A. Latar Belakang
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai suatu kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan antar negara-negara. Definisi tradisional ini dapat dijumpai dalam sebagian besar karya standar hukum internasional yang lebih tua usianya, tetapi mengingat perkembangan-perkembangan yang terjadi, definisi tersebut tidak dapat bertahan sebagai suatu deskripsi komprehensif mengenai semua kaidah yang saat ini diakui merupakan bagian dari hukum
internasional. Perkembangan-perkembangan yang penting, salah satunya adalah
pembentukan sejumlah lembaga-lembaga atau organisasi internasional, yang dipandang memiliki personalitas hukum internasional dan mampu menjalin
hubungan satu sama lain dan dengan negara-negara.1
Organisasi internasional2 atau dapat didefinisikan lembaga-lembaga
internasional (International Institution)3., timbulnya hubungan internasional ini
pada lembaga-lembaga internasional tersebut, secara umum pada hakekatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara-negara, karena kepentingan banyak negara saja tidak dapat menampung kehendak banyak negara.
1
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Medan: Sinar Grafika, 1989),hlm 4
2 Sumaryono Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta; PT. Tatanusa, 2007), hlm 1. Organisasi Internasional merupakan suatu persekutuan negara-negara yang dibentuk dengan persetujuan antara para anggotanya dan mempunyai suatu sistem yang tetap atau perangkat badan-badan yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan kepentingan bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara para anggotanya.
3
Organisasi Internasional dalam pengertian luas oleh J.G.Starke dan D.W. Bowett disebut lembaga-lembaga internasional.
Dalam membentuk lembaga internasional, negara-negara melalui organisasi tersebut akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut kepentingan banyak negara.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan peraturan internasional (International Regulation) atau perjanjian internasional (International Agreement) agar kepentingan masing-masing negara dapat
terjamin.4 Peraturan dan perjanjian internasional inilah yang nantinya digunakan
sebagai sumber hukum mengikat bagi setiap negara-negara peserta.
Perjanjian internasional5, kerap digunakan oleh negara-negara
sebagai instrumen politik untuk kepentingan nasional. Belum lagi perjanjian internasional kerap dimanfaatkan untuk mengintervensi kedaulatan hukum suatu negara sesudah era kolonialisme berakhir. Melalui perjanjian internasional dapat dipastikan bahwa hukum suatu negara seragam dalam derajat tertentu
dengan hukum negara lain.6
Sumber hukum seperti peraturan dan perjanjian internasional ini yang digunakan organisasi internasional sebagai sekumpulan tatanan norma-norma berisikan kesepakatan dan ketentuan-ketentuan yang yang diakui negara-negara dan organisasi internasional sebagai subyeknya. Organisasi-organisasi
4 Hasnil Basri Sregar, Hukum Organisasi Internasional, (Medan, Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat FH USU, 1994), hlm 3.
5 Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (The Vienna Convention on The Law of Treaties of 1969). Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2 (1).”treaty’ means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever its particular designation..”
6 Ketika suatu negara telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut, negara tersebut berkewajiban untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemmudian menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut.
internasional yang terbentuk mempunyai banyak persamaan karena dipengaruhi oleh faktor politik dalam hubungan internasional yang kesemuanya ini banyak
perkembangan yang sejalan dengan organisasi internasional.7
Apabila ditinjau dari segi filosofis, perbandingan tema-tema pokok perdamaian dari berbagai organisasi internasional serta tema-tema lainnya yang dianut dan falsafah yang mendasari pembentuknya organisasi internasional
tersebut.8
Dalam lingkup regional, atas dasar pengalaman sejarah dan tantangan yang dihadapi, negara-negara di Asia Tenggara dalam usaha menciptakan stabilitas dan suasana hidup bertetangga baik dikawasannya, telah sepakat untuk menciptakan Asia Tenggara sebagai kawasan damai, bebas, netral dari pertentangan negara-negara besar. Negara-negara tersebut juga telah menyetujui pembentukan suatu mekanisme untuk menyelesaikan perselesihan antar
negara-negara sekawasan ini secara damai.9
Negara-negara Kawasan Asia Tenggara yang didukung secara geopolitik dan geoekonomi mempunyai nilai strategis. Namun, berbagai konflik kepentingan yang menyebabkan konfrontasi sering terjadi diantara negara-negara sekawasan ini. Oleh karena hal-hal tersebut, untuk mengantisipasi konfrontasi atau konflik yang akan terjadi serta ancaman-ancaman internal maupun eksternal, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlu dibentuknya suatu organisasi sebagai wadah kerjasama untuk menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan terjadi di masa yang akan dating, dan juga dengan tujuan sebagai
7 Ibid, hlm 4. 8 Ibid, hlm 5. 9 Ibid hlm 6.
sarana untuk meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional serta pembangunan sekawasan negara-negara se-Asia Tenggara.
Sebelum ASEAN terbentuk pada tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan, seperti Association of Southeast Asia (ASA), Malaysia, Philipina, Indonesia (MAPHILINDO), Southeast East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO), Southeast East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pasific Council (ASPAC). Namun organisasi-organisasi tersebut dianggap kurang
memadai untuk meningkatkan integrasi kawasan.10
Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut telah mendorong untuk membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka lima Menteri Luar Negeri yang berasal dan Indonesia, Malaysia, Singapura, Fhilipina dan Thailand mengadakan pertemuan di Bangkok pada bulan Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan (Join Declaration), yang pada intinya mengatur tentang kerjasama regional di kawasan tersebut. Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, maka pada tanggal 8 Agustus 1967 ditandatangani Deklarasi Bangkok
oleh WakilPerdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para
Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Fhilipina, Singapura dan Thailand. Brunnei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada
10 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu Republik Indonesia, ASEAN Selayang Pandang, Edisi ke-19, 2010, hlm 2.
tanggal 28 Juli 1995, Laos PDR dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan
Kamboja pada tanggal 30 April 1999.11
Deklarasi tersebut menandai berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Sout East Asian Nation/ ASEAN). Masa awal pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya meredakan rasa saling curiga dan membangun rasa saling percaya (confidence building), serta mendorong kerjasama pembangunan kawasan antar negara anggota guna mengembangkan kerjasama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif.
ASEAN sebagai organisasi regional12, bertujuan dibentuknya
ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta mengembangkan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai, meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negaranegara di kawasan ini serta mematuhi
prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.13
11 Ibid, hlm 3
12 Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, (Bandung; Alumni, 1991), hlm 121. Dalam bentuk organisasi internasional yang anggotanya merupakan sejumlah negara yang berlokasi di suatu kawasan dunia tertentu dengan maksud dan tujuan melindungi dan memajukan kepentingan bersama.
Banyak kerjasama yang telah dilakukan oleh negara-negara ASEAN
dalam kurun waktu sejak awal pembentukannya sejak tahun 196714 hingga saat
ini, mulai dari kerjasama dibidang keamanan, pendidikan, sosial hingga kerjasama dibidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi, ASEAN secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan, diawali dengan kesepakatan seperti Industrial Project Plan (1976), Preferential Trading Area/PTA (1977), ASEAN Industrial Complement Scheme (1981), ASEAN Joint Venture Scheme (1981)
dan Enhanched Preferential Trading Arrengement (1987).15
Khusus dibidang ekonomi, kebijakan liberalisasi perdagangan di wilayah ASEAN telah banyak menyita perhatian para ahli hukum internasional di kawasan ini, karena merupakan isu krusial yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kemakmuran negara-negara Asia Tenggara itu sendiri.
Dalam lingkup yang lebih luas, perdagangan bebas diterapkan oleh negara-negara dalam kerangka perjanjian WTO. Indonesia telah menjadi bagian GATT sejak tahun 1950 hingga menjadi WTO. Indonesia telah
meratifikasi WTO Agreement.16 Dengan diundangkannya
Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization, akan membawa konsekuensi yang lebih besar terhadap
14 ASEAN merupakan sebuah bentuk kekuatan benua Asia karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia. Hal ini tentunya menarik minat Asia Tenggar. Dengan terwujudnya bentuk kerja sama ASEAN dengan negara-negara lainnya.
15 Pendapat dari Joko Siswanto adalah Analis Ekonomi Muda Senior, Aditya Rachmanto adalah Analis Ekonomi Muda di Direktoral Internasional Bank Indonesia
16 WTO Agreement dan lampiran-lampirannya sebagai sumber hukum utama WTO yang berisi hanya 16 pasal dan menjelaskan secara lengkap fungsi-fungsi WTO, perangkatnya, keanggotaanya, dan prosedur pengambilan keputusan. Terlampir juga 19 perjanjian internasional yang merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement.
peraturan perundangan nasional dibandingkan dengan keikutsertaan Indonesia dalam GATT sejak Februari 1950, termasuk dalam cara Indonesia menyelesaikan sengketa dagangnya. Sebagai anggota WTO, praktis Indonesia terikat oleh seluruh annex perjanjian WTO (Multilateral Trade Agreement) yakni Annex 1,2
dan 3.17
Perdebatan mengenai seberapa besar manfaat dan kerugian liberalisasi perdagangan jasa hingga kini masih terus berlangsung. Para pendukung konsep ini berpendapat bahwa sebuah negara akan mendapat keuntungan dari liberalisasi perdagangan jasa melalui; peningkatan FDI (Foreign Direct Investment), Kesempatan kerja, berinvestasi di luar negeri dan juga dapat
mendorong terpeliharanya perdamaian dunia.18
Selain itu, liberalisasi perdagangan jasa juga bermanfaat untuk memenuhi supply (penyedia) jasa sesuai kebutuhan masyarakat yang didukung dengan teknologi serta spesialisasi sumber daya berkualitas, dengan begitu dapat menstimulasi persaingan perdagangan jasa antar negara dan dampak yang akan terjadi peningkatan volume perdagangan. Konsep ini juga dianggap akan semakin meningkatkan saling ketergantungan satu negara dengan lainnya, sehingga dapat memperkuat serta memperluas perekonomian, meningkatkan kesejahteraan dalam negeri, dan mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambunngan.
17 Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, (Bandung; PT Refika Aditama, 2006), hlm 8.
18 Basuki Antariksa, ”Pengaruh Liberalisasi perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing Kepariwisataan Indonesia”, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Makalah, 29 Juli, 2010, hlm 1. www.budpar.go.id/userfiles/file/5654_1841-art2.pdf , diakses pada tanggal 18 November 2013.
Liberalisasi perdagangan jasa dianggap sebagai prosedur baru bagi negara maju untuk menjajah negara sedang berkembang, dengan menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang absolut mengenai hubungan yang positif antara kebijakan liberalisasi perdagangan jasa dengan tingkat kemajuan sebuah negara. Beberapa diantara mereka, seperti Dani Rodrik, Ha-Joon Chang, dan Martin Khor, juga menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan justru semakin meningkatkan ketergantungan negara sedang berkembang kepada negara maju dan
menghambat proses pembangunan.19
Ide liberalisasi perdagangan jasa dikawasan negara-negara ASEAN itu sendiri bermula dari hasil pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok,
Thailand 1995.Yang kemudian melahirkan Asean Framework Agreement
on Service (AFAS) sebagai landasan dasar dari proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN. Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia sektor jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember
1995 di Bangkok, Thailand.20
Tekad untuk mendorong proses liberalisasi sektor jasa sejalan dengan semakin pentingnya peran sektor tersebut dalam perekonomian negara-negara ASEAN. Hal tersebut tercermin dalam sumbangan sektor jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan perdagangan luar negeri ASEAN. Pada tahun 2004, sumbangan sektor jasa terhadap perekonomian ASEAN mencapai 25-67 persen dari PDB. Bagi beberapa negara sumbangan sektor jasa bahkan lebih besar
19 Ibid, hlm 2.
20 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, Jakarta,2009, hlm. 7
dibandingkan sektor pertanian dan industri21. Sehingga perdagangan jasa dinilai memiliki peran strategis dalam perekonomian ASEAN. Sektor ini juga merupakan sektor yang paling cepat pertumbuhannya di kawasan negara-negara ASEAN.
Sedangkan berita perkembangan dari dalam negeri, menurut Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, sektor jasa menyumbangkan 45 persen dari total akun yang dimiliki oleh Indonesia. Sektor jasa juga menyumbangkan angka 60 sampai 80 persen dalam mengurangi kemiskinan Indonesia. Ini karena jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor jasa berjumlah 50 persen
dari jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh Indonesia.22
Gambaran diatas merupakan situasi singkat mengenai perkembangan liberalisasi dari sektor jasa yang dialami oleh negara-negara ASEAN maupun Indonesia sendiri, melalui suatu instrument yang disetujui dan disepakati bersama. Bagaimana negara-negara secara global, regional, maupun Indonesia ikut berpartispasi dalam liberalisasi perdagangan khususnya dalam sektor jasa.
Dalam lingkupan yang lebih luas sebelumnya, telah ada instrumen yang mengatur prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan aturan permainan dalam perdagangan internasional dibidang jasa dibawah payung World Trade Organization (WTO). Instrumen tersebut adalah General Agremeent Tarrif on Service (GATS). Pengaturan mengenai kerangka perjanjian GATS ini terdapat dalam Annex 1b dari Piagam WTO. Aturan dalam Annex 1b tersebut tidak terpisahkan dari Piagam WTO itu sendiri karena
21 Rahmat Dwi Saputra (dkk), Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Jakarta; Kompas Gramedia, 2008), berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook 2006, hlm 124.
22 Putu Ayu Bertyna Lova, Sektor Jasa Pegang Peran Penting Dalam Ekonomi Indonesia,
merupakan salah satu dari aturan-aturan lampiran penting dalam perjanjian perundingan dalam implementasi dari Piagam WTO. Oleh karena itu, ruang lingkup keberlakuannya mencangkup negara-negara peserta di seluruh dunia.
ASEAN kemudian memandang perlu untuk mengambil sikap mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi perdagangan di bidang jasa yang semakin mendunia, khususnya setelah Perundingan Putaran Uruguay 1994 berhasil memasukkan perdagangan jasa dalam agenda
perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS23, dengan tujuan untuk
meliberalisasikan perdagangan di bidang jasa dengan memperluas dan memperdalam cangkupan liberalisasi yang telah dilakukan oleh negara-negara dalam konteks GATS/WTO.
Apabila dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN hingga kini masih mengalami kesulitan untuk menegakkan struktur hukum demi melindungi ekonomi kerakyatan sesuai dengan mandat
Pasal 33 UUD 1945.24 Bahkan upaya untuk memproteksi badan-badan pengelola
sumber-sumber hajat hidup orang banyak, dilepaskan kepada asing. Keberadaan banyaknya perjanjian perdagangan bebas yang diikuti, khususnya AFAS akan makin menambah beratnya janji pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan rakyat dan perlu mempersiapkan serta mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan.
23 GATS merupakan hasil kesepakatan perundingan Putaran Uruguay yang khusus mengatur bidang-bidang perdagangan jasa. Putaran Uruguay sendiri merupakan salah satu agenda rutin GATT/WTO yang menghasilkan suatu persetujuan baru yang memperluas ruang lingkup perdagangan meliputi: perdagangan jasa (GATS), investasi (TRIMs) dan HaKI (TRIPs).
24 Ayat 3 menyatakan, " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Ratifikasi menimbulkan akibat hukum baik eksternal maupun
internal bagi negara yang melakukannya.25 Akibat hukum eksternal yang timbul
adalah bahwa melalui tindakan tersebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi ratifikasi dan ikut sebagai subjek bagian dari ASEAN dalam perjanjian perdagangan bebas AFAS, semua produk perundang-undangan nasional Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan sebagaimana dirumuskan dalam WTO dan kerangka perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati dan ditandatangani.
Jika ditinjau dari segi struktural antara GATS dan AFAS sama sekali tidak berhubungan. Pembentukan AFAS juga didasari dengan tekad untuk melakukan liberalisasi perdagangan jasa yang lebih dalam dibandingkan dengan komitmen yang ada di dalam GATS. Kedua instrumen ini diciptakan dengan tujuan utama memperlancar dan menghilangkan hambatan terhadap perdagangan bebas jasa, dimana AFAS kemudian menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan akses pasar secara progresif dan menjamin perlakuan nasional yang setara bagi para penyedia jasa di kawasan ASEAN. Seluruh isi kesepakatan dalam AFAS pada dasarnya konsisten dengan
25 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1969 ini, namun kaedah-kaedah yang ada dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan intemasional yang berlaku di lingkungan masyarakat internasional. Dan di dalam UU.Nomor 24 Tahun 2000 sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Wina 1969 tersebut.
kesepakatan internasional bagi perdagangan jasa yang ditetapkan dalam GATS. Karena keberadaan AFAS mendorong negara-negara ASEAN untuk membuat komitmen melebihi apa yang telah diberikan dalam GATS.
Sehingga hal yang lebih essensial dipikirkan, untuk mengetahui hubungan kedua instrumen tersebut yang sama-sama mengatur mengenai aturan perdagangan jasa, serta mekanisme penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian tersebut. Berdasarkan pemikiran hal tersebut, sehingga perlu dipahami tentang liberalisasi perdagangan sektor jasa, untuk melakukan penenlitian yuridis normatif, dengan mengkaji aturan internasional terhadap liberalisasi perdagangan jasa melalui kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN.
B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas, untuk menguraikan dan memberikan arahan yang terperinci dari pembahasa ini, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO dan dalam kerangka ASEAN?
2. Bagaimanakah aturan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan dalam kerangka perjanjian ASEAN?
3. Bagaimanakah posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO?
C. Tujuan Penilitian
Tujuan penilitian merupakan suatu bentuk pencapaian yang hendak diperoleh dalam suatu penilitian ilmiah. Dengan dikemukakannya tujuan yang
hendak dicapai tersebut, maka arah penelitian ini akan semakin difokuskan atau terpusat dalam suatu pembahasan yang optimal. Sehubungan dengan penulisan yang dilakukan, maka secara khusus penulisan ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO dan dalam kerangka ASEAN.
2. Untuk mengetahui aturan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan dalam kerangka perjanjian ASEAN
3. Untuk mengetahui posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO.
D. Manfaat Penilitian
Penilitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis. Penulisan ini mempunyai manfaat teoritis untuk dapat menambah dan memperluas perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa dalam kerangka perjanjian WTO dan ASEAN.
Selain itu juga, diharapkan penilitian ini mempunyai manfaat bagi kalangan akademisi, lembaga pemerintah sebagai tambahan informasi mengenai liberalisasi perdagngan jasa, dan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi untuk melakukan perbaikan dan optimalisasi kebijakan melalui kerangka WTO dan kerangka ASEAN sesuai dengan sesuai dengan perspektif hukum internasional.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “Tinjauan Hukum Terhadap Aturan Internasional Mengenai Liberalisasi Perdagangan Jasa Melalui Kerangka Perjanjan WTO dan Kerangka Perjanjian ASEAN ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan permasalahan yang sama. Penulisan ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka.
Penulisan ini merupakan hasil karya sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, buku-buku, literatur dan media elektronik yang menunjang dalam pembuatan penilitian ini, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah. F. Tinjauan Pustaka
Sebagai titik tolak dari perumusan tinjauan pustaka, dapat diuraikan beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
Aturan Internasional menurut J.G. Starke, Aturan atau hukum
internasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya di taati dalam hubungan antar negara.
Liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain.
Perdagangan bebas juga harus bebas dari politis suatu negara dengan hubungan dengan negara-negara. Perdagangan bebas juga dipahami searah dengan pasar bebas.
WTO (World Trade Organization), organisasi multilateral yang bertujuan sebagai forum guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan internasional.
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), organisasi regional beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara, terdiri dari Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.
G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tertulis dan putusan-putusan
pengadilan serta norma-norma hukum yang ada pada masyarakat.26 Nama lain
dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum doctrinal, juga disebut
sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen.27 Penelitian ini membahas
doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum28 melalui kajian asas-asas
hukum internasional, konvensi-konvensi, dan kerangka perjanjian internasional.
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; Universitas Indonesia Press, 2005), hlm 44.
27 Bambang Soegono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, edisi 8, 2006), hlm 42.
Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memeberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan
dapat membantu memerkuat teori lama atau member teori baru,29 dengan
membatasi kerangka studi kepada suatu tinjauan perangkat hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan jasa.
H. Sistematika Penulisan
Secara umum, sistematika penulisan ini terdiri dari 5 bab. Bab satu merupakan pendahuluan, bab ini ,menguraikan latar belakang dari permasalahan dari penulisan ini. Melalui latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi tiga rumusan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji, diuraikan juga tujuan dan manfaat dalam penulisan. Uraian mengenai keaslian penulis, menyatakan bahwa penulisan ini belum pernah dilakukan dalam pendekatan dari perumusan permasalahan yang sama. Selanjutnya untuk memudahkan penelitian, dijelaskan metode penelitian dan sistematika penulisan sebagai gambaran dari keseluruhan isi dari penelitian.
Bab dua berjudul Aturan Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Jasa. Bab ini dipaparkan sejarah dan perkembangan dari liberalisasi perdagangan lingkup internasional, dan dikaji juga perangkat hukum internasional melalui kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN terhadap liberalisasi perdagangan jasa.
29 http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum, diambil dari Law Education, diakses pada tanggal 15 Januari 2014.l
Bab tiga berjudul Aturan Penyelesaian Sengketa Dalam Kerangka Perjanjian WTO dan Kerangka Perjanjian ASEAN. Bab ini memaparkan prosedur mekanisme penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN.
Bab empat berjudul Hubungan AFAS dan GATS Sebagai Instrumen Liberalisasi Perdagangan Jasa. Bab ini diuraikan perbandingan kerangka perjanjian AFAS dan GATS, pemberlakuan aturan AFAS oleh negara-negara ASEAN terhadap negara-negara lingkup WTO, dan posisi aturan AFAS terhadap aturan GATS sebagai kerangka perjanjian WTO.
Bab lima sebagai penutup, memuat kesimpulan dari penellitian yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diungkapkan dalam bab pendahuluan dan saran sebagai rekomendasi yang dapat disumbangkan dalam upaya persiapan menghadapi liberalisasi perdagangan bebas khususnya sektor jasa.