• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian ini memaparkan penelitian dan analisis terdahulu tentang proses penyutradaraan yang sudah didokumentasikan sehingga memberikan informasi yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian berikutnya dengan topik yang sama. Penelitian terdahulu tersebut di antaranya:

Anton Tri Cahyono. C0296012. Konsep Penyutradaraan Isa Bagus Putranto dalam Lakon Wabah Karya Hanindawan. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tahun 2002

Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah aspek-aspek formal yang membangun naskah lakon Wabah karya Hanindawan yang dilanjutkan dengan mengkaji aspek interpretasi sebagai bekal penyusunan konsep penyutradaraan lakon Wabah oleh Isa Bagus Putranto.

Proses penyutradaraan Isa Bagus Putranto merupakan sebuah penelitian yang dilakukan saat Teater Kedok Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta sedang mengadakan pementasan di Aula Fakultas Kedokteran. Hasil penelitian ini mengungkapkan mengenai interpretasi yang kreatif oleh sutradara Isa Bagus Putranto dalam hal pembacaan naskah dan tata artistik. Konsep penyutradaraan Isa Bagus Putranto menggunakan campuran antara model Gordon Craig dengan Laizes Faire.

(2)

Korelasi penelitian ini terhadap penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat terletak pada cara sutradara menginterpretasikan sebuah naskah sehingga dapat divisualisasikan dalam pementasan. Sutradara Isa Bagus Putranto menafsirkan naskah dengan mencari aspek formal yang terkandung di dalam naskah. Langkah ini bertujuan agar pementasan yang berlangsung di atas panggung tidak melenceng dari naskah. Agung Wijayanto juga melakukan hal tersebut dengan tujuan yang sama, meskipun pada dasarnya Agung Wijayanto tidak membatasi imajinasi pemain dan kerabat kerjanya dalam menafsirkan isi naskah.

Janta Setiana. C0200032. Teknik Penyutradaraan Rohmat Basuki dalam Naskah Lakon Aum Karya Putu Wijaya. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tahun 2008.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah teknik penyutradaraan dan tugas sutradara Rohmat Basuki sebagai bentuk penyutradaraan terhadap naskah lakon Aum karya Putu Wijaya.

Teknik penyutradaraan yang digunakan oleh Rohmat Basuki adalah sebagai berikut: (1) menentukan nada dasar, (2) memilih pemain atau pengkastingan, (3) latihan untuk pementasan, (4) tata teknis dan pentas, (5) menguatkan atau melemahkan scene, (6) menciptakan aspek-aspek laku, (7) mempengaruhi jiwa pemain, dan (8) koordinasi.

Gaya penyutradaraan yang dilakukan oleh Rohmat Basuki adalah gabungan antara teori Gordon Craig dan Laizes Faire. Gordon Craig cenderung membentuk pemain sesuai dengan apa yang dikehendakinya sedangkan Laizes Faire lebih memberikan kebebasan berekspresi kepada para pemain.

(3)

Penelitian ini juga menjadi acuan bagi penelitian penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat. Agung Wijayanto juga mengkombinasikan gaya penyutradaraan Gordon Craig dan Laizes Faire ketika proses kerjanya mentransformasikan naskah Marsinah Menggugat menjadi sebuah pementasan di atas panggung.

Chorry Agustin A. M. C0206013. Teknik Penyutradaraan Budi Riyanto dalam Naskah Lakon Keluarga yang Dikuburkan Karya Afrizal Malna. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tahun 2010.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah teknik penyutradaraan sutradara Budi Riyanto sebagai bentuk penyutradaraan terhadap naskah lakon Keluarga yang Dikuburkan karya Afrizal Malna.

Teknik penyutradaraan yang digunakan yaitu sebagai berikut: (1) menentukan nada dasar, (2) memilih pemain atau pengkastingan, (3) latihan untuk pementasan, (4) tata teknis dan pentas, (5) menguatkan atau melemahkan scene, (6) menciptakan aspek-aspek laku, (7) mempengaruhi jiwa pemain, dan (8) koordinasi.

Gaya penyutradaraan Budi Riyanto ini menggabungkan gaya Gordon Craig yang cenderung menjadi kreator dengan gaya Laizes Faire yang lebih ke interpretator. Budi Riyanto sebagai sutradara sangat jeli dalam hal pemilihan pemain (casting) dengan memilah pemain yang sudah profesional dengan pemain yang baru. Namun, kolaborasi antara pemain ini dilakukan dengan baik sehingga pemain professional dalam pementasan nakah lakon Keluarga yang Dikuburkan ini dapat membimbing pemain baru untuk menjadi satu kesatuan.

(4)

Korelasi penelitian ini dengan penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat terdapat pada teknik penyutradaraan yang digunakan saat proses produksi. Agung Wijayanto juga menggunakan teknik penyutradaraan milik Harymawan meliputi: (1) menentukan nada dasar, (2) memilih pemain atau pengkastingan, (3) penyusunan mise en scene, (4) tata teknis dan pentas, (5) menguatkan atau melemahkan scene, (6) menciptakan aspek-aspek laku, (7) mempengaruhi jiwa pemain, dan (8) koordinasi.

Farid Fathoni. C0206021. Teknik Penyutradaraan Didik Panji pada Naskah Lakon Rambat-Rangkung Karya Trisno Sasonto sebagai Bentuk Penggarapan Drama Realis. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tahun 2012.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah teknik penyutradaraan yang dilakukan Didik Panji pada tahap pra-produksi dan produksi naskah lakon Rambat-Rangkung karya Trisno Santoso dan bentuk pilihan penyajian drama realis yang diinginkan Didik Panji pada penyutradaraan naskah lakon Rambat-Rangkung karya Trisno Santoso.

Teknik penyutradaraan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan dari teknik penyutradaraan Suyatna Anirun dan Harymawan. Suyatna Anirun menjelaskan bahwa tahapan penyutradaraan adalah tahap pra-produksi dan produksi yang berisi tentang teknik seorang sutradara menyiasati medan, memilih naskah, mengkaji naskah, menentukan tipe produksi, pembuatan floor-plan, penyiapan prompt book, tahap mencari-cari, memilih pemain, teknik muncul, teknik memberi isi, dan seterusnya. Teknik penyutradaraan menurut Harymawan adalah menentukan

(5)

nada dasar, menentukan casting, tata dan teknik pentas, menyusun mise en scene, menguatkan atau melemahkan scene, menciptakan aspek-aspek laku, dan mempengaruhi jiwa pemain.

Didik Panji dalam proses pementasan ini berperan sebagai sutradara interpretator dan creator. Pementasan naskah lakon Rambat-Rangkung adalah bentuk drama realis yang merujuk dari naskah lakon yang realis, pemeranan realis, dan tata panggung realis.

Hasil penelitian ini menjadi acuan terhadap penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat saat menjelaskan tugas dan fungsi sutradara dari awal proses produksi hingga akhir produksi. Agung Wijayanto memposisikan dirinya sebagai sutradara interpretator yang selalu memberi arahan kepada pemain dan kerabat kerja selama proses produksi sekaligus sebagai sutradara creator yang memberi contoh saat proses latihan berlangsung.

B. Landasan Teori

1. Tugas dan Fungsi Sutradara

Russel J. Grandstaff dalam bukunya Play Production To Day menulis bahwa: Sutradara adalah para penterjemah, para guru dan seniman-seniman kreatif. Kemampuan mereka dalam menangkap keberadaan orang lain harus jeli. Rasa tanggung jawab kepada penulis naskah dan kepada penonton harus tulus. Dengan kebajikan pengalaman dan latihan-latihan, mereka memiliki ketrampilan organisasi dan pengetahuan vokal sebagai bagian dari keahlian menyutradarai (Suyatna Anirun, 2002: 10).

Tulisan ini jelas memberi keterangan bahwa seorang sutradara harus memiliki wawasan luas yang menjadi pendukung dari tugasnya. Dia harus dapat merangkul

(6)

penonton agar dapat memahami maksud dan tujuan dari penulis lakon dengan interpretasinya sendiri.

Sutradara adalah karyawan yang mengkoordinasi segala unsur teater dengan paham, kecakapan, serta daya khayal yang inteligen sehingga mencapai suatu pertunjukan yang berhasil (Harymawan, 1988: 63). Sutradara juga diartikan sebagai seorang pemimpin dalam arti yang sungguh memimpin. Dia tidak ditunjuk, melainkan menunjuk dirinya sendiri (Japi Tambajong, 1981: 67).

Sutradara digambarkan sebagai komandan yang menaungi beberapa kerabat kerja yang akan menjadi pembantu proses pementasan. Dia harus berkonsentrasi penuh agar tercipta hubungan baik dengan kerabat kerjanya sehingga tidak ada miss communication dalam berbagai hal yang bersangkutan dengan tugasnya sebagai pemimpin proses pementasan. Kedudukan sutradara adalah sebagai penghubung antara naskah, pemain, dan penonton. Hal ini tentunya membuat sutradara tidak bertugas sendiri karena dia memiliki rantai pementasan yang tidak dapat dikerjakan individu. Harymawan mengibaratkan posisi sutradara di tengah-tengah segitiga yang di sudut luarnya terdapat pengarang/ naskah, pemain, dan penonton (Harymawan 1993: 64). Sutradara adalah sumber kekuatan yang seharusnya menyalurkan kepada ketiga komponen tersebut.

Nano Riantiarno menyebut seorang sutaradara sebagai pemimpin atau jendral. Dia itu pemimpin tunggal. Dia merencanakan, memutuskan, mengarahkan, mewujudkan dan bertanggung jawab. Dia adalah konseptor sekaligus koordinator dan guru (suhu). Dia tidak diangkat, sebagaimana juga seniman, tetapi mengangkat

(7)

dirinya sendiri dengan dasar pertimbangan kemauan dan kemampuannya sudah memungkinkan untuk itu. Seorang jendral yang baik, adalah juga seorang prajurit yang baik (Tommy F. Awuy, 1999: 180). Pendapat dari Nano Riantarno mengenai sutradara sebagai jendral dan prajurit yang baik ini adalah benar. Seorang jendral memang berawal dari seorang prajurit yang memiliki kemampuan lebih di antara prajurit lain sehingga dirinya dapat menjadi seorang jendral. Hal yang sama juga yang terjadi terhadap seorang sutradara, dia adalah seorang aktor yang dianggap memiliki sebuah kemampuan yang unggul di antara yang lain. Dengan demikian, dia merasa bahwa kemampuannya tersebut sudah memungkinkan untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin, yaitu seorang sutradara.

Sutradara bukan hanya seniman yang mampu melatih dan memimpin aktor, tetapi juga seorang manajer yang dengan kecakapannya mampu mengurus anak buahnya sejak latihan sampai berpentas (Herman J. Waluyo, 2002: 97). Harymawan mengatakan bahwa sutradara adalah karyawan teater yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir teater, dengan paham, kecakapan serta daya imajinasi yang inteligen guna menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Sutradara berhubungan dengan produser (yang membiayai pementasan), manajer (pemimpin tata laksana), dan stage manajer (yang mengatur panggung dan seluruh perlengkapannya) (Herman J. Waluyo, 2002: 98).

Ekspresi seorang sutradara dalam menyalurkan ide dasar atas sebuah lakon yang akan dipentaskan adalah bagian terpenting. Dia harus mengerti benar segala hal yang akan menjadi pendukung dari pementasan yang dinaunginya. Salah satu materi utamanya adalah para pemain (aktor-aktris) yang dijadikan luapan

(8)

pengalamannya terhadap dunia seni peran. Kata-kata yang diungkapkan di atas pentas mengandung suatu kompleksitas tersendiri, karena merupakan kata untuk:

1. Dilakukan 2. Didengar

3. Dilihat (Ags. Arya Dipayana: 75).

Hubungan batin antara sutradara dengan naskah jelas harus diciptakan terlebih dahulu. Naskah lakon di tangan sutradara ibarat partitur musik di tangan dirigen. Sutradara harus menyukai naskah yang bersangkutan sehingga memungkinkan pengembangannya sebagai sumber kreativitas. Sutradara adalah pihak yang paling kritis dalam menghadapi sebuah naskah, karena dari naskah yang baik sutradara akan mendapat rangsangan yang mengarah pada terbukanya konsep-konsep teateral (Tommy F. Awuy, 1999: 73-74).

Sutradara juga wajib menafsirkan naskah lakon yang akan dijadikan sebuah pementasan dengan baik. Menafsirkan artinya bisa menemukan sejumlah jawaban terhadap situasi tertentu yang terkadang tidak terdapat di dalam naskahnya. Menemukan pokok yang mendasari stuktur ini bisalah disamakan dengan mengadakan pemetaan. Melalui praktek pementasan yang terjadi dalam ruang, struktur yang simultan yang dinyatakan itu dilaksanakan dengan lancar (Ags. Arya Dipayana: 77).

(9)

Teknik dalam penyutradaraan seorang sutradara tidak terlepas dari teori penyutradaraan yang digunakan. Ada dua jenis teori penyutradaraan dalam buku RMA. Harymawan (1988: 64-65), antara lain sebagai berikut:

1. Teori Gordon Craig

Sutradara penganut teori ini akan menjadi sutradara yang diktator. Harus terdapat kesatuan ide dalam teater. Teater sebagai seni harus mengekspresikan kepribadian seniman. Sutradara mengejawantahkan idenya melalui aktor dan aktris (pemain). Pemain yang terbaik adalah mereka yang memiliki rohani dan jasmaniah yang lengkap (normal) dalam dedikasinya terhadap ide sutradara.

Kelebihan teori ini terdapat pada kesempurnaan hasil pementasan karena pada saat latihan dan pementasan cenderung sama. Ketertiban, keteraturan, dan ketelitian dijamin rapi apabila menggunakan teori model ini. Namun, kelemahan teori Craig adalah memaksa sutradara menjadi seorang creator yang diktator. Pemain pun hanya dijadikan alat sutradara untuk meniru apa yang telah diajarkannya. Hal ini akan membuat kreativitas pemain dibatasi bahkan dapat hilang, padahal tujuan dari produksi lakon adalah memberi kesempatan bagi para pemain untuk memberi sumbangan bagi keseluruhannya.

2. Teori Laisez Faire

Teori ini akan menjadikan sutradara sebagai interpretator yang baik karena sifatnya yang tidak membatasi ruang gerak pemain. Dalam hal ini, pemain adalah pencipta dalam teater. Tugas sutradara hanya sebatas membantu pemain mengekspresikan dirinya dalam lakon dan mengembangkan konsepsi individualnya agar melaksanakan peranan sebaik-baiknya. Meskipun demikian,

(10)

sutradara dengan teori ini tetap mengatur pemain agar tidak keluar dari jalurnya tanpa membatasi kreativitas pemain.

Kelebihan teori ini adalah memperlakukan sutradara sebagai interpretator dan supervisor yang bertugas membantu pemain mengeksplor kemampuan yang dimiliki. Pemain dibiarkan berkembang sesuai bakat dan kemampuannya masing-masing. Sutradara memberi kesempatan untuk timbulnya “proses-proses kreatif”.

Kelemahan teori ini adalah terdapat bahaya akan timbulnya kekacauan dan ketidakteraturan serta kurangnya ketelitian dalam pementasan. Pemain cenderung saling mematikan di atas panggung dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Pemain dengan kekuatan lakon saja yang akan terlihat menonjol dan berhasil dalam pementasan.

Harymawan membagi tugas sutradara dalam bukunya Dramaturgi (1998: 66-79) seperti berikut.

a. Menentukan Nada Dasar

Tugas pertama seorang sutradara adalah mencari motif yang merasuk pada karya lakon, yang memberi ciri kejiwaan dan selalu nampak dalam penyutradaraan. Sifat nada dasar dalam penyutradaraan meliputi:

1. Ringan/ tidak mendalam

2. Menentukan/ memberikan suasana khusus 3. Membuat lakon gembira menjadi banyolan/ lucu 4. Mengurangi tragedi yang berlebih-lebihan 5. Memberikan prinsip dasar pada lakon b. Menentukan Casting

(11)

Casting adalah proses penentuan pemain (aktor/ aktris) berdasarkan analisis naskah untuk dipertunjukan. Berikut adalah macam-macam casting.

1. Casting by ability: casting ini dilakukan berdasarkan kecakapan yang terpandai dan terbaik sebagai pemeran utama. Pemain di sini adalah ukuran tokoh-tokoh penting dan sukar.

2. Casting to type: casting ini dilakukan berdasarkan kecocokan fisik pemain. Pemain akan dipilih dan disesuaikan dengan tokoh yang akan diperankan dalam naskah sesuai keputusan sutradara.

3. Antitype casting: casting ini dilakukan berdasarkan pertentangan dengan watak atau fisik pemain dalam memerankan tokoh dalam naskah. Sutradara sengaja melakukan casting model ini untuk mengasah kecakapan pemain dalam mengeksplorasi kreativitas dan daya imajinasi.

4. Casting to emotional temperament: casting ini dilakukan berdasarkan hasil observasi hidup pribadi pemain karena banyak menemukan kecocokan atau kesamaan dengan peran yang akan dimainkannya dalam naskah lakon. Kesamaan di sini dapat meliputi kesamaan emosi, tempramen, dan lain-lain. Hal ini akan memudahkan sutradara untuk melihat peran apa yang tepat untuk dibawakan pemainnya berdasarkan pembawaan sehari-hari.

5. Therapeutic casting: casting ini dilakukan untuk seseorang yang bertentangan sekali watak dan kepribadiaannya dengan peran yang akan dimainkan dalam naskah. Hal ini dilakukan sutradara untuk terapi penyembuhan atau mengurangi ketidakseimbangan jiwa para pemain.

(12)

Tugas sutradara yang kedua memang dikatakan cukup menguras waktu karena memang harus dipikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Tidak semua peran yang terdapat dalam naskah lakon dapat disesuaikan dengan pemain yang ada. Dengan demikian, sutradara harus jeli dalam mengamati sikap, watak, karakter, dan fisik para pemainnya. Selain itu, kemampuan atau “jam terbang” masing-masing pemain pun harus diperhatikan baik-baik.

c. Tata dan Teknik Pentas

Tata dan teknik pentas adalah segala hal yang menyangkut tata rias dan busana, tata cahaya, tata musik, serta setting yang harus disesuaikan dengan nada dasar.

Tata cahaya menurut Herman J. Waluyo memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Penerangan terhadap pentas dan aktor.

2. Memberikan efek alamiah dari waktu, seperti jarum jam, musim, cuaca, dan suasana.

3. Membantu melukis dekor (scenery) dalam menambah nilai warna hingga terdapat efek sinar dan bayangan.

4. Melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaannya.

5. Dapat mengekspresikan mood dan atmosphere dari lakon, guna mengungkapkan gaya dan tema lakon.

6. Mampu memberikan variasi-variasi, sehingga adegan-adegan tidak statis (Herman J. Waluyo, 2001: 137).

Herman J. Waluyo (2001: 132) juga mengklasifikasikan jenis tata rias menjadi delapan jenis, yaitu sebagai berikut:

(13)

a. Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran. Misalnya peran laki-laki yang diubah menjadi peran perempuan yang memerlukan rias di berbagai tubuh. b. Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan seseorang. Misalnya

orang Jawa yang harus berperan sebagai orang Belanda yang ciri-ciri fisiknya berbeda.

c. Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang. Misalnya orang muda yang berperan sebagai orang tua atau sebaliknya.

d. Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu yang sudah memiliki ciri fisik yang harus ditiru.

e. Rias watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh sombong, penjahat, dan watak peran lainnya yang dapat meyakinkan peranannya secara fisik.

f. Rias temporal, yaitu rias yang membedakan waktu atau saat tertentu. Misalnya rias sehabis mandi, bangun tidur, dan lain-lain.

g. Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan kepada pelaku yang mempunyai anasir sama dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya seorang pemuda tampan yang berperan sebagai pemuda tampan dengan watak, ras, dan usia yang sama. Fungsi rias hanya untuk memberikan tekanan saja. h. Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau hal yang menimpa

peran saat itu. Misalnya rias di penjara, petani, dan lain-lain.

Setiap sutradara yang menangani sebuah pementasan tentunya harus mengerti apapun yang ingin dikehendaki dalam semua pementasannya, termasuk segala hal yang menyangkut aksesoris panggung. Semua komponen

(14)

pendukung jalannya pementasan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya merupakan hal penting lain yang tidak dapat diacuhkan.

Hubungan antara sutradara dengan kerabat kerja panggung harus harmonis dan dapat menyatukan ide atau konsep terhadap keselarasan pentas. Penonton adalah tujuan akhir dari pementasan sehingga sutradara dan kerabat kerja, khususnya pekerja panggung harus mengerti porsi pekerjaan mereka masing-masing. Hal ini untuk menjaga kesamaan tujuan dan maksud dari pementasan.

d. Menyususn Mise en Scene

Menyusun Mise en Scene adalah penyusunan segala perubahan yang terjadi pada daerah permainan yang disebabkan oleh perpindahan pemain atau peralatan. Melalui Mise en Scene, sutradara memberikan struktur visual pada lakon dengan komposisi pentas. Pemberian bentuk ini dapat tercapai dengan 14 cara, yaitu sebagai berikut:

1. Sikap pemain 2. Pengelompokan

3. Pembagian tempat kedudukan para pelaku 4. Variasi saat keluar dan masuk

5. Variasi posisi dari dua pemain yang berhadap-hadapan

6. Komposisi dengan menggunakan garis dalam penempatan pelaku 7. Variasi penempatan perabot

8. Ekspresi kontras dalam pakaian pemeran/ pemain 9. Efek yang ditimbulkan oleh tata sinar lampu

(15)

10. Menguatkan/ meluangkan kedudukan pemeran/ pemain 11. Memperhatikan ruang sekeliling pemeran/ pemain 12. Memperhatikan latar belakang pentas

13. Keseimbangan dalam komposisi pentas 14. Dekorasi

Penyusunan Mise en Scene oleh sutradara akan banyak menemui kesulitan terutama dalam tekstur, yaitu pengangkatan bahasa naskah ke atas panggung. Tekstur ini meliputi, tata pentas, action, blocking, dan mood.

e. Menguatkan atau Melemahkan Scene

Teknik ini merupakan cara yang menggarap berbagai adegan dalam lakon. Sutradara bebas menentukan tekanan atau aksen pada lakon menurut pandangannya sendiri tanpa mengubah naskah. Menguatkan atau melemahkan scene dapat dilakukan melalui efek cahaya dan musik.

f. Menciptakan Aspek-aspek Laku

Sutradara harus memberikan saran kepada pemain agar mereka menciptakan apa yang disebut laku simbolik atau akting kreatif, yaitu cara berperan yang biasanya tidak terdapat dalam instruksi naskah tetapi diciptakan untuk memperkaya permainan dengan tujuan agar penonton lebih mengerti apa yang terdapat dalam kondisi batin pemain.

g. Mempengaruhi Jiwa Pemain

Tugas sutradara dalam mempengaruhi jiwa pemain membuat sutradara mengalami pembagian kedudukan, antara lain:

(16)

Sutradara tipe ini akan menciptakan pagelaran yang menyolok dan menarik perhatian melalui teknik dekor yang luar biasa, tata sinar yang menakjubkan, sebagai usahanya dalam menerapkan teknik film dan teater. Dalam hal ini sutradara hanya menjadi penengah antara pelukis dan penonton karena dia merasa hanya bertugas untuk mencapai seni teater, yaitu suatu proses ekspresi individual ke kolektif.

2. Ciri Sutradara Psikolog

Tipe sutradara seperti ini biasanya jarang memperhatikan ekspresi dari luar sebuah pementasan karena dia lebih mengutamakan tekanan psikologis dalam menggambarkan watak. Terutama pada cara acting yang murni ketika prestasi pemain ditempatkan pada arti yang sebenarnya.

Sutradraa psikolog cenderung memberikan watak problematik dalam pementasannya yang ditimbulkan dari kontradiksi-kontradiksi kejiwaan. Penekanan seperti ini biasanya terdapat pada peristiwa intern, cara akting, intonasi, sugesti yang tidak diucapkan, dan segala hal yang menyatakan perasaan kejiwaan.

Selain itu, ada juga tipe sutradara yang bertugas sebagai interpretator dan sebagai creator. Sutradara dengan tugasnya sebagai interpretator selalu menjelaskan gambaran untuk peranan dan mengarahkan agar mimik dan diksi sesuai dengan pemikirannya. Pemain dapat mengadakan kompromi dengan pandangan sutradara tentang suatu peranan. Berbeda dengan sutradara sebagai creator yang lebih memberikan contoh akting secara langsung sehingga mewajibkan pemain memiliki pengalaman peran lebih banyak.

(17)

h. Koordinasi

Koordinasi adalah salah satu hal yang tidak dapat dilupakan dalam sebuah pementasan, terutama koordinasi sutradara dengan kerabat kerjanya. Dalam penggarapan sebuah pementasan, sutradara sebagai pekerja seni harus memiliki jalur untuk menjalankan penyutradaraannya. Jalur ini yang nantinya akan menjadi pedoman sutradara dalam hal kepemimpinannya dan menentukan tindakan yang akan diambilnya dalam sebuah proses tersebut. Japi Tambayong dalam bukunya Dasar-Dasar Dramaturgi (1981: 73-74) membagi kepemimpinan sutradara sebagai berikut:

1. Sutradara Konseptor

Sutradara tipe ini memposisikan dirinya sebagai seorang konseptor. Dia adalah pemegang konsep penafsiran yang ketat lalu menyerahkan penafsirannya kepada pemain, dan membiarkan para pemain mengembangkan konsep tersebut secara kreatif tetapi tetap terikat.

2. Sutradara Koordinator

Tugas sutradara koordinator adalah menjadi seorang pengarah yang mengkoordinir pemain dengan konsep penafsirannya. Pemain di sini tentunya adalah mereka yang sudah terkenal dan memiliki nama besar. 3. Sutradara Diktator

Sutradara seperti ini menganggap dirinya sebagai guru yang mengharapkan para pemain tercetak layaknya dirinya sendiri. Dia tidak memberikan kepercayaan kepada pemain. Konsep penafsiran dua arah, seperti tipe sutradara konseptor bukanlah sifatnya. Dia sangat

(18)

mendambakan seni sebagai dirinya “seni adalah aku” sehingga pemain hanya dianggap sebagai robot.

4. Sutradara Suhu

Sutradara adalah suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin anggota pemainnya. Kelompok teater dengan sutradara seperti ini dibuat layaknya padepokan. Ada pemilahan di mana belajar bersama atau saat membangkang kepada guru. Para pemain diberi keyakinan bahwa mereka adalah cantrik-cantrik yang kelak harus hadir dengan dirinya sendiri, melawan secara jantan kepada pemimpinnya. Jantan dalam hal ini dimaksudkan bahwa ilmu para pemain sudah benar-benar mustaid.

Teknik penyutradaraan adalah hal yang sudah seharusnya diperhatikan dengan saksama, agar pengangkatan naskah lakon ke atas panggung dapat diterima baik oleh penonton. Beberapa teori yang dipaparkan tersebut akan dijadikan landasan dalam penelitian mengenai penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah bentuk singkat dari jalannya penelitian yang digunakan peneliti untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah, dilakukan penelitian mengenai penyutradaraan Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet.

(19)

Peneliti mengadakan wawancara mendalam dengan sutradara Agung Wijayanto, pemain, dan kerabat kerja pementasan, seperti kru lighting, kru musik, kru setting, kru kostum dan make up untuk memperjelas hal-hal yang bersangkutan dengan pementasan Marsinah Menggugat. Pencatatan data dari wawancara tersebut dijadikan acuan saat melihat proses pementasan yang sudah didokumentasikan berupa video. Hasil pengamatan dari dokumentasi dan wawancara menjadi bekal peneliti untuk menentukan teknik yang sesuai dalam penyutradaraan sutradara Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat.

Teknik penyutradaraan yang digunakan Agung Wijayanto dalam pementasan tersebut ada delapan langkah, yaitu: (1) menentukan nada dasar, (2) memilih pemain atau pengkastingan, (3) menyusun mise en scene, (4) tata teknis dan pentas, (5) menguatkan atau melemahkan scene, (6) menciptakan aspek-aspek laku, (7) mempengaruhi jiwa pemain, dan (8) koordinasi.

Berdasarkan teknik penyutradaraan di atas, Agung Wijayanto menggunakan gaya penyutradaraan Gordon Craig dan Laisez Faire. Gaya penyutradaraan Gordon Craig lebih menuntut pemain agar menuruti keinginan sutradara, sedangkan gaya penyutradaraan Laisez Faire cenderung memberikan kesempatan kepada pemain untuk mengembangkan kreativitas dalam diri pemain.

Tahap terakhir yang dilakukan peneliti adalah analisis terhadap data-data yang sudah berhasil dikumpulkan untuk membuat sebuah simpulan dari penyutradaraa Agung Wijayanto dalam Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet.

(20)

Bagan

Kerangka Pikir Penelitian

BAB III

Proses Penyutradaraan Agung Wijayanto

Mengadakan wawancara mendalam dengan Agung Wijayanto dan kerabat kerjanya

Melihat proses pementasan berupa video Menetukan nada dasar Menentukan proses/ teknik penyutradaraan Agung Wijayanto Menentuka n casting pemain Menyusun Mise en Scene Tata dan teknik pentas Menguatkan/ melemahkan scene Menciptakan aspek laku Mempengaruhi jiwa pemain Koordinasi

Gaya Penyutradaraan Gordon Craig dan Laisez Faire

Hasil analisis data dan pembuatan simpulan

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Puji syukur Penulis panjatkan Kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan segala Nikmat, Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi