• Tidak ada hasil yang ditemukan

Home Page. Title Page. Contents. Page 1 of 25. Go Back. Full Screen. Close. Quit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Home Page. Title Page. Contents. Page 1 of 25. Go Back. Full Screen. Close. Quit"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page1of25 Go Back Full Screen Close Quit 1

(2)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page1of25 Go Back Full Screen Close Quit

Himpunan Bilangan dan Fungsi

(3)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page1of25 Go Back Full Screen Close Quit

CONTENTS

1 Himpunan Bilangan 3

1.1 Himpunan Bilangan Asli. . . 3

1.2 Himpuan Bilangan Cacah . . . 7

1.3 Himpuan Bilangan Bulat . . . 7

1.4 Himpuan Bilangan Rasional . . . 8

1.5 Himpunan Bilangan Irasional dan Himpunan Bilangan Riil. . . 9

1.6 Perkembangan perhitungan π . . . 11

2 Perkalian Kartesius, Relasi dan Fungsi 15 2.1 Perkalian Kartesius . . . 15

2.2 Relasi . . . 17

2.3 Sifat-sifat Relasi . . . 18

2.4 Fungsi . . . 23

(4)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page2of25 Go Back Full Screen Close Quit

BAB

1

HIMPUNAN BILANGAN

Bilangan walaupun merupakan konsep yang sangat abstrak, namun penggunaannya tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia sejak dini. Untuk menggambarkan bilangan, kita menggunakan lambang bilangan (angka). Dalam kaitan dengan operasi hitung dan matematka umumnya, lambang bilangan yang kita pakai adalah lambang bilangan Hindu-Arab yang terdiri atas sembilan angka 0,1,2,...9. Selain itu, untuk menunjukkan tingkatan dan urutan ada lambang bilagan lain yang disebut lambang bilangan Romawi (i,ii,iii,iv,v ...). Pada subbab ini akan dibahas beberapa himpunan bilangan yang penting.

1.1.

Himpunan Bilangan Asli

Bilangan Asli disebut juga bilangan Alam (Natural numbers). Bilangan ini merupakan bilangan yang kita kenal paling awal, ketika kita ingin menghitung banyaknya sesuatu

(5)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page3of25 Go Back Full Screen Close Quit yang ada di sekuitar kita.

Himpunan bilangan Asli N = {1, 2, 3, · · · }

Operasi hitung yang dapat dilakukan pada bilangan asli adalah penjumlahan dan perkalian dengan beberapa sifat berikut:

Sifat 1 Bilangan asli tertutup terhadap penjumlahan dan perkalian ∀x, y ∈ N, x + y ∈ N

∀x, y ∈ N, (x.y ∈ N )

Sifat 2 Bilangan asli memenuhi sifat kumutatif dan assosiatif baik penjumlahan dan perkalian, yaitu:

∀x, y ∈ N x + y = y + x x.y = y.x

∀x, y, z ∈ N x + (y + z) = (x + y) + z x.(y.z) = (x.y).z

Sifat 3 Bilangan asli memenuhi sifat distributif perkalian atas penjumlahan. ∀x, y, z ∈ N (x + y)z = xz + yz

Sifat 4 Bilangan asli memiliki unsur identitas perkalian tetapi tidak identitas penjumla-han.

∃1, 3 ∀x ∈ N x.1 = 1.x = x tetapi

(6)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page4of25 Go Back Full Screen Close Quit Tetapi himpunan bilangan asli tidak memiliki beberapa sifat berikut:

1. Bilangan asli (kecuali 1) tidak memiliki invers baik penjumlahan maupun perkalian. ∀x(6= 1) ∈ N, 6 ∃x0∈ N, 3 x.x0= 1

2. Bilangan asli tidak tertutup terhadap pengurangan dan pembagian. ∃ x, y ∈ N 3 (x − y) 6∈ N dan

∃ x, y ∈ N 3 (x/y) 6∈ N

Bilangan Asli dibedakan menjadi bilangan prima dan bilangan komposit. Bilangan prima1 adalah bilangan yang hanya dapat dibagi bilangan itu sendiri dan 1. Bilangan 1

tidak termasuk bilangan prima. Sedangkan sisanya (termasuk 1) disebut bilangan komposit. Jadi

1. Himpunan bilangan Prima = P = {2, 3, 5, 7, 11, 13 · · · } 2. Himpunan bilangan Komposit = N/P

Definisi 1.1.1. Pengurut bilangan asli k, dinotasikan k∗ adalah bilangan asli berikutnya setelah bilagan asli k. Jadi k∗= k + 1.

Ada suatu hasil dalam bilangan asli yang sangat terkenal yang disebut Postulat Peano yang mengatakan bahwa Untuk S ⊆ N , berlaku

h

(1 ∈ N ) ∧ (∀ k ∈ S ⇒ k∗ ∈ S)i⇒ (S = N ) (1.1)

1Teori tentang himpunan bilangan prima dapat dilihat pada beberapa sumber diantaranya Courant & Robbins [?, hal 21-31]

(7)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page5of25 Go Back Full Screen Close Quit Persamaan ( pada dasarnya mengatakan bahwa jika pada suatu himpunan bagian S dari

N , berlaku 1 pada S dan untuk setiap k pada S maka pengurutnya (k∗) juga pada S, maka S adalah himpunan seluruh bilangan asli.

h

(n1∈ N ) ∧ (∀ (k > n1) ∈ S ⇒ k∗ ∈ S) i

⇒ (S = {n1, n1+ 1, n1+ 2, · · · }) (1.2) Persamaan ( pada dasarnya mengatakan bahwa jika pada suatu himpunan bagian S dari N , berlaku n1 pada S dan untuk setiap k > n1 pada S maka pengurutnya (k∗) juga pada S, maka S adalah himpunan bilangan asli mulai dari n1, yaitu S = {n1, n1+ 1, n1+ 2, · · · }. Postulat Peano di atas menjadi dasar dari pembuktian dengan menggunakan induksi matematika, yang telah dibicarakan pada bab penalaran, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

h

P (1) ∧ ∀ k, P (k) ⇒ P (k∗)i

⇒ P (n), ∀ n ∈ N

(1.3) Ada pengelompokan jenis himpunan yang kardinalnya terkait dengan himpunan bilan-gan Asli, yaitu himpunan terhitung dan himpunan tak terhitung.

Definisi 1.1.2. Himpunan dikatakan terhitung (denumerable) atau himpunan diskrit, jika himpunan tersebut kosong atau ekuivalen dengan sebagian atau seluruh himpunan bilangan Asli. Jika tidak demikian maka himpunan dikatakan himpunan takterhitung yang meru-pakan himpunan kontinu.

Contoh 1.1.1. H = {1, 3, 5, · · · },Himpunan bilangan Prima, himpunan Bilangan bulat adalah termasuk himpunan bilangan terhitung. Sedangkan H = {x|1 < x < 2, x ∈ <}, himpunan bilangann Rasional, himpunan bilangan Riil adalah himpunan tak terhitung.

(8)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page6of25 Go Back Full Screen Close Quit

1.2.

Himpuan Bilangan Cacah

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Bilangan Asli tidak mempunyai identitas pen-jumlahan. Apabila himpunan bilangan Asli digabung dengan 0 sebagai unsur identitas penjumlahan, maka terbentuklah himpunan bilangan Cacah. Himpuan bilangan cacah disebut juga himpunan bilangan kardinal, karena bilangan cacah ini dipergunakan untuk mementukan kardinal suatu himpunan. Kardinal himpunan ∅ adalah 0. Jadi bilangan cacah atau bilangan kardinal mulai dari 0.

Himpunan bilangan Cacah(C) = N ∪ {0} = {0, 1, 2, · · · }

Semua sifat operasi yang berlaku pada himpunan bilangan asli juga berlaku pada him-punan bilangan cacah. Beberapa sifat yang tidak berlaku pada himhim-punanbilangan asli (identitas penjumlahan, berlaku pada himpunan bilangan cacah. Himpunan bilangan cacah meskipun memiliki identitas penjumlahan dan perkalian tetapi tidak memiliki invers pen-jumlahan maupun invers perkalian.

Sifat 5 Identitas Penjumlahan

∃ 0 ∈ C, 3 ∀c ∈ C, 0 + c = c + 0 = c Tetapi

∀ c(6= 0) ∈ C, 6 ∃ c0 ∈ C 3 c + c0= 0

1.3.

Himpuan Bilangan Bulat

Apabila himpunan bilangan cacah digabung dengan himpunan inverse penjumlahannya, maka terbentuklah himpunan bilangan bulat, Z.

(9)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page7of25 Go Back Full Screen Close Quit Jadi himpunan pada bilangan semua unsur memiliki invers penjumlahan, tetapi bukan

invers perkalian.

Sifat 6 Invers Penjumlahan.

∀ c ∈ C, ∃ c0 ∈ C 3 c + c0= 0 Tetapi,

∀ c(6= 0) ∈ C, 6 ∃ c0 ∈ C 3 c.c0= 1

1.4.

Himpuan Bilangan Rasional

Apabila himpunan bilangan bulat digabung dengan himpunan invers perkaliannya, maka terbentuklah himpunan bilangan Rasional, Q. Disamping itu bilangan rasional juga ter-tutup terhadap penjumlahan dan perkalian (termasuk perkalian dengan inversdari unsur lainnya). Secara umum bilangan rasional didefinisika seperti pada definisi berikut ini.

Definisi 1.4.1. Bilangan rasional q adalah bilangan yang dapat dinyatakan dalam bentuk a/b dengan b 6= 0. Dalam bentuk desimal q dapat dinyatakan sebagai pecahan desimal berhingga atau pecahan desimal takhingga tapi berulang.

Contoh 1.4.1. 1/5 = 0, 20 dan 1/3 = 0, 33333... = 0, 33 adalah bilangan-bilangan rasional Jadi pada himpunan bilangan Rasional, semua unsur memiliki invers penjumlahan, maupun invers perkalian.

Sifat 7 Invers Perkalian

∀ x ∈ Q, ∃ x0 ∈ Q 3 x + x0= 0 dan ∀ x(6= 0) ∈ C, ∃ x0 ∈ Q 3 c.c0= 1

(10)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page8of25 Go Back Full Screen Close Quit

1.5.

Himpunan Bilangan Irasional dan Himpunan Bilangan Riil

N C

Z Q

U=R

Gambar 1.1: Diagram Venn mengilustrasikan himpunan Bilangan Riil

Dalam himpunan bilangan rasional persamaan xn = y untuk n ≥ 2 tidak memiliki penyelesaian. Pernyataan ini ekuivalen dengan pernyataan bahwa tidak ada bilangan ra-sional x sedemikian sehingga xn = 2. Dengan kata lain, √n

2 bukan bilangan rasional. Bilangan-bilangan yang tidak rasional, yaitu bilangan yang tidak dapat dinyatakan seba-gai rasio dua bilangan bulat (a/b), disebut bilangan irasional. Bilangan rasional selain merupaka bilangan akar (√na) juga termasuk didalamnya adalah bilangan yang dinyatakan

dalam bentuk pecahan desimal takhingga tapi tak berulang. Ada dua bilangan irasional yang sangat penting yaitu bilangan Euler e yang diperkenalkan Euler tahun 1748 dan

(11)

bi-Home Page Title Page Contents JJ II J I Page9of25 Go Back Full Screen Close Quit langan Archimedes π. Bilangan e didefinisikan sebagai

e = ∞ X n=0 1 n = 1 + 1 1!+ 1 2!+ 1 3!+ · · ·

dan pendekatan π diberikann oleh banyak matematisi diantaranya adalah John Wallis den-gan rumus π 2 = ∞ Y n=1  2n 2n + 1 2n 2n − 1 

(Courant & Robbins [?]) Gabungan antara himpunan bilangan Rasional dan himpunan bilangan Irasional disebut bilagan Riil R. Secara diagram struktur Himpunan Bilangan dapat digambarkan pada Gambar

Sifat-sifat yang berlaku dalam himpunan bilangan dapat dirangkum seperti pada Tabel berikut.

(12)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page10of25 Go Back Full Screen Close Quit

No Sifat-sifat Operasi Himpunan Bilangan

N C Z Q < 1 Identitas Penjumlahan (0), 0 + a = a + 0 = a × X X X X 2 Identitas Perkalian(1), 1a = a1 = a X X X X X 3 Kumutatif Penjumlahan a + b = b + a X X X X X 4 Kumutatif Perkalian ab = ba X X X X X 5 Asosiatif Penjumlahan (a + b) + c = a + (b + c) X X X X X

6 Asosiatif Perkalian (ab)c = a(bc) X X X X X

7 Invers Penjumlahan a + (−a) = 0 × × X X X

8 Invers Perkalian a(1/a) = 1 × × X X X

9 Distributif Perkalian terhadap Penjum-lahan a(b + c) = ab + ac

X X X X X

10 Tertutup terhadap Operasi Invers Pen-jumlahan a + (−b) = c

× × X X X

11 Tertutup terhadap Operasi Invers Perkalian a(1/b) = c

× × × X X

12 Tertutup terhadap Operasi ab = c × × × ×

X

1.6.

Perkembangan perhitungan π

Sejak zaman dahulu diketahui bahwa rasio luas lingkaran terhadap kuadrat jaraknya dan rasio keliling lingkaran dengan diameternya adalah konstan. Namun, pada awalnya belum diketahui bahwa kedua konstanta tersebut adalah sama. Buku-buku kuno menggunakan konstanta yang berbeda untuk kedua rasio tersebut.

Perhitungan π menarik perhatian sejak zaman sebelum masehi (sekuitar 1650 SM, di Mesir Kuno digunakan pendekatan π = 3, 16.). Kalkulasi teoritis sepertinya dimulai oleh

(13)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page11of25 Go Back Full Screen Close Quit Riil Irasional Rasional Q Pecah Bulat Z

Cacah C Bulat Neg

Asli N 0

Gambar 1.2: Diagram struktur mengilustrasikan pembagian himpunan Bilangan Riil

Archimedes (287-212 SM) yang mendapatkan pendekatan 223/71 < π < 22/7.

Sejak itu sampai sekarang banyak sekali para matematisi yang melakukan perhitungan baik secara analitik maupun dengan menggunakan komputer. Pada zaman modern sekarang akurasi perhitungan π sempat dijadikan salah satu tes untuk mengukur kecanggihan kom-puter maupun suatu algorithma. Beberapa hasil perhitungan π diberiikan pada Tabel

(14)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page12of25 Go Back Full Screen Close Quit Tabel 1.1: Perhitungan π secara analitik

Matematisi Waktu Desimal Nilai

Rhind papyrus 2000 SM 1 3.16045 (= 4(8/9)2) Archimedes 250 SM 3 3.1418 Aryabhata 499 4 3.1416 (= 62832/2000) Brahmagupta 640 1 3.1622 (=√10) Fibonacci 1220 3 3.141818 Madhava 1400 11 3.14159265359 Newton 1665 16 3.1415926535897932

Rutherford 1824 208 hanya 152 benar

(15)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page13of25 Go Back Full Screen Close Quit Tabel 1.2: Perhitungan π dengan mesin

Matematisi Waktu Desimal Mesin

Ferguson 1947 710 Kalkulator

Ferguson, Wrench 1947 808 Kalkulator

Smith, Wrench 1949 1120 Kalkulator

Reitwiesner dkk. 1949 2037 ENIAC

Nicholson, Jeenel 1954 3092 NORAC

Felton 1957 7480 PEGASUS

Genuys 1958 10000 IBM 704

Felton 1958 10021 PEGASUS

Guilloud 1959 16167 IBM 704

Shanks, Wrench 1961 100265 IBM 7090

Guilloud, Filliatre 1966 250000 IBM 7030

Guilloud, Dichampt 1967 500000 CDC 6600

Guilloud, Bouyer 1973 1001250 CDC 7600

Miyoshi, Kanada 1981 2000036 FACOM M-200

Guilloud 1982 2000050

Kanada, Yoshino, Tamura 1982 16777206 HITACHI M-280H

Ushiro, Kanada 1983 10013395 HITACHI S-810/20

Gosper 1985 17526200 SYMBOLICS 3670

Bailey 1986 29360111 CRAY-2

Kanada, Tamura, Kubo 1987 134217700 NEC SX-2

Kanada, Tamura 1988 201326551 HITACHI S-820/80

Chudnovskys 1989 525229270 Kanada, Tamura 1989 536870898 Chudnovskys 1989 1011196691 Kanada, Tamura 1989 1073741799 Chudnovskys 1994 4044000000 Kanada, Tamura 1995 3221225466 Kanada 1995 6442450938

(16)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page14of25 Go Back Full Screen Close Quit

BAB

2

PERKALIAN KARTESIUS, RELASI DAN FUNGSI

Selain operasi himpunan yang telah dibicarakan sebelumnya, ada juga operasi himpunan yang disebut perkalian himpunan, yang disebut perkalian kartesius.

2.1.

Perkalian Kartesius

Definisi 2.1.1 (Operasi Perkalian). Perkalian (atau disebut juga perkalian kartesius) dua buah himpunan adalah himpunan yang beranggotakan semua pasangan berurut unsur per-tamanya berasal dari himpunan terkali dan unsur keduanya berasal dari himpunan pengali.

(17)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page15of25 Go Back Full Screen Close Quit Contoh 2.1.1. Jika A = {1, 3, 5} dan B = {4, 5} maka

1. A × B = {(1, 4), (1, 5), (3, 4), (3, 5), (5, 4), (5, 5)} 2. B × A = {(4, 1), (4, 3), (4, 5), (5, 1), (5, 3), (5, 5)}

Hasil perkalian himpunan selain dinyatakan dengan himpunan pasangan terurut, dapat juga dinyatakan dengan grafik kartesius. seperti pada Gambar

A B 0 2 4 6 0 2 4 6

Gambar 2.1: Diagram katesius mengilustrasikan A × B

Teorema 2.1.1. Untuk sembarang A dan B, secara umum berlaku: 1. A × B 6= B × A

(18)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page16of25 Go Back Full Screen Close Quit 3. (A × B) = (B × A) ⇔ A = B Definisi 2.1.2.

A × A = A2= {(a1, a2)|a1, a2∈ A} (2.1a) A × A × . . . × A

| {z }

n

= An= {(a1, a2, . . . , an)|ai∈ A, i = 1, 2, . . . , n} (2.1b)

2.2.

Relasi

Relasi atau hubungan antara dua himpunan merupakan himpunan bagian dari perkalian dua himpunan bersangkutan. Relasi dari himpunan A ke B dinotasikan dengan RA×B atau R : A → B. Ada tiga komponen yang harus dipenuhi oleh suatu relasi R : A → B yaitu:

1. Adanya daerah definisi atau daerah asal yang disebut domin, yaitu himpuan A yang yang akan dihubungkan dengan suatu himpunan lain.

2. Adanya daerah kawan yang disebut kodomin, yaitu himpunan B yang menjadi kawan himpunan A.

3. Adanya aturan pengawanan antara himpunan asal A dan himpunan kawan B.

A B

(19)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page17of25 Go Back Full Screen Close Quit Bentuk aturan pengawanan dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah

dengan mengguakan diagram panah, himpunan pasangan berurut. Jika pasangan berurut (x, y) merupakan ang-gota dari R maka dinotasikan dengan (x, y) ∈ R, jika tidak maka dinotasikan (x, y) 6∈ R.

Contoh 2.2.1. Misalkan R adalah relasi dari N ke N dengan aturan pengawanan R = {(1, 1), (2, 1), (2, 2), (3, 1), (3, 2), (3, 3), · · · }

atau

R = {(x, y)|y ≤ x; x, y ∈ N }

Contoh 2.2.2. Misalkan R adalah relasi dari N ke N dengan aturan R(n) = 2n dapat dinyatakan dengan R = {(x, y)|y = 2x, x ∈ N }

Himpunan bagian dari himpunan kawan yang dipilih menjadi kawan disebut daerah hasil/ range dari R. Pada contoh diatas daerah hasil HR adalah himpunan bilangan bulat positif, yaitu HR= {2, 4, 6, · · · }.

2.3.

Sifat-sifat Relasi

Relasi dari suatu himpunan ke dirinya sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya dilihat dari banyaknya unsur yang berkawan kedirinya sendiri, kesimetrisan perkawanan. Berikut adalah definisi formal dari beberapa sifat relasi himpunan ke dirinya sendiri.

Definisi 2.3.1. Relasi R dikatakan bersifat refleksif jika ∀x, (x, x) ∈ R

(20)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page18of25 Go Back Full Screen Close Quit Definisi 2.3.2. Relasi R dikatakan bersifat non-refleksif jika

∃x, (x, x) 6∈ R

Definisi 2.3.3. Relasi R dikatakan bersifat irrefleksif jika ∀x, (x, x) 6∈ R

Definisi 2.3.4. Relasi R dikatakan bersifat simetrik jika ∀x, y (x, y) ∈ R ⇒ (y, x) ∈ R Definisi 2.3.5. Relasi R dikatakan bersifat non-simetrik jika

∃x, y (x, y) ∈ R ⇒ (y, x) 6∈ R Definisi 2.3.6. Relasi R dikatakan bersifat asimetrik jika

∀x, y (x, y) ∈ R ⇒ (y, x) 6∈ R Definisi 2.3.7. Relasi R dikatakan bersifat transitif jika

∀x, y, zh(x, y) ∈ R ∧ (y, z) ∈ Ri⇒ (x, z) ∈ R

Definisi 2.3.8. Relasi yang sekaligus bersifat reflektif, simetrik dan transitif disebut relasi ekuivalensi.

Contoh 2.3.1. Berikut adalah beberapa contoh relasi yang merupakan relasi refleksif. 1. Relasi sama dengan (=) pada himpunan bilangan riil.

(21)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page19of25 Go Back Full Screen Close Quit 2. Relasi kongruensi pada himpunan segitiga.

3. Relasi faktor dari, pada himpunan bilangan bulat selai 0. ∀x, x faktor dari x yaitu (xRx)

4. Relasi mirip pada himpunan manusia. Setiap orang mirip dirinya sendiri. Contoh 2.3.2. Berikut adalah beberapa contoh relasi non-reflektif.

1. Relasi faktor dari pada himpunan semua bilangan bulat. (Ada 0 tidak dapat dibagi 0) 2. Relasi mencintai pada himpunan manusia. Ada orang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Contoh 2.3.3. Berikut adalah beberapa contoh relasi irreflektif.

1. Relasi tidak sama pada himpunan bilangan riil. Tidak ada bilangan yang tidak sama dengan dirinya sendiri.

2. Relasi kurang dari pada himpunan bilangan riil. Tidak ada bilangan yag kurang dari dirinya sendiri.

3. Relasi lebih gemuk pada himpunan manusia. Tidak ada orang yang lebih gemuk dari dirinya sendiri.

4. Relasi lebih cantik pada himpunan manusia. Tidak ada orang yang lebih cantik dari dirinya sendiri.

Contoh 2.3.4. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat simetrik. 1. Relasi sama dengan pada himpunan bilangan riil.

2. Relasi kongruensi pada himpunan segitiga.

(22)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page20of25 Go Back Full Screen Close Quit Contoh 2.3.5. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat non-simetrik.

i Relasi lebih besar atau sama dengan pada himpunan bilangan riil. ii Relasi mencintai pada himpunan manusia

Contoh 2.3.6. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat asimetrik. i Relasi lebih besar dari pada himpunan bilangan riil.

ii Relasi lebih tinggi pada himpunan manusia iii Relasi lebih tua pada himpunan manusia

Contoh 2.3.7. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat transitif. i Relasi lebih besar dari pada himpunan bilangan riil.

ii Relasi lebih tinggi pada himpunan manusia iii Relasi lebih tua pada himpunan manusia

Definisi 2.3.9. Relasi R dikatakan bersifat non-transitif jika ∃x, y, zh(x, y) ∈ R ∧ (y, z) ∈ Ri⇒ (x, z) 6∈ R

Contoh 2.3.8. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat non-transitif. i Relasi berpotongan pada himpunan.

(23)

Home Page Title Page Contents JJ II J I Page21of25 Go Back Full Screen Close Quit Definisi 2.3.10. Relasi R dikatakan bersifat intransitif jika

∀x, y, zh(x, y) ∈ R ∧ (y, z) ∈ Ri⇒ (x, z) 6∈ R

Gambar 2.3: Diagram panah mengilustrasikan relasi A ke A

Secara grafik, dalam bentuk diagram panah, beberapa jenis relasi dari A ke A digam-barkan dalam Gambar

Contoh 2.3.9. Berikut adalah contoh relasi yang bersifat ekuivalensi. i Relasi sama dengan pada himpunan bilangan riil.

ii Relasi kongruensi pada himbunan segitiga. iii Relasi kesejajaran pada himbunan garis. iv Relasi sama tinggi pada himpunan manusia.

Gambar

Gambar 1.1: Diagram Venn mengilustrasikan himpunan Bilangan Riil
Gambar 1.2: Diagram struktur mengilustrasikan pembagian himpunan Bilangan Riil
Tabel 1.1: Perhitungan π secara analitik Matematisi Waktu Desimal Nilai
Tabel 1.2: Perhitungan π dengan mesin
+3

Referensi

Dokumen terkait

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses seleksi untuk Paket Pekerjaan Pengadaan Mesin Digital , bersama ini kami

Jumlah Peserta yang masuk daftar pendek dan diundang untuk memasukan / upload dokumen penawaran sebanyak 5 (lima) perusahaan :1. Hasil enkripsi data rhs

Mengacu pada aliran proses penyusunan model matematik pada Gambar 1 maka hubungan fungsional antar organ penyebab timbulnya vibrasi kardiorespirasi dalam bentuk osilasi

Website ini dibuat dengan tujuan agar para masyarakat yang memiliki bakat acting, model, serta presenter dan ingin mendaftarkan diri namun memiliki kesulitan waktu untuk datang

PEKERJAAN : PENGADAAN PERENCANAAN KONSTRUKSI, FASUM DAN MEUBELAIR PEMBANGUNAN GEDUNG BERTINGKAT 3 LANTAI SPN SINGARAJA.. PAGU ANGGARAN :

Hal itu dikarenakan objek wisata Rumah Godang tidak memiliki keistimewaan yang memiliki unsur material atau benda-benda cagar budaya, dan dibagian pelayanan objek

Contohnya adalah simpanse ( Pan troglodytes), gorila (Gorilla gorilla), dan manusia

Sehingga pada akhirnya akan mewujudkan kondisi siswa yang aktif dalam kegiatan belajar, meningkatkan aktivitas guru selama pembelajaran, juga bisa melatih keterampilan guru