• Tidak ada hasil yang ditemukan

Populasi Cacing Tanah Megadrilli di Lahan PERKEBUNAN Kelapa Sawit dengan Strata Umur Tegakan yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Populasi Cacing Tanah Megadrilli di Lahan PERKEBUNAN Kelapa Sawit dengan Strata Umur Tegakan yang Berbeda"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Populasi Cacing Tanah Megadrilli di Lahan PERKEBUNAN

Kelapa Sawit dengan Strata Umur Tegakan yang Berbeda

Darmi

1

, Deri Yardiansyah

2

, Rizwar

3

ABSTRACT. Megadrilli earthworm is one of the soil macrofauna groups playing an important role in the soil ecosystem, especially in terms of improving soil fertility. These studies aimed to analyze the presence and abundance of species of earthworm populations Megadrilli in oil palm plantations area with stand age strata of different palm. Earthworm sampling was conducted in April 2011 in the village of oil palm plantations Pauh Talang district, Pondok Kelapa Bengkulu and identification of earthworms was done in laboratory of Ecology FMIPA UNIB. This study used a stratified random sampling method with 3 palm stand age strata (4 th, 7 th and 13 th) and squared method (30x30x20 cm) as well as a hand sorting method for sampling earthworms. Measurement of abiotic factors include temperature and soil moisture, soil pH and organic content. The results showed that in all three age strata palm stands, there are 2 types of earthworms that is Pontoscolex corethrurus and Pheretima sp. Population densities of earthworms in three age strata varies the 5.83 individu / plots in strata stand age 4 years, 5.40 individu / plot on strata age 7 years and 4.1 individu /plot in strata older than 13 years. Correlation and regression analysis results indicate that the presence of a significant negative correlation (r = -0.278 *) between earthworm population density with stand age of oil palm, while in the older age of oil palm, the population density of earthworms Megadrilli decreased.

Keywords: Megadrilli earthworm, density, oil palm plantations area. PENDAHULUAN

Cacing tanah merupakan salah satu kelompok hewan invertebrata yang termasuk dalam filum Annelida dan klas Oligochaeta. Berdasarkan ukuran tubuhnya cacing tanah terbagi dalam dua kelompok yaitu Megadrilli dan Mikrodrilli. Kelompok Megadrilli adalah cacing berukuran tubuh besar atau sering juga dikenal sebagai cacing tanah (Earthworm), sedangkan Mikrodrilli merupakan cacing tanah berukuran kecil ( panjang tubuh 5-15mm dan diameter tubuh 0,25-0,75mm) yang secara taxonomi tergolong dalam famili Enchytraeidae ( Brown, 1978; Lee, 1985).

Secara ekologi, cacing tanah terbagi dalam 3 kelompok yaitu epigeik, endogeik dan aneciqueik. Ketiga kelompok tersebut memiliki kontribusi yang bervariasi terhadap kesuburan tanah. Cacing epigeik merupakan cacing tanah yang hidup dan aktif pada lapisan permukaan tanah, tidak membuat lubang dan pemakan serasah. Cacing endogeik ukuran tubuh lebih besar

dan peranannya penting dalam penyuburan solum tanah, karena pergerakannya cepat sehingga aktif membuat lubang di tanah. Cacing aneciqueik mempunyai bobot yang paling berat dari kelompok lainnya, dengan kebiasaan makan dan membuang kotoran di permukaan tanah, sehingga berperan dalam meningkatakan kesuburan tanah lapisan atas. Bila dikaitkan dengan kedalaman perakaran tanaman, tipe endogeik akan lebih cepat pengaruhnya terhadap tanaman keras atau tanaman tahunan, sedangkan tipe epigeik dan aneciqueik akan lebih terlihat pengaruhnya pada tanaman semusim atau yang berakar dangkal (Hanafiah et al. 2010).

Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena melalui aktifitasnya di tanah dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Secara fisik, cacing tanah dapat memperbaiki textur tanah, aerase dan drainase, sedangkan secara kimia cacing tanah melalui mekanisme pencernaannya yang mengeluarkan kotoran di tanah, dapat

(2)

meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Edwards and Lofty, 1972; Hanafiah et al., 2010). Keberadaan cacing tanah pada suatu habitat dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas tanah atau tingkat kesuburan tanah ( Paoletti et al., 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cacing tanah dapat meningkat kesuburan tanah. Penggunaan cacing tanah

Pheretima hupiens dengan populasi 1 ekor/

kg tanah disertai pemberian bahan organik 5 ton/ha, dapat meningkatkan hasil panen jagung Sukmaraga hingga 40 % (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Selain itu, Hasil Penelitian Darmi et al.(1997), menyatakan bahwa pemberian kotoran cacing tanah sebanyak 300-500 gr/tanaman, dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen tanaman cabe secara nyata dibanding dengan penggunaan pupuk kandang 500gr/tanaman (kotoran kerbau).

Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa, cacing tanah besar peranannya dalam meningkatkan produktifitas lahan pertanian, termasuk juga pada lahan perkebunan kelapa sawit. Lahan perkebunan kelapa sawit sebagai suatu ekosistem dengan tipe monokultur yang didominasi oleh tanaman kelapa sawit, tentunya juga memiliki kondisi lingkungan yang spesifik yang berdampak pada kehidupan biota tanahnya termasuk cacing tanah. Pada dasarnya, ekosistem dengan tipe monokultur memiliki keanekaragan biota tanah yang rendah. Rendahnya keanekaragaman biota tanah erat kaitannya dengan produktifitas tanah/kesuburan tanahnya. Bagaimana keberadaan biota tanah, khususnya cacing tanah Megadrilli di lahan perkebunan kelapa sawit, perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekayaan jenis cacing tanah megadrilli dan menganalisis hubungan kepadatan populasi cacing tanah dengan perbedaan strata umur tegakan kelapa sawit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan/ bahan pertimbangan dalam pengeloloaan lahan perkebunan kelapa

sawit, khusus dalam hal peningkatan kesuburan tanah dalam kaitannya dengan keberadaan cacing tanah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2011 di lahan perkebunan kelapa sawit, Desa Talang Pauh Kecamatan Pondok Kelapa, Bengkulu Tengah, dan dilanjutkan di Laboratorium Riset Ekologi dan Konservasi FMIPA Universitas Bengkulu.

Pengambilan sampel cacing tanah Megadrilli dilakukan dengan metoda

Stratified Random Sampling, yang terdiri

dari tiga lokasi strata umur tegakan kelapa sawit yang berbeda (4 tahun, 7 tahun dan 13 tahun). Pada tiap lokasi diambil sampel secara acak sebanyak 30 ulangan.

Sampel cacing tanah, diambil dengan menggunakan metoda kuadrat (30x30x20 cm) dan metoda hand sorting. Pada setiap titik sampling yang telah ditentukan secara acak, dibuat kuadrat dengan ukuran 30x30 cm dan kedalaman 20 cm. Pada kuadrat tersebut digali tanah dengan sekop dan diletakan pada lembaran plastik yang berukuran 1x1 meter dan disortir dengan tangan. Cacing Megadrilli yang didapatkan, dihitung dan dikoleksi beberapa ekor yang mewakili sebagai spesimen untuk indentifikasi di laboratorium. Cacing tanah yang dikoleksi dimasukan dalam botol koleksi yang telah diisi dengan formalin 4%. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Identifikasi cacing tanah dilakukan dengan menggunakan bantuan stereo mikroskop dan buku identifikasi Stephenson (1923).

Pada saat pengambilan sampel cacing tanah di lapangan, juga dilakukan pengukuran beberapa faktor abiotik tanah antara lain adalah suhu tanah, kelembaban tanah, pH tanah, kadar organik dan permeabilitas tanah.

Data cacing tanah Megadrilli yang diperoleh dihitung nilai kepadatannya pada

(3)

setiap strata umur tegakan kelapa sawit, dan dilanjutkan dengan analisis regresi dan korelasi untuk mengetahui hubungan antara strata umur tegakan kelapa sawit dengan kepadatan populasi cacing tanah Megadrilli.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian tentang populasi cacing tanah Megadrilli di lahan perkebunan kelapa sawit dengan strata umur tegakan yang berbeda, menunjukkan bahwa kekayaan spesies cacing tanah Megadrilli terdiri dari dua spesies yaitu

Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp.

Pada Tabel 1, tampak bahwa kedua jenis cacing tersebut selalu ada pada ketiga strata umur tegakan kelapa sawit (4 tahun, 7 tahun dan 13 tahun). Hadirnya kedua jenis cacing pada tiga strata umur tegakan kelapa sawit, berkaitan dengan konndisi fisik dan kimia tanah pada ketiga lokasi penelitian yang masih memenuhi persyaratan hidup cacing tanah.

Seperti terlihat pada Tabel 1, hasil pengukuran beberapa faktor abiotik suhu

tanah (25,8-28oC), kelembaban (53-56,2%), pH (5,72-6,58), kadar organik tanah (55,8-66,6%) dan permeabilitas tanah (0,8-1,78 ml/s). Pada penelitian ini, hanya 2 jenis cacing Megadrilli (Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp) yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Hal ini ada kaitannya dengan kondisi lahan perkebunan kelapa sawit yang cenderung monokultur yang didominasi oleh tanaman kelapa sawit. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Sugiarto et al, 2002). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Pankhurst, 1994 dalam Maftu‘ah et al., 2005). Hasil penelitian Sugiyarto (2000) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun.

Tabel 1. Kepadatan Populasi cacing tanah Megadrilli di lahan perkebunan kelapa sawit dengan strata umur tegakan yang berbeda.

No Jenis Cacing Tanah

Kepadatan populasi cacing Megadrilli Pada Strata Umur (individu/plot) 4 Tahun 7 Tahun 13 tahun 1 Pontoscolex corethrurus 4,36 3,86 2,9

2 Pheretima sp. 1,47 1,54 1,2

TOTAL 5,83 5,40 4,1

Tabel 2. Faktor abiotik tanah di lahan perkebunan kelapa sawit dengan strata umur tegakan yang berbeda.

No Faktor Abiotik

Faktor abiotik tanah pada strata umur kelapa sawit (x ± SD)

4 tahun 7 tahun 13 tahun 1 Suhu tanah (º C) 28 ± 0,71 26,6 ± 0,89 25,8 ± 0,84 2 Kelembaban tanah (%) 56,2 ± 6,53 54,6 ± 3,71 53 ± 7,52 3 pH tanah 6,58 ± 0,35 6,18 ± 0,39 5,72 ± 0,13 4 Kadar organik tanah (%) 66,6 ± 1,816 64,4 ± 2,97 55,8 ± 2,39 5 Permeabilitas tanah (ml/s) 1,78 ± 0,30 1,34 ± 0,24 0,80 ± 0,13

(4)

Kepadatan populasi cacing tanah Megadrilli secara kesluruhan pada ketiga strata umur tegakan kelapa sawit, hasilnya ternyata bervariasi. Pada Tabel 2, tampak bahwa pada strata umur 4 tahun diperoleh kepadatan populasinya 5,83 idv/plot, umur kelapa sawit 7 tahun 5,40 ekor/plot dan pada strata umur 13 tahun 4,1 idv/plot. Kedua jenis cacing tanah yaitu P.

corethrurus dan Pheretima sp juga bervariasi pada ketiga strata. Kepadatan populasi cacing P. Corethrurus pada strata umur 4 tahun adalah 4,36 idv/ plot, strata umur 7 tahun 3,86 idv/ plot dan pada strata umur 13 tahun 2,9 idv/ plot . Sedangkan kepadatan populasi cacing Pheretima sp pada strata umur 4 tahun 1,47 idv/ plot, strata umur 7 tahun 1,54 idv/ plot dan pada strata umur 13 tahun 1,2 idv/ plot.

Dari hasil tersebut, jelas terlihat bahwa kepadatan populasi cacing tanah berkaitan dengan perubahan strata umur tegakan kelapa sawit, dimana semakin tua umur kelapa sawit maka populasi cacing tanah cenderung rendah atau menurun. Begitu juga halnya dengan faktor abiotik tanah seperti suhu tanah, pH tanah, kelembaban tanah, ketersediaan bahan organik dan permeabilitas tanah , yang mana hasilnya juga cenderung menurun sejalan dengan peningkatan strata umur tegakan kelapa sawit (Tabel 2). Kondisi ini dipengaruhi oleh perbedaan pertumbuhan secara fisik

dari tanaman kelapa sawit, dimana semakin tua umur tanaman , maka kerapatan tutupan tajuknya semakin rapat, sehingga berpengaruh pada kondisi lingkungan abiotik tanah.

Bila dibandingkan kedua jenis cacing tanah Megadrili (Tabel 1), ternyata jenis

Pontoscolex corethrurus kepadatan populasi lebih tinggi dibandingkan dengan cacing tanah Pheretima sp. Suin ( 1989), mengemukan bahwa cacing

P. corethrurus penyebarannya luas

termasuk di Sumatera. Maftuah dan Susanti (2009) juga menyatakan bahwa cacing ini juga sering ditemukan di lahan pertanian, semak belukar dan lapangan yang ditumbuhi rumput.

Hasil analisis regresi dan uji korelasi menunjukkan bahwa kepadatan populasi cacing tanah Megadrili secara keseluruhan berkorelasi negatif dengan strata umur tegakan kelapa sawit, dengan persamaan garis y = 6,679 -0,196 (Gambar 1a) dan dari hasil uji korelasi didapatkan nilai koefisien korelasi r-hitung =

-0,2779* dengan r-tabel (0,05) = 0,205. Hasil ini menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara kedua variabel dimana r-hitung lebih besar daripada r-tabel. Dengan kata lain, semakin tua umur kelapa sawit, maka kepadatan populasi cacing tanah Megadrili cenderung menurun. a . a b . a

(5)

Analisis korelasi dan regresi juga dilakukan terhadap kedua jenis cacing tanah Megadrilli. Hasilnya menunjukkan bahwa kepadatan populasi cacing tanah P. Corethrurus berkorelasi negatif secara

signifikan dengan perbedaan strata umur tegakan kelapa sawit dengan nilai koefisien korelasi r hitung= -0,2716 * (Y= 5,01 – 1,16X) dan r-tabel (0,05) = 0,205 (Gambar 1b). Sedangkan hasil uji korelasi dan regresi kepadatan populasi cacing

Pheretima sp dengan strata umur tegakan

kelapa sawit, nilai koefisien korelasinya hitung = -0,1309 (Y= 1,67-0,03X) dan r-tabel (0,05) = 0,205.

Hasil ini menunjukkan bahwa kepadatan populasi cacing Pheretima sp berkorelasi tidak nyata dengan strata umur tegakan kelapa sawit (Gambar 1c). Adanya korelasi antara kepadatan populasi cacing tanah dengan perbedaan strata umur tegakan kelapa sawit, tentunya berkaitan dengan kondisi abiotik tanah yang bervariasi pada setiap strata umur tegakan. Strata umur tegakan kelapa sawit yang berbeda memiliki perbedaan rona lingkungan/ lingkungan abiotik yang berbeda pula dan dapat mempengaruhi kehidupan cacing tanah. Kepadatan populasi cacing tanah sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Secara fisik, ketiga strata umur tegakan kelapa sawit, kondisi habitatnya berbeda, terutama dalam keberadaan vegetasi dasar, yang cenderung berkurang dengan meningkatnya umur tegakan kelapa sawit.

Menurut Edward & Lofty (1972), ketersediaan faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi di suatu habitat sangat menentukan keragaman spesies dan kepadatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Keberadaan vegetasi berhubungan dengan ketersedian bahan organik sebagai sumber makanan bagi cacing tanah, karena cacing tanah merupakan kelompok fauna tanah yang bersifat saprofagus (Lee, 1985). Selain itu, Kondisi pengelolaan tanah pada strata umur kelapa sawit 13 tahun sudah terlalu intensif, seperti adanya kegiatan pemupukan yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kepadatan populasi cacing tanah Megadrili.

KESIMPULAN

Pada ketiga strata umur tegakan kelapa sawit (umur 4 tahun, 7 tahun dan 12 tahun), ditemukan 2 jenis cacing Megadrilli yaitu

Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp.

Kepadatan populasi cacing tanah pada tiga strata umur bervariasi yaitu 5,83 idv/plot pada strata umur tegakan 4 tahun, 5,40 idv/plot pada srtata umur 7 tahun dan 4,1 idv/plot pada strata umur 12 tahun.

Hasil analisis korelasi dan regresi menunjukkan bahwa adanya korelasi negatif yang signifikan ( r= -0,278 *) antara kepadatan populasi cacing tanah dengan umur tegakan kelapa sawit, dimana semakin tua umur kelapa sawit, maka kepadatan populasi cacing tanah Megadrilli cenderung menurun.

c . a

Gambar 1. Hubungan Strata Umur Tegakan

Kelapa Sawit dengan : a.Kepadatan Cacing Tanah (Total)

b. Kepadatan cacing P. Corethrurus

c. Kepadatan populasi Pheretima sp

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Brown, A.L. 1978. Ecology of Soil Organisms. Heinemann Educational Book Ltd. London.

Darmi, Rizwar, S. Astuti,1997. Pengaruh kotoran caciing tanah Pontoscolex corethrurus terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaan cabe. Laporan penelitian Universitas Bengkulu.

Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1972. Biology of Earthworm. Chapman and Hall Ltd. London

Hanafiah, K.A., A. Napoleon, N. Ghofar. 2010. Biologi tanah: Ekologi dan Makrobiologi tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lee, K.E. 1985. Earthworm, Their Ecology and relationships with Soil and Land Use. Academic Press. London.

Maftuah, E. dan M.A. Susanti. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah . Berita Biologi 9 (4): 371- 378.

Maftuah, E., M. Alwi, dan M. Willis. Potensi Makrofauna Tanah sebagai

Bioindikator Kualitas tanah Gambut. Bioscientiae 2(1): 1-14.

Paoletti, M.G., D. Sommaggio, M Favretto, G. Petruzellwith. 1998. Earthworms as useful bioindicators of agroecosystem sustainability in orchards and vineyards with different inputs. Aplied Soil Ecology 10: 137-150

Sugiyarto. 2000. Kenaekragaman Makrofauna Tanah pada Berbagai Umur Tegakan Sengon di RPH Jatirejo, 47- 53 Sugiyarto, Y. Sugito, E. Handayanto, L. Agustina. 2002. Pengaruh sistem penggunaan lahan hutan terhadap diversitas makroinvertebrata tanah di RPH Jatirejo, Kediri Jawa Timur BioSmart 4 (2): 66-69.

Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Stephenson, J. 1923. The Fauna of British

India, Ceylon and Burma

(Oligochaeta). Taylor and Francis. London.

Tim Sintesis Kebijakan, 2008. Pemanfaatan Biota Tanah untuk Keberlanjutan Produktifitas Pertanian lahan Kering. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2): 157-163.

Gambar

Tabel  2. Faktor  abiotik  tanah  di lahan  perkebunan  kelapa sawit  dengan  strata  umur  tegakan  yang  berbeda
Gambar 1. Hubungan  Strata Umur  Tegakan

Referensi

Dokumen terkait

Menurut KemenPU (2011), atribut kota hijau terdiri dari 8 aspek, yaitu: (1) green planning and design, yaitu perencanaan dan perancangan yang sensitif terhadap

Patuh dan taat pada kode etik sekolah sebagai mana tertera dan dapat menjaga kerahasiaan sekolah serta nama baik sekolah dilingkungan sekolah maupun

pendapatan bunga lebih besar dari peningkatan biaya bunga sehingga laba bank. meningkat dan CAR

Pada penelitian ini uji statistik yang digunakan adalah rumus korelasi Chi Square yaitu untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri

For antioxidant activity, ability of scavenging free radical and chelating Fe ion were shown by peptide and casein of goat hydrolyzed milk using combination of neutral protease

6.1.1 Menjelaskan jenis-jenis segitiga berdasarkan sisinya. 6.1.2 Menjelaskan jenis-jenis segitiga berdasarkan sudutnya. 6.1.3 Menjelaskan jenis-jenis segitiga berdasarkan

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari nilai Rf sampel yaitu 0,1176 maka komponen asam amino yang terkandung pada sampel

The results of this study indicate that: (1) Student learning achievement of productive student training in the good category, this can be proved by 98,80% of students