• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih ‘berani’ dalam mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat.

Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya. Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004: 11). Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut,

(2)

“Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.

Akhir-akhir ini pemberitaan di surat kabar dan televisi cukup sering memberitakan kasus-kasus kriminal yang terjadi di dalam pesantren. Kasus pelecehan seksual santri yang dilakukan pimpinan pesantren atau guru-guru di lingkungan pondok cukup mendeskreditkan pesantren sebagai pendidikan agama di mata masyarakat, seperti yang terjadi di sebuah Pondok Pesantren di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Seorang guru pesantren memperkosa santrinya sendiri yang duduk dikelas 3 madrasah aliyah. Tidak tanggung-tanggung, kejadian itu dilakukan pada siang hari (http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/16/14361132/ pak.guru. perkosa.murid.di.kompleks.sekolah). Selain itu, pondok pesantren diberitakan juga menjadi sasaran dalam sebuah konflik pemilihan kepala desa, seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Al Wasilah di Desa

(3)

Kuajang, Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pesantren ini hangus dibakar dan diduga dilakukan oleh orang yang tidak senang dengan hasil pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon kepala desa yang juga merupakan ustad di pondok pesantren tersebut (Buser Liputan 6 SCTV, 23/9/2009). Pola pendidikan pesantren pun mendapat sorotan ketika salah seorang santri di Pondok Pesantren di Kendari, Sulawesi Tenggara harus dilarikan ke rumah sakit akibat direndam di bak penampungan air oleh ustadnya hingga mengalami mual, muntah dan demam tinggi (Buser Liputan 6 SCTV, 10/12/2009). Budaya kekerasan di pesantren pun menjadi sorotan media ketika Handoyo (17), santri Pondok Pesantren Alziziah, Jombang Jawa Timur, tewas akibat dianiaya seniornya (Buser, Liputan 6 SCTV, 21/12/2009). Dan yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah pemberitaan pernikahan kedua pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Semarang, Pujiono Cahyo Widiyanto atau yang lebih dikenal dengan Syeh Puji menikahi santriwatinya sendiri yang masih di bawah umur. Beberapa orang tua santri memulangkan anaknya akibat pemberitaan ini.

Sejak maraknya pemberitaan kasus teroris di Indonesia, pesantren juga cukup mendapat sorotan media massa. Pemimpin Pondok Pesantren Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Abu Bakar Ba’asyir, sosoknya lekat dengan kasus terorisme Beliau bahkan sempat mendekam di balik jeruji besi selama 2,5 tahun akibat dakwaan terlibat dalam peledakan bom di Bali, hingga akhirnya pada Desember 2006 dibebaskan

(4)

dari segala tuduhan kasus terorisme. Menjelang bulan Ramadhan 1431 H, atau pada pertengahan Agustus kemarin, Abu Bakar Ba’asyir kembali ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi latihan senjata di Nangroe Aceh Darussalam. Akibat pemberitaan ini, pesantren asuhannya menjadi sorotan media dan masyarakat, karena memasukkan tema jihad dalam kurikulum pendidikan pesantren. Bahkan semakin dicurigai karena sebagian alumni pondok pesantren tersebut diduga terlibat dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia. Beberapa hari sebelum Amrozi ditangkap, diberitakan santri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Islam, Lamongan Jawa Timur, merasa dirugikan akibat seringnya orang-orang tak dikenal mengawasi lingkungan Pesantren. Hal ini dikarenakan pemberitaan media yang mengkait-kaitkan Pesantren Al Islam dengan Amrozi. Padahal menurut pengasuh pondok pesantren Amrozi bukanlah alumni pondok mereka (Gatra, 8/11/2002). Pondok Pesantren Al Mutaqin di Sowan Kidul juga mendapat sorotan karena salah satu buron kasus terorisme bom Marriot dan Ritz Carlton, Bagus Budi Pranoto alias Urwah pernah menjadi santri di pondok pesantren tersebut (Harian SIB, 31/8/2009). Wacana yang berkembang mengenai pendidikan pesantren di atas, cukup mendeskreditkan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan agama.

Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya melalui media massa seperti televisi atau surat

(5)

kabar saja. Novel dianggap sebagai salah satu media massa hasil manifestasi jurnalistik baru dan jurnalistik sastra yang dapat mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam sebuah novel, cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi masyarakat.

Di tengah pemberitaan mengenai kasus teroris bom Marriot dan Ritz Carlton, yang mengkaitkan pelakunya dengan latar belakang pendidikan mereka di pesantren, Juli 2009 lalu, Ahmad Fuadi, mantan wartawan Tempo dan VOA menerbitkan sebuah novel berlatar belakang cerita pesantren yaitu Negeri 5 Menara. Novel ini mengangkat cerita pesantren yang berbeda dengan penggambaran media lainnya saat itu.

Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan model pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat kabar saat ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia, menceritakan mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh Darussalam tempat mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah tangga atau korban pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan penggambaran pesantren sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang diangkat ke layar lebar berjudul Perempuan Berkalung Sorban, sebuah novel karya Abidah El Khalieqy mengangkat cerita santri yang memberontak dengan aturan pesantren yang menurutnya kaku dan

(6)

mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan penggambaran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup mumpuni dalam menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat dikatakan tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama. Beberapa novel angkatan Pujangga Lama meskipun tidak secara langsung berlatar belakang pesantren, namun mencerminkan dunia pesantren, ada dalam karya AA. Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Karya mendalam mengenai kehidupan dan jiwa pesantren pernah diterbitkan pada tahun 1979 dalam bentuk otobiografi Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren. Namun karya-karya ini tidak cukup dikenal lagi saat sekarang ini, sehingga wacana yang diangkat pun tidak terlalu berpengaruh di kalangan masyarakat.

Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi, penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah yang dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Modern Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren. Wacana dan realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren di media massa maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.

Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non agama baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat buangan anak-anak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau anak-anak yang nilainya tidak cukup untuk masuk ke lembaga pendidikan

(7)

negeri atau tidak memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga pendidikan swasta. A. Fuadi menggambarkan bahwa pesantren seharusnya menjadi tempat untuk mendidik bibit-bibit unggu l calon-calon da’i dan menjadi tempat untuk mendalami pendidikan agama. Selain itu juga penulis novel ini juga memberikan gambaran mengenai pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari wacana mengenai pesantren yang berkembang selama ini dan jarang diceritakan atau diberitakan di media manapun. Salah satu metode pengajaran yang digambarkan A. Fuadi adalah bagaimana para santri dapat berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam dalam waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak hanya berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para santri berkreasi mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik, fotografi, dan olahraga.

Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure lainnya. Beberapa surat kabar nasional seperti Kompas dan Republika pun memuat resensi novel ini dan memberikan apresiasinya. Dalam kurun waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini kemudian menjadi Best Seller dan sudah mencapai cetakan ke empat dalam kurun waktu kurang

(8)

dari enam bulan. Sebuah prestasi tersendiri untuk novel bergenre pendidikan pesantren dengan tokoh utama para santri.

Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Apakah tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara dapat merepresentasikan bagaimana pola pendidikan dan komunikasi pengajaran di lingkungan pesantren. Selain itu juga perlu untuk mengetahui apakah yang mendasari penulis novel mengangkat tema pesantren yang berbeda dari yang ditampilkan media massa pada umumnya. Apakah hal ini juga berhubungan dengan apa yang terjadi di masyarakat, opini apa yang berkembang di masyarakat mengenai pendidikan pesantren. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi pendidikan pesantren dalam novel Negeri 5 Menara.

Representasi ini dianalisis menggunakan teori analisis wacana Norman Fairclough karena teori ini memusatkan perhatian bahasa sebagai praktik kekuasaan, untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Dalam hal ini bagaimana pendidikan pesantren direpresentasikan.

(9)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah pendidikan pesantren direpresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara?”

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian pada level teks untuk mencari makna yang ada dibalik penyajian tata bahasa tersebut.

2. Penelitian ini membahas ke masalah discourse practice (kognisi sosial) dan sociocultural practice (konteks sosial) pendidikan pesantren di balik teks secara tersirat.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1 Tujuan Penelitian:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel Negeri 5 Menara.

(10)

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam Novel Negeri 5 Menara.

I.4.2 Manfaat Penelitian:

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.

3. Secara akademis penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan terutama kajian analisis wacana.

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang

(11)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1995:40).

Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2004: 6).

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

I.5.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut

(12)

positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari

(13)

sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivimsme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.

(14)

Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek

(15)

sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.

(16)

I.5.3 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makan yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.

(17)

Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan, dalam penelitian ini berarti penulis novel itu sendiri. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

I.5.4 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

(18)

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.

(19)

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.

I.6. Kerangka Konsep

Di dalam setiap penelitian sosial, seorang peneliti harus terlebih dahulu menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum memulai pengumpulan data. Hal ini tertuang dalam kerangka konsep karena

(20)

dengan menetapkan variabel akan mempermudah penelitian. Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 34).

Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana Norman Fairclough yang terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Teks

2. Discourse Practice 3. Sociocultural Practice

I.7. Operasionalisasi Konsep

Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana

(21)

bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan kenteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285). Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana Fairclough tersebut: A. Teks

1. Representasi: pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok, gagasan, ditampilkan dalam anak kalimat, kombinasi anak kalimat atau rangkaian antarkalimat.

2. Relasi: berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media di sini dipandang sebagai suatu arena sosial, di mana semua kelompok, golongan, dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.

3. Identitas: aspek ini melihat bagaimana identitas penulis novel ditampilkan dan dikonstruksikan dalam teks. Apakah ia ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari khalayak ataukah menampilkan dan mengindentifikasi dirinya secara mandiri?

B. Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu

(22)

praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khayalak). Jadi, kalau ada teks media yang merendahkan atau meninggikan citra pendidikan pesantren, kita harus mencari tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi.

C. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Sociocultural practice menggambarkan bagaiman kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat.

Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yaitu:

a. Situasional: konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Aspek ini lebih mengarah pada waktu atau suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks dibuat).

(23)

b. Institusional: aspek ini melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita.

c. Sosial: aspek ini memandang bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.

I.8. Metodelogi Penelitian

I.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Metode penelitian ini menggunakan pisau analisis wacana Norman Fairclough. Dalam penelitian yang dianalisis adalah teks, discourse practice, dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya Novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis wacana Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu wacana. Analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungan teks yang mikro dengan konteks masyarakat

(24)

yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual –yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup- dengan konteks masyarakat yang lebih luas.

I.8.2 Subjek Penelitian

Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi (A. Fuadi), yang dibagi dalam 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

I.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang dianalisis adalah novel “Negeri 5 Menara” yang dilihat dari teks atas keseluruhan isi cerita dalam novel. Analisis dilakukan dalam tahap teks, discourse practice dan sociocultural practice yang disajikan dalam isi cerita novel tersebut. Sedangkan tingkat analisisnya adalah wacana pada makna pesan yang disampaikan secara tersirat dan representasi pendidikan pesantren yang disajikan dalam cerita novel tersebut.

(25)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks yang tertulis pada Novel “Negeri 5 Menara”.

2. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library Research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

3. Wawancara terhadap pengarang Novel “Negeri 5 Menara” via e-mail dan wawancara langsung kepada praktisi atau pengamat pendidikan, alumni pesantren dan pembaca novel Negeri 5 Menara.

8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks, kognisi sosial dan analisis sosial pada novel “Negeri 5 Menara dengan menggunakan Analisis Wacana Norman Fairclough. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Norman Fairclough, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam tabel.

(26)

STRUKTUR METODE Teks

Menganalisis

bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk

menggambarkan

seseorang atau peristiwa tertentu.

Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan Critical Lingusitics STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI ELEMEN Representasi Kalimat Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, keadaan atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Anak kalimat, gabungan atau rangkaian antar anak kalimat

Relasi Pola Hubungan

Bagaimana

hubungan antara penulis, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Analisis hubungan antara penulis, khalayak dan partisipan Identitas Identifikasi Tampilan/Konstru ksi Bagaimana identitas penulis, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Analisis identifikasi Discourse Practice Bagaimana produksi dan konsumsi teks.

Wawancara Mendalam

Sociocultural Practice

Konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi

bagaimana wacana yang muncul dalam media.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari

Berpijak pada persolan dan fakta di atas peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian dengan judul “VISIBILITAS HILAL DALAM

Nongo and Iknanyon (2012) menyatakan bahwa budaya organisasi penting untuk meningkatkan komitmen karyawan, namun tidak semua aspek budaya organisasi dapat meningkatkan

1) Physiological needs (kebutuhan fisik dan biologis). Kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan memepertahankan hidup ini adalah makan, minum, dan sebagainya.

Kharisma Cakranusa Rubber Industrty adalah sebuah perusahaan yang memproduksi karet compound untuk ban vulkanisir dengan sistem masak panas, perusahaan ini didirikan pada tahun

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada ﷲ yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan pertolongan sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan

MAC address translation adalah proses pemetaan alamat IP ke alamat MAC. Proses ini dilakukan oleh protokol ARP. Setiap host pada jaringan LAN menyimpan cache yang terdiri

Disamping dilihat dari teori yang dipakai, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/ (WvS) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10. Diatur 2