• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hampir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hampir"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hampir disetiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terpokus pada persoalan perbatasan.1

Perbatasan yang terdapat didaratan suatu wilayah biasanya ditandai dengan tanda-tanda patok atau tugu yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah negara-negara yang memiliki batas satu daratan dengan bukti kesepakatan yang ditandatangani bersama dibawah naungan DK PBB yang menangani tentang perbatasan suatu batas negara berdaulat. Selain ditandai dengan patok atau tugu, perbatasan batas wilayah negara berdaulat bisa juga ditandai dengan bentangan memanjang bangunan berbentuk pagar batas yang tentunya berdasarkan kesepakatan bersama pula.

Peraturan dan perundangan-undangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjunya disebut DK PBB) tentang pengaturan dan kesepakatan perbatasan wilayah negara di dunia menyebutkan bahwa perbatasan adalah garis khayalan yang memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau yurisdiksi seperti negara, negara bagian atau wilayah subnasional.

2

Sementara itu yang masih sangat sulit untuk ditandai dan dibuktikan dengan tanda yang akurat dan identik adalah soal tanda batas perbatasan wilayah

1 Hankam.kompasiana.com/2011/04/13/Indonesia vs Malaysia Fenomena perbatasan

negara berdaulat 355153.html, diakses tanggal 1 Januari 2015

(2)

yang memisahkan satu negara dengan negara lain yang berhubungan dilautan lepas dan batas wilayah penerbangan. Disinilah yang sering kali terjadi konflik antar negara dan warga perbatasan.

Di Indonesia sendiri soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya hingga sekarang masih belum terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalahpahaman, dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara tetangga, seperti batas wilayah perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia Singapura, Indonesia Philipina, Indonesia Papuanugini, Indonesia Timor Leste, dan Indonesia Australia.

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut teritorial yang diukur dari pulau-pulau terluar dan memiliki kedaulatan penuh atas pulau-pulau terluar tersebut. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial.3

Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km laut territorial, 2,8 juta km perairan nusantara dan 2,7 km Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.4

Sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut. Pada kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam

3 Pasal 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982.

4 Kasjian Romimohtarto, Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di

(3)

yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan mengordinasikan laut ataupun dalam memenuhi kebutuhan dari laut, merupakan langkah untuk mewujudkan pelestarian lingkungan laut, sekalian sumber yang terkandung dalam laut tidak terbatas. Didalam mengupayakan laut misalnya penangkapan ikan, jenis ikan yang berlebihan dengan menggunakan pukat harimau sangatlah berbahaya dan dapat menimbulkan kepunahan itu tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu yang pendek.5

5 P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia (Jakarta: Reneka Cipta, 1991), hal.31

Pelanggaran perbatasan batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik berkepentingan oleh salah satu negara perbatasan yang melibatkan warga masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak oleh negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki kandungan sumber alam. Indonesia sendiri hal tersebut di atas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai dengan provokasi ganda yang dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer, penghilangan tanda bukti batas perbatasan, pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan yang dibangun melebihi batas negara yang telah disepakati, atau juga adanya perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara bersangkutan (salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan perubahan peta internasional soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak).

(4)

Petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia menangkap sejumlah nelayan asal Malaysia yang diduga masuk ke perairan Indonesia untuk menangkap ikan pada Jumat 7 April lalu. Belum diketahui berapa jumlah nelayan yang ditangkap atas pelanggaran batas wilayah tersebut. Menteri Pertahanan Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi membenarkan penangkapan tersebut. Penangkapan tersebut terjadi di Selat Malaka sekitar 25 mil laut dari perbatasan Malaysia-Indonesia, dan 45 mil laut barat daya Penang. Malaysia mengklaim penangkapan tersebut berlebihan. Pasalnya dua kapal nelayan tersebut masih berada di wilayah Malaysia. Namun Juru bicara Mari-time Enforcement Agency (MMEA) mengatakan, penangkapan tersebut melanggar hukum internasional.6

Mereka menggunakan alat tangkap terlarang Trawl yang melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Jo Pasal 92 Jo Pasal 93 ayat (2) Jo Pasal 86 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,” kata Mukhtar, sebagai Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan. Penangkapan kapal dimulai saat ketika patroli bersama KKP dan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Lalu kapal pengawas, Hiu 001 melihat dua kapal Malaysia yang sedang beraksi Sebelumnya Malaysia bersikeras bahwa dua kapal Malaysia yang mencari ikan tersebut masih berada di wilayah perairan mereka. Kantor Berita Malaysia, Bernama mengabarkan, Malaysia mengklaim bahwa penangkapan kapal tersebut dilakukan sekitar 25 mil dari perbatasan dan 45 mil dari barat daya Penang, Malaysia.

6Regional.kompasiana.com/2013/05/31/Tertangkapnya Nelayan Malaysia

(5)

itu di wilayah perairan Indonesia. Kapal pertama KF 5195 yang ditangkap lalu selanjutnya kapal kedua KF 5325 dengan pukat atau jaring ikan. Pada masing-masing kapal, terdapat sejumlah lima warga negara Thailand. Dan sepuluh anak buah kapal (ABK) tersebut akan dituntut dan dihukum karena melanggar Undang-Undang (UU) tentang Perikanan.

Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20.7

Dalam menyikapi berbagai tantangan dan permasalahan di bidang kelautan tersebut, masyarakat internasional telah mengupayakan serangkaian usahauntuk membentuk satu rezim Hukum Laut Internasional.

Modernisasi dalam segala bidang kehidupan seperti tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat, bertambah pesatnya perdagangan dunia, serta kecanggihan teknologi dan informasi, membawa konsekuensi bertambahnya perhatian yang diarahkan kepada usaha penangkapan ikan serta kekayaan dari lautan.

8

Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea, yang diundangkan pada tanggal 31 Januari 1985. Indonesia (a), Konferensi terakhir, yaitu Konferensi Hukum Laut PBB III telah berhasil menghasilkan Konvensi tentang Hukum Laut Internasional/United Nation Convention on the Law of the Sea (untuk selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1982). Salah satunya poin penting dari UNCLOS 1982 bagi Indonesia adalah diakuinya rezim Negara Kepulauan.

7

Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum Laut 1982 (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 6-7.

8H.A. Smith, The Law and Custom of the Sea, 2nd ed, (London: Stevens & Sons Limited,

(6)

Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea, UU No. 17 Tahun 1985.

Sampai saat ini telah diadakan empat kali usaha untuk memperoleh suatu himpunan Hukum Laut Internasional yang menyeluruh, yaitu:

1. Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification Conference in 1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.

2. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (The UN Conference on the Law of the Sea) yang menghasilkan empat konvensi penting, yaitu: Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (The Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone), Konvensi tentang Laut Bebas (The Convention on the High Seas), Konvensi tentang Landas Kontinen (The Convention on Continental Shelf), dan Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Hayati di Laut Bebas (The Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of The High Seas).

3. Konferensi Hukum Laut PBB II tahun 1960 (the UN Conference on the Law of the Sea).

4. Konferensi Hukum Laut PBB III di Montego Bay, Jamaika yang menghasilkan Konvensi 
Hukum Laut 1982 (UN Convention on The Law of The Sea 1982). 


Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara Kepulauan adalah negara- negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih Kepulauan. Adapun yang dimaksud dengan Kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling

(7)

bersambung (inter-connecting waters), dan karakteristik ilmiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan instrinsik geografis, ekonomi, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian.9

Negara kepulauan menarik garis pangkal (baseline)10dengan menggunakan metode garis pangkal Kepulauan (archipelagic baseline). Konsekuesi penarikan garis pangkal dengan cara demikian adalah terjadinya perubahan status bagian-bagian laut yang tadinya merupakan laut bebas menjadi laut wilayah Negara Kepulauan.11

9Mohamed Munavvar, Ocean States: Archipelagic Regimes in the Law of the Sea

(Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1995), hal. 5.

10R. R. Churcill dan A. V. Lowe, The Law of The Sea, 3rd ed., (Manchester: Manchester

University Press, 1999), hal.31.

11

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 Tentang Peraturan Pengganti Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Indonesia (b). Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pengganti Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. PP No. 37 Tahun 2008.

Oleh karena itu, pengakuan terhadap negara kepulauan tersebut dibarengi dengan berbagai pengaturan lain yang memberikan jaminan terhadap hak lintas damai (right of innocent passage) dan hak lintas melalui alur-alur laut Kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) bagi kapal asing dalam laut pedalaman Negara Kepulauan. Selain itu, Negara Kepulauan juga harus menghormati hak-hak penangkapan ikan tradisional dari negara-negara tetangga dan perjanjian-perjanjian yang telah ada dengan negara lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 311 (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa, “this Convention shall not alter the rights and obligations of State Parties which arise from other agreements compatible with this Convention”.

(8)

Hak Penangkapan Ikan Tradisional (Traditional Fishing Rights) merupakan hak yang diberikan kepada nelayan-Nelayan Tradisional negara tetangga untuk melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral.12

An archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them.

Pengakuan terhadap hak tersebut diakomodir di dalam Bab IV Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyebutkan:

13

12Departemen Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan

Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut (Jakarta: DKP, 2008), hal. 7.

13United Nations, The Law of the Sea, Official Text of the United Nations Convention on the

Law of the Sea (New York: United Nations, 1983), Pasal 51 ayat (1).

(terjemahan bebas: ...Negara Kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak penangkapan ikan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam Perairan Kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka).

(9)

Sejak ditangkap, dua kapal itu masih bersandar di Lantamal Belawan, Sumatra Utara. Hasil pemeriksaan menunjukkan kedua kapal mengantongi dokumen Malaysia. Namun, nahkoda dan awak berkewarganegaraan Thailand. Mereka masih berada di atas kapal. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, Pemerintah Indonesia tetap melakukan pemeriksaan terhadap nelayan Malaysia yang ditangkap karena memasuki perairan Indonesia. Pemeriksaan dilakukan kendati Pemerintah Malaysia telah melayangkan surat protes kepada Pemerintah Indonesia. “Diproses sesuai dengan aturan yang ada,”14

Tentara Nasional Indonesia mendukung langkah KKP yang mengarahkan senapan ke arah tiga helikopter Malaysia, saat melakukan manuver berbahaya yang hendak menggagalkan kapal patroli KKP saat menggiring dua kapal nelayan

Sementara itu, Malaysia masih saja memprotes penangkapan itu dan menjadi berita hangat di media massa negara tersebut. Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman telah mengirim nota kepada Kedua Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, Pemerintah Indonesia tetap melakukan pemeriksaan terhadap nelayan Malaysia yang ditangkap karena memasuki perairan Indonesia. Pemeriksaan dilakukan kendati Pemerintah Malaysia telah melayangkan surat protes kepada Pemerintah Indonesia. “Diproses sesuai dengan aturan yang ada kedutataan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, terkait peristiwa tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap yakin bahwa nelayan Malaysia telah memasuki perairan Indonesia. Petugas Indonesia yang telah menangkap nelayan Malaysia, kata Fadel, telah melakukan tindakan yang benar.

14 Hankam.kompasiana. Op.cit.

(10)

tersebut. Dua kapal nelayan itu kini ditahan di Pangkalan Angkatan Laut Belawan. penegakan hukum di laut banyak instansi yang terlibat. Di antaranya KKP dan TNI Angkatan Laut di bawah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Instansi yang menemukan pelanggaran di laut, akan menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Dalam kasus tersebut penangkapan dua kapal nelayan itu dilakukan oleh instansi KKP.

Keterkaitan kasus ini dari segi geopolitik. Sesuai dengan wawasan nusantara sebagai pembangungan nasional mengenai hal yang mencakup perwujudan kepulauan nusantara sebagai persatuan dan keamanan negara. Ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara serta bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa. Dari sini diambil landasan dari Deklarasi Juanda 1957 bahwa pelanggaran Malaysia yang menangkap ikan di perairan laut Indonesia merupakan tindakan yang melanggar hukum territorial yaitu peraturan pemerintah No.8 tahun 1960 tentang lalulintas laut damai perairan Indonesia. Peraturan ini menentukan aturan-aturan, antara lain tentang lalu lintas laut damai kendaraan air asing di perairan pedalaman, pengertian dan makna lau lalu lintas damai kendaraan asing, serta bentuk dan luas kedaulatan wilayah nusantara. Maka dari itu penegakan hukum mengenai kasus ini harus segera diusut agar nantinya tidak merugikan bangsa Indonesia dalam beberapa hal seperti : terkurasnya sumberdaya laut Indonesia yang secara tersembunyi dilakukan oleh negara lain, pengklaiman batas wilayah perairan, perang angkatan laut, rusaknya hubungan kerjasama kedua negara

(11)

kerena, dan masih banyak hal yang bisa tejadi jika kasus ini hanya di diamkan dan tidak di beri efek jera.15

15 Ibid

Keterkaitan kasus ini di lihat dari segi geostrategic. Berdasasarkan dengan konsepsi geostrategis Indonesia (ketahanan Indonesia) yang merupakan strategi nasional bangsa Indonesia dalam memanfaatkan wilayah kedaulatan negara sebagai ruang hidup nasional untuk merancang arahan tentang kebijakan, sarana, serta sasaran pembangunan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional tersebut. Dalam peninjauan kasus ini dengan konsepsi geostrategic tentunya memiliki pandangan tentang sejauhmana kondisi pertahanan negara melalui Angkatan laut yang bertugas menjaga kedaulatan wilayah perairan laut secara maksimal sudah memberi kontribusi penuh terhadap amannya kedaulatan tersebut, karena dengan melihat kasus penangkapan ikan oleh negara lain ini menandakan kurang jelinya pertahanan dan keamanan di negara tentunya masih melemasnya penegakan hukum di Indonesia. Sehingga harusnya pemerintah dan TNI-AL dapat bersama-sama memperkuat keamanan dalam mengatasi dan menanggapi segala macam anggapan dan ancaman, gangguan, dan tantangan baik dari dalam maupun dari luar yang sifatnya mengancam integritas, identitas kelangsungan hidup bangsa dan negara , serata perjuangan nasiona. Di sini sudah sangat jelas tindakan penangkapan ikan di perairan laut Indonesia yang dilakukan oleh negara lain sangat merugikan dalam berbagai hal antara lain: kerugian segi ekonomi, politik, kesenjangan sosial, bahkan harga diri kedaulata bangsa dipertaruhkan.

(12)

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara. Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi negara dalam hukum internasional.16

Yurisdiksi negara dalam hukum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap negara, dengan demikian tiap negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.

Persetujuan-persetujuan tersebut sebagian besar ditetapkan sebelum lahirnya UNCLOS 1982, yaitu dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa tentang Hukum Laut 1958, dan kepada Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Pada tanggal 11 Desember 1989 sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (2) UNCLOS 1982, dengan Australia, Indonesia pernah sepakat untuk menerapkan pengaturan sementara mengenai daerah landas kontinen yang tumpang tindih di Celah Timor melalui penandatanganan dan peratifikasi an Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Zona Kerja Sama di daerah antara Propinsi Timor Timur dan Australia Bagian Utara (Undang-Undang No. 1/1991, LN 1991/6). Namun

16 Ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/Yurisdiksi Negara Dalam Hukum.html, diakses

(13)

dengan beralihnya Timor Timur menjadi Timor Leste, perjanjian kerja sama ini telah dibatalkan melalui suatu Ketetapan MPR.

Pada tanggal 17 Oktober 2014 pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, yang berisi ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan laut dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan yang didasarkan pada pandangan bahwa laut merupakan modal dasar pembangunan nasional. Masih perlu dikaji lebih lanjut apakah Undang-undang ini sudah merupakan suatu undang-undang yang integratif-komprehensif, dan mampu menghilangkan berbagai hambatan yang ada selama ini karengan pengaturan yang ada sifatnya sektoral.

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul

Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi antara Indonesia – Malaysia Ditinjau dari Hukum Internasional

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum internasional mengenai batas wilayah suatu negara?

2. Bagaimanakah status perbatasan wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi antara negara Indonesia dengan negara Malaysia?

(14)

3. Bagaimanakah penyelesaian hukum internasional terhadap penahanan nelayan yang melanggar batas wilayah perairan dan wilayah yuridiksi antara negara Indonesia dengan negara Malaysia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional mengenai batas

wilayah suatu Negara.

b. Untuk mengetahui status perbatasan wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi antara negara Indonesia dengan negara Malaysia.

c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum internasional terhadap penahanan nelayan yang melanggar batas wilayah perairan dan wilayah yuridiksi antara negara Indonesia dengan negara Malaysia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Memberikan perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum pada umumnya, dan pada Hukum Internasional pada khususnya.

(15)

b. Manfaat Praktis

Memberikan pengetahuan pemikiran bagi para pihak yang memiliki kepentingan dalam penelitian ini dan untuk melatih penulis dalam mengungkapkan adanya semacam permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah yang baik.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasional.

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

Vita Cita Emia Tarigan, NIM 020200119 dengan judul penangkapan nelayan tradisional Indonesia oleh Tentara Australia dan Kaitannya dengan Perbatasan Indonesia-Australia.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif bersifat deskriptif analisis, yaitu

(16)

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan.17sedangkan menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum18

2. Sumber data

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau biasa disebut penelitian yuridis empiris. Dalam penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data sekunder. Data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982, Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982, Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Memorandum of Understanding between the government of the republic of Indonesia and the Governement of Malaysia, Undang-undang Nomor 43 tahun 2008 tentang wilayah

17Ediwarman, Monograf, Metodologi Penelitian Hukum, Medan: Program

Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2010, hal. 24.

18Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan

(17)

Negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo. 3. Alat pengumpulan data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan yuridis normatif.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menarik kesimpulan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hukum Internasional

Berikut ini akan diuraikan secara panjang lebar difinisi hukum internasional dari masa kemasa sampai pada tingkat kesepakatan sebuah definisi, yaitu sebagai berikut :

(18)

a. Grotius (pelopor terbesar hukum internasional) menguraikan bahwa hukum internasional adalah hukum yang membahas kebiasaan-kebiasaan (custom) yang diikuti negara pada zamanya.19

b. Ivan A. Shearer membuat difinisi panjang lebar bahwa hukum internasional adalah sekumpulan peraturanhukum yang sebagian besar mengatur prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus di patuhi oleh negara-negara (subjek hukum internasional) dan hubungannya satu sama lain, yang meliputi :

1) Atruan-aturan hukum yang berhubungan dengan fungsi institusi atau organisasi, hubungan antara institusi dan organisasi tersebut, serta hubungan antara institusi dan organisasi tersebut dengan negara dan individu-individu.

2) Aturan-aturan hukum tertentu yang berhubungan dengan individu-individuya yang menjadi perhatian komunitas internasional selain entitas negara.20

c. Rebbeca M. Wallace mengemungkakan bahwa hukum internasional adalah peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional.21

19J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terj. Bambang Iriana, Jakarta: Sinar

Grafika, 2010, hal. 11.

20http://www.scribd.com/doc/Pengertian-Hukum-Internasional. (diakses tanggal 20 Maret

2015)

21 www.freewebs.com/yayat-dreams/skripsiKU%20akhir.doc. (diakses tanggal 20 Maret

(19)

d. John Austin mengemukakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum, melaikan sekedar aturan-aturan moral positif (rules of positive morality).22 e. Muchtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes memberikan definisi hukum

internasional sebagai keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara antara: (1) negara dengan negara. (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.23

f. J.G. Starke mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah prilaku yang terhadap negara-negara merasa dirinya terkait untuk menaati, sehingga benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain.24

2. Pengertian laut teritorial

Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut.

22

http://docs.google.com/:www.fl.unud.ac.ad.id/ (diakses tanggal 20 Maret 2015)

23 Muchtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan

Kedua, (Bandung; Alumni, 2010), hal. 4.

24 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terj. Bambang Iriana Djajaatmadja,

(20)

Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). UNCLOS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut.25 Pengertian laut teritorial menurut hukum laut Internasional maupun nasional adalah sebagai berikut : Menurut UNCLOS, laut teritorial adalah garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.26

Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 menyebutkan.

Garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan Hukum Internasional.

Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

27

a. Garis pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan

25 Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978,

hal.173.

26 Konvensi PBB tentang Hukum Laut, hal.7. 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, hal.3.

(21)

b. Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.

c. Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. d. Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

e. Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.

f. Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.

g. Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.

(22)

Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survei atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.

Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam Pasal 17 UNCLOS 1982. Dalam Pasal 18 UNCLOS 1982,

(23)

disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan : 28

a. Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, atau

b. Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban alat keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu negara pantai, apabila kapal tersebut dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :29

1. Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas Hukum Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.

2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.

3. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai.

4. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.

28 Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Op.cit, hal.15 29 Ibid

(24)

5. Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan negara pantai.

6. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.

7. Perbuatan pencemaran laut yang disengaja. 8. Kegiatan perikanan.

9. Kegiatan riset.

10. Mengganggu sistem komunikasi.

11. Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.

Pasal 32 UNCLOS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Pasal 29 UNCLOS memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.30

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau Perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu negara pantai tidak boleh

30 Ibid, hal 27

(25)

mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Pasal 25 UNCLOS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.

3. Yuridiksi

Yurisdiksi adalah kewenangan untuk melaksanakan ketentuan hukum nasional suatu negara yang berdaulat dan ini merupakan implementasi kedaulatan negara sebagai yurisdiksi negara dalam batas-batas wilayahnya yang akan tetap melekat pada negara berdaulat.31

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang

31 Adwintaactivity.blogspot.com/2012/04/Pengertian Yurisdiksi.html diakses tanggal 29

(26)

sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsur asing di dalamnya.32

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan dan metode penelitian serta sistematika penulisan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

BATAS WILAYAH SUATU NEGARA

Bab ini membahas Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional, Wilayah Negara dalam Hukum Internasional dan Pengaturan Hukum Laut Internasional

BAB III STATUS PERBATASAN WILAYAH PERAIRAN DAN

WILAYAH YURISDIKSI ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA MALAYSIA

Bab ini berisikan mengenai Sejarah Hubungan Indonesia dengan Malaysia, penetapan batas laut territorial Penetapan Garis Batas

32 Ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/Yurisdiksi Negara Dalam Hukum.html, diakses

(27)

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional dan Pembagian Kawasan Laut Menurut Konvensi Hukum Laut III 1982 serta Perbatasan Wilayah Negara Indonesia dengan Negara Tetangga.

BAB IV PENYELESAIAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

PENAHANAN NELAYAN YANG MELANGGAR BATAS WILAYAH PERAIRAN DAN WILAYAH YURIDIKSI ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA MALAYSIA

Bab ini akan membahas mengenai Kendala-kendala yang dihadapi dalam Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas Teritorial Antara Indonesia – Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional dan Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas Teritorial Antara Indonesia – Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional serta Solusi Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas Teritorial Antara Indonesia – Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.

Referensi

Dokumen terkait

: Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang:

Berangkat dari uraian latar belakang, maka permasalahan secara umum dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :’Apakah terdapat pengaruh penggunaan

Peristiwa terpanen dan terangkutnya empty bunch hingga ke PKS terjadi karena rotasi panen yang tinggi (≥6/9) sehingga buah matang pada tanaman kelapa sawit

a) Proses Isotermal : proses perubahan keadaan sistem pada suhu tetap. b) Proses Isokhorik : proses perubahan keadaan sistem pada volume tetap c) Proses Isobarik :

Menurut Kotler (2000: 9- 10), faktor sosial merupakan perilaku seseorang konsumen yang mempengaruhi faktor-faktor sosial seperti kelompok referensi, keluarga, serta peran

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh kepala sekolah SDN-1 Kameloh Baru, dalam hal pengawasan kepala sekolah telah melaksanakan dan menjalankan salah satu fungsi

dalam rangka mencapai kesederhanaan hukum"'^, Melalui UUPA ini ditetapkan adanya satu macam hukum yang berlaku ter- hadap hak-hak atas tanah, yaitu hukum adat (yang telah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terda- pat pengaruh yang signifikan dari variabel nilai dan rating penerbitan obligasi syariah (sukuk) terhadap variabel