• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITTIAN. ini antara lain penelititan tentang wisata spiritual oleh Rogers (2007) tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITTIAN. ini antara lain penelititan tentang wisata spiritual oleh Rogers (2007) tentang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITTIAN

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini antara lain penelititan tentang wisata spiritual oleh Rogers (2007) tentang ”spectacular spiritual tourism”, membahas tentang perubahan konsep spritual, dimana pada masa lampau spiritual diidentikan dengan agama, namun dengan perkembangan trend menyebabkan turunnya orang yang berpartisipasi pada institusi agama dan upacara dan peningkatan orang yang menyebut dirinya spiritual namun bukan religius. Penelitian ini juga membahas mengenai pengembangan pariwisata pilgrimage dan dampak dari wisata spiritual terhadap kehidupan sosial dan keluarga komunitas pelancong.

Penelitian Rogers diatas dilakukan pada daerah yang telah mengembangkan wisata spiritual sehingga dapat diketahui dampak dari pengembangan wisata spiritual terhadap kehidupan sosial masyarakat dan wisatawan. Sedangkan penelititan ini dilakukan pada daerah yang belum mengembangkan wisata spiritual namun memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata spiritual. Untuk itu penelitian diawali dengan mengidentifikasi potensi, menganalisa faktor lingkungan internal dan eksternal, dan kemudian dianalisis dengan menggunakan matriks SWOT untuk dapat menghasilkan strategi dalam pengembangan daya tarik wisata spiritual.

(2)

Selanjutnya penelititan wisata spiritual juga dilakukan oleh Sugiani (2009) tentang ”Strategi pengembangan daya tarik wisata spiritual kawasan pantai mertasari, Desa Sanur Kauh, Kota Denpasar”. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiani yaitu sama-sama membuat strategi program pengembangan daya tarik wisata spiritual namun perbedaannya yaitu daerah dan objek penelitian yang dilakukan yaitu Sugiani pada Kawasan Pantai Mertasari, Desa Sanur Kauh, Kota Denpasar sedangkan penenlitian ini dilakukan bukan dikawasan pantai namun dilakukan di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Penelitian selanjutnya yang dapat menambah referensi pada penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ariawan (2009) tentang ”Daya Tarik Utama Ashram Ratu Bagus sebagai tujuan pariwisata spiritual dan manfaatnya terhadap wisatawan mancanegara di desa Muncan Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem”. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariawan tersebut cenderung melihat aspek ritual dari Agama Hindu dan juga lebih banyak membicarakan tentang tata cara ritual yang ada pada Ashram Ratu Bagus serta mencari manfaat yang diperoleh dari wisatawan mancanegara yang berkunjung.

2.2 Konsep Penelitian 2.2.1 Strategi

Menurut Hatten Kinneth J dalam Salusu (1998: 7) menyatakan konsep strategi selalu memberi perhatian serius terhadap perumusan tujuan dan sasaran organisasi. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan yang dihadapi oleh setiap organisasi, sangat berguna dalam

(3)

merumuskan alternatif strategi yang akan memudahkan untuk mengambil keputusan yang tertinggi dalam setiap organisasi kearah yang lebih baik. Pemilihan alternatif yang terbaik dilakukan setelah memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul apabila suatu alternatif dipilih dan dilaksanakan. Konsep stratejik dapat diringkaskan dalam dua istilah, yaitu kompetensi distinktif (distinctive competence) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) atau ada juga menyebutkan keunggulan daya saing yang artinya “garaplah apa yang paling baik”.

Menurut Amirullah (2004: 4) menyatakan strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Rencana dalam mencapai tujuan tersebut sesuai dengan lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan strategi sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.

Rangkuti (2005: 3) strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Dalam hubungannya dengan perencanaan strategis mempunyai tujuan agar perusahaan dapat melihat secara objektif kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Perencanaan strategis sangat penting utnuk memperoleh keunggulan bersaing dan memilik produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dan dukungan sumber daya yang ada.

(4)

2.2.2 Pengembangan Kawasan Pariwisata

Dalam pengembangan pariwisata,baik pengembangan destinasi pariwisata, maupun pengembangan daya tarik wisata pada umumnya merupakan bagian dari sebuah strategi dalam upaya memajukan, memperbaiki, dan meningkatkan kondisi riil daerah setempat, sehingga memberikan nilai tambah dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitar daya tarik wisata, pemerintah daerah dan wisatawan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke tiga (2005: 538) mendefinisikan pengembangan sebagai suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna. Jadi pengembangan pariwisata merupakan suatu proses atau aktifitas untuk memajukan yang ditata sedemikian rupa dengan memajukan atau memelihara yang sudah ada agar menjadi menarik dan lebih berkembang.

Tahapan pengembangan juga merupakan tahapan siklus evolusi yang terjadi dalam pembangunan pariwisata, sejak suatu daerah tujuan wisata baru ditemukan (discovery), kemudian berkembang dan pada akhirnya terjadi penurunan (decline). Oleh karena itu siklus hidup pariwisata mengacu pada pendapat Butler (1980) yang dikutip oleh Cooper dan Jackson (1997) tentang Tourism Life Cycle dengan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap exploration, yang berkaitan dengan discovery yaitu tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata maupun pemerintah. Biasanya jumlah pengunjung sedikit, wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit dicapai namun

(5)

diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru menjadi berminat karena belum ramai dikunjungi.

2. Tahap involvement yang diikuti local control biasanya oleh masyarakat lokal. Pada tahap ini ada inisiatif dari masyarakat lokal, objek wisata mulai dipromosikan oleh wisatawan, jumlah wisatawan meningkat dan infrastruktur mulai dibangun.

3. Tahap development, dimana pada tahap ini menunjukan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan secara drastis, pengawasan oleh lembaga lokal adakala sulit membuahkan hasil, ,masuknya sendiri industri pariwisata dari luar dan kepopuleran kawasan wisata menyebabkan kerusakasn lingkungan alam dan sosial budaya sehingga diperlukan campur tangan dan kontrol penguasa lokal maupun nasional.

4. Tahap consolidation dengan constitutionalism. Pada tahap ini terjadi penurunan tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Kawasan wisata dipenuhi oleh berbagai industri pariwisata berupa hiburan dan berbagai macam atraksi wisata.

5. Tahap stagnation yang masih diikuti institutionalism, dimana jumlah wisatawan tertinggi telah tercapai dan kawasan ini telah mulai ditinggalkan karena tidak mode lagi, kunjungan ulang dan para pebisnis manfaatkan fasilitas yang telah ada, ada upaya untuk menjaga jumlah wisatawan secara intensif dilakukan oleh industri pariwisata, dan kawasan ini kemungkinan besar mengalami masalah besar yang terkait dengan lingkungan alam maupun sosial budaya.

(6)

6. Tahap decline, hampir semua wisatawan telah mengalihkan kunjungannya ke daerah tujuan wisata lain. Kawasan ini telah menjadi daya tarik wisata kecil yang dikunjungi sehari atau akhir pekan, beberapa fasilitas pariwisata telah dirubah fungsinya menjadi tujuan lain. Dengan demikian pada tahapan ini diperlihatkan upaya dari pemerintah untuk meremajakan kembali (rejuvenate). Dimana tahapan rejuvenation perlu dilakukan pertimbangan mengubah pemanfaatan kawasan pariwisata, mencari pasar baru, membuat saluran pariwisata baru dan mereposisi atraksi wisata ke bentuk lain.

Dari pernyataan Butler diatas mengenai Tourism Life Cycle, kegiatan pariwisata yang ada di Kota Larantuka berada pada tahap awal yaitu tahap exploration dimana kota Larantuka mempunyai berbagai potensi daya tarik wisata lain yang masih tergolong baru dan pengunjung yang ada juga hanya sebatas masyarakat sekitar Kota Larantuka dan pengembangan daya tarik wisata tersebut belum terlalu maksimal oleh karena itu pada tahap awal ini diharapkan semua pihak yang terkait dengan pengembangan pariwisata di Kota tersebut dapat saling mendukung sehingga pengembangan daya tarik wisata yang ada kedepannya dapat terus meningkat dan mampu mengeksplorasi setiap keunikan yang ada di daerah tersebut.

Kawasan pariwisata menurut Undang-Undang no. 9 tahun 1990, menyebutkan kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Dalam Undang-Undang no. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan pasal 1 menyebutkan yang dimaksud dengan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki

(7)

fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Selanjutnya pada pasal 14 ayat 1b dan penjelasannya menyebutkan usaha kawasan pariwisata merupakan kegiatan yang menyediakan barang dan jasa atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan penyelenggara pariwisata.

Kawasan wisata yang direncanakan dalam pengembangannya harus memperhatikan karakteristik sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial dalam pengembangannya. Paturusi (2008: 91) menyebutkan bahwa perencanaan kawasan pariwisata hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut; (1) memiliki peran pelestarian khusus, seperti pantai, danau, kawasan suci, kawasan arkeologi, (2) pemeliharaan lingkungan dengan panorama hijau sepanjang koridor menuju kawasan perencanaan, (3) pengelompokan fasilitas dan kegiatan berdasarkan jenis kegiatan (perbedaan zona bisnis dan tenang) dan sifat kegiatan (privatisasi tinggi dan zona public), (4) penempatan akomodasi pada pemandangan yang menarik, (5) fasilitas hiburan dan komersial hendaknya direncanakan memusat sehingga mudah dicapai oleh pengunjung, (6) pengawasan dan pembatasan pencapaian ke arah kawasan wisata untuk menghindari kemacetan lalulintas, (7) adanya kawasan penyangga (zona hijau dan pemukiman) antara kawasan wisata dengan sekitarnya, (8) pertimbangan jaringan infrastruktur (penerangan, air bersih, telepon, limbah dan pengelolaan sampah).

(8)

Jadi kawasan pariwisata merupakan wilayah budidaya yang mempunyai nilai strategis yang diprioritaskan pengembangannya dengan fungsi utama pariwisata. 2.2.3 Daya Tarik Wisata

Pariwisata akan dapat lebih berkembang atau dikembangkan jika suatu daerah terdapat lebih dari satu jenis objek dan daya tarik wisata (Marpaung, 2002).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Menurut Yoeti (2006: 167) secara garis besar ada empat kelompok yang merupakan daya tarik bagi wisatawan datang pada suatu negara daerah tujuan wisata tertentu yaitu:

a. Natural Attraction, termasuk dalam kelompok ini adalah pemandangan (landscape), pemandangan laut (seascape), pantai (beaches) danau (lakes), air terjun (waterfall), kebun raya (national park), agrowisata (ogrotourism), gunung berapi (volcanos), termasuk pula flora dan fauna.

b. Build attraction, termasuk dalam kelompok ini antara lain bangunan dengan arsitektur yang menarik, seperti rumah adat, dan termasuk bangunan kuno dan modern seperti Opera Building (Sydney), WTC (New York), Forbiden City (China), atau Big Ben (London), TMII (Taman Mini Indonesia Indah) dan daya tarik buatan lainnya.

(9)

c. Cultural Attraction, dalam kelompok ini termasuk diantaranya peninggalan sejarah (historical Building), cerita-cerita rakyat (folklore), kesenian tradisional (traditional dances), museum, upacara keagamaan, festival kesenian dan semacamnya.

d. Social Attraction, yang termasuk kelompok ini adalah tata cara hidup suatu masyarakat (the way of life), ragam bahasa (languages), upacara perkawinan, potong gigi, khitanan atau turun mandi dan kegiatan sosial lainnya.

Menurut Cooper (1993) unsur-unsur yang menentukan keberhasilan sebagai daerah tujuan wisata adalah : (a). Atraksi wisata (Attraction) yang meliputi atraksi alam dan buatan; (b). Kemudahan untuk mencapai akses (access) seperti ketersediaan transportasi lokal baik darat, laut maupun udara beserta sarana dan prasarana pendukungnya; (c). Kenyamanan (amenities) seperti kualitas akomodasi, ketersediaan restoran, jasa keuangan, keamanan serta jasa pendukung; (d). Jasa pendukung yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta (ancilary service) termasuk didalamnya peraturan / perundang-undangan tentang kepariwisataan.

2.2.4 Wisata Spiritual

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu tertentu.

(10)

Menurut Nyoman S. Pendit, (1994) disebutkan bahwa pariwisata dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tujuannya, dan salah satunya yaitu: Wisata Spiritual yaitu wisata yang dilakukan karena adanya dorongan untuk melakukan ibadah ke suatu tempat. Secara detail definisi spiritual dalam bukunya yang sama yaitu Ilmu Pariwisata yaitu: jenis wisata yang banyak dikaitkan dengan agama, adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata ini banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongan ke tempat-tempat suci, ke makam-makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan, ke bukit atau ke gunung yang dianggap keramat.(dikutip dari http://digilib.petra.ac.id tanggal 17 agustus 2011).

Pengertian tentang wisata spiritual juga dikemukakan oleh Bali Travel News 2008 (dalam Susanty 2009) dimana wisata spiritual adalah salah satu kegiatan minat khusus, yaitu perjalanan wisata menuju tempat-tempat suci untuk melaksanakan kegiatan spiritual berupa sembahyang, yoga, meditasi, konsentrasi, dekonsentrasi, dan istilah lainnya sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Wisata spiritual meliputi:

1. Wisata religi; perjalanan wisata terkait dengan sistem kepercayaan (agama tertentu) misalnya: mengunjungi tempat-tempat suci, tempat-tempat bersejarah, makam-makam orang suci.

2. Wisata meditasi; mengunjungi tempat-tempat yang hening, tenang dan damai untuk penenangan diri, penjernihan pikiran misalnya goa-goa

(11)

3. Wisata olah raga spiritual; latihan senam yoga (Bali travel News 2008 dalam Susanty 2009)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2001:1087) yang dimaksud spiritual adalah berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani dan bathin). Dewasa ini, pengaruh globalisasi membuat orang menyatakan diri sebagai spiritual bukan religius. Orang berusaha mengambil intisari sejumlah filsafat dan sistem kepercayaan di seluruh dunia (Rogers, 2002).

Haq dan Jackson (2006) menyatakan bahwa wisatawan spiritual adalah seseorang yang mengunjungi tempat diluar ia biasa berada, dengan keinginan untuk mencari pertumbuhan spiritual, yang sifatnya religious, non-religious, sacral, ataupun sekedar mencari pengalaman, tanpa memperhitungkan tujuan utama melakukan perjalanan.

Dilihat dari wisatawan yang melakukan wisata spiritual, Mckercher (dalam Haq and Jackson, 2006) mengklarifikasikan sebagai berikut:

1. Purposeful spiritual tourist, yaitu wisatawan yang pertumbuhan spiritual pribadinya menjadi alasan utama berkunjung dan wisatawan ini memiliki minat yang sangat kuat.

2. Sightseeing spiritual tourist, yaitu wisatawan yang pertumbuhan spiritual pribadi menjadi alasan utama berkunjung, namun pengalaman spiritualnya lebih rendah.

3. Casual spiritual tourist, yaitu wisatawan yang pertumbuhan spiritual individu merupakan motivasi yang umum untuk juga memiliki pengalaman spiritual yang rendah.

(12)

4. Incidental spiritual tourist, yaitu wisatawan yang menjadikan pertumbuhan spiritual individu bukanlah unsur pengambilan keputusan berwisata, namun dalam perjalanan tidak sengaja menikmati liburan spiritual.

5. Serendipitious spiritual, yaitu wisatawan yang menjadikan pertumbuhan spiritual pribadi bukan sebagai unsur yang mempengaruhi keputusan berwisata, namun mereka mendapatkan pengalaman spiritual mendalam setelah perjalanan.

Dari konsep-konsep di atas maka kegiatan Pekan Suci (Semana Sancta) di Kota Larantuka dapat dikatakan sebagai salah satu daya tarik wisata spiritual. 2.3 Landasan Teori

Dalam menganalisis pengembangan ”Perayaan Paskah” sebagai daya tarik spiritual, ada beberapa pendekatan yang digunakan antara lain teori perencanaan, teori perubahan sosial, teori adaptasi,teori motivasi dan teori SWOT.

2.3.1 Teori Perencanaan

Definisi yang sangat sederhana mengatakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya dalam tingkat yang lebih rumit dimana adanya pengaruh internal dan eksternal yang cenderung sulit untuk dikendalikan, perencanaan dapat berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat dikontrol (noncontrolable) yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut (Tarigan 2005:#).

(13)

Menurut Conyers dan Hills dalam Arsyad (1999: 19), perencanaan adalah: ”suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang”.

Menurut Yoeti (2007, 50-52) ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan :

a. Memberi pengarahan

Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan ke arah mana yang akan dituju, apa yang akan dicapai.

b. Membimbing kerjasama

Perencanaan dapat membimbing para petugas untuk tidak bekerja menurut kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas lainnya.

c. Menciptakan koordinasi

Bila dalam suatu proyek masing-masing keahlian berjalan terpisah, kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkrenisasi dalam pelaksanaan. Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktifitas yang dilakukan.

d. Menjamin tercapainya kemajuan

Suatu perencanaan pada umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak dilakukan meliputi tugas yang dikerjakan dan tanggungjawab tiap individu atau tim dalam proyek. Bila ada penyimpangan antara yang telah direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat dihindarkan.

(14)

Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.

e. Untuk memperkecil resiko

Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia, maupun yang tidak tersedia) dan secara hati-hati menelaah segala kemungkinan yang terjadi sebelum diambil suatu keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar intuisi, tanpa melakukan suatu penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on investment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu perencanaan lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan. f. Mendorong dalam pelaksanaan

Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melaui inisiatif sendiri. Itu pulalah sebabnya untuk mencapai hasil diperlukan tindakan, namun demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan program. Disamping itu untuk membuat suatu perancanaan diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk mengetahui data yang perlu dikumpulkan, kita memerlukan tujuan yang hendak dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives) diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan (planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran (thought) danpelaksanaan (action). Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa “thought without action is merely philosophy, action without thought is merely stupidity”.

(15)

2.3.2 Teori Perubahan Budaya

Teori perubahan budaya yang berkembang dewasa ini banyak dipengaruhi oleh teori Darwin yang terkenal dengan teori evolusi. Proses evolusi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, sehingga hanya yang kuatlah yang dapat bertahan hidup sedangkan yang lemah akan tergeser karena tidak berdaya menghadapi perubahan lingkungan.

Steward maupun Harsojo adalah dua tokoh yang mengembangkan teori Darwin. Steward (dalam Kaplan dan Manners, 2000 : 63-64) yang terkenal dengan teori evolusionisme multilinier mengemukakan bahwa proses perkembangan berbagai kebudayaan itu memperlihatkan adanya beberapa proses perkembangan sejajar. Kesejajaran itu terutama nampak pada unsur yang primer sedangkan unsur kebudayaan yang sekunder tidak nampak perkembangan yang sejajar dan hanya nampak perkembangan yang khas. Proses perkembangan yang tampak sejajar mengenai beberapa unsur kebudayaan primer disebabkan karena lingkungan tertentu memaksa terjadinya perkembangan kearah tertentu.

Teori ini didukung oleh Stark (1987: 440) yang mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik sering diikuti oleh perubahan sosial budaya. Menurut Kaplan (2000:89), perubahan yang terjadi pada masyarakat dan budaya akan bisa mengalami transformasi drastis, dan ada pula masyarakat budaya yang sepenuhnya terserap. Pengaruh wisata terjadi karena kegiatan pariwisata harus ditunjang dengan prasarana dan sarana pariwisata. Pembangunan fasilitas wisata seperti hotel, restoran, artshop dan berbagai lainnya, mengakibatkan perubahan lingkungan fisik.

(16)

Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan masalah kedua dalam penelitian ini yang berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik internal dan eksternal pengembangan daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka.

2.3.3 Teori Adaptasi

Menurut pandangan teori ini dengan adanya perubahan lingkungan, baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat, orang akan berusaha mengadaptasi dirinya terhadap perubahan tersebut. Kendatipun adakalanya orang tidak berhasil mengadaptasi perubahan itu, sehingga menghasilkan sifat (perilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan. Jelasnya jika lingkungan (habitat) mengalami perubahan, maka langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku penghuninya (Soemarwoto, 2001 :45). Swarbrooke (1998: 71) menjelaskan dengan lebih jelas, bahwa kunjungan wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata menyebabkan terjadinya proses adaptasi, baik adaptasi terhadap lingkungan fisik maupun kultural masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena perbedaan latar belakang kehidupan antara wisatawan yang datang dengan masyarakat dan lingkungan yang dikunjunginya.

Berdasarkan teori tersebut, dengan berkembangnya daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka akan mendorong terjadinya perubahan terhadap lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat, baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat. Perubahan tersebut berakibat pada terjadinya adaptasi oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat merumuskan strategi pengembangan yang mempertimbangkan proses adaptasi

(17)

yang terjadi di masyarakat yang ditimbulkan akibat dikembangkannya daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka.

2.3.4 Teori SWOT

Berkembangnya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi berdampak terhadap berkembangnya organisasi dan kegiatan bisnis di tahun 1990-an sehingga terjadi perubahan konsep persaingan dalam bisnis. Pada periode sebelumnya persaingan merupakan kegiatan pembuatan produk sebanyak-banyaknya atau lebih dikenal dengan periode produksi masal dan produsen dapat memaksakan kehendaknya kepada konsumen. Namun selanjutnya adalah kebalikannya, yaitu pada abad ke – 21 dimana masing-masing negara di muka bumi ini sudah tidak memiliki batas ruang dan waktu. Pada era sebelumnya produsen dapat memaksakan kehendaknya kepada konsumen namun yang terajdi sekarang adalah kebalikannya yaitu konsumenlah yang justru memaksakan kehendaknya kepada produsen. Produsen dipaksa untuk membuat produk yang sesuai dengan nilai dan keinginan konsumen. Oleh sebab itu reorientasi perencanaan strategis sangat diperlukan.

Proses pengambilan keputusan strategis dan kebijakan perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, opportunity, dan Threat).

Rangkuti (2005) menyebutkan SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal strengths dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor

(18)

eksternal Peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opprtunies) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Dalam penelitian ini, teori SWOT digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan masalah kedua yaitu analisis lingkungan internal dan eksternal Kota Larantuka untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata spiritual dan permasalahan ketiga yaitu tentang strategi dan program yang relevan dalam pengembangan daya tarik wisata spiritual Kota Larantuka.

2.3.5 Teori Motivasi

Kata motivasi berasal dari kata ”motive” yang berarti menyebabkan (seseorang) melakukan dengan cara tertentu; atau merangsang keinginan. Lebih jauh, Abraham Maslow membuat model hierarki motivasi yang lebih dikenal dengan teori Motivasi Maslow. Adapun hierarki motivasi ini didasarkan pada kebutuhan manusia dari yang paling rendah ke arah yang lebih tinggi sebagaimana dikutip oleh Gilbert (1993: 21), yaitu :

1. Fisiologis lapar, haus, istirahat, beraktivitas.

2. Keamanan (safety and security) bebas dari rasa takut dan kekhawatiran. 3. Rasa memiliki dan kasih sayang, memberi dan menerima cinta.

4. Pengharapan-pengharapan terhadap diri sendiri dan pengahrapan untuk orang lain.

(19)

Dalam konteks pariwisata, motivasi manusia melakukan perjalanan menjadi penting untuk mengetahui alasan wisatawan bepergian, maka dalam lingkup yang lebih luas, komponen pariwisata lainnya (pemerintah penyedia bisnis, dan masyarakat lokal) dapat mengantisipasi, kebutuhan wisatawan tersebut. McIntosh dan Goeldner (1986:124-125) membedakan motivasi wisatawan menjadi empat kategori motivator, yaitu:

1. Motivator fisik, yaitu motivator yang berkaitan dengan aktifitas fisik, misalnya olah raga, rekreasi pantai, hiburan yang menyegarkan, dan motivasi lainnya yang secara langsung berhubungan dengan kesehatan. 2. Motivator budaya, yaitu motivator yang dapat diidentifikasikan melalui

hasrat untuk mengetahui tentang suatu daerah, musik, seni, cerita rakyat, tarian, lukisan, maupun agama mereka.

3. Motivator interpersonal, motivator yang berkaitan dengan hasrat untuk menemui orang baru, mengunjungi teman atau keluarga, menjauhkan diri dari rutinitas atau mencari pengalaman baru yang berbeda.

4. Motivator prestise dan status, yaitu motivator yang berkaitan dengan kebutuhan ego dan pengembangan pribadi, misalnya perjalanan untuk bisnis konvensi, studi, dan yang berkaitan dengan hobi dan pendidikan. Keinginan atas pengahrgaan perhatian, pengetahuan dan reputasi yang baik dapat dipenuhi selama perjalanan.

Pada umumnya manusia menginginkan adanya keseimbangan dalam hidupnya. Secara psikologis, dapat dijelaskan bahwa kebutuhan manusia terhadap keseimbangan dalam kehidupannya tercermin pada usaha menyeimbangkan,

(20)

misalnya antara kerja – istirahat, melek – tidur, bergerak – santai, pendapatan – pengeluaran, kerja – keluarga, kebebasan – ketergantungan, maupun resiko – keamanan. Oleh karena itu, meninggalkan rutinitas disela-sela kehidupannya, manusia melakukan perjalanan adalah salah satu hal penting untuk menyegarkan tubuh dan jiwa, memberikan vitalitas, dan memberikan arti baru pada kehidupan (Krippendorf, 1987; 15-16). Lebih jauh, Darm (1981) sebagaimana dikutip oleh Gilbert (1993:22) menekankan bahwa ada tujuh elemen dalam motivasi berwisata:

1. Perjalanan sebagai jawaban atas apa yang dirasakan masih kurang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa wisatawan melakukan hal tersebut karena termotivasi untuk mengalami fenomena yang berbeda dari yang ada di lingkungan rumahnya.

2. Daya tarik (pull) destinasi sebagai respon terhadap daya dorong (push) motivasi. Pendekatan ini menjelaskan motivasi individu wisatawan pada tingkat hasrat dorongan (push desire) dan daya tarik (pull) suatu destinasi atau daya tarik wisata.

3. Motivasi sebagai fantasi. Ini adalah bagian dari dua faktor pertama tersebut dan menjelaskan bahwa wisatawan berwisata untuk berperilaku seperti hal-hal yang secara budaya tidak ada di tempatnya.

4. Motivasi sebagai tujuan yang diklasifikasikan. Kategori yang luas ini meliputi tujuan utama sebagai motivator dalam perjalanan, misalnya mengunjungi kerabat dan teman, menikmati liburan, atau studi.

5. Tipologi motivasional. Tipologi ini berkaitan dengan tipologi perilaku wisatawan, misalnya perilaku wisatawan yang mencari amenities yang

(21)

lebih baik dari yang ada di tempatnya digolongkan sebagai sunlust. Perilaku wisatawan yang berani mengalami keanehan dan sesuatu yang tak dikenal digolongkan sebagai wonderlust.

6. Motivasi dan pengalaman wisatawan. Pendekatan ini dikarakterisasikan oleh debat yang berkaitan dengan keaslian pengalaman wisatawan dan tergantung pada kepercayaan wisatawan.

7. Motivasi sebagai auto-definisi dan arti. Cara wisatawan mendefinisikan situasi mereka akan memberikan pengertian yang lebih besar terhadap motivasi wisatawan ketimbang hanya mengobservasi perilaku mereka. 2.4 Model Penelitian

Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang dirumuskan diatas, diperlukan kerangka konsep atau model yang merupakan abstraksi dari penelitian ini. Secara kualitatif penelitian ini diawali dengan adanya pengembangan pariwisata khususnya pariwisata budaya di Kota Larantuka dan merupakan sektor andalan bagi pertumbuhan perekonomian Kota Larantuka. Pemerintah Kota Larantuka memegang peranan penting dalam pengembangan kepariwisataan di Kota Larantuka. Salah satu program Pemerintah Kota Larantuka dalam bidang kepariwisataan yaitu mendorong pengembangan dan daya tarik wisata secara bersama-sama dengan pemerintah daerah, swasta dan masyarakat.

Mengikuti trend perkembangan kepariwisataan akhir-akhir ini, maka salah satu daya tarik wisata yang dapat dikembangkan yaitu daya tarik wisata spiritual. Kota Larantuka memiliki potensi yang mendukung pengembangan daya tarik wisata spiritual tersebut.

(22)

Dalam upaya pengembangan daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka, maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap kondisi lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi lingkungan eksternal (peluang dan ancaman). Dalam upaya pengembangan daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka, beberapa konsep dan teori digunakan. Konsep yang digunakan antara lain (1). Strategi Pengembangan, (2). Daya Tarik Wisata (3). Wisata Spiritual. Sedangkan teori yang digunakan yaitu (1). Teori Perencanaan, (2). Teori Perubahan Budaya, (3). Teori Adaptasi, (4). Teori Motivasi dan (5). Teori SWOT.

Dari pemikiran diatas dirumuskan tiga permasalahan yaitu (1). Apa potensi yang dimiliki Kota Larantuka untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata spiritual., (2). Bagaimana kondisi lingkungan internal dan eksternal Kota Larantuka untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata spiritual, (3). Bagaimana strategi dan program yang relevan dalam pengembangan daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka.

(23)

BAB III Pariwisata Budaya Pemerintah Kota Larantuka

Lingkungan Internal Kota Larantuka

• Kekuatan (strength) • Kelemahan (weaknesses)

Lingkungan Eksternal Kota Larantuka

• Peluang (opportunities) • Ancaman (threats) Kawasan wisata spiritual Kota Larantuka

Strategi dan Program yang relevan dalam pengembangan daya tarik wisata spiritual kota

Larantuka Teori

• Teori perencanaan • Teori Perubahan Budaya • Teori adaptasi • Teori SWOT • Teori Motivasi Hasil / Rekomendasi Konsep • Strategi • Pengembangan Kawasan Pariwisata

• Daya tarik wisata • Wisata spiritual

Kondisi lingkungan Internal dan eksternal Kota Larantuka untuk dikembangkan sebagai daya tarik

wisata spiritual Potensi Kota Larantuka

untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata

spiritual

Pengembangan daya tarik wisata spiritual di Kota Larantuka Gambar 2.1 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terbatasnya alat produksi proses pembuatan Bakso Aci juga berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi Bakso Aci (Nursalim et al., 2019). Dari uraian diatas maka

Pemerintah sebetulnya bukan tidak memahami penderitaan dan tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat desa pesisir khususnya para nelayan, salah satu program pembangunan

Bak jenis yang kedua yang digunakan untuk budidaya secara hidroponik DFT adalah jenis bak cor beton yang dibuat di atas tanah yang pada permukaan bagian dalamnya

bermotivasi tinggi dalam bekerja adalah untuk memperoleh keberhasilan, oleh karena itu mereka akan berusaha untuk selalu disiplin dengan mengikuti peraruran serta apapun yang

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

Hasil rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Samarinda yang ditolak oleh para saksi dari partai-partai politik termasuk PDK, tidak pernah diperbaiki dan hal ini telah

Sebagai kesimpulan dari beberapa defenisi tentang pariwisata tersebut dapatlah disebutkan bahwa pariwisata adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang- orang dalam perjalanan ke

Pada gambar tersebut dapat juga dilihat bahwa semakin banyak jumlah pencelupan dense silica (semakin tebal lapisan dense silica), spektra reflektansi yang