• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bambu

Bambu tergolong kedalam suku poaceae atau gramineae, marga bambuseae, dan anak suku bambusoideae. Bambu dikenal memiliki karakter yaitu tumbuh merumpun, memiliki batang bulat, berlubang, dan beruas-ruas, dengan percabangan kompleks, setiap daun bertangkai dan bunganya terdiri atas sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota, serta 3-6 buah benang sari (Widjaja, 2001b). Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun jenis rumput-rumputan juga memiliki bentuk daun yang menyerupai bambu, namun adanya fusoid cells dan arm cells pada bambu membedakan jenis ini dengan jenis rumput-rumputan.

Pemanfaatan bambu bagi masyarakat perdesaan di Indonesia sangat luas, mulai dari akar hingga daun. Akar biasanya digunakan untuk bahan ukiran, sedangkan buluh biasanya dimanfaatkan untuk bahan bangunan, jembatan, kerajinan tangan, dan lainnya. Terdapat pula jenis instrumen musik yang dapat dibuat dari bambu, seperti suling dan angklung. Dalam masyarakat perdesaan, daun bambu juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk membungkus makanan seperti bacang. Saat ini pengembangan pemanfaatan bambu dalam skala industri sudah mulai diperkenalkan seperti industri pembuatan sumpit dan industri bahan baku pembuatan kertas atau pulp.

Oleh banyak pakar bambu, pertanaman bambu di pulau Jawa dikategorikan sebagai bambu kampung yang telah umum dibudidayakan dan bambu liar yang tumbuh di hutan (Widjaja, 2001a). Bambu budidaya di Indonesia merupakan hasil introduksi oleh penduduk Indocina yang bermigrasi ke Indonesia. Jenis yang diduga merupakan hasil migrasi penduduk adalah dari marga Gigantochloa (Holtum, 1958). Jenis dari marga ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus). Jenis ini tumbuh melimpah di pulau Jawa dan umumnya ditanam di daerah perdesaan tetapi ada juga yang tumbuh liar di dalam taman nasional. Jenis bambu yang sering digunakan oleh masyarakat perdesaan di Indonesia diantaranya adalah jenis bambu tali (Gigantochloa apus), bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae), dan bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae) (Krisdianto et al, 2007).

(2)

2.2 Ekosistem Bambu

Sekitar 1200-1300 spesies bambu di seluruh dunia yang tumbuh dimana sekitar 143 spesies tumbuh di Indonesia. Di Asia Tenggara, ditemukan sekitar 200 spesies bambu yang tergolong ke dalam 20 genera dan kebanyakan merupakan tanaman asli daerah beriklim muson (Dransfield dan Widjaja, 1995). Habitat bambu di Asia Tenggara ditemukan mulai dari wilayah dataran rendah hingga dataran tinggi, dengan iklim tropis basah sampai kering, daerah kritis, rawa-rawa, serta pinggiran sungai baik yang tergenangi banjir maupun kering (Dransfield dan Widjaja, 1995). Dari segi kesesuaian iklim, bambu dapat tumbuh mulai dari daerah yang memiliki iklim tropis sampai sub-tropis, mulai dari agak lembab sampai agak kering. Di daerah dengan iklim basah seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand selatan, bambu mendominasi suatu lanskap hutan bekas tebangan. Tanah subur dengan drainase yang baik mampu meningkatkan pertumbuhan dan adaptasi bambu (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Distribusi pertanaman bambu di Indonesia hampir merata di seluruh kepulauan utama, terutama di pulau Jawa. Menurut Kartodihardjo (1997), bambu dapat hidup pada temperatur mulai dari 9° C sampai dengan 36°C dengan curah hujan 1000 mm. Kesesuaian iklim bambu terdistribusi menyebar pada wilayah dengan tipe iklim Schemid-Fergusson A, B, C, D, E, dan F. Jenis bambu di Indonesia dapat dijumpai pada wilayah yang memiliki ketinggian mulai dari 0 m dpl sampai dengan 3000 m dpl. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin basah dan semakin tinggi suatu kawasan maka keragaman jenis bambu juga akan semakin tinggi dan hal ini berlaku juga sebaliknya.

Pertanaman bambu di Indonesia pada umumnya ditemui dalam bentuk lanskap hutan alami, lanskap hutan buatan, maupun hutan masyarakat di banyak kawasan perdesaan terutama di pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Nusa Tenggara (Kartodihardjo, 1997). Beberapa jenis bambu tersebut telah dibudidayakan selama ratusan tahun yang lalu yang ditanam pada kebun-kebun maupun pekarangan. Pada masyarakat Jawa Barat, khususnya yang ditemui di wilayah Kabupaten Sumedang, bambu pada umumnya dibudidayakan pada lanskap berupa talun bambu atau kebon awi (Irawan et al., 2006).

(3)

2.3 Daerah Aliran Sungai

Menurut Asdak (1995) dan Notohadiprawiro (1980), daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu bentang alam yang menerima dan menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan kemudian mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama, dan akhirnya bermuara pada suatu tubuh air bumi berupa danau, waduk, atau lautan. Sedangkan Arsyad, et al. (1985) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah yang terletak di atas suatu titik pengamatan pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam sungai yang sama. Dengan demikian DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya melalui sungai dan anak-anak sungai ke danau atau ke laut secara alami.

Batas suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari bentang aliran airnya. Biasanya bentang aliran tersebut dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit, puncak-puncak gunung, dan lapisan kedap air di bawah permukaan tanah. Pemisah-pemisah topografi tersebut secara faktual merupakan batas antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. Dengan demikian, batas DAS di darat berupa pemisah topografis dan batas DAS di laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP 26/2008). Sebuah DAS dapat terdiri dari sub DAS yang selanjutnya dapat terdiri dari beberapa sub-sub DAS. Suatu pulau atau benua terbagi habis dalam beberapa DAS (Arsyad, et al.,1985).

DAS dapat dipandang sebagai suatu ekosistem dimana di dalamnya terdapat komponen lingkungan fisik kimia (tanah dan iklim) dan komponen biologi (jasad hidup) yang saling berinteraksi secara dinamik. Di dalamnya terdapat keseimbangan antar energi dan material yang keluar. Dalam sistem pengelolaan DAS menurut Ilyas (1985) pengelolaan tanah dan air dalam DAS dikatakan baik apabila penggunaannya dilakukan secara rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimum dan lestari dengan bahaya kerusakan sekecil-kecilnya. Wilayah DAS kemudian dibagi menjadi wilayah hulu, wilayah tengah, dan wilayah hilir. Ciri DAS bagian hulu antara lain memiliki tingkat

(4)

kemiringan lereng > 15% dengan konsentrasi kerapatan drainase tinggi, tingkat permukaan air tanah ditentukan pola drainase, dan bukan merupakan daerah banjir. Bagian hilir DAS memiliki ciri-ciri yaitu memiliki tingkat kemiringan < 8% dengan kerapatan drainase tinggi, merupakan daerah pemanfaatan, dan pada beberapa tempat merupakan daerah genangan (banjir). Sedangkan DAS bagian tengah merupakan daerah transisi diantara keduanya (Asdak, 1995).

2.4 Kearifan Lokal dan Jasa Lingkungan

Dalam kehidupan manusia dan interaksinya terhadap lingkungan berlaku suatu sistem tata nilai tentang bagaimana lingkungan tersebut dikelola. Menurut Sartini (2004), kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan UUPPLH No.32 Tahun 2009 mendefinisikan kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam pengelolaan lingkungan termasuk di dalamnya pengelolaan lanskap, perlu kiranya mengadopsi nilai-nilai luhur kearifan lokal untuk mencapai suatu lanskap yang berkelanjutan. Nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis ekologis selanjutnya disebut sebagai local ecological knowledge (LEK) atau pengetahuan ekologi lokal.

Menurut Berkes (1999) pengetahuan ekologi tradisional (TEK) merupakan ilmu atau pengetahuan berkaitan tentang hubungan antara jasad hidup (termasuk manusia) dan lingkungannya, lintas generasi maupun budaya. TEK meliputi pengetahuan, pengalaman, dan kepercayaan yang terintegrasi satu dengan lainnya, bersifat dinamis, yang melibatkan manusia untuk mengembangkan pengalaman dan pengamatan, uji coba, pengetahuan dari kelompok atau individu lainnya, serta kemampuan beradaptasi terhadap kondisi perubahan lingkungan sepanjang waktu. TEK kadangkala juga bersifat spesifik terhadap tempat dan letak geografis tertentu, yang biasanya ditemukan diantara kelompok masyarakat yang behubungan dengan penggunaan sumberdaya alam setempat (Berkes, 1999).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengetahuan baru tercipta sepanjang waktu dan tidak hanya penduduk asli setempat yang memilikinya, namun juga masyarakat yang telah lama berinteraksi dengan lingkungan tersebut. Pengetahuan

(5)

baru ini kemudian disebut sebagai pengetahuan ekologi lokal (local ecological knowledge atau LEK). LEK didefinisikan sebagai suatu pengetahuan, kegiatan, atau kepercayaan terkait dengan hubungan yang berbasis ekologis yang diperoleh melalui pengamatan perorangan yang dilakukan secara intensif dan interaksinya dengan ekosistem lokal dan kemudian membagi pengetahuan tersebut dengan pengguna sumberdaya lokal. Pada akhirnya LEK dapat berubah menjadi TEK dimana keduanya memiliki nilai penting dalam konservasi terhadap sumberdaya hayati.

Terkait upaya konservasi keanekaragaman hayati, baik itu keanekaragaman jumlah dan jenis serta pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan merupakan salah satu bentuk jasa lingkungan. Jasa lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan. Jasa lingkungan dihasilkan oleh suatu proses yang terjadi pada ekosistem alam. Misalnya, dalam suatu ekosistem hutan yang memiliki beragam jenis vegetasi dan plasma nutfah, ekosistem tersebut memiliki fungsi menjaga keanekaragaman hayati. Keberadaan jasa lingkungan dapat dipengaruhi oleh faktor alam dan juga faktor manusia.

Adanya jasa lingkungan dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati juga merupakan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim. Tegakan bambu dalam luasan besar seperti hutan bambu apabila dikelola dengan baik mampu menghasilkan biomassa dan karbon yang cukup tinggi dibandingkan dengan spesies pohon cepat tumbuh (INBAR, 2009). Pemanenan terhadap bambu yang cukup dewasa dilakukan secara rutin tidak akan menghentikan sistem yang ada, namun dapat mempertahankan terlepasnya stok karbon yang disimpan dalam lapisan perakaran. Hutan bambu yang dikelola dengan baik merupakan salah satu upaya mengkonservasi keanekaragaman hayati dalam rangka mencegah dampak pemanasan global melalui mekanisme pemberian insentif terhadap jasa lingkungan. Jasa konservasi keanekaragaman hayati pada umumnya sulit dikomersialisasikan karena tidak berwujud sehingga sulit dikemas. Namun, dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap manfaat maupun ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti pada bahaya perubahan iklim kemudian tumbuh inovasi disain komoditas melalui mekanisme pembayaran. Salah satu

(6)

contoh mekanisme pembayaran yang dapat diterapkan dari adanya jasa ini adalah memberikan insentif bagi negara-negara yang dapat mempertahankan stok karbon pada kawasan hutan.

2.5 Penginderaan Jauh dan Citra ALOS AVNIR-2

Penginderaan jauh menurut Jaya (2010) merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Kemudian sekitar tahun 1970-an istilah ini diperkenalkan di beberapa Negara Eropa, seperti tèlèdetèction (Perancis), telepercèption (Spanyol) dan fernerkundeung (Jerman). Menurut Manual of Remote Sensing, pengertian remote sensing (penginderaan jauh) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan objek atau fenomena yang diukur/diamati.

Lebih lanjut Jaya (2010) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga manfaat yang diperoleh dari data yang berbasis penginderaan jauh ini antara lain adalah:

1. Dapat memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan sarana lain,

2. Memudahkan pekerjaan lapangan, dan

3. Memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relative singkat dengan biaya yang relatif murah.

Saat ini, penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya, 2010).

Advanced Land Observing Satellite atau ALOS merupakan citra yang memiliki tujuan utama memberi kontrubusi di dalam bidang kartografi, observasi wilayah, memantau bencana, maupun dalam melakukan survei sumberdaya (JAXA, 2008). Teknologi pencitraan ini diaplikasikan pada satelit JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite-1) dan satelit ADEOS (The Advanced Earth Observing Satellite). ALOS dilengkapi dengan tiga peralatan yang dipasang yang

(7)

digunakan untuk penginderaan jauh, yaitu; PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2), dan PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar). ALOS AVNIR-2 merupakan citra yang digunakan untuk mengobservasi jenis tutupan lahan, yang nantinya dapat menghasilkan peta tutupan lahan. Karakteristik dari citra ALOS AVNIR-2 terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS AVNIR-2

No. Karakteristik Keterangan

1. Jumlah Band 4

2. Panjang Gelombang (µm) Band 1: 0,42 – 0,50 µ m Band 2: 0,52 – 0,60 µ m Band 3: 0,61 – 0,69 µ m Band 4: 0,76 – 0,89µ m 3. Resolusi spasial (m) 10

4. Resolusi radiometrik (bit) 8 5. Resolusi temporal (revisit, hari) 46

6. Waktu peluncuran 2006

Referensi

Dokumen terkait

ini juga dibagi dua macam, yaitu: (1) kaidah yang bersumber dari al-nus } ûs } al-shar‘îyah secara tidak langsung (kontekstual), dan (2) kaidah yang bersumber ijtihad ulama

Dalam menjalankan fungsi wahana kerja sama kelompok tani diharapkan mampu menciptakan suasana saling kenal, saling percaya, mempercayai dan selalu berkeinginan untuk bekerja sama;

Iklim komunikasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam perusahaan untuk menunjukkan kepada anggota perusahaan bahwa perusahaan tersebut mempercayai mereka

Se­ telah melalui proses pemikiran panjang, di dalam film karakter utamanya menemukan jawabannya: “cinta bisa kedaluwarsa, tapi orang yang paling tepat untuk kita akan terus ada

Penetapan biaya dalam mengajukan ruling juga dirasa penting dengan harapan dapat membatasi Wajib Pajak untuk tidak mengajukan permohonan ruling atas transaksi fishing

Konsentrasi zpt yang terkandung dalam air kelapa 10 % dan NAA diduga belum mampu untuk menginduksi pembelahan sel pada primordia tunas tetapi mampu bekerja secara

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

tunjukkan (dengan alat penunjuk) kata yang sesuai dengan ucapan yang diperdengarkan, lalu ucapkan. ƬƢċǨɺƫ ƾƢÈǬɺƫÌǂɺƥ