• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan dalam Pembangunan Karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan dalam Pembangunan Karakter"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan

dalam Pembangunan Karakter

WURYADI *)

Abstrak

Akibat praktik penjajahan yang panjang dan kekuasaan feodal yang timbul karenanya telah melahirkan karakter terikat dan tergantung pada kekuasaan penjajah yang berpengaruh pada kebanyakan kalangan masyarakat waktu itu. Ketidakmerdekaan karena penjajahan dan feodalisme tersebut membelenggu jiwa dan karakter masyarakat. Sejak digunakan untuk pertama kalinya nama “Indonesia” oleh Ki Hadjar Dewantara, pada tahun 1918, untuk memberi nama

organisasinya “Indonesische Pers Bureau”, dan mencapai titik kulminasinya pada tanggal 28 Oktober 1928, saat terjadinya peristiwa sangat bersejarah “Sumpah Pemuda”, nama “Indonesia” kemudian menjadi identitas karakter bangsa dengan karakter pokok, yaitu kesadaran, kemauan, dan perbuatan sebagai bangsa. Kesadaran, kemauan, dan perbuatan berbangsa tidak dapat dilakukan hanya dengan cara formal di sekolah, akan tetapi perlu dilakukan dalam khasanah pergaulan yang lebih luas dan melibatkan berbagai pengalaman dari keluarga, masyarakat, dan berbagai lembaga pendidikan dalam pengertian yang seluas-luasnya. Lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab dan kontribusi yang besar dalam pembangunan karakter bangsa. Kata kunci: pembangunan karakter, tanggung jawab, lembaga pendidikan

Pendahuluan

Perlu diklarifikasi terlebih dahulu pemahaman kita tentang “Lembaga Pendidikan” yang secara umum dimaknai atau dianalogikan dengan sekolah. Sebab, bagi mereka yang berkecimpung dengan dunia pendidikan, pemaknaan seperti itu terasa sangat sempit. Semua sistem kelembagaan yang mengakomodasi proses pendidikan, dalam fungsinya dapat dimaknai sebagai lembaga pendidikan. Termasuk di dalamnya sekolah, keluarga, lembaga masyarakat, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai suatu sistem, komponen kelembagaan dapat terkait, berinteraksi, dan berhubungan baik secara struktural maupun fungsional, dalam satu kesatuan sistem yang disebut sistem pendidikan.

Klarifikasi berikutnya terkait dengan “pendidikan” yang saat ini sudah demikian dirancukan dengan “pengajaran”, utamanya sejak amandemen UUD 1945 pada tahun 2002, dan kemudian secara intensif pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

(2)

Dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD), pendidikan dalam arti umum adalah “tuntunan

dalam hidup tumbuhnya anak, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (KHD, Keluarga, Thn. I No. 1,2,3,4

Nov. Des. 1936, Jan. Febr. 1937, dalam Karya K.H. Dewantara, bagian pertama:Pendidikan). Dalam konteks operasional, pendidikan dinyatakan oleh KHD sebagai proses yang memerdekakan nurani anak, sedangkan pengajaran dimaksudkan untuk memerdekakan pikiran anak. Mengacu pada pernyataan KHD tersebut, semua lembaga pendidikan tersebut di atas dapat terlibat dalam operasi “pendidikan” maupun “pengajaran”, meskipun dengan peran dan tanggung jawab yang agak berbeda.

Proses pendidikan ataupun pengajaran diyakini merupakan wahana utama pembangunan karakter bangsa. Posisi penting dan sentralnya pembangunan karakter sebagai isu pembangunan pendidikan kembali menghangat dan menjadi pembicaraan di berbagai forum sejalan dengan makin derasnya arus globalisasi. Sejalan dengan itu Kementerian Pendidikan Nasional telah mencanangkan pembangunan karakter sebagai program utama dan bahkan telah membentuk Tim Pendidikan Karakter. Tim ini telah melakukan serangkaian sarasehan nasional untuk menyosialisasikan idenya yang disebut dengan “Grand Design Pendidikan Karakter” ke semua provinsi di seluruh Indonesia.

Kendati demikian, tetap saja masih menyisakan pertanyaan. Apakah Pendidikan Karakter itu menjadi wilayah pendidikan atau pengajaran, atau wilayah konvergensi antara keduanya? Bagaimanakah tanggung jawab dan kontribusi lembaga pendidikan dalam pembangunan karakter?

Sejarah Perkembangan

Sejak sebelum dikenal dan mengenalkan diri sebagai bangsa, manusia-manusia yang kelak dikenal sebagai bangsa Indonesia, telah memiliki karakter-karakter unggul yang kelak dapat dijadikan acuan bagi pembangunan bangsa ini. Walaupun karakter-karakter ini tidak selalu dapat dilacak melalui dokumen-dokumen tertulis yang dapat dijadikan bahan kajian formal, akan tetapi melalui berbagai metode kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karakter unggul ini dapat dilacak. Walaupun untuk melacak secara utuh membutuhkan pengkajian dari berbagai perspektif dan dimensi keilmuan.

Sejak para ahli antropologi mengenali manusia purba sebagai manusia Sangiran, manusia Mojokertensis, dan mungkin manusia-manusia purba lainnya di wilayah “Indonesia” (belum sempat dikenal secara formal oleh para peneliti antropologi karena belum ditemukannya bukti-bukti formal dalam bentuk berbagai fosil yang dapat dikaji dan diteliti lebih lanjut), sangat dipercayai bahwa sesungguhnya mereka memiliki karakter unggul untuk bisa eksis dan berkembang

(3)

menjadi homo socious (manusia bermasyarakat). Homo socious ini kemudian berkembang menjadi masyarakat-masyarakat dengan tatanan “modern” (mengenal pimpinan dan tatakelola berbagai kepentingan untuk mendukung kehidupan bermasyarakat).

Hidup bermasyarakat adalah pengenalan terhadap adanya karakter unggul, antara lain karakter untuk berbagi fungsi, dapat merumuskan aturan (tatanan ke dalam), mampu menaati aturan yang dianggap benar dalam dimensi ruang dan waktu tertentu, dan berani mengubah aturan manakala dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan, mampu memilih pimpinan (walaupun dengan berbagai kriteria yang mungkin saat ini dikenali sebagai cara yang tidak demokratis). Karakter pokok untuk hidup bermasyakat ini dimiliki juga oleh banyak manusia di seluruh dunia, namun tiap kelompok memiliki ciri-ciri khas yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu sebagai hasil dari sentuhannya dengan kondisi lingkungan alam dan sentuhan atau benturan dengan berbagai kepentingan hidup kelompok-kelompok lain. Generalisasi karakter memang biasa dilakukan oleh para peneliti, akan tetapi tugas lain peneliti ini adalah mengungkap ciri-ciri yang berbeda antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

Perkembangan lebih lanjut dari masyarakat ini adalah membangun tatanan ke luar, manakala mulai dijumpai berbagai kelompok masyarakat yang ada di sekitar kelompok mereka. Konsekuensi objektif yang umum terjadi adalah menguasai atau dikuasai kelompok lain, dengan akibat langsung terjadinya ekspansi masyarakat yang menjadi lebih besar dan lebih kompleks. Ada satu tesis, bahwa masyarakat dengan peradaban yang mantap akan berkembang menjadi masyarakat besar di kemudian hari. Atau dapat dikatakan bahwa masyarakat yang kemudian berkembang menjadi besar, mestilah masyarakat yang berbekal pada peradabannya yang lebih mapan, yang kemudian dalam dimensi waktu yang lebih panjang dalam dimensi ruang yang luas, menjadi budaya yang kemudian mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Dengan analogi yang sama kita dapat memahami bagaimana perjalanan bangsa “Indonesia” yang makin besar, yang merupakan rangkaian perkembangan dari kerajaan-kerajaan Mataram Kuno, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, dan seterusnya (tanpa mengabaikan hadirnya kerajaan-kerajaan kecil di sekitar (ruang dan waktu) kerajaan-kerajaan besar tersebut. Karena “kesalahan” mengelola kekuatan dan kekuasaan yang ada, dihadapkan dengan kekuatan dan kekuasan yang lebih “modern”, maka akhirnya kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi bagian dari kekuasaan imperialis yang memerintah: Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, dan dijajah sejak abad 16 sampai dengan abad ke 20.

Kekuatan dan kekuasaan yang diandalkan pada waktu itu terbatas pada kekuatan dan kekuasaan para pemegang kekuasaan kerajaan dengan dukungan terbatas dari kelompok masyarakat yang mendapat pembagian kekuasaan kerajaan (para pedagang Cina, Arab, atau Eropa). Kekuasaan feodal ini melahirkan karakter terikat dan tergantung pada kekuasaan penjajah dan berpengaruh pada kebanyakan kalangan masyarakat pada waktu itu. Ketidakmerdekaan karena penjajahan dan feodalisme, membelenggu perkembangan karakter masyarakat, dan ditambah dengan pendidikan yang sangat terbatas, membelenggu jiwa dan karakter masyarakat.

(4)

Pembangunan Karakter dari Masa ke Masa

Nama Indonesia dalam sejarah diusulkan pertama kali oleh James Richardson Logan (Redaksi

Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia), pada tahun 1850 dan kemudian dipopulerkan

oleh Bastian, ahli antropologi bangsa Jerman, dengan 5 seri bukunya di Eropa. Ketika sedang dalam masa pembuangan di negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara, menggunakan untuk pertama kalinya, pada tahun 1918, untuk memberi nama organisasinya “Indonesische Pers Bureau” (sebelumnya menggunakan nama “Indische Pers Bureau”). Sementara itu, Bung Hatta dan kawan-kawan, menggunakan nama Indonesia pertama kali pada tahun 1920 untuk organisasinya yaitu “Indonesische Vereeneging”, dan sesudah itu nama “Indonesia” menjadi simbol perjuangan bangsa untuk eksis sebagai bangsa. Berbagai organisasi, terutama partai politik berturut-turut menggunakannya sebagai nama partainya. Heroisme dan patriotisme terus berkembang sampai pada titik kulminasinya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928, saat terjadinya peristiwa “Sumpah Pemuda” atau “Deklarasi Kebangsaan”.

“Indonesia” menjadi identitas karakter bangsa dan seolah dapat digunakan sebagai penciri kebangsaan, memberi tanda sifat yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan menjadi simbol semangat kebangsaan untuk menjadi bangsa yang merdeka, yang bebas dari penjajahan. “Indonesia” menjadi simbol persatuan, “Indonesia” menjadi simbol perjuangan.

Karakter pokok yang menjadi modal kebangsaan adalah kesadaran, kemauan, dan perbuatan sebagai bangsa. Karakter ini sebagaimana sejarah memberikan kesaksian, bahwa para pendiri bangsa dan negara Indonesia mulai merintis dengan memberikan “ladang” persemaian bagi tumbuhnya kesadaran berbangsa, yaitu memberikan kesempatan pendidikan walaupun minimal (untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung) kepada masyarakat (seperti yang dilakukan oleh perintis Kebangkitan Nasional, Budi Utomo) sejak tahun 1908 dengan usaha beasiswa. Upaya ini memberikan hasil yang mencengangkan, yaitu selang 20 tahun kemudian, ditambah dengan berbagai pendidikan politik, pendirian sekolah (Muhammadiyah, Tamansiswa, Pesantren, dan Perkumpulan Budaya dan Kesenian), lahirlah satu momentum yang sangat menentukan sejarah kebangsaan Indonesia yaitu Sumpah Pemuda atau lebih dapat ditegaskan sebagai Deklarasi Kebangsaan Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Kesadaran, kemauan, dan perbuatan berbangsa, tidak dapat dilakukan hanya dengan cara formal di sekolah, akan tetapi perlu dilakukan dalam khasanah pergaulan yang lebih luas. Pendidikan di sekolah hanya digunakan sebagai awalan picuan untuk melihat perspektif secara umum. Pengisian substansinya justru dapat diperoleh dalam berbagai pengalaman yang dapat terjadi di keluarga, masyarakat, dan berbagai kegiatan organisasi yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu kendali pokok harus menjadi perhatian pada berbagai kegiatan organisasi ini. Penyimpangan akan lebih banyak terjadi karena longgarnya perhatian kita terhadap berbagai kegiatan (perbuatan) dalam organisasi kemasyarakatan ini. Salah satu bentuk kendali yang dapat dilakukan adalah adanya hubungan interaktif yang harmonis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

(5)

Kesadaran dan kemauan berbangsa lebih mudah dilakukan dalam komunitas yang dapat menggambarkan realitas bangsa yang beragam, baik secara etnik maupun kondisi sosial budaya. Oleh karena itu pengembangan kesadaran dan kemauan berbangsa seorang anak akan lebih mudah ditumbuhkan dalam komunitas plural dan multikultural. Perbuatan berbangsa diharapkan dapat ditumbuhkan melalui berbagai peluang untuk mengenali sejarah, terutama sejarah yang mengandung makna yang dekat dengan sejarah terbentuknya bangsa ini, yakni kebangkitan nasional, deklarasi kebangsaan, proklamasi kemerdekaan, lahirnya Pancasila, dan berbagai peristiwa kebangsaan lainnya. Kesadaran bertanah air untuk melengkapi kesadaran berbangsa dimulai dengan pengenalan tentang tempat hidupnya, mulai dari rumah, kampung/desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan selanjutnya negara.

Karakter yang menggambarkan kesadaran secara alami bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural tetapi menyatu, yang multikultural tetapi manunggal (berbasis pada budaya bhinneka tunggal ika), dapat dikembangkan melalui berbagai kesempatan baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Karakter gotong royong sebenarnya menjadi karakter sentral bangsa Indonesia. Sayangnya, karakter ini sekarang menjadi karakter yang makin jauh dari kehidupan masyarakat, dan dengan sendirinya makin tidak menyentuh nurani kebanyakan komunitas pendidikan terutama murid. Perbuatan berbangsa yang plural tetapi menyatu, multikultural tetapi manunggal, perlu menjadi agenda utama bagi keluarga, sekolah, dan berbagai organisasi masyarakat untuk mengenalkan realitas kehidupan bagi anak dan murid. Karakter ini perlu dukungan kegiatan kemasyarakatan yang kaya akan sifat kepedulian, empati, dan kemauan untuk menolong satu terhadap lainnya.

Karakter penting bangsa Indonesia yang menjadi pendukung bagi kehidupan bangsa yang berkelanjutan adalah kesadaran yang utuh tentang posisi geopolitik Indonesia yang strategis; antara benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan samudera Indonesia/India, antara arus peradaban dunia, antara berbagai kepentingan politik-ekonomi dunia, dengan segala konsekuensinya. Karakter ini sangat penting bagi bangsa Indonesia dan para penerusnya, dan untuk itu program pendidikan karakter dan berbagai kegiatan yang secara nyata akan mengisi kesadaran anak bangsa.

Seperti yang kita ketahui, pemahaman tentang bangsa dimulai dengan teori Bauer yang menyatakan bahwa bangsa terbentuk karena kesamaan nasib. Renan menyatakan bangsa terbentuk karena adanya persamaan keinginan dan kesamaan cita-cita. Sementara itu Bung Karno menyatakan bahwa bangsa akan menjadi lebih kokoh kehadirannya apabila dia berada pada posisi geopolitik yang sama (antara manusia dan tempat tidak dapat dipisahkan). Karakter-karakter kebangsaan tersebut di atas dapat dikembangkan melalui pendidikan dengan tetap memperhatikan kodrat anak dan jaminan tidak terpisah dari masyarakatnya. Dalam persyaratan tersebut dapat dikatakan bahwa syarat kesatuan nasib dan tumbuhnya kehendak bersatu akan dapat diperoleh dengan baik dan didukung oleh tempat hidup yang memberikan kehidupan yang berkelanjutan.

(6)

melalui penyebaran data konkret yang diperoleh dari berbagai penelitian dan pengkajian. Bahan seperti ini dapat diklasifikasikan secara bertahap, sehingga dapat menjadi asupan pendidikan bagi murid mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara proporsional. Pendidikan seperti ini dapat mengembangkan karakter bangsa untuk lebih percaya diri sebagai anak bangsa.

Di sisi lain kesadaran akan potensi bangsa Indonesia untuk memiliki kemampuan dengan landasan budaya dan peradaban yang mantap untuk siap bersinergi dengan berbagai bangsa lain, atas dasar kesederajadan dan kerja sama yang saling menguntungkan, perlu ditumbuhkan. Bagaimana mengubah kesadaran menjadi karakter bangsa yang positif, dapat dilakukan melalui pendidikan sekolah, dengan modal pengalaman langsung para pemuda dalam berbagai forum pergaulan dunia, dan dasar moral dan akhlak sejak dari kehidupan keluarga (untuk menghilangkan rasa rendah diri dan merasa layak untuk bergaul dengan berbagai bangsa lain). Hal ini yang disalahartikan dalam berbagai kebijakan untuk memfokuskan pada pendirian sekolah bertaraf internasional (SBI) secara eksklusif dengan tekanan pada penggunaan kurikulum asing dan dukungan dana berlebih. Contoh ini justru menimbulkan luka di hati kebanyakan murid yang justru tidak berkesempatan untuk mengikuti SBI dan akan menimbulkan bibit disintegrasi di kalangan kaum muda.

Kesadaran ideologi dan filsafat kehidupan bangsa, yaitu Pancasila, memerlukan pendekatan alami sesuai dengan kodrat anak, kondisi masyarakat setempat, dan bukan meniadakan pendidikan Pancasila bagi seluruh tingkatan anak (seperti yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas). Secara naluriah harus diakui bahwa semua manusia di Indonesia memiliki keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk semua agama yang diakui di Indonesia). Demikian juga akan sulit mencari manusia di Indonesia yang tidak setuju dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan akan sulit untuk menemukan manusia Indonesia yang tidak setuju dengan persatuan Indonesia.

Terhadap sila ke-4 dan ke-5, diperlukan uraian dan argumentasi yang tepat, agar tidak terjadi salah pengertian yang berakibat salah arah karena salah pengertian. Versi asli sila ke-4 dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 adalah Mufakat atau Demokrasi. Demokrasi di Indonesia tidak akan terjadi tanpa Mufakat, jadi bukan sekadar hak untuk berbeda, akan tetapi juga kewajiban untuk bisa Mufakat. Dalam rumusan formal, sila ke-4 ini dinyatakan sebagai “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Rumusan ini sangat bijak dan juga disetujui oleh Bung Karno karena rumusan tersebut mengandung hak rakyat (kedaulatan). Demokrasi ini dilakukan melalui suatu musyawarah yang dilakukan dengan perwakilan (sebab tidak mungkin melakukan musyawarah secara bersama oleh semua penduduk Indonesia), dan hasilnya adalah mufakat. Musyawarah dan mufakat adalah penciri Demokrasi Indonesia.

Sila ke-5, dalam pidato aslinya disebut sebagai kesejahteran rakyat, yang dianggap sebagai tujuan terminal bagi negara dan pemerintah Indonesia dan dirumuskan dengan arif sekali sebagai “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ke-5 ini jelas anti diskriminasi dan pro pemerataan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Terasa sekali bahwa Pancasila sesungguhnya

(7)

adalah bagian dari budaya Indonesia, dan oleh karenanya Bung Karno tidak berani menyatakan bahwa Pancasila adalah pikirannya, akan tetapi sekadar menggali dari khasanah budaya dan kehidupan rakyat Indonesia.

Karakter untuk memahami dan menggunakan Pancasila sebagai landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak cukup dengan pengalaman akademik di sekolah, akan tetapi perlu diperkaya (utamanya) dengan berbagai pengalaman kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Fenomena kehidupan masyarakat yang sangat sulit untuk menyelesaian konflik di antara kelompok dengan berbagai ungkapan secara fisik menggambarkan bahwa sesungguhnya pemahaman tentang Pancasila dalam kehidupan berbangsa masih sangat kecil.

Di berbagai negara termasuk negara-negara yang sekuler, dalam pendidikan kewargnegaraannya (civic education), yang dikembangkan terutama sekali adalah kecintaan dan kesediaan berbuat dan berkorban sepenuh hati untuk bangsa dan negaranya (jiwa patriotisme). Bagi Indonesia yang berlandaskan Pancasila, pengabdian kepada bangsa dan negara adalah bagian dari ketaqwannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (untuk semua agama yang diakui di Indonesia).

Karakter sebagai bangsa yang merdeka, mandiri, kreatif dan dinamis, terbentuk melalui berbagai pengalaman akademis dan sosial yang dimiliki oleh setiap anak Indonesia. Karakter ini akan menjadi kunci kepercayaan diri untuk sadar akan kesederajadan yang bermartabat berbagai bangsa lain di dunia.

Selain itu karakter yang mengandung kepemihakan yang jelas kepada masyarakat yang belum beruntung karena adanya sistem yang merugikan kehidupan sebagai bangsa yang berdaulat. Karakter ini mengandung konsekuensi sikap terhadap berbagai sistem (penjajahan, kapitalisme, imperialisme yang menguasai, feodalisme) yang mengandung pemerasan terhadap rakyat. Karakter ini dapat ditumbuhkan melalui pemahaman dan pengalaman berjenjang secara proporsional kepada anak bangsa pada berbagai tingkatan umur dan pendidikan.

Karakter-karakter tersebut dikategorikan sebagai karakter dasar sebagai bangsa, dan untuk menjadi karakter yang utuh dibutuhkan karakter-karakter individual sebagai manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, dan bermoral utama sebagai bangsa. Namun hendaknya disadari bahwa karakter individual ini tidak dapat diakumulasikan (dijumlah) sebagai karakter bangsa. Karakter individual ini diharapkan dapat tumbuh dari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala karakter ikutannya, yaitu: ikhlas, jujur, peduli atas sesama dan lingkungan hidupnya (empati), kritis, kreatif, sensitif, akomodatif, toleran, dan kemampuan untuk bergotong royong (tingkat perkembangan moral konvensional dan pasca konvensional).

(8)

Tanggung Jawab dan Kontribusi

Seperti telah disampaikan pada awal tulisan ini bahwa secara umum yang dimaksud dengan lembaga pendidikan adalah semua pihak mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang berperan utama dalam melahirkan pikiran-pikiran dasar dan strategis tentang pendidikan karakter. Produk utamanya adalah peraturan perundang-undangan, yang mestinya bersumber pada Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara, dan diakui sebagai dasar filsafat kehidupan bangsa, UUD 1945, ikatan formal dalam NKRI dengan segala konsekuensinya, dan dasar ikatan budaya bangsa Bhinneka Tunggal Ika. Semua bentuk peraturan perundang-undangan perlu selalu dievaluasi dan diluruskan sesuai dengan 4 pilar kebangsaan dan kenegaraan tersebut di atas (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) agar dapat memberi jaminan keselamatan kehidupan bangsa dan negara, dan menghasilkan karakter bangsa Indonesia. Penyimpangan yang terjadi terhadap salah satu pilar kebangsaan dan kenegaraan tersebut perlu dilakukan koreksi oleh Lembaga Kenegaraan yang ada seperti Mahkamah Konstitusi atau dikoreksi langsung oleh rakyat yang menggunakan hak dasarnya sebagai pemilik sah negeri tercinta ini.

Pelaksana langsung pendidikan karakter adalah lembaga pendidikan yang dikenal sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat yang mestinya menyatu dalam satu harmoni sistem. Ketimpangan peran di antara Tri Pusat ini akan menghasilkan ketimpangan karakter anak bangsa sebagaimana yang terjadi saat ini. Ketimpangan karakter ini mulai dianggap sebagai produk dari pendidikan yang tidak meng-Indonesia.

Beberapa indikasi pokok terjadinya ketimpangan peran pada keluarga, antara lain adalah kehidupan keluarga yang mulai menyimpang dari akar budaya Indonesia. Keluarga kurang peduli terhadap pendidikan anaknya di sekolah. Keluarga menjadi sangat asing terhadap kehidupan anaknya dalam masyarakat. Keluarga menjadi tidak berdaya terhadap intervensi nilai-nilai budaya asing melalui berbagai media yang terlanjur akrab dengan kehidupan anaknya. Keluarga umumnya justru bersifat gagap teknologi terhadap berbagai langgam hidup anaknya yang mengikuti arus globalisasi tanpa seleksi. Yang paling menyedihkan di kalangan keluarga adalah ketika antara orang tua dan anak menjadi asing satu terhadap lainnya karena adanya kesenjangan budaya. Beberapa keluarga menjadi sangat protektif terhadap anaknya untuk tidak terlampau terbuka dengan masyarakat, sehingga anak tidak lagi memiliki peluang untuk memahami budaya masyarakat tempat mereka hidup. Tetapi justru sebaliknya, secara terbuka mereka bergaul dengan kebudayaan global melalui berbagai fasilitas kehidupan yang dinikmati.

Sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan mendapat perhatian berlebih dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Sekolah seolah menjadi pusat terjadinya proses pendidikan dan pengajaran yang paling utama. Segala bentuk peraturan dan perundangan dimaknakan sebagai peraturan dan perundangan untuk sekolah, sehingga ada sindirian bahwa kementerian pandidikan lebih tepat menjadi kementerian persekolahan. Kesenjangan peran di antara tri pusat pendidikan

(9)

ini, memang lebih banyak terjadi karena peraturan dan perundangan yang ada (UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU BHP yang sudah dibatalkan, dengan segala bentuk PP, Perpres, Perpu, Permen, dan lain-lain aturan di bawahnya). Perhatian yang belebihan inilah sebetulnya yang menjadi sumber kesenjangan antar tri pusat pendidikan, dan akibatnya sekolah justru mengabaikan peran keluarga dan masyarakat (sebagai contoh peran Komite Sekolah), sehingga sistem harmoni menjadi sulit diwujudkan.

Masyarakat, atau yang aslinya digunakan sebagai salah satu pusat pendidikan oleh KHD adalah organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Organisasi inilah yang dinyatakan oleh KHD sebagai wajib diikuti oleh setiap subjek didik untuk mempraktikkan pengalaman-pengalaman hidupnya, yang dasar-dasarnya diperoleh melalui keluarga dan sekolah. Namun saat ini pengertian masyarakat menjadi sangat luas, termasuk segala bentuk sumber informasi melalui berbagai media massa, organisasi-organisasi kemasyarakatan, berbagai fungsi kemasyarakatan, termasuk berbagai konflik antar organisasi politik yang ada, berbagai praktik korupsi, kolusi, penyuapan, dan mafia hukum yang terjadi, semuanya dikenali sebagai komponen masyarakat. Pemahaman tentang masyarakat seperti itu menyebabkan keluarga dan sekolah merasa memiliki tugas mulia untuk melindungi anak dari pengaruh negatif masyarakat ini. Akibatnya terjadi suasana isolasi terhadap anak dari berbagai kenyataan riil yang ada dalam masyarakat. Padahal isolasi ini justru akan menyudutkan anak dalam dunia mimpi dan tidak nyata, sehingga menjadi sangat lemah terhadap berbagai intervensi budaya negatif dari luar, termasuk berbagai upaya formal melalui pendidikan sekolah dan langgam hidup keluarganya sendiri atau melalui komunitas pergaulan eksklusifnya.

Sistem harmoni antara sekolah-keluarga-masyarakat perlu menjadi perhatian lembaga pendidikan secara keseluruhan. Harmoni yang dibangun dari ke tiga pusat pendidikan secara alami dan berbasis pada budaya lokal (kearifan lokal) dapat menjadi solusi riil. Ada beberapa pilihan yang dapat dikembangkan sesuai dengan kearifan lokal, yaitu bentuk family-community based school

education (pernah menjadi salah satu konsep pembangunan sekolah yang sesuai dengan konteks

kehidupan keluarga dan masyarakatnya). Pilihan lain adalah school based family and community

development, atau school and family based community development. Tiap pilihan akan membawa

konsekuensi intensi pengembangan yang berbeda dengan hasil yang akan berbeda pula. Penataan dan pengaturan secara terpusat akan segera menghadapi kendala kebhinnekaan budaya setempat. Namun setiap bentuk pemecahan berbasis pada kearifal budaya lokal, harus segera dikonsultasikan dengan 4 pilar kebangsaan dan kenegaraan tersebut di atas ( Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).

(10)

Penutup

Tulisan di atas lebih merupakan tulisan reflektif untuk menjaga keutuhan pikiran penulis tanpa terkontaminasi masuknya pikiran-pikiran dari berbagai sumber lain yang mungkin berbeda alurnya. Walaupun sangat disadari bahwa opini dari berbagai orang bisa menjadi bahan olahan pikiran kita, namun tulisan tersebut dimaksudkan sebagai ekspresi utuh dari penulis.

Tulisan ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan tunggal. Dibutuhkan berbagai acuan lain agar dapat dijadikan sebagai referensi alternatif tentang pendidikan karakter di Indonesia. Tulisan ini akan menjadi pelengkap bagi hadirnya gagasan tentang Jatidiri Pendidikan yang Mengindonesia yang saat ini menjadi esensi pemikiran utama yang sedang dirumuskan oleh Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY. Tulisan ini lebih sebagai pemikiran reflektif awal, yang kemudian dapat diikuti dengan pemikiran-pemikiran implementatif yang dapat memberikan tuntunan bagi para pendidik pada umumnya di Indonesia.**

*) Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta; Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta; Ketua Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Daftar Pustaka

Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia

Dewantoro, Ki Hadjar. Keluarga, Thn. I No. 1,2,3,4 Nov. Des. 1936, Jan. Feb. 1937, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan demokratis dengan kepuasan kerja, untuk mengetahui tingkat kepuasan

Kelemahan dari membran CA ini adalah bahannya yang rapuh sehingga perlu dikembangkan dibuat membran komposit, yaitu membran yang dikombinasikan dengan bahan polimer

Jenis data pada penelitian ini berupa; (a) proses penamaan atau pembuatan brand lembaga zakat, (b) cara yang dilakukan oleh lembaga zakat dalam sosialisasi

Berdasarkan hasil penelitian pada tiap responden di Kelurahan Jaya rata-rata jumlah produksi yang diperoleh bervariasi dengan jumlah produksi yang paling sedikit 300 lempeng

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Adanya asimetri informasi antara manager dan pemegang saham akan menimbulkan masalah yang bisa merugikan para pemegang saham, tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana tata

Adapun penggunaan pendekatan kualitatif deskriptif karena penelitian yang akan dilakukan ini berusaha untuk mendeskripsikan tentang efektifitas kepemimpinan

Pemodelan jumlah kematian ibu menggunakan regresi binomial negatif diketahui bahwa variabel yang signifikan adalah persentase penanganan ibu hamil mengalami komplikasi,