• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut atau memberikan izin pada pihak lain untuk menggunakannya. 3 Dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tersebut atau memberikan izin pada pihak lain untuk menggunakannya. 3 Dengan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai produk barang dan jasa beredar di dunia perdagangan, sehingga dibutuhkan daya pembeda antara produk barang/jasa yang satu dengan yang lain terutama untuk produk barang atau jasa yang sama. Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal usul barang (indication of origin).1Sebuah merek pada dasarnya mencerminkan janji penjual untuk secara konsisten menyediakan sekumpulan fitur (features), manfaat, dan layanan kepada pembeli. Merek juga mengandung jaminan akan kualitas.2

Perlindungan hukum hak atas merek di Indonesia saat ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek) yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin pada pihak lain untuk menggunakannya.3Dengan demikian hak atas merek adalah hak konstitutif yang lahir karena adanya pendaftaran merek pada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik

1

Muhamad Djumhana dan R Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 159

2Agus Maulana, “Merek: Peran dan Kaitannya dengan Sukses Produk” ,Usahawan No. 08, TH

XXVIII, Agustus 1999

3

(2)

Indonesia (Ditjen HKI) sesuai dengan Pasal 7 UU Merek. Sistem yang dianut dalam Undang-Undang Merek adalah sistem first to file, yaitu hak atas merek diberikan pada mereka yang mendaftarkan pertama kali mereknya di DitJend HKI.

Beragam jenis barang dan jasa yang dapat didaftarkan mereknya menimbulkan permasalahan sendiri dalam mengelola data dan proses pendaftarannya. Oleh karena itu diperlukan klasifikasi barang dan jasa untuk mempermudah proses pendaftaran dan penyimpanan data merek terdaftar. Klasifikasi barang dan jasa mengenai pendaftaran merek yang digunakan dan diakui di dunia internasional saat ini adalah Nice Classification yang terdapat dalam Nice Agreement.Dengan adanya klasifikasi barang dan jasa yang digunakan secara internasional membuat proses pendaftaran merek lebih efisien. Klasifikasi tersebut disusun berdasarkan ringkasan kelas (Class Heading) barang dan jasa, yaitu terdiri dari 34 kelas barang serta 11 kelas jasa.

Klasifikasi barang dan jasa di Indonesia berkaitan dengan pendaftaran merek terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 sebagai peraturan pelaksana dari UU No.19 Tahun 1992 tentang Merek. Seiring dengan perkembangan jaman, undang-undang tentang merek telah terjadi beberapa kali revisi sejak Indonesia bergabung ke dalam WTO melalui ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO dengan UU No. 7 Tahun 1994, yaitu UU No. 14 Tahun 1997 dan yang terakhir dan berlaku hingga saat ini, UU No. 15 Tahun 2001. Namun peraturan mengenai klasifikasi barang dan jasa yang berkaitan dengan pendaftaran merek hingga saat ini belum terdapat aturan baru.

(3)

Klasifikasi barang dan jasa yang terdapat dalam PP No. 24 Tahun 1993 merujuk pada edisi Nice Classification yang berlaku pada saat itu, yaitu edisi keenam. Sedangkan edisi yang dipakai dalam pendaftaran merek di dunia internasional saat ini adalah edisi kesepuluh versi 2014 yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.Banyak perubahan yang terjadi antara edisi keenam hingga edisi kesepuluh. Perubahan yang cukup terlihat adalah pembentukan kelas 43, 44, dan 45 pada edisi kedelapan yang merupakan perluasan dari kelas 42 dalam edisi keenam. Perubahan yang terdapat dalam setiap edisi Nice Classiffication yang baru selain penambahan macam barang baru, penghapusan suatu barang, atau modifikasi penggunaan istilah bahasa yang lebih tepat. Edisi-edisi tersebut disusun dalam dua bahasa yaitu Inggris dan Perancis, dengan teks yang sepenuhnya sama.

Indonesia belum meratifikasi Perjanjian Nice namun dikelompokkan sebagai negara pengguna Klasifikasi Nice. Adapun yang menjadi dasar penggunaan klasifikasi Nice dalam proses pendaftaran merek di Indonesia adalah Keppres Nomor 17 Tahun 1997 tentang Ratifikasi Trademark Law Treaty, yang mengatur harmonisasi dalam proses pendaftaran merek bagi negara-negara anggotanya, salah satunya dalam Pasal 9 ayat (1) Trademark Law Treaty menyebutkan:

“Each registration and any publication effected by an Office which concerns an application or registration and which indicates goods and/or services shall indicate the goods and/or services by their names, grouped according to the classes of the Nice Classification, and each group shall be preceded by the number of the class of that Classification to which that group of goods or services belongs and shall be presented in the order of the classes of the said Classification.”

(4)

DitJen HKI sebagai lembaga yang berwenang melakukan proses pendaftaran merek tidak pernah menerbitkan terjemahan resmi dari klasifikasi tersebut. Terjemahan yang terdapat pada berbagai literatur hanya merupakan terjemahan dari Class Heading (ringkasan kelas) yang merupakan gambaran ringkas keseluruhan jenis barang dan jasa yang terdapat pada kelas yang dimaksud. DitJen HKI telah melakukan terjemahan terhadap Nice Classification edisi kesepuluh dengan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Namun hasil penerjemahan tersebut masih memerlukan proses editing karena terdapat beberapa barang dan atau jasa yang terjemahannya tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam ringkasan kelas (Class Heading). Adapun yang digunakan oleh dunia Internasional sebagai klasifikasi barang dan jasa dalam rangka pendaftaran merek adalah Nice Classiffication edisi kesepuluh versi 2014 yang telah mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan kata yang digunakan terhadap barang atau jasa yang dimaksud, penghapusan barang dan jasa ataupun penambahan barang dan atau jasa baru dalam klasifikasi versi terbaru, belum diterjemahkan.

Praktik keseharian yang terjadi dalam sistem pendaftaran merek Indonesia, klasifikasi barang dan jasa yang digunakan adalah Nice Classification edisi kesepuluh yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2012 demi harmonisasi administrasi pendaftaran merek dunia internasional.Walaupun pada kenyataannya tidak semua jenis barang dan atau jasa yang terdapat dalam permohonan pendaftaran merek di Indonesia dapat dicari padanannya dalam klasifiksi tersebut.

Nice Classification hanya mengatur penggolongan barang dan jasa berdasarkan ringkasan kelas (Class Heading), padahal Pasal 6 ayat (1) huruf a UU

(5)

Merek menyatakan bahwa “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jendral apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis”. Kata yang digunakan adalah “barang dan/atau jasa sejenis” bukan “barang dan/atau jasa dalam satu kelas”. Ketentuan mengenai barang dan jasa sejenis umumnya diserahkan pada negara masing-masing.

Hak atas merek diberikan setelah melalui proses pendaftaran merek yang diatur dalam UU Merek, salah satunya melalui pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif dilakukan oleh Pemeriksa merek yang terdapat dalam Ditjen HKI Kementerian Hukum dan HAM, diantaranya meliputi pemeriksaan terhadap persamaan merek pada pokoknya ataupun keseluruhan barang atau jasa yang sejenis.4 Kriteria suatu barang atau jasa dikatakan sejenis baru tertuang dalam Keputusan Ditjen HKI Nomor H-09.PR.09.10 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Substantif Merek, yang digunakan pemeriksa merek sebagai acuan dalam melaksanakan tugasnya.

Tidak adanya terjemahan resmi mengenai klasifikasi barang dan jasa serta daftar mengenai barang dan atau jasa sejenis di Indonesia menyebabkan kurangnya kepastian hukum dalam proses pendaftaran merek. Kesimpangsiuran tersebut tidak hanya menyulitkan pemohon dalam mengajukan pendaftaran merek tetapi juga pemeriksa merek selaku petugas yang berkewajiban melaksanakan pemeriksaan dokumen terkait permintaan pendaftaran merek.

4

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, timbul permasalahan yang perlu dijawab melalui penelitian terlebih dahulu yaitu:

a. Bagaimana penerapan klasifikasi barang dan jasa menurut Nice Classification dalam hal pendaftaran merek di Indonesia?

b. Bagaimana praktik penentuan suatu barang dan/atau jasa dikatakan sejenis dengan barang atau jasa lainnya?

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran pada perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada dan Perpustakaan yang terdapat di lingkungan Ditjen HKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan internet, penulis menemukan dua penelitian tentang Nice Agreement yang berisikan Nice Classification, yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Agung Indriyanto, SH, pada tahun 2008, dengan judul “Implikasi Keberlakuan Perjanjian Nice mengenai Klasifikasi Barang dan Jasa dalam Pelaksanaan Pendaftaran Merek di Indonesia” pada Univeritas Padjajaran Bandung. Penelitian ini membahas mengenai berlakunya Perjanjian Nice selaku perjanjian internasional dalam praktek pendaftaran merek di Indonesia sebagai negara yang tidak menandatangani perjanjian tersebut. Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah Perjanjian Nice berlaku di Indonesia

(7)

berdasarkan prinsip hukum kebiasaan internasional karena Perjanjian tersebut telah dipraktekkan dalam sistem pendaftaran dan diterima sebagai hukum di negara-negara yang bukan peserta perjanjian.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Astari Dwi Paramia Rahardjo, SH, pada tahun 2012 dengan judul “Analisa Hukum Ratifikasi Nice Agreement bagi kepentingan pemilik Merek di Indonesia”, pada Universitas Indonesia. Penelitian tersebut membahas mengenai ada atau tidaknya peraturan perundangan di Indonesia yang mengakomodir Nice Ageement serta perlu atau tidaknya ratifikasi terhadap agreement tersebut. Kesimpulan dari penelitian tersbut bahwa peraturan perundangan di Indonesia memang mengakomodir Nice Classification yang terdapat dalam Nice Agreement yaitu dalam PP Nomor 24 Tahun 1993, namun bukan edisi terkini dari klasifikasi Nice, serta ratifikasi terhadap Nice Agreement perlu dilakukan oleh Indonesia selaku negara pengguna Nice Classification dipandang perlu dilakukan.

Kedua penelitian tersebut mempunyai perbedaan permasalahan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Keduanya tidak membahas penerapan Nice Classification dalam pendaftaran merek di Indonesia serta penerapan penentuan kriteria barang dan/atau jasa sejenis.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(8)

1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya Hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) guna menciptakan suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat menunjang penempatan barang dan jasa yang tepat dalam klasifikasi barang dan jasa demi terciptanya administrasi pendaftaran merek yang baik serta kepastian hukum dalam hal pemberian hak atas merek terhadap jenis barang atau jasa tertentu,dan

2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan dalam hal pendaftaran merek mengenai pentingnya terjemahan klasifikasi internasional mengenai badang dan jasa dengan edisi terbaru yang berlaku di dunia internasional.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penerapan klasifikasi barang dan jasa berdasarkan Nice Classification dalam rangka pendaftaran merek di Indonesia, serta mengetahui dan menganalisis praktik penentuan suatu barang atau jasa dikatakan sejenis dengan barang dan/atau jasa lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kiprah asimetris biasanya terlihat pada anak-anak ketika tungkai perbedaan panjang tidak lebih dari 3,7% menjadi 5,5% [38,74] Dalam upaya untuk menjaga tingkat

Teeburu Tsukue.. Misalnya kata tsukue dan teeburu adakalanya menunjukan hal yang sama yaitu ‘meja’, tetapi tsukue lebih mengacu pada meja duduk gaya Jepang

Analisis Davis terhadap riset tersebut menunjukkan bahwa persepsi individu terhadap kemudahan dalam menggunakan IT berkorelasi dengan penggunaan IT saat ini

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Chyntia, Indriani & Saputra (2018) yang telah memberikan bukti empiris bahwa IC yang diukur oleh VAIC berpengaruh

Dari hasil keseluruhan pengujian dapat ditarik kesimpulan bahwa FMIPv6 memiliki performansi jaringan yang lebih baik dibanding dengan MIPv6 karena dari data yang

Agenda Clustering Requirement untuk clustering Tipe data dalam cluster analysis Interval-scale variable Binary variable Nominal variable Ordinal variable Ratio-scaled

yang senantiasa melayangkan mata ke tempat yang kosong atau yang senantiasa melayangkan mata ke tempat yang kosong atau matanya terpaku pada tali sepatunya tidak akan mendapat banyak

Hasil penelitian yang didapatkan dari 54 responden, secara umum kelompok lanjut usia di Kelurahan Kinilow Kecamatan Tomohon Utara Kota Tomohon paling banyak memiliki