• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan untuk memberikan servis kepada bumi demi pemenuhan kebutuhan yang tak berbatas. Fenomena pemanasan global yang diduga oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama CO2, CH4 dan N2O telah membuat suhu permukaan bumi diperkirakan naik sebesar 1,4 - 5,8°C selama periode 1990 sampai 2100 (NASA 1998; IPCC 2007). BMG melaporkan bahwa di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 - 1,0°C, yang terjadi antara tahun 1970 hingga 2000 s ehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan rata-rata curah hujan bulanan sekitar 12 - 18% dari jumlah hujan sebelumnya (Santoso dan Forner 2007). Tak hanya berdampak terhadap curah hujan, berbagai kejadian ekstrim seperti banjir atau longsor yang frekuensinya makin tak teratur telah menyisakan bencana-bencana yang tak terduga dan memakan korban jiwa.

Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia. Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon (IPCC 2000). Sektor kehutanan telah menyumbangkan emisi CO2 sebesar 17,3% dari total emisi gas rumah kaca lainnya ke atmosfer (IPCC 2007). Akan tetapi, ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui proses fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam nekromasa secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara. Menurut Kyrklund (1990), secara umum hutan dengan net growth (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra. Selanjutnya Hairiah (2007) menjelaskan bahwa hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2 karena

(2)

telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang.

Ironisnya, hutan yang semestinya diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalah global ini, semakin lama semakin berkurang keberadaannya. Fakta kerusakan hutan sebagai sumber tanaman kayu dan keanekaragaman hayati telah berada dalam fase yang sangat mengkhawatirkan. Peace (2007) menyatakan sekitar 8 juta sampai 16 juta hektar hutan tropis dirusak setiap tahunnya antara tahun 1980an dan 1990an. Perusakan ini melepaskan 0,8 milyar sampai 2,4 milyar ton karbon ke atmosfer. Deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah mengantarkan Indonesia ke posisi ke-3 negara penghasil gas rumah kaca di dunia.

Hutan gambut merupakan produk dari hutan masa lalu yang tersusun dari bahan organik hasil dekomposisi vegetasi secara anaerobik dan termasuk kedalam ekosistem lahan basah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Merujuk dari proses pembentukannya yang didominasi oleh bahan organik, hutan gambut memiliki keistimewaan dibandingkan tipe hutan lainnya karena menyimpan lebih banyak bahan organik yang dinyatakan dalam karbon 12 - 18% atau lebih (SSFFMP 2005). Di wilayah Asia Tenggara, luas areal gambut mencapai lebih dari 25 juta ha atau 69 % dari lahan gambut tropis di dunia. Luas penyebaran lahan gambut di Indonesia seluruhnya diperkirakan 7% dari luas dataran Indonesia (Puslitbangtanak 2001). Sumatera Selatan merupakan salah satu kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur Sumatera. Secara keseluruhan luas hutan gambut di Sumsel mencapai 271 ribu hektar namun yang masih berfungsi dengan baik tinggal 210 ribu hektar yang terdapat di kawasan Merang dan Kepahyang Kabupaten Musi Banyuasin (Walhi 2009). Hutan gambut di Merang Kepahyang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang harus dilindungi menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

(3)

Perusakan hutan gambut yang disebabkan oleh penebangan liar akan mempengaruhi unit hidrologi karena pada saat penebangan pohon, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air. Keadaan subsidensi merangsang pertumbuhan bakteri pembusuk di tanah gambut. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi tanah gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon yang tersisa, CO2 yang terkandung didalam bagian pohon tersebut akan teremisi ke udara dan menutupi lapisan ozon. Akibat penebangan hutan menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon menurun dimana biomassa dan senyawa organik yang tersimpan di dalam hutan akan terlepas ke udara menjadi gas rumah kaca. Selain itu, penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan. Dengan kata lain, penebangan hutan tak terkendali merupakan faktor yang menyebabkan penurunan luasan areal penyerap dan penyimpan karbon yang mempengaruhi perubahan iklim akibat peningkatan suhu bumi.

Estimasi biomassa yang tepat sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan siklus global karbon. Basuki et al. (2009) menyatakan stok karbon dapat diperoleh dari biomassa atas permukaan dengan mengasumsikan 50% dari biomassa tersusun dari karbon. Penelitian ini sekaligus akan menelaah kandungan karbon dalam biomassa hutan bekas tebangan Merang. IPCC (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur biomassa di atas permukaan tanah yaitu pendekatan langsung dengan menggunakan persamaan allometrik dan tidak langsung menggunakan biomass expansion forest. Persamaan alometrik berupa fungsi matematika yang didasarkan pada hubungan berat kering biomassa per pohon contoh dengan satu atau lebih kombinasi dari dimensi pohon contoh (diameter, tinggi dan berat jenis) yang dapat dikembangkan/dihasilkan dari metode destructive sampling. Pada penelitian ini persamaan alometrik dibangun hubungan antara biomassa atas permukaan dengan tiga parameter pohon yakni Dbh (diameter at breast height), tinggi dan berat jenis. Berbagai persamaan alometrik telah dibangun untuk menduga biomassa di hutan hujan tropis dengan

(4)

berbagai tipe hutan (Hiratsuka 2003; Brown 1997; Chambers et al. 2001; Chave

et al. 2001, Kiyono et al. 2007; Komiyama 2008; Ketterings et al. 2001; Samalca

2007; Ismail 2005; Limbong 2009; Onrizal 2004; Salim 2005; Basuki et al. 2009; Hilmi 2003). Untuk mengetahui besarnya simpanan karbon dari hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan maka diperlukan suatu kajian tentang pendugaan potensi biomassa sebagai sumber estimasi karbon pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin.

1. 2 Kerangka Pemikiran

Berikut bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini :

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Penyerapan karbon hutan bekas tebangan

Biomassa tegakan hutan bekas tebangan

Potensi karbon terikat atas permukaan tanah

Hutan gambut

Penebangan Aktivitas manusia

Fungsi gambut terganggu Peningkatan CO2 di atmosfer Perubahan iklim global Konsesi HPH Ilegal logging

Fungsi hutan sebagai sinker karbon

(5)

1. 3 Perumusan Masalah

Emisi karbondioksida terbesar dari Indonesia disumbangkan oleh sektor kehutanan. Peace (2007) menjelaskan deforestasi yang diperkirakan mencapai 2 juta hektar telah menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam jumlah besar dan menyumbang sekitar 83% dari emisi tahunan gas rumah kaca Indonesia dan 34% terhadap emisi sektor kehutanan. Dalam hal ini hutan telah menjadi sumber bagi karbon atmosferik akibat ulah manusia. Selain fungsi hutan sebagai sumber karbon, hutan mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat di komponen vegetasi/ekosistem hutan. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0 - 5,4 ton CO2 ha-1 tahun-1 (Agus 2009). Lahan gambut menyimpan karbon (C) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Agus (2009) menyatakan di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Apabila hutan gambut ditebang, maka karbon yang tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Karena pentingnya peran lahan gambut sebagai penyimpan karbon dan sumber emisi CO2, maka pengukuran karbon tersimpan pada lahan gambut menjadi sangat penting. Data hasil pengukuran dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberlanjutan hutan rawa gambut. Selain itu perhitungan neraca karbon penting dalam menghadapi sistem baru perdagangan karbon pasca Kyoto Protocol (tahun 2012) yang dikenal dengan mekanisme REDD (Reducing

Emissions from Degradation and Deforestation).

Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran biomasa untuk estimasi penyerapan karbon dapat menggunakan persamaan alometrik yang dibangun berdasarkan dimensi pohon. Persamaanalometrik untuk estimasi biomasa pohon di hutan tropika alam dengan berbagaikondisi iklim dan berbagai jenis hutan telah lama dikembangkan (Brown 1997). Namun masih ada ketidakpastian bahwa persamaan alometrik untuk pohon hutan yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) tidak dapat dipergunakan di lokasi baru,

(6)

karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya (Ketterings et al. 2001). Berdasarkan hal tersebut diperlukan pengukuran biomassa yang akurat untuk membangun model persamaan alometrik di hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan.

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana model penduga biomassa dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan ?

b. Bagaimana profil serapan karbon dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon pada setiap kelas diameter ?

1. 4 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Memformulasikan model penduga biomassa dan mengetahui kandungan karbon terikat di hutan bekas tebangan Merang di Kabupaten Musi Banyuasin propinsi Sumatera Selatan.

b. Menganalisis profil serapan karbon terikat dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) pada setiap kelas diameter.

1. 5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai pendugaan potensi biomassa tegakan dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan hutan dengan memperhatikan fungsi hutan sebagai solusi pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

1. 6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon di areal bekas tebangan berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi positif dan signifikan dengan diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berbagai definisi yang dipaparkan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhailan dalam menguasai bahan pelajaran setelah

Mekanisme yang digunakan adalah forward chaining , sehingga proses deteksi dimulai dari input user tentang gejala penyakit yang dialami, untuk kemudian dihitung

Bagi setiap kitar gaya jalan, julat gerakan bagi sendi paha, lutut dan buku lali dalam satah sagital diberikan seperti dalam Rajah 2[a].. Figure 2[a]

Panaliten menika ngandharaken wujud konflik sosial , pawadan ingkang murugaken konflik sosial , saha cara ngrampungaken konflik sosial wonten ing novel Sanja Sangu

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat stres yang dialami oleh siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler, oleh karena itu sampel yang digunakan adalah siswa yang

Pada suatu area atau stok yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan, dalam hal ini kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang

Dependent) tidak terdapat variabel pelaku, yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen pelaku ini yang tidak terkait dengan sistem serta tidak ada variabel yang sangat

Cabang olahraga senam di Indonesia mewarisi sejarah dan tradisi yang cukup panjang dalam perkembangannya.Diawali dari perkembangan yang didorong oleh militer di masa-masa kependudukan Belanda dan