TIPE IKLIM OLDEMAN 2011-2100 BERDASARKAN SKENARIO
RCP 4.5 DAN RCP 8.5 DI WILAYAH SUMATERA SELATAN
Irlando Kusumo*, Deni Septiadi
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta *Email : lando.bmkg@gmail.com
ABSTRAK
Perubahan iklim merupakan bagian permasalahan yang paling serius bagi kehidupan masyarakat dunia. Salah satu sektor yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah sektor pertanian. Seiring dengan berjalannya waktu sektor pertanian wilayah Sumatera Selatan pun ikut terancam sebagai dampak dari perubahan iklim. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat gambaran iklim masa depan dapat dilakukan dengan cara melakukan proyeksi iklim berdasarkan skenario tertentu. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data curah hujan bulanan pada 14 titik pengamatan pos hujan serta data model Historical dan Projection dari skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 di wilayah Sumatera Selatan. Hasil proyeksi perubahan tipe iklim Oldeman berdasarkan skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 memberikan gambaran iklim Oldeman di wilayah Sumatera Selatan bertipe iklim basah terlihat semakin basah, sedangkan wilayah bertipe iklim kering terlihat semakin meluas. Memberikan gambaran iklim Oldeman hampir di seluruh wilayah Sumatera Selatan berubah ke tipe iklim yang semakin basah.
Kata Kunci : Klasifikasi Oldeman, Perubahan Iklim, Skenario, Proyeksi ABSTRACT
Climate change is part of the most serious problems for the life of the world community. One sector that is extremely vulnerable to the impacts of climate change is the agricultural sector. As time goes by the agricultural sector in South Sumatra region, too, is threatened as a result of climate change. One way in which to view a picture of future climate can be done by climate projections based on certain scenarios. The data used in this study is the monthly rainfall data at 14 observation points heading rain as well as data models Historical and Projection of scenarios RCP RCP 4.5 and 8.5 in South Sumatra. The results of climate change projection type Oldeman based scenarios RCP RCP 4.5 and 8.5 provide an overview Oldeman climate in South Sumatra-type wet climate looks increasingly wet, while the dry climate type region looks increasingly widespread. Provide an overview of climate Oldeman almost all areas in South Sumatra to the type of climate change are getting wet
Keywords : Oldeman Classification, Climate Change, Scenarios , Projection
1. PENDAHULUAN
Masyarakat dunia saat ini dihadapkan pada isu yang serius yaitu perubahan iklim (Yolanda, 2015). Undang-undang No. 31 Tahun 2009, yang mengacu pada UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change), mengartikan perubahan iklim sebagai kondisi berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Dampak perubahan iklim merupakan bagian
permasalahan yang paling serius bagi kehidupan masyarakat dunia (WMO, 2009). Salah satu sektor yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah sektor pertanian.
Wilayah Sumatera Selatan yang beriklim
tropis dengan curah hujan tinggi
menjadikannya sangat berpotensi bagi
pengembangan usaha di sektor pertanian. Berdasarkan data laporan Badan Statistik Daerah tingkat 1 Sumatera Selatan, luas area lahan pertanian mencapai 70% dari seluruh daratan di Provinsi tersebut, dengan estimasi perkiraan luas yaitu 5.5 juta Ha, area ini mencakup lahan persawahan dan ladang. Jenis
tanaman pertanian yang diutamakan adalah tanaman padi sebagai kebutuhan pangan pokok domestik. Seiring dengan berjalannya waktu sektor pertanian wilayah Sumatera Selatan pun ikut terancam sebagai dampak dari perubahan iklim. Untuk itu, pengetahuan tentang gambaran iklim di masa yang akan datang menjadi penting sehingga dapat dilakukan usaha-usaha rencana mitigasi (Yolanda, 2015).Salah satu cara yang digunakan untuk melihat gambaran iklim masa depan dapat dilakukan dengan cara melakukan proyeksi iklim berdasarkan skenario tertentu.
Gambaran kondisi iklim di masa mendatang dapat dilakukan dengan skenario (Kasihairani, 2014). Menurut IPCC, skenario bukanlah metode untuk memprediksi masa depan tapi untuk memahami lebih baik ketidakpastian dan gambaran alternatif tentang iklim masa depan untuk menjawab perubahan dari parameter-parameter emisi gas rumah kaca saat ini. Maka jumlah emisi gas rumah kaca di masa depan adalah variabel kunci yang saat ini digunakan para pakar untuk memproyeksi laju perubahan iklim.IPCC telah menyusun beberapa skenario iklim untuk mengetahui proyeksi iklim global dan regional hingga tahun 2100 melalui skenario Representative
Concentration Pathway (RCP). RCP
didasarkan pada radiative forcing yang ditimbulkan oleh konsentrasi gas rumah kaca.
Tabel 1.1 Skenario RCP
(Sumber : Moss dkk., 2010)
Hasil proyeksi iklim tersebut dapat
dimanfaatkan lebih lanjut untuk melihat potensi kegiatan pertanian di wilayah Sumatera Selatan dengan menggunakan Klasifikasi Iklim Oldeman.Klasifikasi iklim
Oldeman ini dikelompokkan berdasarkan ketersediaan air atau kebutuhan air untuk tanaman Padi dan Palawija (Oldeman dkk., 1982).
Klasifikasi iklim Oldeman didasarkan atas jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut dengan kriteria perbedaan curah hujan bulanan yaitu :
a. Bulan Basah: curah hujan >200 milimeter b. Bulan Kering: curah hujan <100 milimeter (mm)
Berdasarkan jumlah bulan basah berturut-turut Oldeman membuat zona agroklimat utama. Hubungannya dengan pertanian khususnya tanaman pangan, Oldeman mengemukakan penjabaran dari setiap tipe iklimnya sebagai berikut :
Tabel 1.2 Pola Tanam Zona Agroklimat
(Sumber : Oldeman, 1982)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tipe iklim di masa depan terkait dampak perubahan iklim agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam melakukan usaha-usaha rencana mitigasi serta melihat potensi kegiatan pertanian di wilayah Sumatera Selatan hingga tahun 2100.Serta mendapatkan proyeksi perubahan tipe iklim Oldeman di provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. 2. DATA DAN METODE
Wilayah yang menjadi objek penelitian adalah wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi ini memiliki luas wilayah sebesar 8.702.741 hektar. Letaknya di pulau Sumatera dan
berada di selatan garis khatulistiwa pada 1ᵒ ˗ 4ᵒ Lintang Selatan dan 102ᵒ ˗ 106ᵒ Bujur Timur.
Gambar 2.1. Wilayah Penelitian
2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan periode 1981 hingga 2010. Data tersebut merupakan data hasil pengamatan Stasiun BMKG dan pos hujan kerjasama yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan sebanyak 14 titik pos pengamatan curah hujan. Serta data bulanan curah hujan HadGEM2 dari Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment
(CORDEX) yang di unduh dari
http://cordex.dmi.dk/joomla/. Untuk
pembuatan proyeksi perubahan tipe iklim digunakan data skenario RCP4.5 dan RCP 8.5 dari IPCC AR5 dengan periode baseline yaitu 1981 – 2005 (data model historical) dan periode proyeksi 2011 – 2100 (data model RCP).
Data RCP 4.5 ini merupakan sebuah skenario stabilitas dimana total radiative forcing distabilkan dengan cepat setelah tahun 2100 tanpa melampaui tingkatan target radiative forcing jangka panjang, sedangkan RCP8.5 merupakan sebuah skenario dimana tidak ada
upaya stabilisasi dan jumlah total
radiativeforcing mencapai lebih dari 8.5 W/m3pada tahun 2100 (Wayne, 2013). Proyeksi ini dibuat hingga tahun 2100 dimana sepanjang periode tersebut dibagi menjadi tiga periode yang merupakan rata-rata 30 tahun-an terdiri dari periode near(2011-2040), periode middle (2041-2070) Dan periode long (2071-2100).
2.2 Metode
a. Pengumpulan data
Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data. Data yang dikumpulkan terdiri dari tiga data yaitu data pengamatan observasi, data model historical dan data model proyeksi RCP. Data pengamatan diperoleh dari BMKG sedangkan data model historical dan data model proyeksi diperoleh dari situs AR5 (DATA).
b. Ekstrak data model
Data model historical dan proyeksi yang diunduh mempunyai format dengan ekstensi
netCDF (.nc). Agar dapat diolah
menggunakan aplikasi perhitungan statistika, data tersebut harus diekstrak menggunakan software BEAM yang diunduh dari situs http://www.brockmannconsult.de/cms/web/be am/releases. Dalam penelitian ini data historical dan data proyeksi yang diunduh dari situs AR5 https://cordex-ea.climate.go.kr/. c. Menentukan Proyeksi Curah Hujan
Menggunakan Regresi Stepwise
Persamaan model regresi stepwise, dibangun dengan menggunakan data rata-rata curah hujan wilayah observasi setiap wilayah pos hujan tahun 1981 – 2010 dan model skenario (data historical) tahun 1981 – 2005. Setelah mendapatkan model regresi stepwise terbaik, variabel x pada model regresi stepwise tersebut diganti dengan curah hujan bulanan dari data skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 periode 2011 sampai 2100, sehingga diperoleh proyeksi curah hujan tahun 2011 – 2100. Dalam penelitian ini untuk menentukan
persamaan regresi stepwise, penulis
menggunakan aplikasi perhitungan statistika pada tools Stat – Regression-Stepwise. d. Menentukan Klasisikasi Iklim Oldeman Klasifikasi iklim Oldeman hanya memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Tjasyono (2004) mengatakan metode Oldeman lebih menekankan pada bidang pertanian sehingga sering disebut sebagai klasifikasi iklim pertanian (agro-climatic classification). Dalam penentukan klasifikasi agroklimat tanaman, Oldeman menggunakan panjang periode bulan basah dan bulan kering "berturut-turut". Bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang memiliki jumlah curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm dan bulan
kering adalah bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm. Tipe utama klasifikasi Oldeman dikelompokkan menjadi 5 tipe yang didasarkan pada jumlah bulan
basah (BB) berturut-turut. Sedangkan
subdivisinya dikelompokkan menjadi 4 yang didasarkan pada jumlah bulan kering (BK) berturut-turut. Berikut ini merupakan metode
penentuan agroklimat tanaman padi
berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman :
Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi Oldeman
Menurut Oldeman, untuk menentukan masa tanam yang didasarkan pada sub divisi dari kriteria klasifikasi Oldeman pada tabel di 2.1 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.2 Masa tanam berdasarkan subdivisi klasifikasi Oldeman (Nuryadi dkk., 2010).
2.3 Analisa Model korelasi
Analisa korelasi merupakan analisa Yang
digunakan untuk menyelidiki adanya
hubungan dua peubah atau lebih. Derajat hubungan tersebut dinyatakan dalam sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi. Dalam melakukan analisa korelasi seluruh peubah yang diamati merupakan peubah acak yang didasarkan atas distribusi probabilitas bersama peubah-peubahnya.
Hubungan peubah acak X dan Y membentuk garis lurus yang disebut korelasi linier. Koefisien korelasi dilambangkan dengan “r” yang mengukur sejauh mana titik-titik menghampiri garis lurus. Arah hubungan peubah acak X dan Y dapat bernilai positif, negatif ataupun nol. Berkorelasi positif jika dua peubah cenderung berubah dalam arah yang sama. Sebaliknya, jika dua peubah
tersebut cenderung berlawanan maka
hubungan kedua peubah tersebut disebut berkorelasi negatif. Apabila kedua peubah cenderung berubah tidak menentu (berpola
acak) berarti kedua peubah tersebut
berkorelasi nol (Wibisono, 2009).
Persamaan korelasi yang digunakan adalah berikut ini (Riduwan, 2003) :
rxy=
(1)
dengan : rxy = koefisien korelasi antara x
(curah hujan observasi)
dengan y (curah hujan model) tahun 1981 - 2005
xi = curah hujan observasi 1981 - 2005
yi = curah hujan model 1981 - 2005
n = banyak data
Kuat tidaknya hubungan antara curah hujan observasi dan curah hujan hasil luaran model diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
Hubungan sempurna = 1 atau -1.
a. Positif : setiap kali nilai curah hujan observasi meningkat maka curah hujan model meningkat
b. Negatif : setiap kali nilai curah hujan observasi menurun maka curah hujan model menurun.
c. Nilai r tinggi (mendekati 1 atau -1) mengindikasikan hubungan yang erat antara curah hujan observasi dan curah hujan model.
d. Nilai r rendah (mendekati 0)
mengindikasikan hubungan yang lebih lemah antara curah hujan observasi dan curah hujan model.
Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel penulis memberikan kriteria sebagai Subdivisi Kering (Bulan) Tanam (Bulan) Keterangan 1 <2 11 – 12 Kemungkinan penanaman tanaman sepanjang tahun
2 2 – 4 9 – 10
Membutuhkan perencanaan yang teliti
bila penanaman sepanjang tahun
3 5 – 6 6 – 8
Periode berakhir tidak dapat dihindari tetapi penanaman jenis tanaman
adalah mungkin
4 7 – 9 3 – 5 kali
Tabel 2.3 Interpretasi koefisien korelasi nilai r
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Korelasi Antara Rata - rata Curah Hujan Bulanan Luaran Model (data historical) dan Curah Hujan Observasi Periode 1981 – 2005
Gambar 3.1 berikut ini merupakan gambar yang menampilkan grafik nilai antara rata-rata curah hujan bulanan hasil luaran model regresi stepwise dengan rata-rata curah hujan bulanan observasi. Dapat diketahui bahwa nilai korelasi berkisar antara 0.1679 sampai 0.6133 dengan nilai korelasi tertinggi pada wilayah pos hujan Gunung Megang dan nilai korelasi terendah adalah wilayah pos hujan Kenten.
Jika dilihat dari gambar di atas, nilai korelasi antara rata-rata curah hujan bulanan model dengan rata-rata curah hujan bulanan observasi memiliki nilai positif yang berarti memiliki hubungan yang searah. Ketika curah hujan observasi meningkat maka curah hujan model juga meningkat dan ketika curah hujan observasi menurun maka curah hujan model juga menurun.
Wilayah pos hujan Gunung Megang, pos hujan Indralaya, pos hujan Muaraenim, dan pos hujan Belitang memiliki tingkat hubungan yang kuat antara curah hujan model dan curah hujan observasi karena memiliki nilai korelasi berkisar 0.6 sampai 0.799. Untuk wilayah pos hujan Srikaton, pos hujan Baturaja Pertamina, pos hujan Plaju Pertamina, pos hujan Sekayu, pos hujan Gunung Dempo I, pos hujan Gunung Dempo II dan pos hujan Sungai Lilin memiliki tingkat hubungan yang cukup kuat antara curah hujan model dan curah hujan observasi karena memiliki nilai korelasi berkisar 0.4 sampai 0.599. Kemudian wilayah yang memiliki tingkat hubungan korelasi rendah pada wilayah pos hujan Muara Dua, pos hujan SMB II dengan nilai korelasi berkisar 0.2 sampai 0.399 dan untuk wilayah
pos hujan Kenten tingkat hubungan nilai korelasinya sangat rendah karena memiliki nilai korelasi berkisar 0 sampai 0.199.
Gambar 3.1 Nilai Korelasi Antara Rata - rata Curah Hujan Bulanan Luaran Model dan Observasi Periode 1981 – 2005.
3.2 Klasifikasi Iklim Oldeman Normal di Wilayah Sumatera Selatan
Berdasarkan pengolahan yang dilakukan pada 14 titik pos hujan yang ada di wilayah Sumatera Selatan, didapat keadaan tipe iklim Oldeman normal seperti Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Klasifikasi Tipe Iklim Oldeman Normal (Periode 1981-2010) di Wilayah Sumatera Selatan.
Gambar di atas merupakan tipe iklim Oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan selama tahun 1981-2010. Berdasarkan gambar 3.2 terlihat bahwa di wilayah Utara Sumatera Selatan yang terdiri dari Kab Musi Banyu Asin dan Kab Musi Rawas umumnya didominasi oleh tipe iklim B1. Menurut Oldeman, wilayah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua
Interval Tingkat hubungan 0.00 – 0.199 Sangat rendah 0.20 – 0.399 Rendah 0.40 – 0.599 Cukup kuat 0.60 – 0.799 Kuat 0.80 – 1.000 Sangat kuat
masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau. Akan tetapi ada juga sebagian kecil wilayah di bagian timur dan selatan Kab Musi Banyu Asin yang memiliki tipe iklim C1.
Sedangkan untuk wilayah Selatan Sumatera Selatan yang terdiri dari Kab Lahat, Kab Muara Enim, Kab Ogan Komering Hilir dan Kab Ogan Komering Hulu didominasi oleh tipe iklim B1 hingga C2. Menurut zona agroklimat Oldeman, untuk daerah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau. Sedangkan C2 menurut Oldeman dalam setahun tipe iklim ini dapat ditanami satu kali padi sawah palawija kedua jangan jatuh pada musim kering.
Di bagian Selatan Sumatera Selatan ini terdapat juga wilayah yang didominasi dengan tipe iklim C1 terlihat dibagian timur Kab Ogan Komering Hilir dan dibagian selatan Kab Ogan Komering Hulu didominasi dengan tipe iklim C1. Wilayah dengan tipe iklim C1 memiliki pola tanam 1 PS + 2 PL, yaitu dalam satu tahun wilayah dengan tipe iklim C1 dapat ditanami satu kali padi sawah dan dua kali palawija.
Dan untuk wilayah yang terlihat cukup kering di wilayah sekitar perbatasan antara Kab Muara Enim, Kab Ogan Komering Hilir dan Kab Ogan Komering Hulu memiliki tipe iklim C2.
Peta di bawah merupakan tipe iklim Oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Berdasarkan Gambar IV.31 terlihat proyeksi tipe iklim Oldeman tahun 2011-2040 mempunyai pola distribusi yang mirip dengan tipe iklim Oldeman normal, yaitu wilayah utara Sumatera Selatan merupakan daerah yang
cukup basah dan wilayah selatan Sumatera Selatan merupakan daerah yang hanya sebagian kecil cukup kering.
Proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8,5 terlihat di wilayah utara Sumatera Selatan sama-sama memiliki proyeksi iklim dengan tipe iklim cukup basah (B1 hingga C1) namun sebaran RCP 4,5 sedikit lebih luas dibandingkan dengan proyeksi iklim RCP 8.5 yang terdapat sebagian kecil tipe iklim cukup kering (C2 hingga C4).
Sedangkan untuk wilayah dengan tipe iklim kering (D1 sampaidan E) terlihat tidak ada sama seperti proyeksi iklim Oldeman normalnya. Pada proyeksi iklim skenario RCP 4.5 wilayah pos hujan SMB II, Plaju Pertamina, Sekayu, Muaraenim, Gunung Megang, Baturaja, Gunung dempo I, Gunung Dempo II, dan Srikaton memiliki tipe iklim B1, kemudian untuk wilayah pos hujan Kenten, Belitang, Muara Dua, Indralaya, dan Sungai Lilin memiliki tipe iklim C1.
Pada proyeksi iklim skenario RCP 8,5 wilayah pos hujan Kenten, SMB II, Plaju Pertamina, Sekayu, Muaraenim, Gunung Megang, Baturaja, Gunung Dempo I, Gunung Dempo II, dan Sungai Lilin memiliki tipe iklim B1, sedangkan wilayah dengan tipe iklim C1 terdapat pada wilayah pos hujan Belitang, Muara Dua, Indralaya, dan Srikaton. Wilayah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau.
Wilayah dengan tipe iklim C1 memiliki pola tanam 1 PS + 2 PL, yaitu dalam satu tahun wilayah dengan tipe iklim C1 dapat ditanami satu kali padi sawah dan dua kali palawija. Secara keseluruhan terlihat hasil proyeksi curah hujan tahun 2011-2040 memiliki jumlah bulan basah lebih banyak dan jumlah bulan kering lebih sedikit, yang berarti proyeksi iklim Oldeman berdasarkan skenario RCP 4,5
dan RCP 8.5 cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin basah.
Gambar 3.3 Proyeksi Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 Tahun 2011-2040 di Wilayah Sumatera Selatan
3.3 Proyeksi tahun 2041-2070 di wilayah Sumatera Selatan
Gambar 3.4 merupakan tipe iklim Oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2041-2070 hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan 8.5. Berdasarkan gambar IV.32 pada periode ini proyeksi iklim Oldeman dari kedua skenario terlihat cukup berbeda. Jika dibandingkan dengan keadaan iklim Oldeman normalnya, pada RCP 4,5 dibagian sebelah utara, sebelah barat, dan sebelah timur Sumatera Selatan cenderung tetap mirip dengan iklim Oldeman
normalnya yaitu cukup basah (B1 hingga C1). Namun terdapat sebagian kecil di wilayah timur dan perbatasan menuju selatan cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin kering (D1). Di wilayah sebelah selatan Sumatera Selatan juga cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim kering (D1) dan tipe Iklim basah (A1). Pada RCP 8,5 pada wilayah sebelah timur, barat dan selatan Sumatera Selatan cenderung tetap mirip dengan iklim normalnya yaitu tipe iklim cukup basah (B1 hingga C1) namun terdapat
sebagian kecil cenderung mengalami
perubahan ke tipe iklim basah (A1). Untuk wilayah sebelah utara Sumatera Selatan
cebderung mengalami perubahan dari
normalnya yaitu tipe iklim basah (A1). Pada proyeksi RCP 4,5 terdapat 4 klasifikasi tipe iklim Oldeman yaitu tipe iklim A1 pada pos hujan Muaraenim. Tipe iklim B1 pada pos hujan SMB II, Sekayu, Gunung Megang, Baturaja, Sungai Lilin, Gunung Dempo I, Gunung Dempo II, dan Srikaton. Untuk tipe iklim C1 pada pos hujan Kenten, Plaju Pertamina, dan Belitang, sedangkan wilayah dengan tipe iklim D1 pada wilayah pos hujan Muara Dua dan pos hujan Indralaya. Pada proyeksi RCP 8,5 wilayah pos hujan Kenten, SMB II, Plaju Pertamina, Sekayu, Gunung Megang, Baturaja, Srikaton, dan Gunung Dempo I memiliki tipe iklim B1, untuk pos hujan Muaraenim, Sungai Lilin, dan Gunung Dempo II wilayah dengan tipe iklim A1. Sedangkan wilayah dengan tipe iklim C1 yaitu pada pos hujan Belitang, Muara Dua, dan Indralaya.
Wilayah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau. Wilayah dengan tipe iklim C1 memiliki pola tanam 1 PS + 2 PL, yaitu dalam satu tahun wilayah dengan tipe iklim C1 dapat ditanami satu kali padi sawah dan dua kali palawija. Tipe iklim A1 wilayah pada tipe iklim ini memiliki curah hujan sangat tinggi setiap bulannya dan fluks radiasi matahari
rendah sehingga padi dapat ditanam terus-menerus akan tetapi produksi kurang.
Gambar 3.4 Proyeksi Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 Tahun 2041-2070 di Wilayah Sumatera Selatan
3.4 Proyeksi tahun 2071-2100 di wilayah Sumatera Selatan
Berdasarkan Gambar 3.5 terlihat iklim Oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2071-2100 hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Proyeksi iklim Oldeman pada periode ini terlihat berbeda dengan
proyeksi iklim periode sebelumnya.
Berdasarkan proyeksi iklim Oldeman terlihat wilayah utara Sumatera Selatan dengan tipe
iklim cukup basah memiliki distribusi luasan yang mirip pada kedua skenario. Akan tetapi untuk wilayah selatan Sumatera Selatan dengan tipe iklim cukup basah terlihat berbeda, dimana proyeksi iklim skenario RCP 4.5 memiliki luasan wilayah cukup basah yang lebih sedikit dibandingkan proyeksi iklim skenario RCP 8.5 yang lebih luas dan
dominan. Jika dibandingkan terhadap
klasifikasi Oldeman normalnya, secara keseluruhan proyeksi iklim Oldeman skenario RCP 8.5 mengalami perubahan tipe iklim yang bervariasi dimana pada wilayah sebelah selatan dari tipe iklim C1 menjadi tipe iklim B1, pada wilayah sebelah barat dari tipe iklim B1 menjadi tipe iklim C1, dan pada wilayah sebalah timur menuju selatan dari tipe iklim C2 menjadi tipe iklim D1. Sedangkan proyeksi iklim skenario RCP 4.5 yang mengalami perubahan ke tipe iklim cukup basah (B1) hanya di bagian timur Sumatera Selatan saja dan di wilayah timur menuju selatan tipe iklim kering (D1) semakin meluas.
Pada proyeksi RCP 4,5 untuk wilayah pos hujan Kenten, SMB II, Plaju Pertamina, Sekayu, Muaraenim, Gunung Megang, Baturaja, Sungai Lilin, Gunung Dempo I, Gunung Dempo II, dan Srikaton memiliki tipe iklim B1. Wilayah pos hujan Belitang dan Muara Dua dengan tipe iklim C1, sedangkan wilayah dengan tipe iklim D2 pada wilayah Indralaya. Untuk proyeksi RCP 8,5 wilayah dengan tipe iklim B1 yaitu pos hujan Kenten, SMB II, Sekayu, Muaraenim, Gunung Megang, Muara Dua, Baturaja, Gunung Dempo I, Gunung Dempo II, dan Sungai Lilin. Untuk tipe iklim C1 pada wilayah pos hujan Plaju Pertamina, Belitang, dan Srikaton, sedangkan untuk wilayah pos hujan Indralaya memiliki tipe iklim D1.
Wilayah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau. Wilayah dengan tipe iklim C1 memiliki pola tanam 1 PS + 2
PL, yaitu dalam satu tahun wilayah dengan tipe iklim C1 dapat ditanami satu kali padi sawah dan dua kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim D1 dapat ditanami padi sawah umur pendek satu (satu) kali, produksi tinggi,dan satu kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim D2 hanya mungkin ditanami satu kali padi atau satu kali palawija.
Gambar 3.5 Proyeksi Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 Tahun 2071-2100 di Wilayah Sumatera Selatan
3.5 Perubahan Iklim Oldeman Setiap Periode
Berdasarkan tabel 3.1 jika dibandingkan terhadap tipe iklim normalnya terlihat ada
beberapa wilayah yang memiliki
kecendrungan perubahan ke tipe iklim yang
semakin basah, cenderung berubah ke tipe iklim yang semakin kering, dan tetap tidak ada perubahan hampir di setiap periodenya. Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim basah terlihat di wilayah pos hujan Kenten, Muaraenim, dan Sungai Lilin, yang mana wilayah tersebut umumnya merupakan wilayah sekitar bagian utara Sumatera Selatan (kab Musi Banyuasin dan kab Muaraenim) dan pos hujan Belitang wilayah bagian selatan Sumatera Selatan kab. Ogan Komering Hulu. Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim kering terlihat di wilayah Muara Dua dan Indralaya yang mana wilayah tersebut umumnya merupakan wilayah sekitar sebelah timur dan selatan Sumatera Selatan. Sedangkan proyeksi iklim Oldeman untuk wilayah lainnya cenderung tetap atau tidak terlalu banyak berubah.
Tabel 3.1 Tipe Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 4.5 Periode 30 Tahunan
Tabel 3.2 Tipe Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 8.5 Periode 30 Tahunan
2011-2040 2041-2070 2071-2100 1 Kenten -2.93 104.77 C1 C1 C1 B1 2 Smb 2 -2.9 104.7 B1 B1 B1 B1 3 Plaju Pertamina -3 104.83 B1 B1 C1 B1 4 Belitang -4.11 104.65 C2 C1 C1 C1 5 Sekayu -2.9 103.84 B1 B1 B1 B1 6 Muaraenim -3.67 103.77 B1 B1 A1 B1 7 Gunung Megang -3.46 103.84 B1 B1 B1 B1 8 Muara Dua -4.55 104.08 C1 C1 D1 C1 9 Baturaja -4.12 104.95 B1 B1 B1 B1 10 Indralaya -3.23 104.66 C2 C1 D1 D2 11 Sungai Lilin -2.59 104.09 B1 C1 B1 B1 12 Srikaton -3.2 102.92 B1 B1 B1 B1 13 Gunung Dempo I -4.13 104.2 B1 B1 B1 B1 14 Gunung Dempo II -4.14 104.21 B1 B1 B1 B1 No Pos Hujan Lintang Bujur
Tipe Iklim Oldeman Normal Proyeksi RCP 4.5 2011-2040 2041-2070 2071-2100 1 Kenten -2.93 104.77 C1 B1 B1 B1 2 Smb 2 -2.9 104.7 B1 B1 B1 B1 3 Plaju Pertamina -3 104.83 B1 B1 B1 C1 4 Belitang -4.11 104.65 C2 C1 C1 C1 5 Sekayu -2.9 103.84 B1 B1 B1 B1 6 Muaraenim -3.67 103.77 B1 B1 A1 B1 7 Gunung Megang -3.46 103.84 B1 B1 B1 B1 8 Muara Dua -4.55 104.08 C1 C1 C1 B1 9 Baturaja -4.12 104.95 B1 B1 B1 B1 10 Indralaya -3.23 104.66 C2 C2 C1 D1 11 Sungai Lilin -2.59 104.09 B1 B1 A1 B1 12 Srikaton -3.2 102.92 B1 C1 B1 C1 13 Gunung Dempo I -4.13 104.2 B1 B1 B1 B1 14 Gunung Dempo II -4.14 104.21 B1 B1 A1 B1 Proyeksi RCP 8.5 No Pos Hujan Lintang Bujur
Tipe Iklim Oldeman Normal
Berdasarkan tabel 3.2, jika dibandingkan terhadap tipe iklim normalnya umumnya hampir di setiap wilayah Sumatera Selatan memiliki kecendrungan perubahan ke tipe iklim yang semakin basah, hanya sebagian kecil yang berubah ke tipe iklim yang semakin kering. Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim kering terlihat hanya di wilayah Indralaya, sedangkan wilayah lainnya cenderung berubah ke tipe iklim yang semakin basah atau tetap.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman normal (periode 1981-2010) di sebagian wilayah Sumatera Selatan terlihat dua tipe iklim yang sangat jauh berbeda, yaitu wilayah sekitar bagian Utara, Barat, Barat Daya Sumatera Selatan bertipe iklim cukup basah dan wilayah sekitar bagian Timur Laut, Timur, dan Selatan Sumatera Selatan bertipe iklim cukup basah sampai cukup kering. Dan Sebaran proyeksi perubahan tipe iklim Oldeman di provinsi Sumatera Selatan tahun 1981 sampai 2010 secara umum memiliki tipe iklim yang cocok untuk budidaya tanaman padi.
Skenario RCP 4.5 dan RCP 8,5 sampai tahun 2100 memberikan gambaran tipe iklim Oldeman di wilayah Sumatera Selatan berubah menjadi tipe iklim basah (A1 sampai A2) dan cukup basah (B1 sampai C1), dan tipe iklim kering (D1 Sampai D2).
Perubahan tipe iklimn pada wilayahiwilayah pos hujan pada budidaya tanaman padi diproyeksikan oleh skenario RCP4.5dan RCP8,5 cenderung mengalami peningkatan tipe iklim menjadi basah, pengurangan tipe iklim menjadi kering, dan cenderung tetap pada setiap luas wilayah terhadap periode normalnya sampai tahun 2100.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian.,2011. Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim di Indonesia. BMKG: Jakarta.
Amien.,1999. Simulated Rice Yields as Affected by Interannual Climate Variability andPossible Climate Change
in Java. Center for Soil and
Agroclimate Research, Bogor,
Indonesia.
Cubasch, U., D.Wuebbles, D.Chen,
M.C.Facchini, D.Frame, N. Mahowald,
dan J.-G. Winther. 2013.
IntroductioninClimate Change 2013:
The Physical Science Basis.
Contributionof Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker,T.F.,D. Qin, G.- K.Plattner,M. Tignor, S.K. Allen, J.Boschung, A.Nauels, Y.Xia,V. Bex and P.M. Middlegley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York,NY, USA. Emanuel, W.R dan Janetos, A.C. 2013.
Implications of Representative
Concentration Pathway 4.5 Methane Emissions to Stabilize Radiative Forcing. Pacific Northwest National
Laboratory Richland, Washington
99352 IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change). 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Cambridge University Press, New York
He, Qi Jin dan Zhou, Guang Sheng. 2012. The
Climatic Suitability for Maize
Cultivation in China. Chinese Science
Bulletin, February 2012 Vol.57
No.4doi: 10.1007/s11434-011-4807-2. IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate
Change). 2013. Climate Change 2013:
The Physical Science Basis.
Cambridge University Press, New York.
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change). 2007. Climate Change 2007:The Physical Science Basis. Cambridge University Press, New York.
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change). 2013. Climate Change2013: The Physical Science Basis. Cambridge University Press, New York.
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change). 2013. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Cambridge University Press, New York.
Lakitan, 2002, Klasifikasi iklim Indonesia, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Nuryadi, Basuki, dan Indawansani, 2010, Analisis Karakteristik Iklim Untuk
Optimalisasi Produksi Kedelai Dl Provinsi Lampung, Laporan Akhir Pelaksanaan Program Insentif Pkpp Ristek 2010, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, Jakarta. Oldeman L.R., M. Frere, 1982,A Study of the
Agroclimatology of the Humid
Tropicsof South-east Asia, WMO
Interagency Project on
Agroclimatology.
Pudja, I Putu dan Suhardi, Budi. 2010.
Fenomena Perubahan Iklim di
Indonesia.Jakarta : BMKG.
Puspitasari, N., 2014, Perbandingan Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan Dengan Regresi Komponen Utama Dan Stepwise Di Wilayah Papua Dan Papua
Barat, Skripsi, Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.
Riduwan, (2003), Dasar-Dasar Statistik, Bandung, Alfabeta.
Rukhyandi, F., 2014, Prediksi Curah Hujan
Bulanan Menggunakan Statistical
Downscaling Model Di Stasiun
Klimatologi Sicincin Dan Stasiun Meteorologi Tabing, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Suwasono, 2010. Agroekosistem:
Permasalahan Lingkungan Pertanian Bagian Pertama. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sunengsih, N., 2009, Seleksi Variabel Dalam Analisis Regresi Multivariat Multipel, FMIPA UNY, Yogyakarta.
Susandi, Armi, Mamad T. dan Irma Nurlela. 2008. Fenomena Perubahan Iklim dan
Dampaknya Terhadap Ketahanan
Pangan di Indonesia. Seminar Padi Nasional.
The Physical Science Basis. Cambridge University Press, New York.
Thomson AM., et .al. 2011. RCP 4.5: a pathway for stabilization of radiative forcing by 2100. Climatic Change (2011) 109:77–94.
Tjasyono, Bayong HK. 2004. Klimatologi. ITB, Bandung.
Undang - Undang No.31 tahun 2009 tentang
Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika.
US-EPA (United States Enviromental
Protection Agency). 2006.
GlobalAnthropogenic
Non-CO2Greenhouse Gas Emission :
1990-2020. EPA
430-R06-003.June2006,Washington.D.C.
Wibisono, Y., 2009, Metode Statistika,
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
WMO 2009. Guidelines on Analysis of extremes in a changing climate in support
WRI. 2005. Navigating the Number. World
Resources Institute (WRI),
Washington.D.C.
Yolanda, Selvy. 2015. Proyeksi Iklim
Oldeman 2011-2050 Berdasarkan
Skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 di
Wilayah Banten. Jurnal SNSA.
Bandung.
Pustaka dari situs dan Internet :
Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman
Pangan menurut Provinsi.
http://www.bps.go.id diakses 3 Januari 2016.