• Tidak ada hasil yang ditemukan

KI 4. Pendekatan Model Vibrasi Kardiorespirasi Karena Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KI 4. Pendekatan Model Vibrasi Kardiorespirasi Karena Jantung"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Rencana Disertasi :

PEMODELAN KARDIORESPIRATOMETER BERBASIS VIBRASI DADA

PENDEKATAN TEORITIS PENYUSUNAN MODEL MATEMATIK

UNTUK OSILASI REGANGAN DINDING DADA AKIBAT AKTIVITAS JANTUNG

KARYA ILMIAH 4

Oleh :

NURIDA FINAHARI

NIM. 0730703012

PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN

KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PENDEKATAN TEORITIS PENYUSUNAN MODEL MATEMATIK

UNTUK OSILASI REGANGAN DINDING DADA AKIBAT AKTIVITAS JANTUNG

KARYA ILMIAH 4

Oleh :

NURIDA FINAHARI

NIM. 0730703012

Menyetujui,

Pembimbing Akademik

Dr. dr. M. Rasjad Indra, MS

(3)

KERANGKA RENCANA DISERTASI

Rencana Judul Disertasi : Pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi dada

Kualitas Udara b. Aliran Proses dan Latar Belakang Teori Rencana Judul Karya Ilmiah :

1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi 2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi 3. Kajian model matematis sistem kardiorespirasi

4. Pendekatan teoritis penyusunan model matematik untuk osilasi regangan dinding dada akibat aktivitas jantung

5. Peranan gerak dinamis paru dan variabel sinkronisasi kardiorespirasi dalam pemodelan osilasi regangan dinding dada

(4)

ABSTRAK

Nurida Finahari; Program Pascasarjana Universitas Brawijaya; Pendekatan teoritis penyusunan model matematik untuk osilasi regangan dinding dada akibat aktivitas jantung; Pembimbing Akademik : M. Rasjad Indra.

Sinkronisasi kardiorespirasi merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi. Penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi ditujukan untuk memahami mekanisme patofisiologis. Penelitian-penelitian tersebut umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Untuk dapat mengembangkan peralatan baru tersebut diperlukan pemodelan matematis efek vibrasi dinamika jantung dan paru-paru dalam bentuk osilasi regangan dinding dada.

Pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilakukan secara matematik dengan mengacu pada beberapa referensi. Referensi-referensi acuan tersebut menggunakan dasar dan metode penyusunan yang berbeda yaitu analitis dan eksperimental. Penetapan konstanta dan nilai-nilai variabel juga didasarkan pada kondisi yang berbeda-beda, bisa dari pengadopsian hasil penelitian lain, pendekatan geometris dari hasil foto radiologi atau dari pengukuran fisioanatomi in vivo. Penetapan konstanta dan nilai variabel berdasarkan kondisi in vivo mengalami banyak kesulitan pada level molekuler. Hal ini memerlukan pertimbangan dalam pemilihan peralatan dan metode pengukuran yang tepat untuk meminimasi terjadinya kesalahan.

Model matematik osilasi regangan dinding dada merupakan fungsi persamaan dari perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak

otot intercostal (x3). Pemodelan perubahan volume rongga torak akibat aktivitas jantung

dimulai dengan menyusun persamaan yang menggambarkan efek total interaksi potensial aksi sel sistem konduksi, sel atrium dan sel ventrikel jantung sebagai dinamika gerak organ. Persamaan yang menjadi acuan masih memiliki beberapa kekurangan khususnya karena persamaan-persamaan tersebut masih disusun pada level sel tunggal. Jadi masih diperlukan analisis level organ untuk menunjukkan hubungan persamaan berurutan dari pemodelan potensial aksi sel otot jantung, dinamika kontraksi-relaksasi otot, perubahan volume jantung, perubahan volume dan tekanan rongga intratorak dan model akhir osilasi regangan dinding dada. Masih diperlukan keterlibatan dinamika sistem pernafasan dan variabel sinkronisasi untuk dapat mewujudkan vibrasi sebagai parameter fisilogis sistem kardiorespirasi.

(5)

ABSTRACT

Nurida Finahari; Postgraduate program Brawijaya University; Theoritical approach on mathematical model development for chest wall stretch oscillation due to heart activity; Supervisor : M. Rasjad Indra.

Cardiorespiratory system synchronization is a real phenomenon eventhough not a major variable in cardiorespiratory interaction. The researches on cardiorespiratory is done to understand the pathophysiological phenomenon. These researches usually use separate data record from different equipment for cardiovascular and respiratory system that quantifies to be a new variable. Being biological oscillators, vibration of cardiorespiratory system can be used as physiological measurement data signals that offer new alternative for the development of measuring devices. So, it is needed to develop mathematical model for cardiorespiratory vibration effect as chest wall stretch oscillation.

The modelling of chest wall stretch oscillation can be done mathematically by referring to some references. These references are made according on difference basic and methods, that is analytical or experimentally. Constants and variabel values determination are based on difference conditions, it could be adoption of another experimental results, geometrical approach from radiologic pictures or by in vivo physioanatomy measuring. This in vivo measuring find some difficulties in molecular level. That is way it is needed some consideration on equiptment and measuring method selection to minimize errors. Mathematical model of chest wall stretch oscillation is a function of volume changes of intra-thorax cavity due to heart dynamic (x1), diaphragma dynamic (x2) and intercostal

muscles dynamic (x3). The modelling of volume changes of intra-thorax cavity due to heart

activity starts from the function development that ilustrated the total effects of interaction action potential from heart conductive cell, atrium cell and ventricle cell, as an organ dynamic activity. The refference equation has some disadvantages especially due to its basic approach on single cell level. So, organ level analysis is needed in order to reach the sequential relationship start from heart cell action potential, muscles contraction-relaxation dynamic, heart volume changes, volume and pressure changes of thoracic cavity and final model of chest wall stretch oscillation. The dynamic roles of respiratory system and synchronization variabel must be added to gain vibration as physiological parameter for cardiorespiratory system.

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN 1

KERANGKA RENCANA DISERTASI 2

ABSTRAKS 3

DAFTAR ISI 5

DAFTAR GAMBAR 6

I. PENDAHULUAN 7 1.1. Latar Belakang 7 1.2. Permasalahan 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 2.1. Potensial Aksi Pacemaker Jantung 10

2.2. Potensial Aksi Sel Otot 14

2.3. Perubahan Panjang Otot Akibat Osilasi Kontraksi-Relaksasi 18

2.4. Perubahan Volume Rongga Intratorak 22

2.5. Perubahan Tekanan Rongga Intratorak 25

2.6. Osilasi Regangan Dinding Dada 26

III. PEMBAHASAN 28

IV. PENUTUP 33

4.1. Kesimpulan 33

4.2. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka konsep penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi 8

Gambar 2. Pembangkitan listrik jantung 10

Gambar 3. Mekanisme kanal ion pacemaker 11

Gambar 4. Diagram skematik sel pacemaker primer 12

Gambar 5. Karakteristik model yang menunjukkan potensial aksi pacemaker spontan 13

Gambar 6. Mekanisme kanal ion membran sel otot jantung 15

Gambar 7. Model skematis otot jantung dalam bentuk benang silindris 3 dimensi 15

Gambar 8. Profil potensial aksi sel otot 17

Gambar 9. Struktur otot rangka 19

Gambar 10. Mekanisme kontraksi otot rangka 20

Gambar 11. Model jantung 21

Gambar 12. Bola bertekanan 21

Gambar 13. Pemodelan Ansys 22

Gambar 14. Model dinding dada 23

Gambar 15. Ilustrasi skematik pengukuran volume paru-paru 25

Gambar 16. Pengaruh perubahan elastansi paru (El) dan dinding dada (Ecw) 26

Gambar 17. Model sistem respirasi dibawah pembebanan percepatan aksial 27

Gambar 18. Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi 28

Gambar 19: Sist. sumbu aktivitas elektrik jantung yang mendasari segitiga Einthoven 29

(8)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian fisioanatomi sistem kardiorespirasi pada karya ilmiah 1 menunjukkan bahwa keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi) merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematik diketahui bahwa peningkatan volume paru-paru akibat peningkatan tekanan alveolar, menyebabkan perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru-paru, aliran vena dan keluaran jantung (Darowski; 2000). Penelitian tentang efek paparan polusi dalam jangka panjang terhadap kesehatan kardiovaskular menyebutkan bahwa wanita di daerah polusi udara yang memiliki nilai FEV1 (forced expiratory volume) kurang dari 80%,

diprediksi meninggal akibat penyakit kardiovaskular dengan rasio resiko RR = 3,79 (95% CI: 1,64 – 8,74) untuk masa pantauan 5 tahun (Shcikowski, et.al; 2007). Untuk masa pantauan 12 tahun, nilai RR = 1,35 (95% CI: 0,66 – 2,77). Dalam hal ini tampak bahwa kesehatan respirasi merupakan prediktor bagi mortalitas kardiovaskular.

Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi ditujukan untuk memahami mekanisme patofisiologis (Mrowka, et.al; 2003). Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Kajian terhadap alat-alat ukur standar yang umum digunakan pada pemantauan dan diagnosa sistem kardiorespirasi menunjukkan bahwa secara individual peralatan-peralatan tersebut belum menunjukkan kinerja yang optimum yang memudahkan proses analisis data dan diagnosa klinis yang bersesuaian. Hal tersebut mendorong pengembangan peralatan-peralatan baru sebagai perbaikan kinerja yang menawarkan akurasi, kepresisian, kepraktisan, biaya murah dan kenyamanan (Mack; 2003).

Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Posisi jantung dan paru-paru yang berdekatan memungkinkan munculnya gelombang interferensi dari gelombang vibrasi yang dihasilkan keduanya. Karakteristik gelombang interferensi tersebut merupakan gambaran karakteristik masing-masing gelombang sumbernya (Finahari; 2008a).

(9)

paru-paru (Dellinger, et.al; 2008). Alat ini disebut

vibration response imaging

(VRI) yang mampu mencatat dan menampilkan gambar dinamis suara pernafasan pada monitor komputer. VRI memiliki software yang mampu mengkonversikan suara pernafasan pada rentang frekuensi 150-250 Hz menjadi gambar dinamis dan data kuantitatif dari distribusi suara pernafasan. Belum dilakukan analisis reliabilitas dan validasi sensitivitas peralatan terhadap variasi patologis pada sistem pernafasan. Pengembangan peralatan diarahkan pada penambahan aspek analisis time series dan kuantifikasi distribusi suara berdasarkan metode-metode baku.

Untuk dapat melakukan proses perbaikan maupun pengembangan peralatan pengukuran fisiologi sistem kardiorespirasi berbasis vibrasi, analisis berdasarkan pemodelan matematik perlu dilakukan sehingga variabel-variabel yang berpengaruh dapat ditentukan. Model matematik yang divisualisasikan secara terkomputerisasi dapat mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang tidak diinginkan (Finahari; 2008b). Meskipun demikian, proses penyusunan model matematik untuk vibrasi sistem kardiorespirasi mempersyaratkan adanya pertimbangan tentang aspek interaksi antar organ-organ penyusunnya (Finahari; 2008c). Hal ini membutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam menyusun skema mekanik, menentukan asumsi-asumsi fisiologis, memilih variabel dan hukum-hukum mekanika yang menjadi landasan analisis. Kerangka konsep penyusunan model matematik vibrasi sistem kardiorespirasi dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam hal ini vibrasi kardiorespirasi dinyatakan sebagai osilasi regangan dinding dada.

(10)

1.2. Permasalahan

Mengingat luasnya pembahasan untuk penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi maka karya ilmiah ini hanya akan membahas pendekatan teoritis penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi yang disebabkan oleh jantung dalam kondisi fisiologi normal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Jantung merupakan sebuah pompa ganda dimana bagian kiri dan kanan memompa darah secara terpisah, tetapi simultan, menuju sirkulasi sistemik dan pulmonar (Widmaier et.al., 2006). Proses pemompaan darah tersebut memerlukan kontraksi atrium yang diikuti hampir seketika oleh ventrikel sehingga dapat berjalan secara efisien. Kontraksi dari otot jantung dipicu oleh depolarisasi membran plasma yang menghasilkan potensial aksi. Gap junction yang menghubungkan sel-sel miokardial memungkinkan potensial aksi tersebut untuk menyebar dari satu sel ke sel yang lainnya. Eksitasi yang diawali oleh satu sel akan menghasilkan eksitasi dari seluruh sel jantung.

Selama masa perkembangan embrionik, sekitar 1% dari serat otot jantung berubah menjadi sel-sel otoritmik, yaitu sel-sel yang secara berulang dan berirama membangkitkan potensial aksi (Tortora, 2005). Sel-sel otoritmik tersebut bertindak sebagai pacemaker, yang mengatur irama kontraksi dari seluruh jantung dan membentuk sistem konduksi berupa jalur hantaran potensial aksi melalui otot-otot jantung. Sistem konduksi tersebut menjamin terjadinya stimulasi bagi otot-otot jantung untuk berkontraksi secara terkoordinasi. Sekelompok sel otoritmik yang menjadi pemicu potensial aksi awal disebut node sinoatrial (node SA) yang terletak pada atrium kanan dekat pintu masuk superior vena cava (Widmaier et.al., 2006). Node SA merupakan pacemaker normal bagi seluruh jantung.

(11)

Gambar 2: Pembangkitan listrik jantung (Despopoulos, Silbernagl; 2003)

2.1. Potensial Aksi Pacemaker Jantung

Potensial aksi sel sistem konduksi memiliki karakteristik yang berbeda dengan potensial aksi sel otot jantung (Widmaier et.al., 2006). Sel node SA tidak memiliki ambang batas tetap sebagaimana sel otot jantung. Node SA melakukan depolarisasi lambat yang disebut potensial pacemaker hingga tercapai titik batas potensial membran yang memicu munculnya potensial aksi. Terdapat tiga mekanisme kanal ion yang berperan dalam potensial pacemaker (Gambar 3). Mekanisme pertama adalah terjadinya penurunan permeabilitas potasium. Kanal potasium yang terbuka selama fase repolarisasi pada siklus sebelumnya secara bertahap menutup akibat perubahan potensial membran menjadi negatif. Mekanisme kedua mengacu pada keunikan kanal-kanal ion sel

(12)

Gambar 3: Mekanisme kanal ion pacemaker, a) potensial membran sel nodal jantung, b) pengukuran simultan permeabilitas empat kanal ion yang berbeda selama proses pembangkitan potensial aksi yang ditunjukkan kurva a. (Widmaier et.al., 2006).

(13)

Sel pacemaker dimodelkan dalam bentuk silinder dengan panjang 70 m,

diameter 8 m, yang merupakan pendekatan bentuk sel spindle (Gambar 4). Diameter yang diambil merupakan asumsi diameter rata-rata sel spindle tersebut. Volume sel diasumsikan 35 pl (10-12 liter) dengan kapasitansi membran sel sebesar 32 pF (10-12 Farad). Ukuran ini digunakan berdasarkan pemikiran bahwa sel pacemaker pusat lebih kecil dari sel pacemaker perifer (Zhang et.al.; 2000). Volume sel yang berperan dalam pembangkitan arus listrik (gerak difusi Ca2+) diasumsikan 46% dari total volume untuk mengakomodasi keberadaan organel-organel sel.

Model matematis yang dikembangkan Yasutaka et.al. (2002) mengakomodasi adanya hambatan arus pada ruang sarkolemal. Ruang sarkolemal ini diset pada nilai 1% total volume. Konstanta waktu arus dalam menempuh jarak dari ruang sarkolemal ke mioplasma ditetapkan 40 s untuk koefisien difusi sebesar 1 x 10-9 cm2/ms. Model lengkap untuk aktivitas normal pacemaker meliputi 13 variabel arus, dimana persamaan diferensial potensial membran dinyatakan sebagai:

Gambar 4: Diagram skematik sel pacemaker primer. A) diagram lintang sel model, B) ruang-ruang intraseluler untuk arus Ca2+. R dan L menyatakan diameter sel dan kedalaman ruang sarkolemal. JSR adalah Sarcoplasmic Reticulum Junction, NSR adalah Sarcoplasmic Reticulum Network. Gerak arus Ca2+ ditunjukkan arah panah (Yasutaka et.al.; 2002).

m

(14)

persamaan kompleks tersebut dilakukan secara numerik dengan algoritma Runge-Kutta. Hasil simulasi numeriknya dapat dilihat pada Gambar 5.

Dari hasil simulasi dinyatakan bahwa model yang disusun telah menunjukkan karakteristik aktivitas potensial aksi pacemaker yang lebih realistik. Hal tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan semua variabel arus, termasuk aktivitas hambatannya, yang terlibat dalam pembangkitan listrik sel pacemaker. Namun demikian masih ditemukan in-konsistensi pada grafik karakteristik hasil simulasi jika dibandingkan dengan aktifitas sel yang sesungguhnya. Kondisi ini disebabkan kurangnya data eksperimental fisioanatomi jantung tikus in vivo karena sulit pengukurannya. Model ini juga belum bisa mengakomo-dasi variabilitas jenis sel pacemaker yang memiliki karakteristik kelistrikan yang berbeda. Karakteristik arus yang disebabkan ion-ion lain pada sel, distribusi densitas ion pada sel dan ruang antar sel, pengaturan oleh second messengers dan modulator intraseluler, juga belum diakomodasi. Kelemahan-kelemahan ini yang menjadi target pengembangan penelitian berikutnya. Bagaimanapun, hasil simulasi ini dapat dimanfaatkan dalam analisis pemblokiran arus secara farmakologis.

2.2. Potensial Aksi Sel Otot.

Mekanisme pembangkitan potensial aksi pada membran sel otot jantung pada dasarnya mirip dengan mekanisme yang terjadi pada jaringan tereksitasi lainnya (Widmaier et.al., 2006). Namun kombinasi kanal ion yang menunjukkan karakteristik unik pada sel jantung menghasilkan kurva potensial aksi yang berbeda sebagaimana tampak pada Gambar 6. Sebagaimana terjadi pada sel otot rangka dan neuron, membran sel yang berada dalam kondisi istirahat lebih permeabel terhadap potasium daripada sodium tetapi kondisi ini lebih ekstrem terjadi pada sel otot jantung. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sub kanal potasium yang secara khusus mengalami kebocoran pada voltage membran negatif. Hal ini menyebabkan potensial membran sel otot jantung lebih mengarah pada nilai keseimbangan potensial potasium (-90 mV), sementara potensial keseimbangan sodium bernilai 60 mV. Fase depolarisasi membran sel otot jantung juga terutama disebabkan oleh pembukaan gerbang voltage kanal sodium. Pada saat yang hampir bersamaan permeabilitas terhadap potasium menurun mengikuti tertutupnya kebocoran kanal potasium. Proses ini memperkuat fase depolarisasi.

Jika pada jaringan tereksitasi lainnya penurunan permeabilitas sodium merupakan gejala awal proses repolarisasi, pada sel otot jantung tidak demikian halnya. Membran sel otot jantung tetap berada pada puncak depolarisasi yang bernilai sekitar 0 mV karena:

1. permeabilitas potasium masih tetap berada dibawah nilai istirahat (bocoran kanal potasium masih tertutup)

(15)
(16)

Pada sel miokardial, depolarisasi awal menyebabkan gerbang voltage kanal kalsium (tipe L) terbuka sehingga terjadi aliran arus ion kalsium masuk ke dalam sel. Kanal ini terbuka jauh lebih lambat dari kanal sodium tetapi tetap terbuka hingga waktu yang lama. Hal inilah yang memberikan efek dominan pada stabilitas depolarisasi pada nilai puncak. Proses repolarisasi sel jantung baru terjadi jika kanal kalsium mulai tertutup perlahan yang diikuti pembukaan kanal potasium dengan tipe yang berbeda dengan tipe bocoran. Proses pembangkitan potensial aksi sel-sel atrium mirip dengan proses yang terjadi pada sel-sel atrial kecuali bahwa durasi puncak depolarisasinya lebih pendek.

c)

(17)

Model matematik sel otot jantung pada mulanya dikembangkan dengan mengasumsikan sel sebagai kabel tunggal satu dimensi, namun model tersebut dipertanyakan akurasinya mengingat otot jantung merupakan jaringan multiseluler yang dikelilingi ruang interstisial dan memiliki kanal interseluler (Roth; 1991). Untuk itu dibuat pendekatan baru dimana jaringan sel jantung digambarkan sebagai benang silindris tiga dimensi dalam lingkungan cairan garam (Gambar 7).

Gambar 7: Model skematis otot jantung dalam bentuk benang silindris 3 dimensi. Konduktivitas cairan lingkungan dinyatakan sebagai e, ,  dan z adalah variabel koordinat silindris untuk menentukan posisi pada model. Cincin anoda dan katoda adalah stimulator aktivitas kelistrikan (Roth; 1991).

Dengan menggunakan asumsi kondisi simetri aksial, variabel  dalam koordinat silindris model tidak memiliki pengaruh dan diabaikan. Dalam model ini terdapat dua ruang acuan yaitu ruang intraseluler (i) dan ruang interstisial (o) yang dipisahkan oleh membran sel. Tujuan utama pemodelan adalah menentukan potensial aksi di dua ruang (i, o) tersebut termasuk potensial aksi lingkungan (e). Sifat-sifat elektris dua ruangan

tersebut diasumsikan homogen dan dapat dinyatakan dengan tensor konduktivitas

~

idan

o

~

. Dengan asumsi bahwa sel otot terbentang memanjang sejajar dalam benang, maka

jaringan tersebut bersifat anisotropik dimana konduktivitas ke arah radial berbeda dengan

arah memanjang. Jadi tensor konduktivitas dibedakan menjadi 4 parameter yaitu

~i,

~ . Karakteristik makroskopik benang dipengaruhi oleh karakteristik

mikroskopik masing-masing sel dengan hubungan: dan ruang intraseluler sebesar 0,1.

(18)

b f 2 

(4)

Selanjutnya aktivitas arus pada kanal ion dinyatakan sebagai:

)

sodium dan m, h adalah parameter kanal mengikuti model kinetika Ebihara-Johnson (Ebihara, Johnson; 1980). Dengan melakukan ekspansi terhadap persamaan 3), 4) dan 5) didapat persamaan-persamaan umum sebagai berikut:

adalah gradien matrik,  adalah operator divergensi dan n adalah vektor satuan normal terhadap permukaan jaringan, mengarah keluar menuju lingkungan.

(19)

Gambar 8: Profil potensial aksi pada t = 8 ms untuk a) transmembran, b) intraseluler dan c) ekstraseluler. Garis-garis isopotensial dinyatakan dalam milivolt (Roth; 1991).

2.3. Perubahan Panjang Otot Akibat Osilasi Kontraksi-Relaksasi.

Mekanisme gerak kontraksi-relaksasi otot jantung mirip dengan mekanisme otot rangka. Sel otot rangka tunggal disebut sebagai serat otot (Widmaier et.al., 2006). Istilah otot mengacu pada sejumlah serat otot yang terikat oleh jaringan penghubung (connective tissue) dalam satu bundel. Otot biasanya terhubung pada tulang melalui bundelan serat kolagen yang disebut tendon. Pola lurik pada otot rangka (dan jantung) dihasilkan dari rangkaian pengaturan berseling filamen-filamen tebal dan tipis dalam sitoplasma menjadi miofibril. Sebagian besar sitoplasma serat otot terisi oleh miofibril. Setiap miofibril tersebut tersusun memanjang dari ujung serat otot ke ujung lainnya dan terhubung pada tendon di ujung serat.

(20)

Filamen tebal terletak di tengah tiap sarcomere dan membentuk segmen gelap yang disebut band A. Tiap sarcomere memiliki 2 set filamen tipis di tiap ujungnya. Ujung-ujung filamen tipis terikat pada jaringan protein interkoneksi yang disebut garis Z (Z line) sedang ujung lainnya tumpang tindih dengan filamen tebal. Bagian filamen tipis yang tidak tumpang tindih dengan filamen tebal menghubungkan dua sarcomere yang berdekatan dan membentuk band I. Di tengah-tengah band A terdapat daerah terang yang menunjukkan ruang kosong di antara ujung dalam filamen tipis yang disebut zona H. Pada band H terdapat garis tebal yang menunjukkan hubungan antara filamen tebal yang berdekatan, disebut garis M. Sebagai tambahan, terdapat filamen yang tersusun atas protein elastik bernama titin yang menghubungkan filamen tebal dengan garis Z. Titin dan garis M mengatur posisi filamen tebal dalam serat otot.

Kontraksi otot merupakan proses aktivasi gaya otot yang membangkitkan pergerakan cross-bridge miosin filamen tebal. Pada kondisi ini cross-bridge miosin berikatan dengan molekul aktin filamen tipis dan bergerak dalam arah lengkung yang menyebabkan aktin filamen yang terikatan pada garis Z tertarik ke arah pusat sarcomere. Hasil akhir gerakan ini adalah pemendekan sarcomere. Jika aktivasi berjalan singkat maka hanya terjadi pemendekan kecil saja dari sarcomere namun jika aktivasi berjalan lama maka cross-bridge akan mengulang-ulang gerakannya yang menyebabkan pemendekan sarcomere besar-besaran. Jika aktivasi gaya hilang, sarcomere kembali ke posisi semula. Mekanisme ini disebut teori pergeseran filamen (sliding-filament mechanism) karena pemendekan sarcomere terjadi akibat pergeseran posisi filamen tanpa merubah panjang filamen-filamen penyusun tersebut.

(21)

Gambar 9: Struktur otot rangka (Widmaier et.al., 2006).

(22)

(a) (b)

Gambar 11: Model jantung, a). Skema konseptual, b). Penyederhanaan bentuk permukaan (Gutierrez et.al; 2003)

Dalam Teori Analisis Tegangan Bidang, ruang jantung diasumsikan sama dengan bola yang memiliki jari-jari r dan ketebalan dinding t. Bola tersebut mengalami tekanan dari dalam sebesar p (Gambar 12). Tegangan di sekeliling dinding bola harus merupakan jumlah (resultan) gaya penyeimbang tekanan yang bekerja pada penampang lintang, yaitu:

2

rtp

r2 10)

2

r

p

t

11)

Gambar 12: Bola bertekanan (Gutierrez et.al; 2003)

(23)

t

p

l

12)

dimana tegangan dinding jantung, , dapat diturunkan dari persamaan aksi potensial otot jantung dengan teori pembangkitan tegangan listrik. Tekanan ruang jantung dalam hal ini akan merupakan fungsi tegangan dinding jantung dalam kaitannya dengan perubahan volume ruang akibat aktivitas kontraksi-relaksasi otot jantung.

(a) (b)

Gambar 13: Pemodelan Ansys, a) transformasi file CAD menjadi jaring-jaring Ansys, b) hasil analisis berdasarkan persamaan 2) dengan input p dan , warna menunjukkan perubahan ketebalan dinding (Gutierrez et.al; 2003)

2.4. Perubahan Volume Rongga Intratorak

Aktivitas fisiologis jantung mengakibatkan perubahan volume sebesar 2-5% dari total volume yang diukur di antara akhir periode diastol dan akhir periode sistol (Hoffman, Ritman, 1988). Volume total jantung diperkirakan sebesar kurang lebih 60 cm3 dengan massa sekitar 300 gram (Tortora, 2005). Perubahan volume jantung ini memiliki peranan sebagai pompa penambah volume bagi paru-paru (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004). Dengan demikian, peranan jantung dalam perubahan volume rongga intratorak dapat dilihat dari pengukuran perubahan volume paru-paru.

(24)

Pemodelan dinding dada yang telah dilakukan secara matematik ditemukan pada penelitian terhadap aktivitas paru-paru dan otot perut (Cappelo, De Troyer; 2004). Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh elastansi tulang rusuk terhadap interaksi gerak paru-paru dan otot perut dalam perubahan volume pada proses pernafasan. Dinding dada digambarkan secara mekanik sebagai model 2 ruang sebagaimana tampak pada Gambar 14 berikut.

Gambar 14: Model dinding dada (Cappelo, De Troyer; 2004).

Rongga rusuk dan diafragma digambarkan sebagai piston dan pegas pada bagian atas dan bawah silinder. Paru-paru digambarkan sebagai pegas diantara 2 piston tersebut. Otot-otot perut digambarkan sebagai gelondong otot (muscle bundles) yang diikatkan pada piston ketiga menggunakan puli dan tali pada sisi kiri silinder sekaligus untuk menggambarkan dinding perut. Pada sistem ini gelondong otot menggerakkan piston abdominal ke kanan jika berkontraksi. Gerak piston abdominal menyebabkan peningkatan tekanan abdominal (Pab) dan menekan pegas paru-paru. Persamaan

keseimbangan statis sistem pernafasan dalam variabel tekanan pembukaan jalan nafas (Pao) selanjutnya dinyatakan sebagai :

Pao = KR VR + KL VL (13)

Pao = KDi VDi + Pab + KL VL (14)

Sedangkan :

Pab = KA VA + PA (15)

Dimana :

VR = perubahan volume rongga rusuk KR = elastansi tulang rusuk

VL = perubahan volume paru-paru KL = elastansi paru-paru

VDi = perubahan volume akibat gerak diafragma KDi = elastansi diafragma

(25)

Jadi perubahan volume paru-paru merupakan jumlah dari perubahan volume rongga rusuk dan diafragma, VL = VR + VDi. (16)

Persamaan pengukuran volume paru-paru di atas masih merupakan persamaan umum dengan cara pandang sistemik sehingga tidak mengakomodasi dinamika perubahan dimensi organ-organ tubuh yang terlibat pada saat proses pernafasan berlangsung. Pendekatan pengukuran volume paru-paru yang lebih detail dilakukan dengan menganalisis beberapa hasil foto radiografis (Singh et.al; 2001). Dalam hal ini volume paru-paru dinyatakan sebagai :

Volume paru-paru = volume dada – volume jantung – volume spinal – volume subphrenic (17) Untuk mengukur parameter volume-volume tersebut, dilakukan pemotretan pada beberapa kondisi pernafasan, yaitu pada posisi volume residual (RV), kapasitas residual fungsional (FRC), FRC + ½ kapasitas inspirasi (FRC + ½ IC) dan kapasitas total paru-paru (TLC). Setiap subyek penelitian diharapkan melakukan pernafasan perlahan dari kondisi RV hingga TLC. Ilustrasi skematik untuk analisis hasil foto radiografis tampak pada Gambar 15.

Dalam skema tampak acuan untuk pengukuran-pengukuran : 1. panjang diafragma, Ldi :

- bidang coronal : a-d - bidang sagital : a’-d’

2. panjang zona apposition, Lap

- lateral kanan : a-b - lateral kiri : c-d - posterior : c’-d’

3. faktor bentuk diafragma, Kdome

- bidang coronal = b – c / (diameter rongga rusuk)

- bidang sagital = b’ - c’/ (jarak linier antara sudut costophrenic anterior dan posterior) 4. volume rongga diafragma (Vdome), volume frustum (Vf), dan volume subphrenic

Vsubph = Vdome + Vf

5. Perubahan volume akibat gerak diafragma (Vdi) yang dihitung dengan rumus : Vdi = VsubphRV– VsubphEI -Vaxial + Ve + ½ Vf

Dimana : VsubphRV = Vsubph yang diukur dalam kondisi RV

VsubphEI = Vsubph yang diukur dalam kondisi EI (end inspiration)

Ve = peningkatan Vsubph pada ekspansi inspirasi akibat gerak abdominal

dan rongga rusuk

(26)

B

Gambar 15: Ilustrasi skematik pengukuran volume paru-paru A. Skema penyesuaian hasil posteroanterior (PA) dan lateral chest radiographic (CXR). B. Skema pengukuran perubahan volume akibat gerak diafragma. (Singh et.al; 2001).

2.5. Perubahan Tekanan Rongga Intratorak

Osilasi kardiogenik akibat detak jantung diketahui mempengaruhi volume paru secara signifikan (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004). Karena frekuensi osilasi kardiogenik berubah sejalan dengan waktu, besaran perubahan volume paru tersebut juga tergantung pada waktu. Pada akhir periode osilasi, volume paru yang dihasilkan semakin kecil, paru dan dinding dada semakin kaku. Amplitudo osilasi yang semakin datar menunjukkan adanya peningkatan kekakuan paru. Hal ini menunjukkan potensi penggunaan osilasi kardiogenik sebagai alat analisis non-invasif bagi mekanika pernafasan.

Di sisi lain, perubahan volume paru berkaitan erat dengan tekanan pada jalan pernafasan, tekanan alveoli dan tekanan selaput pleura. Tekanan selaput pleura ini mengindikasikan interaksi antara paru dengan dinding dada yang diakibatkan oleh perbedaan elastansi antar keduanya (Gattinoni et.al., 2004). Secara matematik hubungan ini dirumuskan sebagai berikut:

(27)

dimana Paw adalah tekanan saluran nafas, Pl adalah tekanan transpulmonar, Ppl adalah

tekanan pleura, Etot adalah elastansi total sistem respirasi, El adalah elastansi paru dan

Ecw adalah elastansi dinding dada. Maka tekanan pleura dan paru dapat dirumuskan

sebagai:

Ppl = Paw x Ecw / Etot dan Pl = Paw x El / Etot (19)

Gambar 16: Pengaruh perubahan elastansi paru (El) dan dinding dada (Ecw) pada elastansi total (Etot) untuk kondisi a) El tinggi, Ecw rendah, b) El = Ecw (Gattinoni et.al., 2004)

Pengukuran tekanan pleura hanya dapat didekati dengan mengukur tekanan esofageal menggunakan balon esofagus. Perubahan tekanan balon esofagus mengindikasikan perubahan tekanan pleura. Tekanan pleura juga dapat dihitung dengan melibatkan tekanan intra abdominal (Pia) melalui persamaan empirik berikut:

Ppl = Paw [(0,47 Pia + 1,43) / (0,47 Pia + 1,43 + El)] (21) (Gattinoni et.al., 1998)

Tekanan intra abdominal ini menunjukkan pengaruh gerak diafragma sebagai salah satu komponen sistem pernafasan, namun hubungan dinamik antar semua komponen sistem belum tampak.

2.6. Osilasi Regangan Dinding Dada

Secara umum model matematik untuk osilasi regangan dinding dada telah diilus-trasikan pada Subbab 2.4., namun secara eksplisit dapat dilihat pada pemodelan sistem pernafasan yang mengalami kondisi percepatan aksial, yaitu kondisi tubuh dalam aktivitas dinamik, seperti misalnya yang terjadi pada saat berjalan atau berlari (Loring et.al., 2001). Dalam hal ini sistem pernafasan dimodelkan sebagai dua massa yang bergerak dalam silinder sebagaimana tampak pada Gambar 17. Gaya netto yang diakibatkan oleh gerak otot-otot pernafasan dada (Frc) dan abdominal (Fab) dirumuskan sebagai:

) (

) (

) (

)

( G rc e1,l rc rcm rc rcm rc

rc rc

rc m x P A P A K x R x

F       

(28)

) (

) (

) (

)

( G ab e1,l ab rcm ab rcm ab

ab ab

ab m x P A P A K x R x

F       

mabxocos

mabGzocos

mabGyosin

(23)

dimana m adalah massa, x adalah posisi, xadalah kecepatan gerak, x adalah percepatan, PG adalah tekanan relatif paru terhadap udara lingkungan, Pe1,l adalah

tekanan rekoil elastis dari paru, A adalah luas penampang lintang bidang kerja gaya, Krcm

adalah koefisien kekakuan otot (Krcm = Arc2/Crc), C adalah compliance paru, R adalah

koefisien peredaman viskos dari otot (nilainya diasumsikan dari kondisi fisiologis), G adalah koefisien gravitasi ke arah cephalad (z) dan ventrad (y), α dan β adalah sudut

orientasi sebagaimana tampak pada Gambar 17. Pada penelitian ini persamaan diselesaikan secara numerik menggunakan Program Matlab Simulink 1.3. untuk mengetahui profil kecepatan dan percepatan reaksi dari sistem pernafasan setelah proses akselerasi menggunakan papan latihan. Nilai-nilai parameter diperoleh dari berbagai referensi pendahuluan, pengukuran fisiologis dan asumsi model.

Kekurangan dari model ini adalah perlunya dilakukan penyesuaian terhadap nilai-nilai parameter simulasi agar menunjukkan hasil yang sesuai dengan kondisi fisioanatomis. Sebagai contoh adalah penentuan sudut α dan β tidak bisa dilakukan secara khas namun diperoleh dari coba-coba. Beberapa parameter yang lain juga demikian. Hal ini meninggalkan catatan bahwa hasil penelitian masih merupakan pendekatan yang memerlukan kajian lebih detail.

(29)

III. PEMBAHASAN

Mengacu pada aliran proses penyusunan model matematik pada Gambar 1 maka hubungan fungsional antar organ penyebab timbulnya vibrasi kardiorespirasi dalam bentuk osilasi regangan dinding dada dapat dilihat dari skema pada Gambar 18. Dari skema tersebut tampak bahwa regangan dinding dada terjadi akibat perubahan volume rongga torak. Perubahan volume rongga torak terjadi akibat aktivitas periodik dari sistem pernafasan dan denyut jantung. Dengan demikian regangan dinding dada juga bersifat periodik. Aktivitas periodik inilah yang disebut sebagai vibrasi. Vibrasi dengan amplitudo

dan frekuensi rendah umumnya disebut sebagai osilasi.

Dalam notasi matematik, osilasi regangan dinding dada (y) merupakan fungsi perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak

otot intercostal (x3). Maka secara konseptual osilasi regangan dinding dada dapat

dirumuskan sebagai berikut:

y = f (x1; x2; x3) (24)

(a) (b)

(c)

(30)

Fungsi umum pada persamaan 24) tersebut akan dikembangkan menjadi persamaan matematik detail yang memuat variabel-variabel yang terlibat dalam rangkaian gerak dinamis aktivitas kardiorespirasi. Persamaan matematik tersebut disusun dari modifikasi beberapa persamaan acuan pada referensi-referensi pada Bagian II. Pemanfaatan persamaan-persamaan matematik yang tertulis dalam referensi dapat dimungkinkan karena penyusunannya selalu didasarkan pada kondisi fisiologis normal. Perbedaan yang muncul akibat tujuan pemanfaatan persamaan yang berlainan dengan tujuan penulisan karya ilmiah hanya muncul pada penentuan nilai-nilai variabel dan penetapan konstanta-konstanta. Hal tersebut memerlukan beberapa langkah modifikasi yang perlu difikirkan secara detail nantinya. Secara berurutan kemungkinan-kemungkinan modifikasi persamaan yang perlu dilakukan adalah:

1. Tinjauan sistem sumbu / bidang acuan pemodelan

Sistem sumbu atau bidang acuan pemodelan menentukan dimensi persamaan matematik yang akan disusun. Secara fisiologis arah aksi aktivitas kardiorespirasi mengikuti sistem sumbu ruang atau tiga dimensi (3D). Ilustrasi sistem sumbu dalam pemodelan biologis dapat dilihat pada Gambar 19.

(31)

Persamaan-persamaan matematik dalam referensi pada umumnya menggunakan sistem sumbu bidang atau 2D bahkan 1D sesuai dengan tujuan perumusannya untuk keperluan penyederhanaan tanpa mengurangi signifikansi aspek fisioanatominya. Mengacu pada posisi pengukuran yang direncanakan untuk vibrasi kardiorespirasi maka sistem sumbu yang digunakan adalah sistem sumbu bidang (2D) untuk arah tranversal dengan pusat sumbu mengikuti posisi segitiga Einthoven.

2. Persamaan potensial aksi sel jantung

Proses kontraksi-relaksasi otot jantung yang tampak dalam skala organ merupakan hasil dari penjalaran potensial aksi sel-sel jantung mulai dari sel-sel sistem konduksi hingga ke seluruh sel atrium dan ventrikel. Mengacu pada mekanisme tersebut, persamaan 1) yang menggambarkan aktivitas kelistrikan membran sel pacemaker

jantung dapat digunakan sebagai persamaan awal yang memicu gerak dinamis jantung. Persamaan ini perlu dikombinasikan dengan persamaan 5) yang menggambarkan potensial aksi sel ventrikel. Namun demikian, mengingat kompleksitas sel-sel penyusun sistem konduksi jantung dan adanya perbedaan karakteristik potensial aksi sel atrium dan sel ventrikel, efek total potensial aksi sel-sel otot jantung baru terlihat jika ditinjau dalam skala organ. Hal ini mengarah pada pengembangan kompilasi persamaan 1) dan 5). Aspek-aspek pengembangan tersebut meliputi kemungkinan-kemungkinan memodelkan karakteristik potensial aksi untuk sel pacemaker yang berbeda (node SA perifer, node AV, bundel HIS dan serat Purkinje), interaksi antar sel-sel sistem konduksi serta interaksi antara sel-sel sistem konduksi dengan sel-sel atrium dan ventrikel. Meskipun persamaan matematik hasil pengembangan nantinya dapat disusun dalam level organ, masih perlu dipertim-bangkan kesulitan-kesulitan yang muncul dalam menetapkan konstanta dan nilai-nilai variabel yang perlu diukur pada level molekuler untuk kondisi in vivo, karena konstanta dan nilai-nilai variabel tersebut diperlukan dalam simulasi dan analisis hasil. Kesulitan-kesulitan dalam level molekuler tersebut umumnya berkaitan dengan jenis alat ukur, metode dan akurasi hasil pengukurannya.

3. Perubahan panjang otot akibat siklus kontraksi-relaksasi

(32)

mekanika maka persamaan 12) dapat dimanfaatkan untuk menentukan persamaan perubahan volume jantung. Sejauh ini belum ditemukan referensi yang menyatakan model matematik untuk menentukan volume anatomis jantung.

4. Perubahan volume rongga intratorak

Pada tahap ini belum ditemukan referensi yang mengkaitkan perubahan volume anatomis jantung dengan volume rongga intratorak. Diketahui hubungan tidak langsung melalui perubahan volume paru. Sebagaimana tertulis pada halaman 16, perubahan volume jantung memiliki peranan sebagai pompa penambah volume bagi paru-paru (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004).Jadi, perubahan volume rongga intratorak yang diakibatkan oleh perubahan volume jantung, dapat dihitung berdasarkan persamaan 17). Dalam hal ini volume jantung diekspansikan dari pengembangan persamaan 12). Mengingat persamaan 17) merupakan pendekatan geometris hasil foto radiologis maka perlu diantisipasi munculnya kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul dari simpangan-simpangan hasil pengukuran gambar atau asumsi-asumsi geometris yang diambil dalam penyederhanaan bentuk. Jika dimungkinkan dapat dicoba penyusunan model matematik yang menggambarkan hubungan analitis antar variabel yang lebih realistis.

5. Perubahan tekanan rongga intratorak

Mengacu skema pada Gambar 18a. perubahan tekanan rongga intratorak dapat dimodelkan sebagai perubahan tekanan selaput pleura menggunakan persamaan 21) dengan mengubah Paw sebagai fungsi Pl pada persamaan 19). Untuk itu hasil

pengembangan persamaan 17) perlu ditransformasikan menjadi fungsi tekanan paru dengan memanfaatkan Hukum Bernoulli tentang dinamika Mekanika Fluida khususnya untuk dinamika fluida udara. Pada tahap ini diperlukan kehati-hatian dalam menentukan nilai-nilai variabel yang terkait dengan dinamika fluida udara khususnya yang dikaitkan dengan fisioanatomi paru. Di sisi lain ketelitian persamaan 21) juga perlu ditinjau ulang terkait dengan kompleksitas geometri rongga intratorak dan dasar penetapan konstanta.

6. Osilasi regangan dinding dada

Dari persamaan 24) telah diketahui bahwa osilasi dinding dada merupakan fungsi dari perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan

gerak otot intercostal (x3). Pengaturan ulang suku-suku persamaan 22) dapat

mengilustrasikan persamaan 24) menjadi lebih detail jika ditampilkan sebagai berikut:

rcm

(33)

untuk mengakomodasikan efek diafragma dan otot abdominal sebagaimana tertuang dalam persamaan 23). Penentuan nilai variabel-variabel lainnya secara analitis juga masih harus dipikirkan sehingga model matematis akhir yang dihasilkan sepenuhnya bersifat analitis. Hal ini perlu dilakukan sehingga proses validasi model tidak dirancukan oleh asumsi-asumsi eksperimental yang dapat membiaskan hasilnya. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan model sebagai parameter fisiologis sistem kardiorespirasi maka masih diperlukan proses pengakomodasian variabel-variabel sinkronisasi kardiorespirasi dalam model matematik yang disusun.

Secara ringkas, alur modifikasi persamaan yang digunakan dalam pendekatan teoritis pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilihat pada skema berikut.

Persamaan 1)

- jenis sel, posisi dan geometri anatomis - analisis level jaringan

- persamaan tekanan paru dengan Hukum Bernoulli

- analisis geometri

(34)

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilakukan secara matematik dengan cara distributed analysis atau lumped analysis.

2. Model dapat disusun dari modifikasi persamaan matematik referensi dengan menyamakan level tinjauan.

3. Diperlukan keseragaman metode penyusunan model mengingat beberapa referensi yang diacu masih menggunakan pendekatan empirik dan analitis.

4. Diperlukan keseragaman dasar penetapan konstanta dan nilai-nilai variabel sehingga kemungkinan timbulnya kesalahan dapat diminimasi.

4.2. Saran

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Chappelo M, De Troyer A, 2004, Role of rib cage elastance in the coupling between the abdominal muscles and the lung, J Appl Physiol, 97: 85-90

Darowski, M, 2000, Heart and lung support interaction — modeling and simulation (abstract),Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9)

Dellinger RP, Parrillo JE, Kushnir A, Rossi M, Kushnir I, 2008, Dynamic Visualization of Lung Sounds with a Vibration Response Device: A Case Series (Abstract),

Respiration international journal of thoracic medicine

,

75 (1):60-72

Despopoulos A., Silbernagl S., 2003, Color Atlas of Physiology, Fifth Edition, Thieme Stutgart Germany

Ebihara L, Johnson EA, 1980, Fast sodium current in cardiac muscle. Biophys J,32 :779-790

Finahari N, 2008a, Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 1 PDIK Universitas Brawijaya

Finahari N, 2008b, Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 2 PDIK Universitas Brawijaya

Finahari N, 2008c, Kajian model matematis sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 3 PDIK Universitas Brawijaya

Gattinoni L, Chiumello D, Carlesso E, Valenza F, 2004, Bench-to-bedside review: Chest wall elastance in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome patients,

Critical Care, 8:350-355

Gattinoni L, Pelosi P, Suter PM, Pedoto A, Vercesi P, Lissoni A, 1998, Acute respiratory distress syndrome caused by pulmonary and extrapulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med, 158:3-11.

Gutierrez F, Saha M, Song YN, Timbie A, Andriacchi T, Fabro M, Wolf-Bloom D, Sszobota S, Taylor C, Elkins C, 2003, Design of a Pre-clinical Fluoroscopic Flow Model For Intravascular Device Testing and Training, Biomedical Device Design and Evaluation II, Mechanical Engineering Department, Stanford University.

(36)

Loring SH, Lee HT, Butler JP, 2001, Respiratory effects of transient axial acceleration, J Appl Physiol, 90: 2141–2150

Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA, 2003, Non-invasive analysis of physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring, Summer Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne, Florida

Marshall V, 1997, Muscles in motion, Science & Technology Issue 4, http://www. dataweb.clrc.ac.uk/ ; download 17 Juli 2008

Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG., 2003, Directionality of coupling of physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R1395–R1401

Palmer J, Allen J, Mayer O, 2004, Tidal breathing analysis, Neoreviews 5 (5): 186-193

Schikowski T, Sugiri D, Ranft U, Gehring U, Heinrich J, Wichmann HE, Krämer U, 2007, Does respiratory health contribute to the effects of long-term air pollution exposure on cardiovascular mortality?, Respiratory Research 8 (20): 1-11

Singh B, Eastwood PR, Finucane KE, 2001, Volume displaced by diaphragma motion in emphysema, J Appl Physiol, 91: 1913-1923

Toledo E, Akselrod S, Pinhas I, Aravot D, 2002, Does synchronization refect a true interaction in the cardiorespiratory system? (abstract), Med Eng Phys, 24:45-52

Tortora GF, 2005, Principles of human anatomy, tenth edition, John Wiley & Sons, Inc, Hoboken NJ 07030, USA.

Weinhaus A, 2004, Human gross anatomy and embryology, Lecture Notes,

http://www.med.umn.edu/anatomy , download 24 Juni 2008.

Widmaier EP, Raff H, Strang KT, 2006, Vander’s Human Phyisiology: The Mechanism of Body Function, 10th edition, McGraw Hill Higher Education, International Edition, New York, USA.

Yasutaka K, Ichiro H, Sunao I, Toshishige S, 2002, Dynamical description of sinoatrial node pacemaking: improved mathematical model for primary pacemaker cell, Am J Physiol Heart Circ Physiol 283: H2074–H2101

(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)

Gambar

Gambar 1. Dalam hal ini vibrasi kardiorespirasi dinyatakan sebagai osilasi regangan
Gambar 2: Pembangkitan listrik jantung (Despopoulos, Silbernagl; 2003)
Gambar 3:  Mekanisme kanal ion pacemaker, a) potensial membran sel nodal jantung, b) pengukuran simultan permeabilitas empat kanal ion yang berbeda selama proses pembangkitan potensial aksi yang ditunjukkan kurva a
Gambar 4:  Diagram skematik sel pacemaker primer. A) diagram lintang sel model, B) ruang-ruang intraseluler untuk arus Ca2+
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fajarini dan Firmansyah (2012) menyatakan bahwa ROE digunakan untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan dari keuntungan yang dihasilkan dari setiap unit ekuitas pemegang saham,

Prinsip utama konsep distribusi dalam pandangan Islam adalah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan sehingga kekayaan yang ada

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman tentang makna istilah- istilah yang dipakai dalam disertasi ini, makna istilah-istilah dimaksud perlu diklarifikasi. 1)

tanévtől a Művelődési Minisztérium engedélyé- vel (MM. sz.) négy általános iskola kezdte meg kísérlet- ként a matematika tagozatos kiegészítő tanterv tanítását..

(1) Petugas Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c yang merupakan unsur pelaksana teknis operasional dan penunjang UPT, bertugas dan

Ibu YL selaku guru yang mengajar DP di kelas II mengungkapkan, pembelajaran yang dilakukan di kelas.. anak cerebral palsy tidak hanya sebatas bidang akademik

Mampu melakukan pendugaan titik dan interval satu populasi berdistribusi normal maupun tidak berdistribusi normal dengan bantuan paket program. 4.1 Dapat melakukan penaksiran mean

Hasil ini dapat memperkuat konsep Mahendra, dan Ma’mun (1998:4) sebagai berikut, “Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku yang