• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan. Oleh: Ria Angin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan. Oleh: Ria Angin"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan

Oleh: Ria Angin

Abstract:

Since Indonesian applied the New Ottonomy Government System Constitution there three points must be done. l. Restructuring the local government system based on the spirit of decentralization in frame live of democratic state, 2. Society which is madani and 3. Good governance

(2)

I. Pendahuluan

S

udah hampir lima tahun lamanya usia Undang-undang Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 diberlakukan. Dalam masa yang hampir lima tahun itu, pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah telah mampu memberikan perubahan yang relatif cukup signifikan pada tata pemerintahan daerah yang berlaku secara merata di seluruh Indonesia.

Namun lepas dari kisah keberhasilan tersebut beberapa waktu yang lalu menyusul terjadinya kasus pro dan kontra terhadap pemekaran kabupaten Mamasa yang membawa korban jiwa, Gubernur Sulawesi Selatan, Fadel Muhammad, mengusulkan agar pemerintah tidak memberlakukan peraturan tentang pemekaran wilayah sebagaimana termuat dalam UU Nomor 22 tahun 1999 secara seragam. Menurut Fadel Muhammad akan lebih baik apabila pelaksanaan dari UU No 22 tahun 1999 khususnya yang berkenaan dengan pemekaran wilayah dilangsungkan dengan memperhatikan kearifan lokal setempat. Maksud dari usulan Gubernur Sulawesi Selatan ini agaknya perlu mendapat perhatian dengan baik. Tetapi itu semua adalah wewenang penuh dari pemerintah pusat. Meskipun demikian, lontaran pemikiran dari Gubernur Sulawesi Selatan ini pada sisi yang lain telah menunjukkan pada kita semua yakni adanya bias ketika Undang-undang otonomi No 22 tahun 1999 itu dilaksanakan. Oleh karenanya penelitian ini bermaksud melakukan kajian tentang, bagimanakah pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia?.

II. Tinjauan Pustaka

Krisis ekonomi, politik dan krisis kepercayaan yang melanda bangsa Indonesia menyusul jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, telah membawa dampak tidak hanya pada kehidupan politik tetapi telah menyentuh pula pada kehidupan perekonomian masyarakat di segala lapisan.Peristiwa itu meskipun pahit, telah memberi pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk segera menata kehidupan berbangsa dan bertanah air. Keadaan ini telah memunculkan gagasan untuk melakukan reformasi total di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Keinginan ini ditandai dengan upaya mewujudkan terciptanya masyarakat (civil society) atau yang dikenal pula dengan masyarakat madani dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai konsekwensi dari cita-cita luhur ini, jelas perlu dilakukan upaya pembaharuan tata pemerintahan. Pemerintahan yang reformis memiliki ciri adanya prinsip good governance yang sarat dipenuhi oleh nilai-nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan, berorientasi kepada kepentingan rakyat serta bertanggung jawab pada rakyat.

Beberapa literatur yang mengkaji tentang civil society diantaranya ialah yang ditulis oleh John A Hall. Dia menyatakan “civil society should sieze of political inisiative and fight to open spaces for political participation” (1987). Pendapat ini menyatakan bahwa civil society sangat berkait dengan politik, yaitu sebagai reaksi terhadap politik yang tidak memberikan ruang bagi tercapainya partisipasi masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan politik. John A Hall selanjutnya

(3)

menyatakan bahwa munculnya gagasan civil society bukan berarti tanpa sebab, namun berasal dari banyak alasan yang muaranya adalah sikap anti terhadap kekuasaan yang tersentralisir (centralized authority).

Kekuasaan yang tersentralisir ditolak karena sama sekali tidak memberi ruang untuk terlaksananya partisipasi masyarakat. Sementara itu civil society di Indonesia sering diartikan sebagai masyarakat sipil, atau berarti berlawanan dengan masyarakat militer. Agar tidak vis a vis dengan masyarakat militer, maka sejak reformasi, masyarakat sipil diartikan sebagai masyarakat madani. Sebenarnya dua istilah itu mungkin memiliki ciri yang sama namun lahir dari sejarah yang berbeda, Madani secara etimologi berasal dari kata Madinah, sebuah nama kota yang semula bernama Yatsrib, yang diubah setelah terjadinya perubahan yang mendasar menyangkut sendi-sendi kehidupan masyarakat sehingga menjadi masayarakat yang beradab.

Berdasarkan uraian di atas jelas kiranya bahwa gagasan civil society muncul dari pandangan kritis terhadap lingkungan kekuasaan di sekitarnya. Termasuk dengan apa yang dialami oleh masyarakat Indonesia menjelang jatuhnya Soeharto. Pengalaman selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto yang sentralistik telah menyadarkan bangsa Indoesia untuk melakukan perubahan paradigma sistem pemerintahan yang diterapkannya. Dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik dengan titik tekan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang

luas dan bertanggung jawab dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan kondisi dan potensi wilayahnya.

Latar belakang inilah yang melahirkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Lahirnya kedua undang-undang ini sangat penting artinya, karena melalui pelaksanaan kedua undang-undang ini diharapkan akan membawa perubahan kepada kehidupan pemerintahan daerah yang dapat menuju good governance dalam upaya mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya dan dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Otonomi daerah sebagai tersurat dalam isi Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, merupakan perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori area division of power yang membagi kekuasaan secara vertikal suatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara akan terbagi antara pemerintah pusat dan daerah di lain pihak. Bahkan sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah antara negara yang satu dengan negara yang lainnya tidaklah sama, termasuk Indonesia yang secara konstitusional menganut sistem negara kesatuan.

Kewenangan otonomi daerah di dalam negara kesatuan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh secara absolut dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonomi menurut

(4)

sekehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. (Anang Sya’roni, 2003).

Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, biasanya merupakan ajang konflik kepentingan yang berlarut-larut, karena masing-masing meninjau dari perspektif yang berbeda, sehingga masalah otonomi daerah yang bertumpu kepada tinjauan yang berbeda menjadi dilema yang tidak kunjung selesai.

Pada masa sekarang, hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu azas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Perlu disadari, bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar yaitu negara bangsa (nation state). Karenanya, suatu negara bangsa yang menganut desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, sehingga antara konsep sentralisasi dan desentralisasi seharusnya tidak dilawankan dan tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. (Anang Sya’roni, 2003).

Tinjauan perspektif yang berbeda antara kepentingan pusat dan daerah ini kadang-kadang terlalu sulit, sehingga memunculkan pola instruksi dan kontrol pusat yang ketat. Di samping itu, kedua pandangan yang berbeda antara pusat dan daerah seringkali lebih didominasi oleh pikiran-pikiran yang subyektif-emosional daripada pemikiran obyektif-rasional. Misalnya, pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional

sudah dipandang cukup merata, tetapi dalam perspektif daerah yang ditarik ke pusat jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Kesenjangan antara pusat dan daerah ini dalam perkembangannya akan memicu bentuk-bentuk perlawanan daerah pada pemerintah pusat.

Demikian pula bidang politik, ditinjau dari perspektif pusat, pengaturan tentang jabatan-jabatan politik di daerah sudah cukup longgar, namun sebaliknya daerah masih menganggap intervensi pusat terlalu jauh sehingga menghambat pelaksanaan otonomi dasrah.

Dimasa-masa lalu perbedaan perspektif ini mengarah pada munculnya kecemburuan daerah, akibatnya timbul tuntutan-tuntutan atau gugatan daerah yang bila dibiarkan akan berdampak pada munculnya disintegrasi daerah.

Oleh karena itu perbedaan perspektif ini tidak seharusnya menjadi dikhotomi yang mengarah pada konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang tidak berujung pangkal, asalkan kedua kepentingan tersebut dilandasi oleh justifikasi dan kriteria yang obyektif dan rasional.

Oleh karenanya perlu dikembangkan konsep otonomi daerah yang memungkinkan daerah dapat mengembangkan diri sebagai daerah otonom yang mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa mengganggu stabilitas nasional dan keutuhan bangsa dan negara. Dalam tataran ini, persoalan yang muncul adalah bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak centrifugal yang melahirkan politik desentralisasi dan mendudukannya pada posisi centripetal

(5)

yang melahirkan central power untuk menjamin tetap terpeliharanya identitas dan integritas bangsa.

Jadi sebagaimana telah dimasalahkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Fadel Muhammad, kesulitannya ada pada upaya pemerintah pusat dalam menemukan formula yang tepat. sebuah tatanan pemerintahan daerah yang baru. Formula baru tersebut hendaknya digagas secara rasiobal dan obyektif dan secara arif mempertimbangkan kepentingan masyarakat bangsa dan bukan kepentingan golongan atau sekelompok orang tertentu. Melalui cara yang lebih menekankan pada kepentingan lokal niscaya akan melahirkan suatu pemerintahan yang bercorak desentralisasi yang diimbangi dengan kriteria kepentingan nasional yang tetap akan menjamin identitas dan keutuhan bangsa, serta kepentingan nasional secara keseluruhan yang akan melahirkan center power yang terbatas, sehingga pemerintahan yang bercorak sentralistik dapat dibatasi.

Wacana ini penting untuk dikemukakan, karena selama ini terdapat pandangan bahwa pemerintahan yang bersifat sentralistik sudah semakin tidak populer, akibat ketidak mampuan dari sistem tersebut untuk memahami secara tepat nilai ataupun aspirasi lokal. Ini karena warga masyarakat merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara psikologis maupun fisik.(Bonne Rust dalam Anang Sya’roni, 2003). Bahkan pemberian otonomi pada daerah tidak akan mengurangi kewibawaan dari pemerintah pusat, malahan sebaliknya akan

menimbulkan respek dari masyarakat daerah kepada pemerintah pusat.

Berdasarkan pandangan ini maka timbul pemikiran tentang perlunya memberikan kewenangan otonomi kepada daerah seluas mungkin dan meletakkan fokus otonomi daerah pada wilayah yang paling dekat dengan rakyat. Tujuannya adalah agar kehidupan rakyat menjadi semakin sejahtera. Sebab bagaimanapun juga tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilontarkan, baik yang menyangkut aspek ekonomi maupun politik pada akhirnya akan menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah

Apa yang diuraikan di atas sesungguhnya mendasari dilahirkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pada tanggal 7 Mei 1999 sebagai pengganti UU Nomor 5 tahun 1974. UU otonomi daerah yang baru ini merupakan satu paket dengan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada tanggal 19 Mei 1999 sebagai pengganti UU No 32 tahun 1956..

Bagaimanakah pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan, sebagaimana yang terjadi di Indonesia?

III. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dari azas otonomi daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia?

(6)

IV. Metode Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi: 1. Metode Pengumpulan Data.

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer, diperoleh langsung dengan cara pengamatan di lapangan yakni dengan jalan mengamati pelaksanaan otonomi daerah secara umum di beberapa daerah Kabupaten / Kota di seluruh Indonesia. Sementara itu data sekunder dalam penelitian ini meliputi buku-buku literatur khususnya yang terkait dengan permasalahan penelitian dan data-data pendukung lainnya yang terkait.

2. Analisa Data.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kwalitatif dan diuraikan secara deskriptif. Kedua dipilih dikarenakan peneliti ingin menggambarkan data yang diperoleh dalam penelitian.

.

V. Pembahasan

Dalam sejarah gagasan tentang otonomi daerah telah pernah dicoba terapkan selama berkali-kali. Di masa pemerintahan Ir. Soekarno, meskipun amat sulit untuk memberikan penilaian apakah dimasa itu diterapkan otonomi daerah, pada kenyataannya di masa itu pemerintah pusat memberi penghargaan yang besar pada pemerintah daerah. Ini terutama ditunjukkan oleh adanya UU No. 1 tahun 1945, UU No

22 tahun 1948 dan UU No. 1 tahun 1957. Sayangnya ketiga Undang-undang tersebut tidak bisa sepenuhnya dilaksanakan menyusul keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, Pemerintahan Daerah di masa itu sangat bernuansa sentralistik.

Sementara itu bila kita amati, di masa Orde Baru kembali pemerintah di bawah kepemimpinan Soeharto bermaksud melaksanakan gagasan otonomi daerah. Untuk itu ditetapkanlah UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kehadiran UU No. 5 tahun 1974 pada awalnya diyakini akan mampu menciptakan stabilitas daerah. Dalam Undang-Undang tersebut jelas tergambar bahwa eksekutif mendapat kewenangan yang besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Kenyataannya UU tersebut sama sekali tidak membuahkan proses perkembangan suatu tata pemerintahan daerah sebagaimana diharapkan. Kekeliruan yang sangat mendasar dalam merealisasikan Pasal 18 UUD 1945 yang dianut oleh UU no 5 tahun 1974 adalah menjadikan daerah otonom sekaligus sebagai daerah administrasi yang seharusnya terpisah (split model). Konsekwensi dari membaurkan daerah otonom dan daerah administrasi, pimpinan pemerintahan daerah dijabat oleh seorang Kepala Daerah yang karena jabatannya sekaligus menjadi kepala wilayah. Kedudukan sebagai kepala wilayah menjadikan kepala daerah menjadi alat pusat dan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan peranannya jauh lebih dominan dibanding kedudukannya sebagai Kepala Daerah.

Keadaan ini pada akhirnya menjadikan pemerintah daerah cenderung bercorak

(7)

sentralistik. Akibatnya DPRD menjadi kurang berfungsi baik sebagai lembaga legislatif di daerah maupun sebagai pengawas eksekutif daerah.. Alasannya Kepala Daerah tidak berada di bawah dan tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sisi kelemahannya adalah akuntabilitas Kepala Daerah terhadap rakyat tidak berkembang. Salah satu sebabnya adalah berasal dari pola pemberian otonomi yang dianut oleh UU Nomor 5 tahun 1974 bersifat proporsional bertingkat. Maksudnya semua tingkat pemerintahan dari mulai Pusat, Daerah tingkat I dan Daerah Tingkat II, pada dasarnya sama-sama mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tugas, fungsi dan urusan yang sama namun dengan proporsi yang berbeda. Sharing ratio kewenangan cenderung membesar ke atas, dalam arti pemerintah pusat akan memperoleh proporsi yang lebih besar diikuti oleh Daerah Tingkat I dan baru Daerah Tingkat II memperoleh yang lebih sempit. Dengan pola konstruksi kewenangan sebagaimana terurai di atas maka akan sangat sulit pemerintah daerah tingkat II menjadi pemerintah yang dekat dengan rakyat.

Konstruksi kewenangan seperti diuraikan di atas dikenal sebagai structural efficiency model. Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien kepada masyarakat tetapi dengan tingkat intervensi pusat yang lebih besar. Besarnya tingkat intervensi pusat ini digunakan untuk mengontrol pemerintah daerah dalam hal melaksanakan program pembangunan yang telah ditetapkan oleh pusat.

Penggunaan model structural efficiency menurut Leemans (Anang Sya,roni, 2003) telah menimbulkan kecenderungan sebagai berikut:

1. Kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom. 2. Kecenderungan untuk mengorbankan

demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga penentu kebijakan dan lembaga kontrol. 3. Pemerintah Pusat cenderung enggan

untuk menyerahkan wewenang dan discretion yang lebih besar bagi daerah tingkat II.

4. Pemerintah Pusat cenderung menerapkan azas dekonsentrasi daripada desentralisasi.

5. Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumberdaya yang sering digunakan untuk mendukung bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun disisi yang lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan akan berpotensi menjadi gerakan separatisme yang mengarah pada disintegrasi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pemerintahan Orde Baru pada

kenyataannya tidak pernah mau memberikan otonomi pada daerah, sebab memberikan otonomi berarti akan membagi kekuasaan. Adanya gagasan pembagian kekuasaan ini jelas akan mengurangi wibawa pemerintah pusat. Jadi sedapat mungkin harus dihindarkan.

Sebagai kebalikan dari model structural effisiensi sebagaimana diterapkan oleh pemerintah Orde Baru ada model lain yang

(8)

cenderung menjadikan pemerintah daerah lebih mengakar pada masyarakat. Model ini dikenal sebagai model yang mengedepankan wacana democratic and locally values. Dikatakan demikian karena kedudukan pemerintah daerah jauh lebih berdaya dibanding model yang pertama di atas. Model kedua ini menghargai local differences and system diversity, sekaligus menekankan pentingnya faktor legitimasi dari masyarakat. Model ini sesuai dengan jiwanya agaknya sesuai dengan jiwa otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 tahun 1999. Tentang UU Nomor 22 tahun 1999 setidaknya ada lima pemikiran sebagai berikut:

1. Sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan otonomi daerah yang luas yang dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataann dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Meningkatkan peran serta fungsi DPRD sebagai badan legislatif daerah dan badan pengawas sebagai sasrana pengembangan demokrasi.

3. Untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di dalam meupun di luar negeri maupun tantangan global yang mau tidak mau pengaruhnya akan melanda ke daerah.

4. Untuk mendudukkan kembali posisi desa atau dengan nama yang lainnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum terendah yang memiliki hak asal

usul dan otonomi yang diakui dan dinikmati dalam sistem pemerintahan yang memiliki hak asal usul dan otonomi yang diakui dan dinikmati dalam sistem pemerintahan negara yang memiliki hak asal usul dan otonomi yang diakui dan dinikmati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonedesia.

Semenjak UU Nomor 22 tahun 1999 diberlakukan, daerah Kabupaten dan Kota memiliki otonomi dan tidak merangkap menjadi wilayah administrasi. Kepala Daerah adalah alat daerah dan bukan sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah. Kapala Daerah diplih langsung oleh rakyat tanpa campur tangan pemerintah pusat.

Sementara itu UU Nomor 22 tahun 1999 juga menyatakan bahwa kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Ini merupakan konsekwensi dari pemisahan kedudukan yang tegas antara DPRD sebagai badan legislatif di daerah dan Kepala Daerah sebagai badan eksekutif di daerah. Kapala daerah menjalankan tugas eksekutif dan sekligus legislasi bersama-sama DPRD. Sedang DPRD menjalankan tugas legislasi dan pengawasan serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Adapun tugas DPRD selengkapnya azdalah sebagai berikut:

1. Memilih Gubernur/Bupati/Walikota beserta wakil-wakilnya.

2. Memilih anggota MPR untuk utusan daerah.

3. Mengajukan pengesahan dan mengusulkan pemberhentian pejabat tersebut pada point 1.

(9)

5. Menetapkan APBD. 6. Melakukan pengawasan.

7. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.

8. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat. Terkait dengan fungsi DPRD, UU nomor 22 ttahun 1999 mengatur pemberian hak

sub poena sebagai konsekwensi diberikannya hak penyelidikan yaitu hak istimewa DPRD yang dalam menjalankan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintahan atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditengerai, demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan dan pembangunan. Bagi yang tidak mau memenuhi permintaan tersebut, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama satu tahun (Pasal 20, UU Nomor 22 tahun 1999). Ini dimaksudkan untuk menghindari contempt parliament, yakni merendahkan martabat dan kehormatan DPRD.

Dalam hubungannya dengan pertanggung jawaban, Kepala Daerah menyampaiakan pertanggung jawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran dan atau untuk hal tertentu ata permintaan DPRD (pasal 45 dan 46 UU No. 22 tahun 1999). Pertanggungjawaban yang ditolak DPRD, masih dapat diperbaiki dan disempurnakan dalam waktu paling lama 30 hari. Kemudian apabila untuk pertanggung jawaban yang kedua ini DPRD masih menolak maka sangat dimungkinkan Kepala Daerah yang bersangkutan akan

dikenai impeachment yaitu pemberhentian Kepala Daerah sebelum masa jabatannya berakhir.

Berdasarkan aturan yang ada maka ada tujuh sebab yang memungkinkan seorang Kepala Daerah terkena impeachment. Ketujuh sebab tersebut adalah:

1. Pertanggungjawabannya ditolak sebagai Kepala Daerah.

2. Tidak memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah.

3. Melanggar sumpah/janji Kepala Daerah. 4. Melanggar larangan bagi Kepala

Daerah.

5. Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas.

6. Melakukan tindak pidana kejahatan yang diasncam hukuman kurungan lima tahun atau lebih.

7. Apabila diduga melakuikan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun telah ada sebab-sebab di atas, tidak berarti Kepala Daerah yang

bersangkutan langsung diberhentikan dari jabatannya. Masih ada satu proses yang harus dijalaninya yaitu pembahasan dalam sidang DPRD yang dihadiri oleh 2/3 anggota DPRD dan ada dari yang hadir 2/3 diantaranya menyepakatinya.

Sementara itu ada sebab-sebab yang memungkinkan seorang kepala daerah di impeachment tanpa perlu pembahasan oleh anggota DPRD karena langsung ditangani oleh presiden. Ketentuannya terdapat dalam Pasal 49 UU No 22 tahun 1999, sebagai berikut:

1. Karena meninggal dunia.

2. Mengajukan berhenti karena permintaan sendiri.

(10)

3. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru.

4. Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pasal 33 tentang syarat-syarat menjadi Kepala Daerah. 5. Melanggar sumpah/janji Kepala Daerah. 6. Melanggar larangan Kepala Daerah. 7. Mengalami krisis kepercayaan yang

luas, akibat kasus yang memberatkan tanggung jawab Kepala Daerah dan keterangannya atas kasus tersebut ditolak oleh DPRD.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anang Sya’roni (2003) terbukti bahwa dalam pelaksanaannya UU No 22 tahun 1999 tidak sepenuhnya menggunakan split model. Artinya Undang-undang ini masih memberikan perlakuan yang berbeda terhadap Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah Propinsi selain menjadi suatu daerah “otonom” yang mengurus rumah tangganya sendiri sebagaimana Kabupaten/Kota sekaligus juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi di tingkat propinsi. Dengan demikian Undang-undang No 22 tahun 1999 masih mengandung fused model. Pemberian kedudukan sebagai daerah otonom dan sekaligus berkedudukan sebagai wilayah administrasi dikarenakan sebagai berikut:

1. Untuk memelihara hubungan yang serasi antar pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Untuk menyelenggarakan otonomi

daerah yang bersifat lintas daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Kota.

3. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Sebagai konsekwensi dari berlakunya sistem tersebut maka kedudukan seorang

gubernur menjadi rangkap. Ia berkedudukan sebagai Kepala Daerah dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena keistimewaan ini, proses pemilihannya agak berbeda dengan Kepala Daerah Kabupaten dan Kota. Calon Gubernur sebelum dilakukan pemilihan, terlebih dahulu dikonsultasikan kepada presiden.

Dalam penelitian Anang Sya’roni (2003) terlihat bahwa meskipun menerapkan

fused model untuk daerah propinsi ini sama dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 5 tahun 1974, kedudukan seorang Gubernur bukan sebagai kepala wilayah, bukan sebagai penguasa tunggal yang dapat diartikan sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan melainkan hanya sebatas sebagai wakil pemerintah yang menjalankan pelimpahan kewenangan tertentu dari Pemerintah Pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi.

Meskipun disana sini masih mengandung kelemahan, pada dasarnya UU No. 22 tahun 1999 memiliki perbedaan yang sangat prinsipiil yaitu sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 5 tahun 1974 disebut Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, yang berarti bahwa UU ini tidak hanya mengatur pentyelenggaraaan pemerintahan daerah yang berdasarkan desenrtralisasi melainkan mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang berasaskan dekonsentrasi,

(11)

ditegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerahbyang didasarkan kepada desentralisasi, pelaksanaannya dilakukan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

2. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 disebut sebagai undang-undang tentang pemerintahan daerah yang berarti penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan azas desentralisasi yang mengarah pada prinsip devolusi. Kepala Daerah semata-mata sebagai alat daerah yang merangkap kepala wilayah.

3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, UU No 5 tahun 1974 menganut structural efficiency Model, sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menganut local Democratic Model.

4. Prinsip yang digunakan dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab dengan menekankan pada prinsip-prinsip demokratisasi, peran dan keanekaragaman daerah.

5. UU No. 5 tahun 1974 menitik beratkan otonomi pada daerah tingkat I dan II, tetapi berstatus sebagai daerah otonom yang utuh, sedangkan UU No. 22 tahun 1999 meletakkan otonomi yang kuat dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi, sedangkan propinsi sebagai daerah otonom, kewenangannya terbatas dan merangkap sebagai daerah administrasi.

6. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 terdapat hubungan hirarkhis antara Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II sedang menurut UU No. 22 tahun 1999 kedua daerah tersebut tidak ada

hubungan hirarkhis dan tidak ada hubungan sub-ordinasi antara daerah-daerah otonom.

7. Penyelenggaraan pemerintahan dalam UU No. 5 tahun 1974 menganut strong executive system, dimana dominasi kekuasaan terletak pada Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai Kepala Wilayah, bahkan DPRD bisa dikontrol oleh Kepala Daerah, sedangkan UU No 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa DPRD memiliki hak dan wewenang yang luas. Laporan pertanggung jawaban seorang Kepala Daerah Kabupaten/Kota disampaikan dihadapan anggota DPRD. Bila LPJ tersebut ditolak maka DPRD dapat melakukan impeachment terhadap Kepala Daerah.

8. Dalam hal keuangan, UU No. 5 tahun 1974 menganut paradigma model function follow money yang mengatur bahwa pembiayaan pemerintah daerah tergantung dari pusat melalui SDO dan bantuan pembangunan (INPRES), dan dalam UU yang baru, paradigmanya berubah menjadi money follow function pengaturannya didasarkan pada UU Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Meskipun UU No 22 tahun 1999 telah merubah banyak hal, pada dasarnya format otonomi daerah yang disebut daerah besar dan kecil tetap menganut format lama, yaitu Daerah Tingkat I sebagai daerah otonomi skala besar menjadi Kabupaten dan Daerah Tingkat II Kabupaten dan Kotamadya menjadi Kabupaten dan Kota, masing-masing sebagai daerah otonomi skala kecil. Dengan demikian UU ini masih menganut keseragaman dalam menentukan format

(12)

daerah otonom, artinya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II yang dibentuk berdasarkan UU No 5 tahun 1974 tetap tidak berubah hanya sebutannya saja yang berubah, yakni menjadi Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Perbedaannya terletak dalam wewenang dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam UU No 22 tahun 1999, diatur bahwa masing-masing daerah tersebut berdiri sendiri, dan berwenang mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan satu sama lain tidak memiliki hubungan yang hirarkhis.

Melalui pengaturan ini diharapkan masing-masing daerah yang memiliki potensi ekonomi yang cukup kuat, maka laju pertumbuhan dan kemandirian otonomi daerahnya diharapkan akan lebih terjamin, dan sebaliknya bagi daerah yang potensi wilayahnya relatif kurang kuat, maka dampaknya akan lebih terasa, karena daerah tersebut dikhawatirkan akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan perekonomiannya maupun kemandirian otonominya. Tetapi kekhawatiran ini agaknya akan mudah teratasi melalui kebijaksanaan perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.

UU Nomor 25 tahun 1999 telah mengantisipasi adanya kemungkinan daerah otonom dihapuskan dan atau digabung dengan daerah lainnya, apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya. Kemungkinan ini, nampaknya sulit untuk dilaksanakan, mengingat peertimbangan politis, psikologis dan kultural, karena

suatu daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah otonom apabila dihapus akan dipandang sebagai suatu kemunduran.

Demikian pula UU No.22 tahun 1999 ini memungkinkan suatu daerah otonom dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah otonom. Kebijaksanaan ini akan berdampak pada potensi ekonomi pada daerah yang bersangkutan menjadi berkurang, yang pada gilirannya daya dukung dan kemandirian suatu daerah otonom akan berkurang pula. Karena itu, sebagaimana pengalaman yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Mamasa di Sulawesi Tenggara, gagasan untuk memekarkan suatu daerah otonom hendaknya dikaji secara bijak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pada dasarnya tidak lagi meletakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II, namun secara mendasar meletakkan otonomi daerah pada daerah Kabupaten dan Kota, demikian pula dalam hal kewenangan otonomi yang luas juga hanya diberikan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan disertai alokasi anggaran yang proporsional. Adapun kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi seluruh kewenangan pemerintah, kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal dan agama.

Sementara itu, kewenangan Daerah Propinsi terbatas pada kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan bidang tertentu lainnya yang bersifat regional, serta tugas-tugas dekonsentrasi yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat, terutama dalam rangka memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah

(13)

pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari sini jelas kiranya bahwa kewenangan Daerah Propinsi tidaklah seluas yang diberikan kepada Daerah Kota dan Kabupaten, karena yang dianut dalam pemberian kewenangan ini melalui otonomi materiil yang pada dasarnya meliputi kewenangan:

1. Bidang yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan.

2. Bidang yang tidak atau belum dijalankan oleh daerah kabupaten atau kota.

3. Bidang tertentu lainnya yang meliputi perencanaan dan pengendalian lingkungan hidup, promosi perdagangan, kebudayaan, dan pariwisata, pemberantasan penyakit menular dan hama tanaman, dan perencanaan tata ruang propinsi. Dalam penelitian Anang Sya’roni (2003) ditemukan bahwa ada hal yang unik dalam ketentuan yang tertulis dalam UU No 22 tahun 1999, yakni bahwa daerah kabupaten maupun daerah kota diperbolehkan untuk menyerahkan kewenangannya untuk sementara waktu kepada daerah Propinsi apabila daerah Kabupaten atau Kota secara teknis, finansial maupun personal tidak mampu menyelesaikan sebuah urusan.

Tetapi untuk hal-hal yang sangat vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja,

daerah Kabupaten/Kota tidak diperkenankan menyerahkannya kepada Daerah Propinsi.

Sedang kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini menyelenggarakan urusan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama dilakukan oleh instansi vertikal yang pembentukan, susunan organisasi, formasi dan tatalaksananya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sedangkan kewenangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 adalah:

1. Meredam ketidakpuasan daerah. 2. Meningkatkan respek daerah terhadap

pusat.

3. Memperkuat integrasi nasional.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 merupakan strategi baru dalam memasuki era reformasi total dan dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas 2003, karena dalam kedua UU tersebut terdapat prinsip-prinsip demokratisasi, peran-peran dan pemberdayaan masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.

2. Dengan terselenggaranya perubahan tata pemerintahan dari tersentralisir menjadi terdesentralisasi akan terbuka wadah

(14)

demokrasi bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dan menentukan nasibnya. Pemerintah daerahpun akan makin berorientasi pada kepentingan rakyat, jujur, terbuka dan bertanggung jawab.

3. Perubahan tata pemerintahan baru yang menjadi esensi dari UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 dimungkinkan akan mampu mereduksi adanya gejolak yang terjadi baik antara daerah dan daerah maupun daerah dan pusat.

Daftar Pustaka

Anang Sya’roni,”Mengkritisi Pelaksanaan Otonomi Daerah tentang Kedudukan, Peran, Fungsi DPRD dan Pemda,” dalam Journal Media Hukum,Vol 10, N0.2 Desember 2003.

Himpunan Pelaksanaan UU No 22 tahun 1999, dan UU No 25 Tahun 1999. Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik

Indonesia, Bandung: Refika, 2002. Sugyanto, Perspektif Otonomi Daerah,

Referensi

Dokumen terkait

Belajar dari Negara Singapura, salah satu kunci kesuksesan dalam implementasi e-Government adalah adanya perencanaan strategis sistem informasi yang matang, demi meningkatkan

Selanjutnya halaman admin, halaman ini dikhususkan untuk mengolah data admin, data tahun penilaian, data karyawan, data kriteria, data nilai dan data hasil pada saat

Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Bombay ( Allium Cepa L.) terhadap Respon Inflamasi pada Tikus Putih Jantan ( Rattus novergicus Strain wistar ) yang Diinjeksi

Berdasarkan hasil pengujian UAT 2 didapatkan hasil presentase 100% bahwa pengguna merasa sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan serta sistem teruji dapat

Online banking adalah sebuah rangkaian proses dimana nasabah bank login ke website dari suatu bank melalui browser yang terinstall pada komputer atau mobile nasabah dan

Tujuan utama penelitian ini adalah peningkatan mutu pendidikan dan memperdayakan sumber daya manusia, kepedulian warga sekolah dan masyarakat penyelenggara pendidikan

Sungai yang menjadi fokus penelitian ini adalah sungai di sepanjang jalan Veteran yang juga di kenal sebagai sungai Tapekong, sungai ini berfungsi sebagai saluran drainase

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)