• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Earnings Management merupakan salah satu isu akuntansi yang masih

menjadi fokus perhatian baik dari peneliti maupun praktisi akuntansi. Hal ini berkaitan dengan tujuan utama akuntansi yaitu memberikan informasi yang relevan guna pengambilan keputusan bagi pemilik modal. Namun disisi lain manajer memiliki peluang untuk melakukan earnings management dikarenakan akuntansi memberikan ruang bagi manajer untuk mangatur jumlah laba yang akan dilaporkan. Selain itu, penelitian mengenai earnings

management masih gencar dilakukan karena munculnya beberapa skandal

akuntansi yang mendorong implementasi Sarbanes-Oxley Act (SOX) pada tahun 2002. Menurut Cohen et al. (2008), penerapan SOX secara nyata telah mengurangi praktik akuntansi secara akrual. Namun, penurunan praktik akuntansi secara akrual berdampak pada peningkatan praktek earnings

management melalui manipulasi aktivitas riil, seperti penundaan aktivitas

investasi, pengurangan pengeluaran diskresioner, dan overproduction (Roychowdury, 2006).

Earnings management didefinisikan sebagai sebuah intervensi yang

dilakukan oleh manajemen dalam menyajikan laba guna meningkatkan nilai perusahaan melalui pemilihan standar dan metode akuntansi (Scott, 2006). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai bagi shareholders yang telah menjadi sumber pendanaan bagi perusahaan. Oleh karena itu, shareholders akan selalu menuntut manajemen untuk mencapai laba yang positif atau melebihi laba pada periode sebelumnya (Degeoge et al., 1999). Namun tuntutan dari

shareholders bukanlah hal yang mudah untuk dicapai setiap tahun operasi.

Itulah sebabnya, manajemen akan mengelola laba dengan tujuan untuk memenuhi ekspektasi dari shareholders.

(2)

2 Earnings management terjadi ketika terdapat satu atau beberapa pihak

yang memiliki keunggulan informasi (information advantage) dibandingkan dengan pihak lainnya (Scott, 2006). Didasarkan pada teori agensi,

shareholders sebagai principal mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan

kepada manajemen (Jensen dan Meckling, 1976), dapat disimpulkan bahwa manajemen memiliki akses informasi yang lebih besar dibandingkan dengan

shareholders, sehingga mengakibatkan adanya informasi asimetri. Kondisi ini

mendorong manajemen untuk melakukan earnings management untuk kepentingannya sendiri, sebagai contoh: melakukan manipulasi akuntansi dengan tujuan mencapai target laba tertentu untuk mendapatkan bonus.

Roycowdhury (2006) mengklasifikasikan earnings management ke dalam dua kategori, yaitu Real Earnings Management (REM) dan

Accrual-based Earnings Management (AEM). REM merupakan aktivitas manipulasi

untuk menyajikan laba dengan cara perubahan waktu atau struktur aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan sehingga menyimpang dari operasi bisnis normal. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Graham et al. (2005), sekitar 55% CFO akan memilih untuk mengurangi biaya diskresioner dan 35% memilih untuk menunda pelaksanaan projek baru. Kedua hal tersebut, merupakan contoh dari pelaksanaan REM.

Sedangkan AEM merupakan aktivitas manipulasi dengan cara pemilihan metode/estimasi akuntansi dengan tujuan untuk menghasilkan laba yang diinginkan. Karakteristik utama AEM yang membedakan dengan REM adalah AEM tidak memiliki dampak aliran kas masuk ataupun keluar (Roychowdhury, 2006). Walaupun praktik AEM tidak menyajikan peforma finansial yang sebenarnya (Dechow dan Skinner, 2000) AEM masih dianggap legal apabila pelaksanaannya masih di dalam koridor PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum). Contoh dari pelaksanaan AEM adalah perubahan metode depresiasi pada aset tetap dan perubahan estimasi cadangan kerugian piutang.

Adanya perbedaan sifat dari kedua metode earnings management tersebut mendorong baik peneliti maupun praktisi akuntansi untuk

(3)

3

mempelajari kedua hal tersebut secara berkesinambungan. Menurut Fields et al. (2001) terdapat dua alasan yang melatarbelakangi pernyataan diatas, alasan pertama adalah mempelajari salah satu metode earnings management, tidak bisa menjelaskan efek dari praktek earnings management secara keseluruhan. Alasan kedua adalah dampak ekonomi dari pemilihan metode akuntansi dapat diketahui, hal ini disebabkan pemilihan metode AEM akan mempengaruhi keputusan manajemen terhadap penerapan REM.

Oleh karena itu, beberapa penelitian telah menguji hubungan antara REM dan AEM. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al. (2008). Penelitian ini menguji hubungan antara REM dan AEM pasca implementasi SOX. Hasil yang diperoleh adalah level penerapan AEM menurun dan diikuti dengan meningkatnya penerapan REM, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara REM dan AEM merupakan hubungan substitusi yang saling menggantikan. Hasil penelitian tersebut serupa dengan Cohen dan Zarowin (2010) yang menguji hubungan antara REM dan AEM pada peristiwa

seasoned equity offering (SEO). Barderscher (2011) mengemukakan bahwa

perusahaan akan memilih salah satu atau mengkombinasikan kedua metode

earnings management. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Zang

(2012) menunjukkan bahwa manajer akan menerapkan REM sebelum periode operasi dan menerapkan AEM ketika metode REM tidak bisa mencapai target yang diinginkan. Didasarkan pada beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi antara REM dan AEM bersifat substitusi dan sekuensial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh kegagalan penerapan REM terhadap tingkat penerapan AEM. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010 hingga 2014. Alasan pemilihan sampel perusahaan manufaktur karena menurut Roychowdury (2006) industri manufaktur merupakan industri yang rentan terhadap earnings management. Kegagalan penerapan REM sebagai variabel independen diuji dengan menggunakan model yang disusun oleh Dechow et al. (1998) dan diadopsi

(4)

4

oleh penelitian Roychowdury (2006). Sedangkan AEM merupakan variabel dependen diuji dengan menggunakan Jones Model (Dechow et al., 1998). Asumsi awal dari penelitian ini adalah semakin gagal penerapan REM maka manajemen akan semakin gencar dalam penerapan AEM dalam rangka mencapai target laba yang diinginkan. Asumsi ini didukung oleh Zang (2012) yang menyatakan bahwa tingkat penerapan AEM akan dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan REM dalam mencapai target laba.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, peneliti mengambil penelitian yang berjudul “ANALISIS PENGARUH

KEGAGALAN PENERAPAN REAL EARNINGS MANAGEMENT TERHADAP PENERAPAN ACCRUAL-BASED EARNINGS MANAGEMENT”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah kegagalan dalam penerapan Real Earnings Management akan menaikkan tingkat penerapan Accrual-based Earnings Management ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pembuktian secara empiris pengaruh tingkat kegagalan penerapan real earnings management terhadap

accrual-based earnings management.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan mengenai hubungan antara real earnings management dan

accrual-based earnings management.

2. Bagi shareholders, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi shareholders bahwa terdapat beberapa metode manipulasi laporan

(5)

5

keuangan yang perlu diwaspadai dalam mengambil keputusan investasi atas dasar laporan keuangan.

3. Bagi akuntan manajemen, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai alternatif dalam earnings management, sehingga tidak hanya berfokus pada accrual-based earnings management yang cenderung lebih beresiko dibandingkan dengan real earnings

management. Selain itu, akuntan manajemen dapat mengetahui hubungan

substitusi antara real earnings management dan accrual-based earnings

management.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II LANDASAN TEORI DAN STUDI PUSTAKA

Bab ini terdiri dari landasan teori dan literatur yang relevan dalam mendukung hipotesis. Selain itu, juga memuat beberapa penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai dasar acuan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan metode penelitian yang digunakan, yang meliputi pemaparan variabel penelitian, penentuan populasi dan sampel dan metode analisis data.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi analisis dari data yang sudah diolah, intepretasi hasil, dan argumentasi terhadap hasil penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai kesimpulan dan keterbatasan pada penelitian yang telah dilakukan.

(6)

6

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN STUDI PUSTAKA

2.1. Earnings Management

Earnings management dalam beberapa literatur akuntansi dianggap

sebagai fenomena yang tidak diinginkan terjadi dalam suatu entitas usaha. Hal ini dikarenakan, earnings management erat kaitannya dengan aktivitas manipulasi yang dilakukan oleh manajemen sehingga informasi akuntansi tidak dapat diandalkan (Sankar & Subramanyam, 2000). Namun, earnings

management tidak selalu berkonotasi negatif, hal ini disampaikan oleh Ronen

dan Yaari (2008) yang menyatakan bahwa tidak semua earnings management merupakan aktivitas yang negatif, melainkan dapat meningkatkan kualitas informasi. Adanya variasi mengenai definisi earnings management mendorong Ronen (2008) untuk mengklasifikasikan definisi earnings

management menjadi tiga kategori, yaitu white, gray, dan black.

White earnings management mengacu pada transparansi dalam pelaporan

keuangan. Hal ini disebabkan karena manajemen menggunakan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk mengungkapkan informasi perusahaan dengan lebih lengkap kepada shareholders (Sankar & Subramanyam, 2000). Secara umum, kategori ini mendefinisikan earnings management sebagai sebuah kebebasan dalam pemilihan perlakuan akuntansi guna memberikan sinyal kepada shareholders mengenai aliran kas di masa depan sehingga memenuhi ekspektasi dari shareholders. Secara konkrit hal tersebut diungkapkan sebagai berikut (Beneish, 2001, hal.3).

“Earnings management is taking advantage of the flexibility in the choice

of accounting treatment to reveal to investors their private expectations about the firm’s future cash flows”

Grey earnings management mengacu pada manipulasi pelaporan

akuntansi yang diperbolehkan oleh prinsip akuntansi berterima umum (PABU) untuk memaksimalkan keuntungan bagi manajemen. Kategori ini menganggap earnings management sebagai intervensi manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan guna memenuhi tujuan tertentu

(7)

7

(berfokus pada kepentingan manajemen) melalui pemilihan standar dan metode akuntansi. Secara konkrit hal tersebut diungkapkan sebagai berikut (Fields et al., 2001, hal. 260)

“[...] Although not all accounting choices involve earnings management, and the term earnings management extends beyond accounting choice, the implications of accounting choice to achieve a goal are consistent with the idea of earnings management, which occurs when managers exercise their discretion over the accounting number with or without restrictions. Such discretion can be either firm value maximizing or opportunistic.”

Sedangkan black earnings management mengacu pada penggunaan perlakuan akuntansi yang tidak sesuai dengan PABU dengan tujuan untuk menyesatkan pengguna laporan keuangan. Didasarkan pada definisi ini,

earnings management terjadi ketika manajemen melakukan intervensi dalam

pelaporan akuntansi dan transaksi keuangan guna memberikan informasi yang meyesatkan bagi shareholders perihal peforma ekonomi perusahaan. Secara konkrit hal tersebut diungkapkan sebagai berikut (Healy&Wahlen, 1999, hal 24).

“Earnings management occurs when managers use judgment in financial

reporting and in structuring transactions to alter financial reports to either mislead some stakeholder about the underlying economic performance of the company or to influence contractual outcomes that depend on reported accounting numbers.”

Selain itu, Scott (2006) mendefinisikan earnings management sebagai peluang bagi manajemen untuk memilih kebijakan dan perlakuan akuntansi untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya dan atau meningkatkan nilai pasar perusahaan. Didasarkan pada definisi tersebut, Scott membagi earnings

management menjadi dua tipe, yaitu opportunistic earnings management dan earnings efficient management. Opportunistic earnings management

menganggap earnings management sebagai sebuah peluang untuk memaksimalkan keuntungan bagi kepentingan manajemen. Konsep ini didukung oleh Burgstahler dan Dichev (1997) yang menyatakan bahwa manajemen menghindari pelaporan kerugian atau laba menurun terkait dengan kompensasi yang akan diterimanya. Sedangkan earnings efficient

(8)

8 management merupakan konsep yang memandang bahwa earnings management memberikan peluang untuk melindungi manajemen dan

perusahaan (shareholders) dari kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan pihak lain mendapatkan keuntungan.

2.2. Real Earnings Management

Scott (2009) mendefinisikan earnings management sebagai pilihan yang diambil oleh manajemen guna mencapai tingkat laba yang diinginkan melalui pemilihan metode akuntansi atau perubahan aktivitas riil perusahaan. Metode

earnings management melalui perubahan aktivitas riil perusahaan disebut

dengan real earnings management (REM). REM adalah upaya manajemen untuk mengubah jumlah laba yang dilaporkan melalui penyesuaian skala dan pemilihan waktu aktivitas bisnis (Xu et al., 2007). Dikarenakan REM erat kaitannya dengan aktivitas bisnis maka aktivitas ini akan mepengaruhi aliran kas perusahaan. Menurut Roychowdhury (2006), REM adalah bentuk penyimpangan dari kegiatan operasi normal yang dilakukan oleh manajemen untuk menyakinkan shareholders bahwa melalui kegiatan operasi normal perusahaan mampu untuk mencapai jumlah laba yang diinginkan. Hal tersebut secara konkrit dinyatakan sebagai berikut (Roychowdhury, 2006, hal.3).

“Real activities manipulation is a departure from normal operational

practices, motivated by managers’ desire to mislead at least some stakeholders into believing that certain financial reporting goals have been met in the normal course of operations”

Menurut Roychowdhury (2006) terdapat tiga aktivitas utama dari REM, yaitu: pemberian diskon untuk menaikan penjualan, pengurangan biaya diskresioner, dan overproduction untuk menurunkan HPP. Selain mengubah struktur operasi, REM juga berkaitan dengan perubahan waktu dalam transaksi. Dechow dan Shakespeare (2009) menemukan bahwa manajemen cenderung untuk mempercepat waktu menjual aktiva tetap dengan tujuan untuk meningkatkan laba pada periode tertentu. Pada dasarnya keempat aktivitas tersebut normal terjadi dalam keadaan ekonomi tertentu. Namun,

(9)

9

apabila manajemen melakukan aktivitas tersebut secara intensif maka dapat diindikasikan bahwa manajemen sedang melakukan REM.

Salah satu manipulasi REM yang sering dilakukan adalah pengurangan biaya diskresioner (research&development/ R&D). Pengeluaran terkait R&D dianggap sebagai biaya pada waktu biaya tersebut terjadi. Meskipun terkesan membebankan pada periode waktu tertentu, tetapi manfaat dari investasi tersebut dapat dirasakan beberapa waktu kedepan. Manajemen seringkali mengurangi biaya R&D pada periode berjalan sehingga mengakibatkan kenaikan pada laba sebesar jumlah yang dikurangi. Akibat dari aktivitas ini justru akan mengurangi keuntungan kompetitif perusahaan dalam jangka panjang (Hawazin, 2014). Hal ini ditegaskan dengan penelitian Baber et al. (1991) yang menyimpulkan bahwa 99% dari sampel penelitian melaporkan jumlah biaya R&D lebih rendah dari semestinya dengan tujuan untuk menghindari laba negatif.

Zang (2012) menyatakan biaya yang dikeluarkan oleh manajemen dalam penerapan REM lebih mahal dibandingkan AEM. Namun, manajemen juga tidak lantas hanya menggunakan AEM dalam mengatur laba (Roychowdhury, 2006). Pada kenyataannya, manajemen cenderung mengimplementasikan REM dibandingkan AEM walaupun biaya untuk melakukan aktivitas REM lebih besar (Merchant, 1990 dan Graham et al., 2005). Hal ini disebabkan oleh sifat REM yang berkaitan dengan aktivitas riil sehingga menimbulkan efek aliran kas yang menyebabkan aktivitas REM tidak mudah untuk dideteksi (Kothari et al, 2012). Selain itu, AEM dipandang lebih beresiko dibanding REM.

2.3. Accrual-Based Earnings Management

Beberapa studi menunjukkan bahwa intervensi manajemen dalam melaporkan laba tidak hanya terbatas pada perubahan aktivitas riil perusahaan tetapi juga melalui pemilihan metode atau estimasi akuntansi. Accrual-based

Earnings Management (AEM) merupakan jenis earnings management yang

(10)

10

jumlah laba yang dilaporkan (Khotari et al., 2012). Dibandingkan dengan REM, AEM lebih menjadi fokus praktisi dan akademisi dalam pengembangan literatur earnings management (Fields et al., 2001). Contoh aktivitas AEM adalah perubahan metode depresiasi, perubahan metode perhitungan persediaan, dan perubahan estimasi piutang tak tertagih.

Konsep akuntansi akrual (accrual accounting) timbul sebagai upaya GAAP dalam memitigasi permasalahan yang terdapat pada konsep akuntansi berbasis kas (cash basis). Sebagai salah satu indikator dalam penilaian peforma perusahaan, jumlah kas yang terealisasi (realized cash flow) dinilai tidak informatif (Dechow, 1994). Kedua permasalahan tersebut bertentangan dengan prinsip pengakuan pendapatan (revenue recognition principle) dan prinsip penandingan (matching principle). Prinsip pengakuan pendapatan menyatakan bahwa pendapatan terbentuk, terhimpun, atau terhak bersamaan dengan dan melekat pada seluruh proses berlangsungnya operasi perusahaan dan bukan sebagai hasil transaksi tertentu (Suwardjono, 2006). Dengan kata lain, pendapatan sudah dapat diakui seiring dengan berjalannya operasi perusahaan bukan berdasarkan penerimaan kas. Sedangkan prinsip penandingan adalah proses penentuan pendapatan dengan cara mengukur atau menakar dahulu pendapatan untuk suatu periode kemudian menentukan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut (Suwardjono, 2006).

Pada dasarnya, konsep akrual berfokus pada pencatatan pendapatan dan biaya pada periode terjadinya dan bukan berdasarkan aliran kas masuk/keluar. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan Suwardjono (2006, hal. 237).

“Asas akrual adalah asas dalam pengakuan pendapatan dan biaya yang menyatakan bahwa pendapatan diakui pada saat hak kesatuan usaha timbul lantaran penyerahan barang atau jasa ke pihak luar dan biaya diakui pada saat kewajiban timbul lantaran penggunaan sumber ekonomik yang melekat pada barang dan jasa yang diserahkan tersebut”

Meskipun konsep akrual menunjukkan peforma perusahaan yang sebenarnya, tetapi konsep ini memberikan peluang bagi manajemen untuk menggunakan pertimbangannya dalam pengakuan pendapatan dan biaya. Hal ini ditegaskan oleh Dechow dan Skinner (2010) yang menemukan bukti

(11)

11

bahwa proses akrual mendorong manajemen cenderung untuk melaporkan laba lebih rata dari tahun ke tahun sehingga memberikan sinyal yang baik kepada shareholders.

2.4. Agency Theory

Salah satu teori yang erat kaitannya dengan earnings management adalah

agency theory (teori keagenan). Asumsi dasar dari teori ini adalah setiap

individu akan bertindak atas nama dan untuk kepentingannya sendiri sehingga akan memunculkan konflik kepentingan antara pemilik sebagai

principal dan manajemen sebagai agent. Jensen dan Meckling (1976)

mendefinisikan agency theory sebagai sebuah kontrak antara principal dan

agent sehingga agent bertindak untuk kepentingan principal. Disisi lain, baik principal maupun agent sama-sama bertujuan untuk memaksimalkan

keuntungannya. Hal inilah yang menjadi rasionalisasi ketika agent tidak bertindak atas nama dan untuk kepentingan principal. Secara konkrit hal tersebut diungkapkan sebagai berikut (Jensen & Meckling, 1976, hal.310).

“a contract under which one or more persons (the principal) engage

another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent. If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interest of the principal”

Didasarkan pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara principal dan agents dinyatakan dalam bentuk kontrak. Meskipun manajemen merupakan pihak yang independen dan enggan untuk mengorbankan kepentingannya, tetapi ia akan berusaha untuk memenuhi kontrak yang sudah disepakati (Buanaputra, 2014). Oleh karena itu, kontrak dianggap sebagai sebuah mekanisme untuk menyatukan kepentingan

shareholders dan manajemen. Kontrak dinyatakan efisien apabila mendorong

pihak yang berkontrak melaksanakan apa yang diperjanjikan dan para pihak mendapatkan hasil yang paling optimal dari berbagai kemungkinan alternatif tindakan yang dapat dilakukan agent (Suwardjono,2006).

(12)

12

Hubungan keagenan antara shareholders dan manajemen dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (information asymmetry) dengan manajemen sebagai pihak yang lebih menguasai informasi. Information

asymmetry didefinisikan sebagai kondisi dimana keunggulan informasi

dimiliki oleh manajemen dan bukan shareholders. Hal ini selaras dengan Hartono (2008) yang mendefinisikan information asymmetry sebagai penyebaran informasi privat yang tidak merata antara manajemen dan

shareholders. Kondisi ini akan mendorong manajemen untuk bertindak demi

kepentingannya sendiri dan bukan demi kepentingan shareholders.

2.5. Teori Akuntansi Positif Terkait

Teori akuntansi positif merupakan sebuah teori yang menjelaskan mengenai praktek akuntansi, termasuk earnings management. Menurut Watts dan Zimmerman (1986), teori akuntansi positif adalah teori yang menjelaskan motivasi manajemen dalam pemilihan metode akuntansi. Hal ini didasarkan pada asumsi ekonomi yang menyatakan bahwa aksi manusia didorong oleh kepentingannya sendiri dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya (Daegan dan Unerman, 2006). Setidaknya terdapat tiga teori positif akuntansi yang relevan dengan earnings management, yaitu: the bonus plan hypothesis,

the debt/equity hypothesis, and the political cost hypothesis.

2.5.1. The Bonus Plan Hypothesis

The Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa manajemen akan

cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang mempercepat pengakuan pendapatan. Hal ini disebabkan karena penentuan bonus didasarkan pada laba pada periode berjalan (Watts dan Zimmerman, 1990). Berdasarkan pada hipotesis ini, manajemen akan bertindak oportunistik demi kepentingannya sendiri.

2.5.2. The Debt/Equity Hypothesis

The Debt/Equity Hypothesis memprediksikan hubungan antara debt/equity ratio perusahaan dan dorongan manajer dalam melakukan

(13)

13 earnings management. Hal ini terkait dengan perjanjian utang antara

debitur dan kreditur. Semakin debt/equity ratio tinggi maka perjanjian utang akan semakin ketat demikian pula sebaliknya. Beberapa perjanjian juga didasarkan pada jumlah laba tertentu untuk memperoleh pinjaman dengan tingkat tertentu. Hal inilah yang menjadi dorongan manajemen untuk melakukan earnings management guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian utang.

2.5.3. The Political Cost Hypothesis

The Political Cost Hypothesis berkaitan dengan pengawasan

politik, semakin manajer merasa bahwa perusahaan sedang dalam pengawasan maka mereka akan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi dengan tujuan mengurangi jumlah laba yang dilaporkan (Deegan dan Unerman, 2006). Selain itu, ketika manajemen merasa bahwa situasi politik tidak baik, maka manajer juga cenderung akan mengurangi jumlah laba yang dilaporkan.

2.6. Capital Market Incentives

Laba merupakan salah satu informasi yang menjadi bahan pertimbangan bagi investor dalam membuat keputusan. Kondisi ini mengakibatkan adanya insentif bagi manajemen untuk memanipulasi laba demi memenuhi ekspektasi dari pasar modal (Madhogarhia et al., 2009). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah earnings management berkaitan dengan transaksi pasar modal. Sebagai contoh, Teoh et al. (1998) menyimpulkan bahwa manajemen akan memanipulasi laba ketika akan melakukan penawaran perdana / initial public offerings. Sedangkan Chen dan Zhang (1998) menyimpulkan hal yang sama pada peristiwa seasoned equity offering. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen menaruh perhatian yang besar terhadap transaksi pasar modal, sehingga memotivasi manajemen untuk memanipulasi laba guna mengarahkan investor pada aksi yang menguntungkan manajemen.

(14)

14

Stout Risius Ross, Inc (SRR) dalam sebuah penelitiannya, menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terjadi perubahan tren dasar penentuan bonus perusahaan menjadi share-based compensation. Share-based compensation adalah salah satu metode kompensasi yang memberikan hak kepada karyawan untuk membeli saham perusahan. Jenis kompensasi ini cenderung membuat karyawan merasa memiliki perusahaan, sehingga manajemen akan lebih terdorong untuk memberikan informasi yang baik kepada pasar. Teori akuntansi positif yang dapat menjelaskan perilaku ini adalah bonus plan

hypothesis (Zimmerman, 1990). Didasarkan pada teori ini, manajemen akan

cenderung untuk mempercepat pengakuan pendapatan pada periode mendatang sehingga dapat mencapai target laba yang menjadi dasar penentuan bonus bagi manajemen.

2.7. Penelitian Terdahulu mengenai Hubungan Real Earnings Management dan Accrual-based Earnings Management

Isu mengenai REM dan AEM sudah banyak dibahas baik oleh akademisi maupun praktisi akuntansi. Hal ini secara nyata ditunjukkan dengan beberapa jurnal yang membahas kedua hal tersebut secara terpisah. Namun, hingga tahun 2006 belum ada satupun penelitian yang berfokus pada hubungan antara kedua strategi earnings management tersebut. Penelitian pertama mengenai hubungan REM dan AEM dilakukan oleh Amy Y. Zang, penelitian ini sekaligus menjadi tonggak bagi beberapa penelitian mengenai hubungan REM dan AEM.

Setidaknya terdapat dua isu utama yang mendorong Zang untuk melakukan penelitian mengenai hubungan REM dan AEM. Isu pertama, berkaitan dengan pengaruh faktor pembatas (constraint) sebagai dasar penentuan pemilihan strategi earnings management. Salah satu hal yang melandasi isu pertama adalah praktek earnings management dianggap sebagai kegiatan yang mahal, sehingga dasar pemilihan strategi antara REM dan AEM didasarkan pada faktor pembatas (constraint) yang melekat pada setiap strategi. Dengan kata lain, apabila salah satu strategi lebih ‘mahal’

(15)

15

(beresiko), maka manajemen akan memilih strategi earnings management yang lain.

Isu kedua dari penelitian Zang adalah REM dan AEM memiliki hubungan substitusi (saling menggantikan). Landasan berfikir dari isu ini adalah adanya perbedaan waktu penerapan strategi earnings management. Manipulasi menggunakan strategi REM secara umum ditetapkan pada awal tahun fiskal dan diterapkan sepanjang tahun fiskal, sedangkan AEM diterapkan pada akhir tahun fiskal. Sehingga ada kemungkinan hubungan antara REM dan AEM saling menggantikan. Dengan kata lain, apabila tingkat penerapan REM rendah maka tingkat penerapan AEM akan tinggi, begitu pula sebaliknya.

Zang (2006) menyimpulkan hubungan antara REM dan pembatas (constraint) yang melekat pada AEM berkorelasi positif, demikian juga antara AEM dan pembatas (constraint) yang melekat pada REM. Sehingga perusahaan akan cenderung untuk menggunakan strategi REM apabila pembatas (constraint) yang melekat pada AEM relatif lebih tinggi, begitu pula sebaliknya. Kesimpulan kedua dari penelitian ini adalah hubungan antara REM dan AEM adalah hubungan substitusi atau saling menggantikan.

Cohen dan Zarowin (2008) melakukan pengujian hubungan antara REM dan AEM pada peristiwa seasoned equity offerings (SEOs). Pada dasarnya, fokus penelitian yang dilakukan Cohen dan Zarowin sejalan dengan penelitian Zang. Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah konteks penelitian yang merupakan sebuah peristiwa (event). Hasil dari penelitian ini adalah korelasi positif antara REM dan pembatas (constraint) yang melekat pada AEM sebelum dilaksanakannya SEOs. Secara garis besar, isu, metodologi, dan kesimpulan pada penelitian ini selaras dengan penelitian oleh Zang.

Cohen et al. (2006) melakukan penelitian mengenai praktek REM dan AEM pada periode waktu sebelum dan sesudah Sarbanes-Oxley Act (SOX) diterbitkan. Penerapan SOX di Amerika mengakibatkan adanya kontrol yang intensif dari pemerintah, shareholders, dan masyarakat terhadap kinerja

(16)

16

perusahaan (Ribstein, 2002). Hal inilah yang mendorong Cohen untuk meneliti apakah terjadi perubahan praktek earnings management setelah adanya SOX. Hasil dari penelitian ini adalah sebelum SOX diterbitkan, hampir semua sampel penelitian menggunakan praktek AEM dalam memanipulasi laba. Kondisi kontras terjadi setelah SOX diterbitkan, adanya perubahan tren praktek manipulasi laba, dari yang sebelumnya intensif menggunakan AEM berganti menjadi REM. Keberadaan SOX mendorong semua pelaku investasi untuk berfokus pada kinerja perusahaan, akibatnya manipulasi dalam bentuk akrual akan lebih mudah dideteksi karena tidak ada aliran kas masuk/keluar. Hal ini konsisten dengan Graham (2005) yang menyatakan bahwa perusahaan akan cenderung menggunakan REM karena REM lebih susah dideteksi daripada AEM.

Buanaputra (2014) melakukan pengujian terhadap hubungan antara REM dan AEM. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya, dengan menggunakan Jones Model sebagai proxy AEM dan Dechow et al. (1998) sebagai proxy REM. Sampel penelitian ini adalah perusahaan manufaktur dan tambang yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2005-2013. Variabel kontrol (diungkapkan dalam

dummy variables) yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun

terjadinya krisis keuangan, jenis industri: perusahaan manufaktur atau tambang, dan level industri: MNC atau tidak. Variabel kontrol inilah yang membedakan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Zang (2006), yaitu REM secara umum ditetapkan pada awal tahun fiskal, sedangkan AEM dilakukan pada akhir tahun fiskal ketika manipulasi menggunakan REM tidak mencapai target yang diinginkan. Sehingga ketika perusahaan intensif menggunakan REM maka perusahaan akan mengurangi manipulasi laba secara akrual. Sebaliknya, apabila perusahaan memilih untuk intensif menggunakan AEM maka tingkat penerapan REM akan rendah.

(17)

17 2.8. Kontribusi Penelitian

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki beberapa kontribusi bagi perkembangan literatur mengenai hubungan REM dan AEM, yaitu pengujian terhadap pengaruh kegagalan penerapan REM terhadap penerapan AEM. Hal ini merupakan pengembangan dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti: Zang (2006) yang menguji hubungan REM dan AEM didasarkan pada biaya (constraints) yang melekat, Cohen dan Zarowin (2006) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh peristiwa tertentu (penerbitan SOX) terhadap hubungan antara REM dan AEM, dan Buanaputra (2014) yang berfokus pada hubungan REM dan AEM. Dasar penelitian ini adalah kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Zang (2006) bahwa hubungan antara REM dan AEM adalah hubungan substitusi (saling menggantikan). Selain itu, Buanaputra (2014) menemukan bukti bahwa REM ditetapkan dan dijalankan sepanjang tahun fiskal dan AEM dilakukan pada akhir tahun fiskal ketika target laba melalui REM tidak tercapai. Adanya perbedaan waktu dalam penerapan REM dan AEM, menyiratkan bahwa tingkat penerapan AEM ditentukan oleh tingkat penerapan REM. Dengan kata lain, apabila tingkat penerapan REM tinggi maka tingkat penerapan AEM akan rendah, dan sebaliknya. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menguji pengaruh tingkat kegagalan penerapan REM terhadap penerapan AEM.

2.9. Hipotesis Penelitian

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menguji hubungan antara REM dan AEM. Beberapa penelitian (Cohen et al., 2008; Cohen dan Zarowin, 2010) menunjukkan bahwa perusahaan akan memilih salah satu dari kedua strategi earnings management (REM atau AEM) untuk memanipulasi laba pada periode akuntansi tertentu. Penelitian tersebut mengasumsikan bahwa REM dan AEM memiliki hubungan substitusi sehingga dapat saling menggantikan. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian oleh Zang (2012) yang mengemukakan bahwa manajemen akan

(18)

18

menerapkan AEM apabila penerapan REM tidak mampu mencapai target laba yang dinginkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan penerapan REM akan berdampak pada tingkat penerapan AEM. Berdasarkan argumen tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: H0 : Besarnya tingkat kegagalan REM berpengaruh positif terhadap

penerapan AEM. H1

2.10. Model Penelitian

: Besarnya tingkat kegagalan REM berpengaruh negatif terhadap penerapan AEM.

H1 : (-) Tingkat Kegagalan REM

Perbandingan REM terhadap earnings, dengan REM menggunakan Dechow Model

(1991)

AEM

AEM menggunakan Jones Model dalam Dechow (1991)

Variabel Kontrol

Financial leverage, ukuran perusahaan, ROA, dan keadaan

Referensi

Dokumen terkait

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

Penelitian yang dilakukan di TK AndiniSukarame Bandar Lampung betujuan meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal konsep bilangan melalui media gambar pada usia

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun