Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Limbah Udang
Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya4. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka isolasi kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang6.
Limbah padat Crustacea (kulit, kepala, kaki) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan Crustacea. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Mengolahnya menjadi kitin atau kitosan akan memberikan nilai tambah yang cukup tinggi. Sebagai bahan utama, kulit Crustacea mengandung 14-35% (berat kering) kitin. Diperkirakan limbah kulit Crustacea dunia mencapai sekitar 5 juta ton (kering) atau setara dengan 200 ribu ton kitin. Di pasar Internasional, harga kitin dapat mencapai US$ 10 per kilogram, sedangkan untuk kitosan US$ 15-40 per kilogram tergantung kualitas dan jenisnya 6 .
II.2 Kitin dan Kitosan
Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Oldiers mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga
yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, mollusca,
corlengterfa, dan nematoda4. Kandungan senyawa kitin di alam sangat
melimpah.
Kitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2 asetamida 2-deoksi-Dglukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (-NHCOCH3) 7, sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin.
Kitinmerupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa 4. Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna van Wesslink. Pada cara ini kitin direaksikan dengan I2-KI yang
memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukkan reaksi positif adanya kitin4. Hidrolisis dengan larutan basa kuat, seperti larutan NaOH atau KOH 50%, biasanya lebih banyak digunakan larutan basa NaOH, disertai dengan bantuan pemanasan akan mengakibatkan proses deasetilasi, yang akan menghasilkan senyawa kitosan dengan derajat deasetilasi antara 65-95%. Derajat deasetilasi diatur oleh konsentrasi basa, suhu dan waktu reaksi. Satu parameter yang penting untuk mengukur derajat deasetilasi kitin, yaitu perbandingan dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa menjadi 2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa8, seperti struktur yang ditunjukkan pada Gambar II.1 dan II.2.
O H OH CH2OH H H O O H H OH CH2OH H H O H O H OH CH2OH H H O H H NH C=O CH3 H NH C=O CH3 H NH C=O CH3 H n
Gambar II 1 Struktur Kitin8
O H OH CH2OH H H O O H H OH CH2OH H H O O H OH CH2OH H H O H NH2 H NH2 H NH2 H n H H
Gambar II 2 Struktur Kitosan8
Kitin memiliki kegunaan sebagai bahan baku kosmetik, obat-obatan, produk-produk pertanian dan pengawet makanan. Kegunaan kitin tidak terlalu banyak, sehingga umumnya kitin ditransformasi menjadi kitosan karena memiliki kegunaan yang lebih luas dibanding kitin. Kitosan yang disebut juga β-1,4-2 amino-2-deoksi-D-glukosa merupakan turunan kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi. Kitosan lebih reaktif dibanding kitin karena memiliki gugus amina bebas yang bersifat nukleofil kuat. Gugus amina bebas ini menyebabkan kitosan dapat digunakan sebagai polielektrolit yang memiliki multifungsi. Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, tidak larut dalam basa
kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3, H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4 4.
Sebaliknya dalam asam format dan asam asetat, kitosan dapat larut dengan baik.
II.3 Manfaat Kitin dan Kitosan
Kitin dan kitosan mempunyai kegunaan yang sangat luas, tercatat sekitar 200 jenis penggunaannya, dari industri pangan, bioteknologi, farmasi dan kedokteran, serta lingkungan, pertanian, kosmetik, pengolahan kertas, dan pengolahan air. Di bidang farmasi dan kesehatan, kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai penyembuh luka, kulit dan pembuluh darah buatan, lensa kontak, benang bedah, penurun tekanan darah, antikanker, obat maag serta suplemen diet dan kontrasepsi9. Sifat kitosan sebagai polimer alam mempunyai sifat menghambat absorpsi lemak. Sifat ini potensial untuk dijadikan obat penurun lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh atau pencegahan penyakit lainnya. Kitosan juga bersifat tidak dicernakan dan tidak diabsorpsi, sehingga lemak dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non-absorpsi. Tidak seperti serat alam, kitosan mempunyai sifat unik karena memberikan daya pengikat lemak yang sangat tinggi
10. Sifatnya sebagai antijamur menyebabkan kitosan dimanfaatkan pada bidang
pertanian sebagai bahan pelapis untuk pemgawetan dan biofungisida untuk sayur-sayuran serta buah-buahan. Pupuk kitosan meningkatkan mikroorganisme yang menguntungkan dan menurunkan jumlah mikroorganisme yang merugikan 11. Manfaat kitosan yang lainnya sebagai membran, sehingga bisa dimanfaatkan dalam proses osmosis balik dan bidang kosmetika. Pemanfaatan dalam proses osmosis balik didasarkan pada ketahanan membran kitosan yang sangat kuat terhadap larutan alkali berkonsentrasi tinggi dan beberapa pelarut organik. Sementara dalam bidang kosmetika, kitosan mampu berperan sebagai pelindung dan pelembab kulit. Sedangkan pemanfaatan kitosan dalam pengolahan air disebabkan senyawa ini dapat berperan sebagai pengkhelat untuk pemisahan ion logam berat dari larutan. Selain itu kitosan dapat menyumbang sifat polielektrolit kation sehingga dalam proses pengolahan air sangat potensial untuk digunakan sebagai koagulan alam yang lebih ramah lingkungan, karena tidak mengandung racun dan sangat mudah terbiodegradasi1. Untuk keperluan penjernihan air
diperlukan mutu kitin dan kitosan yang tinggi, sedangkan untuk aplikasi di bidang kesehatan diperlukan kemurnian yang tinggi.
II.4 Massa Molekul Relatif Rata-rata
Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk penentuan massa molekul relatif rata-rata polimer adalah metode viskometri, dengan persamaan Mark-Houwink-Sakurada12. Perbandingan antara viskositas larutan kitosan terhadap viskositas pelarut asam asetat dapat dipakai untuk menentukan massa molekul relatif rata-rata kitosan. Kelebihan metode viskometri dibandingkan dengan metode lain antara lain : lebih cepat dan lebih mudah, alatnya sederhana dan hasil perhitungannya lebih sederhana. Umumnya untuk mengukur viskositas pelarut murni dan larutan polimer digunakan viskometer Ostwald.
Beberapa konsep yang digunakan dalam metode ini adalah13 :
1. Viskositas relatif (ηr) yaitu perbandingan viskositas larutan (η) terhadap
viskositas pelarut (ηo ). Apabila perbedaan massa jenis larutan dan pelarut
diabaikan, maka viskositas tersebut sama dengan perbandingan antara waktu aliran larutan (t), dan pelarut (to), yang diukur pada kondisi percobaan yang sama
sesuai persamaan 0.1 o o r t t η η η = = (II.1)
2. Viskositas spesifik (ηsp) yaitu kenaikan relatif viskositas larutan terhadap
viskositas pelarut sesuai persamaan 0.2 o o sp η η η η = − (II.2)
3. Viskositas tereduksi (ηred) dapat dinyatakan dalam persamaan 0.3
C η
ηred= sp (II.3)
[ ]
c o o η η lim η → = (II.4)Menurut persamaan Mark-Houwink, hubungan viskositas intrinsik dengan massa molekul relatif rata-rata sesuai dengan persamaan 0.513
[ ]
η =K.Mva (II.5) Dengan mengetahui harga K dan a untuk sistem polimer dalam pelarut tertentu, maka dapat dihitung massa molekul relatif rata-rata viskositas (Mv) dari polimer tersebut13.II.5 Spektroskopi FTIR (FourierTransform Infra Red)
Penyerapan energi yang menyebabkan transisi tingkat energi vibrasi molekul yang terkuantisasi dari energi yang lebih rendah ke tingkat energi vibrasi yang lebih tinggi, menyebabkan timbulnya pita-pita energi serapan yang spesifik untuk setiap senyawa pada bilangan gelombang 4000-200 cm-1. Bila suatu molekul menyerap sinar infra merah, maka pada molekul akan terjadi perubahan tingkat energi vibrasi/rotasi, tetapi hanya transisi vibrasi/rotasi yang dapat menyebabkan perubahan momen dipol aktif yang mengadsorpsi sinar infra merah. Secara umum jenis vibrasi yang terdapat dalam suatu molekul adalah vibrasi ulur simetris dan antisimetris, vibrasi tekuk yang meliputi wagging, rocking, twisting dan scissoring14.
Setiap ikatan mempunyai frekuensi vibrasi yang khas sehingga absorpsi infra merah dapat digunakan sebagai identifikasi gugus yang ada dalam suatu senyawa (analisa kualitatif) . Selain mengidentifikasi gugus intramolekul, spektrum infra merah ini dapat digunakan untuk menganalisa interaksi intra molekul. Misalnya ikatan hidrogen dapat diidentifikasi melalui puncak yang melebar pada bilangan gelombang 3000-3500 cm-1. Selain digunakan untuk identifikasi gugus fungsi, spektrum FTIR juga dapat digunakan sebagai analisa semi kuantitatif, dengan menggunakan metode baseline. Pada metode ini, transmitan pelarut dianggap
konstan/berubah secara linier. Penentuan baseline diperoleh dengan menghubungkan kedua bahu puncak serapan15 (Gambar II.3) .
Gambar II 3 Analisa semikuantitatif dalam spektrometri infra merah dengan metode baseline16
II.6 Koloid
Hal yang membedakan antara koloid dengan larutan sejati dan suspensi adalah ukuran partikelnya. Diameter partikel koloid berkisar antara 10 Ǻ sampai 10.000 Ǻ. Partikel-partikel yang mempunyai diameter lebih kecil dari 10 Ǻ akan membentuk larutan sejati sedangkan partikel-partikel dengan diameter lebih besar dari 10.000 Ǻ akan membentuk suspensi yang secara cepat akan terpisah ke dalam dua fasa 17.
Sistem koloid yang sederhana terdiri dari dua fasa, yaitu : 1. Fasa terdispersi, merupakan fasa partikel.
2. Fasa pendispersi, merupakan medium tempat partikel terdistribusi.
Pada batas permukaan fasa terdispersi dengan medium tersebut terdapat sifat-sifat permukaan seperti efek lapisan rangkap listrik yang memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia secara keseluruhan, terutama yang menyangkut kestabilan dan ketidakstabilan koloid. Partikel koloid merupakan partikel yang stabil. Kestabilan partikel koloid disebabkan ukuran dan muatan listrik yang dimilikinya. Karena luas permukaannya yang besar maka koloid
Bilangan gelombang (cm-1)
disebabkan oleh teradsorpsinya ion-ion dari medium pendispersi pada permukaan partikel koloid. Ion-ion penstabil diadsorpsi dengan kuat pada lapisan bagian dalam yang memiliki muatan partikel yang bervariasi. Ion-ion dari medium pendispersi dengan muatan yang sama (coion) akan ditolak oleh muatan permukaan partikel koloid, sedangkan ion-ion dengan muatan yang berlawanan (counter ion) akan ditarik ke permukaan partikel koloid. Ion-ion ini akan mendekati permukaan partikel dan menetralkan muatannya serta berkumpul membentuk awan ionik. Berinteraksinya awan ionik dengan permukaan partikel koloid akan membentuk suatu lapisan rangkap listrik 3. Muatan listrik
partikel-partikel koloid terdistribusi secara merata pada permukaannya, sedangkan muatan yang berlawanan akan terdistribusi dalam lapisan cairan. Untuk koloid yang bermuatan negatif, kation pada larutan cenderung tersebar di sekitar permukaan sehingga netralisasi muatan dipertahankan. Akibatnya dihasilkan dua macam lapisan pada permukaan partikel koloid, yaitu lapisan diam disebut dengan fixed layer dan lapisan bergerak yang disebut dengan diffused layer.
II.7 Koagulasi dan Flokulasi
Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang umum dilakukan dalam penjernihan air. Menurut AWWA18, proses koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan dari partikel suspensi dan koloid. Sedangkan flokulasi adalah aglomerasi dari partikel terdestabilkan sehingga menjadi flok yang dapat mengendap atau disaring .
Terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan dalam proses koagulasi yaitu, tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan1. Destabilisasi terjadi dengan penambahan koagulan dan kontak
antarpartikel yang biasanya dilakukan dengan pengadukan. Dengan penambahan koagulan maka kestabilan koloid dalam air akan tergangggu karena koagulan akan menempel pada permukaan koloid dan merubah muatan listriknya sehingga terbentuk agregat-agregat yang dapat mengendap 3. Flokulasi adalah proses pembentukan agregat flok yang stabil dengan bantuan flokulan yang tersuspensi
dalam medium cair. Pada proses flokulasi terjadi tumbukan dan penggabungan partikel yang telah mengalami pengurangan muatan menjadi mikroflok kemudian menjadi gumpalan yang lebih besar sehingga dapat diendapkan membentuk suatu flok.
II.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Koagulasi dan Flokulasi
Proses koagulasi dan flokulasi banyak dipengaruhi variabel-variabel yang kompleks.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah19: 1. Kekeruhan
Meskipun air dengan kekeruhan yang tinggi lebih mudah untuk diolah, namun biasanya membutuhkan dosis koagulan yang lebih tinggi dan menghasilkan
lumpur yang lebih banyak. Sebaliknya air dengan kekeruhan yang rendah akan sulit untuk dikoagulasi karena adanya kesulitan dalam kontak dengan partikel koloid, sehingga lumpur yang terbentuk sedikit.
2. pH
Untuk setiap jenis air, ada suatu daerah pH yang memungkinkan terjadinya proses koagulasi dan flokulasi yang baik dengan waktu yang singkat. Daerah pH tersebut juga dipengaruhi oleh komposisi kimia air, jenis dan konsentrasi koagulan yang digunakan.
3. Waktu pengadukan
Waktu pengadukan berpengaruh terhadap efektifitas tumbukan yang terjadi antara partikel koloid dan koagulan. Waktu pengadukan yang terlalu lama akan menyebabkan flok yang terbentuk pada proses flokulasi akan hancur kembali membentuk unit-unit berukuran kecil. Waktu yang terlalu pendek pun akan menimbulkan proses reaksi yang tidak sempurna, karena ketidakhomogenan zat-zat yang digunakan pada pengolahan18.
4. Konsentrasi koagulan
Konsentrasi koagulan sangat berpengaruh dalam menentukan kondisi yang paling optimum. Pada suatu dosis tertentu akan terjadi suatu proses koagulasi yang
5. Pengaruh temperatur
Penurunan temperatur suatu koloid akan menyebabkan kenaikan viskositas, sehingga kecepatan mengendap partikel akan berkurang.
6. Waktu tinggal
Waktu tinggal pada prinsipnya akan menghasilkan kekeruhan yang makin kecil apabila makin lama waktunya.
7. Pengaruh garam-garam yang terlarut dalam air
Pengaruh adanya garam-garam yang terlarut dalam air ditentukan oleh jenis ion-ion serta konsentrasinya.
8. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan merupakan perlakuan fisis yang bertujuan untuk menyempurnakan proses homogenisasi antara koagulan dan flokulan dengan air yang akan diolah. Partikel-partikel koloid dalam air akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk bercampur secara merata dengan koagulan dan flokulan yang ditambahkan. Kecepatan pengadukan yang tidak efisien dapat menyebabkan pemborosan zat dan lambatnya proses pembentukan agregat.
Pengadukan cepat diperlukan untuk proses koagulasi, sedangkan pengadukan lambat untuk proses flokulasi. Proses koagulasi memerlukan pengadukan cepat karena beberapa alasan, yaitu untuk melarutkan koagulan dalam cairan secara sempurna, mendistribusikan koagulan secara merata dan menghasilkan agregat-agregat sebagai inti flok. Dengan adanya turbulensi yang cepat, memperbesar kemungkinan terjadinya tumbukan efektif antara koagulan dan partikel koloid.
Proses flokulasi memerlukan pengadukan lambat untuk memberi kesempatan inti flok yang sudah terdestabilkan untuk bergabung menjadi flok-flok yang berukuran besar, memudahkan flokulan untuk mengikat flok-flok kecil lainnya membentuk flok-flok yang berukuran lebih besar melalui ikatan van der Waals20,21. Selain itu untuk mencegah terjadinya restabilisasi partikel koloid, karena pecahnya ikatan tersebut akibat pengadukan yang terlalu cepat atau lama.
II.9 Polielektrolit sebagai Flokulan
Polimer adalah rantai yang terdiri dari unit kecil monomer. Polimer dapat berbentuk linier atau bercabang dengan berbagai derajat percabangan. Bila unit monomer mengandung gugus yang dapat terionisasi, polimer tersebut disebut polielektrolit. Polielektrolit dapat berupa kation, anion atau ampolit, tergantung pada jenis gugus ionnya. Bila polimer mengandung gugus yang tak dapat terionisasi disebut nonionik22.
Contoh-contoh dari jenis polimer tersebut diantaranya adalah20:
1. Jenis nonionik : poliakrilamid, polivinilalkohol (Gambar II.4 (a) dan (b)) 2. Jenis kationik : polietilenamin klorida (Gambar II.4 (c))
3. Jenis anionik : polivinilsulfonat (Gambar II.4 (d))
(a) Struktur poliakrilamid20 (b) Strukturpolivinilalkohol20
(c)Struktur polietilenamin klorida20 (d) Struktur polivinilsulfonat20 Gambar II 4 Contoh-contoh dari jenis polimer
Menurut Benefield21, proses flokulasi terjadi melalui beberapa tahap seperti
ditunjukkan pada Gambar II.5. Ketika polimer kontak dengan partikel koloid, sebagian polimer diadsorpsi pada permukaan partikel koloid (reaksi 1). “Ekor” polimer akan diikat oleh partikel koloid lainnya yang memiliki sisi kosong, membentuk jembatan antar partikel koloid, sehingga dihasilkan flok yang dapat mengendap (reaksi 2). Jika perpanjangan segmen polimer tidak dapat berikatan dengan sisi aktif partikel koloid lain, polimer tersebut akan berbalik dan terikat
H2C CH S O -O O n H2C CH2 NH2+ Cl -n H2C CH C=O NH2 n H2C CH OH n
kembali (reaksi 3). Proses flokulasi menjadi tidak efisien jika dosis polimer berlebih atau pengadukan yang terlalu cepat dan lama. Jika dosis polimer berlebih, segmen polimer akan menjenuhkan permukaan partikel koloid sehingga tidak ada lagi sisi untuk membentuk jembatan, hal ini mengakibatkan partikel stabil kembali seperti ditunjukkan pada reaksi 4. Pengadukan yang terlalu cepat dan lama akan mengakibatkan putusnya jembatan yang telah terbentuk sehingga terjadi stabilisasi kembali partikel koloid tersebut (reaksi 5 dan 6).
Gambar II 5 Skema reaksi antara partikel koloid dan polimer21 .
Partikel terstabilkan kembali Fragmen flok