnya perkawinan bagi para Pemohon dan Termohon, secara mutatis mutandis telah menyatakan pelanggaran ex Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Pemohon dan Termohon oleh hakim harus pula dijatuhi sanksi pelanggaran terhadap pasal tersebut.

Karena pasal pelanggaran ini bukan termasuk kewenangan absolut peradilan agama, ex Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka hakim perlu mencermati aspek hukum acara lain yang digunakan selama ini yakni fiqh dengan penerapan hukuman ta’zir berupa denda bagi para pelanggar.7

Dengan demikian, selain telah menetapkan adanya peristiwa hokum mengenai sahnya suatu perkawinan, juga telah wujudnya pelanggaran bagi para Pemohon/Termohon, dengan demikian penerapan hukuman ta’zir yang bersesuaian dengan ex Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 harus juga ditafsirkan sekiranya tidak terlalu ringan atau terlalu berat. Misalnya besar sanksi pelanggaran sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), maka yang layak pada masa sekarang ini sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) sekadar memberikan pernyataan bahwa Pemohon/Termohon telah melakukan suatu pelanggaran.

6 Hukum acara perdata mengenal tiga jenis putusan, yakni declaratoir, constitutive dan

comdemnatoir.

7

Hukuman ta’zir merupakan jenis hukuman dalam pidana Islam, yakni hudud, qisas, dan diyat. Lebih jelas dapat dilihat referensi buku-buku dan website.

(13)

13

Hukuman denda sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) tersebut dianalogikan sebagai pembayaran iwadl bagi pelanggaran shighat ta’lik thalak dan diberikan untuk kepentingan sosial atau ke baitul mal pusat.

Mengenai kewajiban pencatatan peristiwa perkawinan atas dasar putusan pengadilan, berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka kewajiban pencatatan tersebut adalah kepentingan Pemerintah untuk mengatur penduduk sebagai warga Negara dan kepentingan para Pemohon/Termohon yang merupakan penduduk dari suatu daerah, bukan beban instansi pemerintah yang ditunjuk untuk mencatat peristiwa hukum (Kepala Urusan Agama Kecamatan dan Kantor Catatan Sipil).

Sebagai ilustrasi penulis membuat contoh putusan itsbat nikah ini sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II;

2. Menetapkan sah perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II yang dilaksanakan pada tanggal 12 Januari 1990 di wilayah kecamatan Serang Kota Serang Provinsi Banten;

3. Menghukum Pemohon I dan Pemohon II untuk mencatatkan pernikahan tersebut di Kantor PPN/KUA Kecamatan Serang Kota Serang Provinsi Banten.

4. Menyatakan Pemohon I dan Pemohon II telah melanggar ex Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP Nomor 9 Tahub 1975 Pasal 2 ayat (1,2,3) Jo. Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 jo. Pasal 9 ayat (2, 3) jis. Pasal 35, Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

5. Menghukum Pemohon I dan Pemohon II dengan hukuman ta’zir dalam bentuk pembayaran denda kepada Negara sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah)

6. Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon I dan Pemohon II sebesar Rp. 365.000,- (tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah).

Boleh jadi pendapat ini belum bisa sejalan bagi yang lainnya, paling tidak dengan memperhatikan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yakni: “Hakim dalam

(14)

14

menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan“, pada suatu saat nanti putusan ta’zir ini memang sudah dibutuhkan oleh masyarakat dan menjadi kewenangan absolut peradilan agama. Insya Allah.

Banten, 23 Januari 2013 M/11 Rabi’ul Awwal 1433 H

Referensi

Dokumen terkait

Strategi pengembangan ekowisata yaitu pengembangan ekowisata dengan konsep pelestarian ekosistem serta melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah; peningkatan pemberdayaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengobatan antihipertensi pada pasien hipertensi dengan GGK beserta kerasionalan terapi di RSUD Pandan

Substansi perarem yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap benda sakral yang ada di Desa Plaga misalnya seperti : kewajiban seluruh desa pakraman untuk mengelola

Berdasarkan analisis hasil tes menunjukkan bahwa mahasiswa dengan minat belajar tinggi mampu menguasai dua indikator kemampuan berpikir reflektif dengan baik, serta satu indikator

Lalu, diluar Sentul City, daya tarik utama BKSL adalah kepemilikannya atas PT Bukit Jonggol Asri (BJA), perusahaan patungan yang dimiliki bersama-sama dengan ELTY, dimana BJA

Hasil penelitian ini setidaknya membuktikan bahwa cacing tanah benar-benar dapat ditemukan pada beberapa jenis penggunaan lahan gambut, khususnya yang terdapat di kawasan

KONTRIBUSI DAN RELEVANSI TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI Dusun Pait Desa Pandansari Kecamatan Ngantang adalah salah satu wilayah yang terkena dampak erupsi gunung kelud terparah

Pencemaran yang ditimbulkan oleh industry diakibatkan adanya limbah yangkeluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada