• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PROSES KOAGULASI-FLOKULASI PADA LIMBAH INDUSTRI BATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PROSES KOAGULASI-FLOKULASI PADA LIMBAH INDUSTRI BATIK"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JENIS KOAGULAN, DOSIS KOAGULAN DAN pH TERHADAP EFEKTIVITAS

PROSES KOAGULASI-FLOKULASI PADA LIMBAH INDUSTRI BATIK

THE INFLUENCE OF COAGULANT, DOSE OF COAGULANT AND pH ON THE EFFECTIVENESS OF

COAGULATION-FLOCCULATION PROCESS OF BATIK WASTEWATER

Rustiana Yuliasni, Nanik Indah S., Novarina Irnaning H., Agung Budiarto

Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Email : amifaira497@gmail.com

ABSTRACT

Batik is a kind of developed textile industry in Indonesia. Wastewater from batik industry consists of pollutants and high of pH derived from residue of wax and paraffin, dye and caustic soda. In order to prevent pollution of environment, it is need to treat the wastewater by using the appropriate technology. Coagulation-flocculation is one of the chemical technologies that able to be applicated to treat wastewater from batik industry with azo dye component. The aim of this research was to study the influence of kind and dose of coaggulant and also pH in coagulation and flocculation process of batik wastewater. In this research, two kind of coagulants were used, there were aluminium sulfat and ferro sulfat. The doses of coaggulant were 3; 4; 5; 6; g/L. Anion polymer was used as flocculant with the dose of 0,0002% w/v. The result showed that, COD removal was more significant by using alum sulfat than ferro sulfat. Maximum COD removal was 77,9% from COD 7700,8 mg/L to 3648 mg/L, it was gained by using alum sulfat with the dose of 6 g/L whereas ferro sulfat was only able to remove COD until 52,8%. The use of alum sulfat decreased pH significantly, it was from pH 9 to pH 6,5. Otherwise the use of ferro sulfat did not decrease pH significantly. In floc formation both alum sulfat and ferro sulfat could not form stable floc, the formed floc was breakable.

Keywords: Batik Industry, Coagulation, Wast Water, Wax, Paraffin

ABSTRAK

Batik merupakan salah satu jenis industri tekstil yang dikembangkan di Indonesia. Air limbah dari industri batik mengandung polutan dan memiliki pH tinggi yang berasal dari sisa malam, zat warna, kanji serta penambahan soda api. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan diperlukan upaya pengolahan limbah tersebut dengan teknologi yang tepat. Koagulasi-flokulasi merupakan salah satu teknologi kimia yang dapat diaplikasikan untuk limbah batik yang mengandung zat warna azo, dimana mempunyai karakteristik koloid bermuatan negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis koagulan, dosis koagulan dan pH dalam proses koagulasi flokulasi limbah batik. Pada penelitian ini digunakan dua jenis koagulan yaitu alumunium sulfat dan ferro sulfat. Dosis koagulan yang digunakan berturut-turut yaitu sebesar 3; 4; 5; dan 6 g/L. Flokulan yang digunakan adalah anion polymer, dengan dosis sebesar 0,0002% w/v. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penurunan nilai COD lebih signifikan dengan menggunakan alum sulfat daripada ferro sulfat. Penurunan COD maksimal adalah sebesar 77,9% dicapai pada dosis alum sulfat sebesar 6 g/L, yaitu dari 7700,8 mg/L menjadi 1711 mg/L, sedangkan ferro sulfat hanya mampu menurunkan COD dari 7700,8 mg/L menjadi 3648 mg/L atau sebesar 52,8%. Penggunaan alum sulfat menyebabkan penurunan pH yang signifikan yaitu dari pH 9 menjadi pH 6,5. Penggunaan ferro sulfat tidak mengakibatkan penurunan pH yang signifikan, dari pH 9 hanya turun menjadi pH 8,5. Pada pembentukan flok, baik alum sulfat dan ferro sulfat tidak dapat memebentuk flok yang stabil, flok yang terbentuk mudah terurai lagi jika ada goncangan sedikit.

Kata Kunci : Industri Batik, Koagulasi, Air Limbah, Malam, Parafin 1. PENDAHULUAN

Salah satu sumber air limbah di industri batik yang utama berasal dari proses pelorodan/penghilangan malam dan proses pewarnaan. Proses canting atau pelekatan malam, menggunakan 2 jenis malam yaitu malam alami yang berasal dari sarang lebah dan malam sintetis yang berasal dari minyak bumi yaitu parafin. Dalam proses pelorodan/ penghilangan malam biasanya menggunakan air panas, kanji dan soda abu. Dalam proses pewarnaan, untuk batik yang memakai pewarna sintetik, zat kimia yang digunakan adalah zat warna sintetik baik jenis azo dye atau reactive dye dan soda api. Sedangkan untuk pewarna alam, ditambahkan zat kimia seperti tawas, ferro sulfat dan kapur untuk proses fiksasi warnanya. Proses pelorodan menghasilkan limbah dengan karakteristik mengandung organik terlarut tinggi yang berasal dari sisa malam terlarut, zat padat tersuspensi (TSS) yang berasal dari kanji dan pH yang tinggi yang berasal dari penambahan soda abu. Sedangkan proses pewarnaan menghasilkan limbah dengan karakteristik pH yang tinggi yang berasal dari penambahan kapur, zat padat terlarut, zat padat tersuspensi dan organik yang tinggi berasal dari pemakaian zat warna.

Agar limbah cair dari industri batik ini tidak berbahaya ketika dibuang ke lingkungan, diperlukan upaya pengolahan limbah cair dengan teknologi yang tepat sesuai dengan karakteristik dan volume limbah cair tersebut,

(2)

Berdasarkan karakteristiknya, teknologi yang sesuai untuk diterapkan dalam mengolah limbah tekstil /batik meliputi teknologi fisika (Ahamd, Harris, Syafiee, & Seng, 2007; Rashidi, Sulaiman, Hashim, & Che Hassan, 2012) , kimia (Bidhendi, G.R. Nabi; Torabian, A.; Ehsani, H.,; Razmkhah, 2007), atau biologi (dos Santos, Cervantes, & van Lier, 2007). Namun dalam aplikasinya di lapangan, ketiga teknologi tersebut tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus dikombinasikan satu sama lain sehingga kombinasi dari ketiganya dapat mencapai hasil yang lebih optimal sehingga effluent limbah dapat memenuhi persyaratan pembuangan limbah cair (IPLC) sesuai dengan PerMen LH No. 5 tahun 2011 (Permen LH no 5, 2011). Kombinasi dari ketiga teknologi tersebut bisa berupa kombinasi teknologi fisika-kimia, teknologi fisika-biologi, teknologi kimia-biologi, atau teknologi fisika-kimia-biologi. Tentu saja pada akhirnya pemilihan metode pengolahan limbah yang tepat harus mengedepankan tidak hanya optimalisasi proses tapi juga harus memikirkan segi tekno ekonominya, apalagi jika nantinya teknologi ini akan diaplikasikan di Industri Kecil Menengah seperti industri batik.

Salah satu teknologi kimia yang cocok diaplikasikan di lapangan terutama untuk penghilangan zat warna azo, dimana mempunyai karakteristik koloid bermuatan negatif, adalah teknologi koagulasi-flokulasi (Correia, Stephenson, & Judd, 1994). Koagulasi-flokulasi digunakan untuk menghilangkan partikel koloid yang terkandung di dalam air limbah, dimana penambahan koagulan berfungsi untuk mendestabilisasi suspensi koloid tersebut sehingga bisa membentuk flok. Ketika koagulan ditambahkan, koagulan di dalam air akan terdisosiasi membentuk ion kompleks yang bermuatan positif (disebut dengan hydroxo-metallic kompleks). Dosis koagulan yang ditambahkan umumnya berlebih, sampai komplek ion yang terbentuk akan terpolimerisasi membentuk insoluble metal hidroksida (misalnya Al(OH)3 atau Fe(OH)3) sehingga

larutan akan menjadi jenuh, dan akan terendap (Reynolds, 1977).

Jenis koagulan yang umumnya digunakan adalah alumunium sulfat, Ferro sulfat, atau Ferro klorida (Mehta, 2012; Parmar, Prajapati, Patel, & Dabhi, 2011; Rodrigues, Madeira, & Boaventura, 2012). Walaupun dalam penelitian - penelitian tersebut hanya sebatas skala lab saja dan hanya pada limbah tekstil pewarnaan, bukan limbah batik yang mengandung lorodan malam, namun penelitian-penelitian tersebut menjadikan dasar metodologi penelitian yang akan kita gunakan antara lain kecepatan pengadukan, range pH optimum dan waktu pengendapan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis koagulan, dosis koagulan dan pH dalam proses koagulasi flokulasi limbah batik, dimana nantinya merupakan penelitian awal untuk penentuan kriteria desain untuk aplikasi di lapangan.

2. METODE

2.1. Bahan dan Alat

Sumber limbah:

Dalam penelitian ini, sumber limbah berasal dari salah satu industri batik yang berlokasi di Meteseh, semarang. Sumber limbah berasal dari proses pelorodan untuk pewarna sintetis, proses pencucian setelah pelorodan sintetis, proses pelorodan alam, proses pencucian setelah pelorodan alam dan sisa pewarna sintetik. Karakteristik influent air limbah disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. karakteristik influent air limbah batik

Parameter Konsentrasi (mg/L) COD total 11330 COD terlarut 9825 tubidity 937 TSS 2868 pH 11,7 alkalinitas 8044

Jenis dan dosis koagulan:

Jenis koagulan yang digunakan ada 2 jenis yaitu alumunium sulfat (Al2(SO4)3 dan ferro sulfat (FeSO4). Dosis

koagulan yang digunakan berturut-turut yaitu sebesar 3; 4; 5; dan 6 g/L. Jenis dan dosis flokulan:

Flokulan yang digunakan adalah anion polymer , dengan dosis sebesar 0,0002% w/v

2.2. Prosedur Penelitian

Proses koagulasi flokulasi:

Proses koagulasi menggunakan alat jartest (Phipps & Bird). Limbah tekstil sebanyak 500 ml ditambahkan koagulan sesuai dengan dosis yang dikehendaki, kemudian di aduk dengan pengadukan cepat dengan kecepatan pengadukan 120 rpm (velocity gradient (G) sekitar 300 s-1) selama 5 menit, kemudian ditambahkan flokulan yang kemudian diaduk dengan kecepatan pengadukan sebesar 50 rpm (velocity gradient (G) sekitar 84 s-1 ) selama 5 menit. Kemudian, diendapkan selama 2 jam. Setelah 2 jam, supernatant diambil untuk dianalisa COD nya. pH setelah pengendapan diukur menggunakan pH meter (Hach).

(3)

Gambar 1. Proses Jartest

Analisis:

Pengukuran COD dilakukan dengan metode refluks tertutup dalam Reaktor Hanna HI 839800 dan mengacu pada

Standard Method (American Public Health Association, American Water Works Association, & Water Environment

Federation, 1999) metode 5220 B. Pengukuran parameter BOD menggunakan metode 5220 B , TSS dengan gravimetri (metode 2540 B), turbidity dengan metode 2310 B dan alkalinitas-metode 2320 D. Pengukuran pH dengan menggunakan pH stick merk Hach. COD terlarut merupakan nilai COD setelah sampel di saring dengan kertas saring microfiber 1,5 µm.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh jenis dan dosis koagulan dalam proses koagulasi flokulasi:

Dalam penelitian ini, proses koagulasi-flokulasi digunakan untuk mendegradasi limbah batik yang mengandung pewarna azo, malam terlarut dengan pH yang tinggi. 2 jenis koagulan yang digunakan yaitu Alumunium sulfat dan ferro sulfat yang dibandingkan keefektifannya dengan membandingkan kemampuan dari 2 koagulan tersebut dalam mendegradasi bahan organik (di tunjukan dengan penurunan nilai COD). Keefektifan koagulan di dasarkan kepada penurunan nilai COD akhir (% COD removal) yang dibandingkan dengan kebutuhan koagulan. Selain itu juga akan di pelajari tentang karakter flok yang terbentuk dan pengaruh pH pada proses koagulasi-flokulasi dengan menggunakan koagulan alum sulfat dan ferro sulfat, khususnya untuk limbah pelorodan malam dan pewarnaan industri batik .

Gambar 2 menunjukkan pengaruh penambahan koagulan alum sulfat dan ferro sulfat terhadap penurunan konsentrasi bahan organik di air limbah. Dari gambar terllihat bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi koagulan, penurunan COD semakin besar, dan bahwa pemakaian alum sulfat lebih efektif menurunkan kadar COD daripada Ferro sulfat. Dengan dosis koagulan yang sama, penurunan nilai COD lebih signifikan pada alum sulfat daripada ferro sulfat. Maksimum penurunan kadar COD dicapai pada dosis alum sulfat sebesar 6 g/L yaitu dengan penurunan COD dari 7700,8 mg/L menjadi 1711 mg/L atau sebesar 77,9 %. Sedangkan pada dosis yang sama, ferro sulfat hanya mampu menurunkan COD dari 7700,8 mg/L menjadi 3648 mg/L atau sebesar 52,8%. Penggunaan kedua koagulan baik alum sulfat maupun ferro sulfat belum menunjukkan hasil yang maksimal karena penurunan COD masih rendah, dan jika dibandingkan dengan baku mutu limbah tekstil, nilai COD masih jauh belum memenuhi baku mutu.

Selain itu, dalam penelitian ini dosis koagulan yang perlu untuk ditambahkan juga terlalu besar (3-6 g/L) jika nantinya akan diaplikasikan di lapangan akan berpengaruh pada kebutuhan bahan kimia yang besar yang tentunya harganya mahal. Sebenarnya sudah dicoba dengan dosis koagulan yang lebih rendah (data tidak diperlihatkan), namun penurunan CODnya masih sangat rendah. sedangkan alternatif penggunaan koagulan lain seperti ferri chlorida (FeCl3),

lime atau MgCl2 dalam penelitian ini belum pernah dicoba. Tapi jika merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh

(Bidhendi, G.R. Nabi; Torabian, A.; Ehsani, H.,; Razmkhah, 2007) dengan sampel limbah tekstil pewarnaan, hasil dari penelitian ini bisa dibilang tidak berbeda jauh. Untuk limbah dengan karakteristik kaya akan bahan organik dari pewarna, koagulan alum adalah koagulan yang paling efektif untuk penurunan parameter COD, baru setelah itu koagulan ferro sulfat, ferric klorida, Magnesium klorida dan terakhir kapur . Selain itu, juga tampak bahwa proses koagulasi dengan menggunakan koagulan garam inorganik (seperti alum dan ferro) tidak efektif untuk menurunkan organik terlarut dan membutuhkan banyak sekali koagulan (Hao, Kim, & Chiang, 2000).

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 COD e ff lu e n t (p p m ) Alum sulfat Ferro sulfat

(4)

Pengaruh pH dalam proses koagulasi flokulasi:

pH menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi dikarenakan garam inorganik (e.g garam Fe dan Al) yang digunakan sebagai koagulan jika terlarut didalam air akan membentuk spesies ion yang berbeda yang akan berubah seiring dengan perubahan pH. Spesies ion ini berpengaruh dalam proses koagulasi, karena pembentukan flok terjadi ketika koagulan bereaksi dengan alkalinitas, yang sudah terkandung dalam air limbah (sebesar 8044 mg/L , Tabel 1), dan kemudian membentuk garam hidroksida (reaksi 1 dan 2). Kelarutan garam hidroksida ini dipengaruhi oleh pH (Gambar 4 dan Gambar 5). Reaksi pembentukan flok pada proses koagulasi dengan menggunakan alum dan ferro sulfat sebagai koagulan, adalah sebagai berikut :

Al2(SO4)3.14H2O +3 Ca(HCO3)2  2Al(OH)3↓ + CaSO4 + 14 H2O+ 6 CO2...(1)

2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 +0,5 O2 2Fe(OH)3↓ + CaSO4 + 13 H2O...(2)

Dosis koagulan yang ditambahkan mempengaruhi penurunan pH dari larutan air limbah, yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Penambahan Alum sulfat memberikan penurunan pH yang signifikan dari pH yang sangat basa yaitu 9 menjadi pH 6,5 pada dosis alum 6 g/L , yang simultan kenaikan persentasi COD removal menjadi sebesar 77,87 %. Namun hal ini berbeda dengan penambahan Ferro sulfat. Penambahan ferro sulfat tidak mengakibatkan penurunan pH yang signifikan, dari pH 9 hanya turun menjadi pH 8,5 dan karena penurunan pH simultan dengan kenaikan % removal COD maka kenaikan % removal pada koagulan Ferro sulfat juga tidak signifikan, hanya 52,8% untuk dosis koagulan Ferro sulfat sebesar 6 g/L. Untuk koagulan alum sulfat, hasil tersebut masuk akal, karena kelarutan alumunium hidroksida minimum memang terjadi pada range pH sekitar 6 (lihat Gambar 5). Namun untuk koagulan ferro sulfat, walupun pH sudah ada pada range pH kelarutan ferro hidroksida minimum yaitu sekitar pH 8, tapi penurunan COD masih juga rendah, hasil ini senada dengan penelitian (Rodrigues et al., 2012) dimana pH optimum dicapai pada pH 8,3 dengan removal COD maksimum 27%.

Gambar 3. Hubungan antara penambahan koagulan terhadap pH dan penurunan COD.

Gambar 4. Kurva kelarutan alumunium

Sumber: https://ec.gc.ca/lcpe-cepa/default.asp?lang=En&n=491F0099-1&offset=8

6

6.5

7

7.5

8

8.5

9

9.5

10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

3

4

5

6

pH

%

r

emov

al

C

O

D

Dosis koagulan (g/L)

% removal

COD alum

% removal

COD ferro

pH alum

sulfate

pH

ferrosulfate

(5)

Gambar 5. Kurva kelarutan besi

Sumber : http://www.civil.northwestern.edu/EHE/COURSES/CE-367/Chapters/lecture4.html Pengaruh jumlah koagulan dan pH terhadap pembentukan flok.

Dalam proses koagulasi-flokulasi, pembentukan flok menjadi hal yang perlu diperhatikan karena flok/lumpur yang terbentuk dari proses koagulasi dengan koagulan inorganik sangat beracun. Lumpur ini dikategorikan sebagai limbah B3 yang perlu penanganan khusus, sehingga volume sludge yang terbentuk disamping sangat mempengaruhi desain bak pengendap dan bak pengeringan lumpur juga terkait dengan pengelolaan lumpur selanjutnya, yaitu harus ditampung atau dibuang ke tempat pembuangan limbah B3 (Kemen LH PP no 101/2014, 2014). Terbentuknya lumpur B3 ini adalah salah satu kelemahan dari sistem koagulasi-flokulasi ini.

Untuk melihat jumlah flok yang terbentuk dan kestabilan flok yang terjadi, setelah proses koagulasi-flokulasi dan setelah pengendapan 2 jam, flok yang terbentuk diukur dengan cara mengukur perbandingan flok dengan total volume sampel secara keseluruhan, sehingga didapatkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 2. Pada Tabel 2, untuk koagulan alum sulfat, bahwa seiring dengan bertambahnya koagulan yang berakibat dengan penurunan pH, pembentukan flok juga semakin meningkat. Sedangkan untuk ferro sulfat, dosis koagulan yang ditambahkan tidak mempengaruhi banyaknya flok yang terbetuk. Namun sayangnya, baik alum sulfat dan ferro sulfat tidak dapat memebentuk flok yang stabil, flok yang terbentuk mudah terurai lagi jika ada goncangan sedikit (Gambar 6 dan Gambar 7).

Tabel 2. Pengaruh dosis koagulan dan pH terhadap pembentukan flok dosis koagulan (g/l) flok alum sulfat (% v/v) pH alum sulfat flok ferro sulfat (% v/v) pH ferro sulfat 0 0 9,7 0 9,7 3 40 8,3 40 9,2 4 50 7,5 40 8,9 5 50 7 40 8,5 6 80 6,7 40 8,4

(6)

Gambar 6. Pembentukan flok menggunakan koagulan alum sulfat

Gambar 7. Pembentukan flok menggunakan koagulan ferro sulfat 4. KESIMPULAN

Proses koagulasi-flokulasi digunakan untuk mengolah limbah batik dengan karakteristik COD, TSS dan pH yang tinggi. Parameter jenis koagulan, dosis koagulan, pH dan pembentukan flok digunakan sebagai parameter keefektifan dari proses koagulasi-flokulasi ini. Alum sulfat dan ferro sulfat digunakan sebagai koagulan. Untuk limbah batik, Alum sulfat lebih cocok digunakan sebagai koagulan dibanding dengan ferro sulfat. Maksimum penurunan COD didapat dengan menggunakan alum sulfat dengan dosis 6 g/L, dengan penurunan COD sebesar 77,87%, dengan pH optimum sebesar 6,7, seiring dengan pembentukan flok yang semakin besar. Sedangkan ferro sulfat dengan dosis yang sama yaitu 6 g/L hanya dapat menurunkan COD sebesar 52,8%, dengan pH optimum 8,5 dan pembentukan flok yang tidak terlalu banyak. Secara garis besar untuk proses koagulasi-flokulasi ini tidak fisibel untuk aplikasi dilapangan, karena kebutuhan koagulan yang terlalu besar dengan persen penurunan COD yang tidak terlalu signifikan.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BBTPPI yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian serta teman – teman anggota kegiatan penelitian yang telah mendukung dan menyelesaikan kegiatan penelitian ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

Ahamd, A. L., Harris, W. A., Syafiee, & Seng, O. B. (2007). Removal of Dye From Wastewater of Textile Industry Using Membrane Technology. Jurnal Teknologi, 36(F), 31–44.

American Public Health Association, American Water Works Association, & Water Environment Federation. (1999). Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Standard Methods, 541.

Bidhendi, G.R. Nabi; Torabian, A.; Ehsani, H.,; Razmkhah, N. (2007). Evaluation of Industrial Dyeing Wastewater Treatment with Coagulants and Polyelectrolyte as a Coagulant Aid. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 4(1), 29–36.

Correia, V., Stephenson, T., & Judd, S. 99 . Characterisation of textile aste aters‐a re ie . Environmental

Technology, (January 2013), 37–41. Retrieved from

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09593339409385500

dos Santos, A. B., Cervantes, F. J., & van Lier, J. B. (2007). Review paper on current technologies for decolourisation of textile wastewaters: Perspectives for anaerobic biotechnology. Bioresource Technology, 98(12), 2369–2385. http://doi.org/10.1016/j.biortech.2006.11.013

Hao, O. J., Kim, H., & Chiang, P.-C. (2000). Decolorization of Wastewater. Critical Reviews in Environmental Science and

Technology, 30(4), 449–505. http://doi.org/10.1080/10643380091184237

Kemen LH PP no 101/2014. (2014). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan

limbah berbahaya dan beracunPP.

Mehta, P. (2012). Treating textile effluents by coagulation - flocculation method using different dosing compositions, 3(4), 2514–2517.

Parmar, K. A., Prajapati, S., Patel, R., & Dabhi, Y. (2011). Effective use of ferrous sulfate and alum as a coagulant in treatment of dairy industry wastewater. Journal of Engineering and Applied Sciences, 6(9), 42–45.

PerMenLH_no_05_2011.pdf. (n.d.).

Rashidi, H. R., Sulaiman, N. M., Hashim, N. A., & Che Hassan, C. R. (2012). Synthetic Batik Wastewater Pretreatment Progress by Using Physical Treatment. Advanced Materials Research, 627, 394–398. http://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMR.627.394

Rodrigues, C. S. D., Madeira, L. M., & Boaventura, R. a. R. (2012). Treatment of textile dye wastewaters using ferrous sulphate in a chemical coagulation/flocculation process. Environmental Technology, (May 2015), 1–11. http://doi.org/10.1080/09593330.2012.715679.

TANYA JAWAB :

1. Jenis koagulan apa yang digunakan dan apa pertimbangan dalam pemilihan jenis koagulan tersebut? (Istihanah Nurul, Balai Batik)

(7)

Koagulan yang digunakan adalah alum sulfat dan ferro sulfat, pertimbangan dalam pemilihan jenis koagulan tersebut adalah berdasarkan sifat dari karakteristik sampel air limbah serta pertimbangan ekonomi dari harga koagulan dan ketersediaan bahan koagulan tersebut.

Gambar

Gambar  2  menunjukkan  pengaruh  penambahan  koagulan  alum  sulfat  dan  ferro  sulfat  terhadap  penurunan  konsentrasi  bahan organik di air limbah
Gambar 3.  Hubungan antara penambahan koagulan terhadap pH dan penurunan COD.
Tabel 2. Pengaruh dosis koagulan dan  pH terhadap pembentukan flok  dosis  koagulan (g/l)  flok  alum sulfat (% v/v)  pH  alum  sulfat  flok  ferro sulfat (% v/v)  pH   ferro sulfat  0  0  9,7  0  9,7  3  40  8,3  40  9,2  4  50  7,5  40  8,9  5  50  7  40
Gambar 6.  Pembentukan flok menggunakan koagulan alum sulfat

Referensi

Dokumen terkait

Sertifikasi guru adalah pemberian surat bukti kepada guru Penjas SD di UPT Yogyakarta Wilayah Barat yang telah memenuhi syarat tertentu berupa kualifikasi

Memberikan masukan dan saran dari draft kontrak kuliah yang telah disusun Alokasi Waktu : 1 x tatap muka 100 menit Mahasiswa membentuk kelompok/secara mandiri menelusuri

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul judul Pengaruh

Hasil yang didapatkan yaitu tidak ada hubungan antara kebersihan kulit, tangan dan kuku terhadap penyakit dermatitis di Pondok Pesantren Babul Khaer Kab.Bulukumba

3) Customer Service login ke komputer untuk pembukaan rekening nasabah dengan menggunakan program Core Banking. Akses ke komputer hanya bisa dilakukan oleh user

Bahwa merujuk pada Ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka setiap partai politik peserta pemilihan umum 2019 termasuk Pemohon memiliki hak

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013:81) menjelaskan bahwa pengembangan Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi

 Apabila terjadi masalah dan sistem masih memberikan tampilan pesan pada monitor atau disertai dengan bunyi beep 1 atau 2 kali, maka kemungkinan