• Tidak ada hasil yang ditemukan

Λ = DATA DAN METODE. Persamaan Indeks XB dinyatakan sebagai berikut. XB(c) = ( ) ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Λ = DATA DAN METODE. Persamaan Indeks XB dinyatakan sebagai berikut. XB(c) = ( ) ( )"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

5

Indeks XB (Xie Beni)

Penggerombolan Fuzzy C-means memerlukan indeks validitas untuk mengetahui banyak gerombol optimum yang terbentuk. Indeks validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks XB (Xie Beni) (Pravitasari 2008) yang menyatakan bahwa Indeks XB memiliki ketepatan dan keterandalan yang tinggi baik untuk memberikan banyak gerombol yang optimum pada metode K-means maupun pada Fuzzy C-means.

Persamaan Indeks XB dinyatakan sebagai berikut

XB(c) = ∑ ∑ ( ) ( )

| |

dengan c menyatakan banyak gerombol,

adalah tingkat keanggotaan objek ke-k pada gerombol ke-i, adalah kuadrat jarak pusat

gerombol ke-i terhadap objek ke-k, N merupakan banyaknya objek yang digerombolkan, | | adalah jarak minimum antara pusat gerombol . Kriteria penentuan banyaknya gerombol optimum diberikan oleh nilai XB minimum pada lembah pertama.

Uji Beda Vektor Rataan

Uji beda vektor rataan digunakan untuk melihat keterandalan gerombol yang telah terbentuk. Hipotesis yang digunakan adalah H0 : µ1 = µ2 = ……. = µt = 0

H1 : Paling tidak ada satu µi ≠ 0

Menurut Morrison (1990) salah satu statistik uji yang dapat digunakan adalah kriteria Wilks’ Lambda ( ).

Λ =

dengan H adalah matriks hipotesis berukuran p x p dengan derajat bebas q, E adalah matriks galat berukuran p x p dengan derajat bebas v,

adalah akar ciri dari matriks E-1H, dan p adalah banyaknya peubah.

Pendekatan F untuk Λ adalah: F =

⁄ ⁄

dengan adalah nilai Wilks’ Lambda, t ={[p2q2-4]/[p2+q2-5]} jika p2+q2-5>0, t=1 jika

p2+q2-5≤0, r =v-0.5(p-q+t), u = 0.25(pq-2), dan p adalah jumlah peubah. H0 ditolak jika

F > atau nilai-p < α. Nilai F yang tinggi menunjukkan bahwa keragaman anggota dalam gerombol kecil serta keragaman antar gerombol besar.

DATA DAN METODE Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder indikator pendidikan Sekolah Lanjutan Atas tahun 2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 33 propinsi di Indonesia.

Indikator pendidikan Sekolah Lanjutan Atas yang digunakan sebagai dasar penggerombolan beserta kodenya dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemilihan indikator pendidikan Sekolah Lanjutan Atas ini berdasarkan kemudahan memperoleh data serta indikator yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan indikator yang telah ditetapkan oleh BPS.

Tabel 1 Daftar indikator pendidikan sekolah lanjutan atas dan kodenya

Kode Indikator Pendidikan X1 Angka Putus Sekolah

X2 Siswa per Rombel

X3 Siswa per Guru

X4 Rombel per Sekolah

X5 Angka Partisipasi Kasar

Keterangan mengenai peubah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Metode

Tahapan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsian indikator pendidikan untuk melihat gambaran umum kondisi pendidikan Sekolah Lanjutan Atas masing-masing propinsi di Indonesia.

2. Menghitung nilai korelasi untuk semua peubah yang digunakan.

3. Melakukan penggerombolan dengan metode Ward.

4. Menghitung Indeks Xie Beni.

5. Melakukan penggerombolan dengan metode Fuzzy C-means.

6. Membandingkan hasil analisis gerombol dari dua metode yang digunakan (Ward dan Fuzzy C-means).

(2)
(3)
(4)

8

Gambar 6 Dendogram dengan metode ward.

Gerombol 1

Gerombol 1 beranggotakan 8 propinsi. Ciri yang menonjol dari gerombol ini adalah nilai angka putus sekolahnya paling rendah dibandingkan dengan gerombol lainnya, yaitu sebesar 2.14%. Begitu pula jika di bandingkan dengan nilai rataan nasional sebesar 3%, akan tetapi nilai angka putus sekolah pada gerombol 1 belum memenuhi standar ideal nasional ≤ 1%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada gerombol 1 masih banyak penduduk usia Sekolah Lanjutan Atas di propinsi tersebut yang melanjutkan studi dibandingkan gerombol lainnya. Banyaknya siswa/rombel, pada gerombol 1 paling tinggi jika dibandingkan dengan gerombol lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada propinsi di gerombol 1 terjadi kelebihan peserta didik. Hal ini dikuatkan pula dengan nilai siswa/rombel sebesar 37.75 melebihi standar nasionalnya sebesar 32.

Banyaknya siswa/guru pada gerombol 1 paling tinggi dibandingkan gerombol lainnya, yaitu sebesar 12.88 melebihi rataan nasionalnya sebesar 11.42 serta belum memenuhi standar idealnya sebesar 20. Banyaknya rombel/sekolah pada gerombol 1 pun paling tinggi dibandingkan gerombol lainnya, yaitu sebesar 10.93 melebihi rataan nasionalnya sebesar 9.64, tetapi sudah memenuhi standar ideal nasionalnya. APK pada gerombol 1 paling rendah jika dibandingkan dengan APK gerombol lainnya yaitu sebesar 60.74% melebihi rataan nasionalnya sebesar 60.48%, tetapi belum memenuhi standar ideal nasional sebesar 68.20%. Keadaan ini menunjukkan bahwa partisipasi penduduk usia Sekolah Lanjutan Atas untuk bersekolah di setiap propinsi pada gerombol 1 masih rendah jika dibandingkan dengan propinsi lain pada gerombol 2 dan gerombol 3.

Gerombol 2

Gerombol 2 beranggotakan 9 propinsi. Karakteristik yang menonjol pada gerombol 2

yaitu nilai angka putus sekolah dan APK-nya tidak terlalu tinggi maupun tidak terlalu rendah jika dibandingkan dengan gerombol lainnya. Angka putus sekolah sebesar 2.78% masih kurang dari standar ideal nasional ≤ 1%, sedangkan APK-nya sebesar 68.90% sudah memenuhi standar ideal nasionalnya sebesar 68.20%. Banyaknya siswa/rombel pada gerombol 2 hampir mendekati standar ideal nasionalnya, yaitu nilainya sebesar 33.56. Banyaknya siswa/guru pada gerombol 2 sebesar 10.33 paling rendah dibandingkan dengan gerombol lainnya dan banyaknya rombel/sekolah sebesar 8.51 sudah memenuhi standar ideal nasionalnya.

Gerombol 3

Gerombol 3 memiliki anggota paling banyak dibandingkan gerombol 1 dan gerombol 2. Jumlah anggotanya sebanyak 16 propinsi. Ciri yang paling menonjol adalah angka putus sekolah dan APK-nya paling tinggi dibandingkan gerombol 1 dan gerombol 2. Nilai angka putus sekolahnya sebesar 3.47% lebih besar daripada rataan nasionalnya sebesar 3%. Hal ini menunjukkan bahwa pada gerombol 3 masih banyak penduduk usia Sekolah Lanjutan Atas yang tidak melanjutkan studinya. Keadaan ini bertolak belakang dengan nilai APK-nya, yaitu APK pada gerombol 3 paling tinggi dibandingkan dengan gerombol lainnya sebesar 72.15%. Ini berarti partisipasi penduduk usia Sekolah Lanjutan Atas di setiap propinsi pada gerombol 3 untuk bersekolah sangat tinggi.

Banyaknya siswa/rombel pada gerombol 3 sebesar 34 lebih rendah dari rataan nasional sebesar 35.48, tetapi belum memenuhi standar ideal nasional sebesar 32. Banyaknya siswa/guru sebesar 10.40 lebih kecil dari rataan nasional sebesar 11.42 dan belum memenuhi standar ideal nasional sebesar 20. Banyaknya rombel/sekolah sebesar 8.01 merupakan nilai yang paling kecil dibandingkan banyaknya rombel/sekolah geromobol 1 dan gerombol 2. Akan tetapi banyaknya rombel/sekolah pada gerombol 3 sudah memenuhi standar ideal nasionalnya.

Indeks Xie Beni

Penggerombolan optimum diperoleh dengan kriteria Indeks Xie Beni yang minimum pada lembah pertama. Nilai Indeks Xie Beni masing-masing gerombol dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan grafik Indeks Xie Beni diberikan pada Gambar 7.

(5)
(6)

9

Tabel 4 Anggota dan karakteristik gerombol metode fuzzy c-means

Gerombol Anggota Deskripsi

1

Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, NTB, dan Papua

Angka Putus Sekolah > 1%, Siswa/rombel > 32,

Siswa/guru < 20,

3 ≤ Rombel/sekolah ≤ 48, dan APK < 68.20 %

2

DIY, Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara

Angka Putus Sekolah > 1%, Siswa/rombel > 32,

Siswa/guru < 20,

3 ≤ Rombel/sekolah ≤ 48, dan APK > 68.20 %

3

DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Bali, NTT, dan Papua Barat

Angka Putus Sekolah > 1%, Siswa/rombel > 32,

Siswa/guru < 20,

3 ≤ Rombel/sekolah ≤ 48, dan APK < 68.20 %

dibandingkan gerombol lainnya, yaitu sebesar 68.9%. APK pada gerombol 2 sudah memenuhi standar ideal nasional ≥ 68.2%. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi penduduk di propinsi pada gerombol 2 untuk bersekolah sangat tinggi. Angka putus sekolah pada gerombol 2 tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar 2.63% kurang dari rataan nasional 3%, tetapi belum memenuhi standar ideal nasional ≤ 1%. Banyaknya siswa/rombel kurang dari rataan nasional 35.48, yaitu sebesar 33.67. Banyaknya siswa/rombel pada gerombol 2 sudah cukup baik jika dibandingkan dengan banyaknya siswa/rombel pada gerombol lainnya karena nilainya tidak terlampau jauh dengan standar ideal nasional siswa/rombel sebesar 32.

Banyaknya siswa/guru pada gerombol 2 kurang dari rataan nasional sebesar 11.42, yaitu nilainya sebesar 10.33. Keadaan ini juga belum memenuhi standar ideal nasional sebesar 20. Banyaknya siswa/guru sebesar 8.89 kurang dari rataan nasional sebesar 9.64, tetapi sudah memenuhi standar ideal nasionalnya.

Gerombol 3

Gerombol 3 beranggotakan 10 propinsi. Karakteristik yang menonjol pada gerombol 3 yaitu angka putus sekolahnya paling rendah dibandingkan gerombol 1 dan gerombol 2. Nilai angka putus sekolahnya adalah sebesar 2.36% kurang dari rataan nasional sebesar 3%, tetapi belum memenuhi standar ideal nasional ≤ 1%. Keadaan ini menunjukkan bahwa penduduk di propinsi pada gerombol 3 lebih banyak yang melanjutkan Sekolah Lanjutan Atas dibandingkan gerombol 1 dan gerombol 2.

Banyaknya siswa/rombel, siswa/guru, dan rombel/sekolah pada gerombol 3 lebih tinggi dibandingkan gerombol 1 dan gerombol 2. Nilainya berturut-turut adalah 37, 12.90, dan 10.98. Ketiga nilai indikator ini melebihi nilai rataan nasionalnya. Banyaknya siswa/rombel dan siswa/guru pada gerombol 3 belum memenuhi standar ideal nasional, sedangkan banyaknya rombel/sekolah pada gerombol 3 sudah memenuhi standar ideal nasionalnya. Angka partisipasi sekolah pada gerombol 3 sebesar 60.03% lebih kecil daripada rataan nasional sebesar 60.48% serta belum memenuhi standar nasional ≥ 68.2%.

Perbandingan Analsis Gerombol Metode Ward dan Fuzzy C-means

Selain jumlah gerombol yang terbentuk sama, yaitu 3 gerombol, pada umumnya karakteristik gerombol yang terbentuk pada metode Ward hampir mirip dengan karakteristik pada Fuzzy C-means (Tabel 5 dan Tabel 6). Hanya anggotanya saja yang sedikit berbeda jumlahnya pada gerombol yang terbentuk. Gerombol 1 pada metode Ward memiliki karakteristik yang mirip dengan gerombol 3 pada metode Fuzzy C-means, gerombol 2 pada metode Ward memiliki karakteristik yang mirip dengan gerombol 2 pada metode Fuzzy C-means, dan gerombol 3 pada metode Ward memiliki karakteristik yang mirip dengan gerombol 1 pada metode Fuzzy C-means

Sebanyak 8 propinsi yang membentuk gerombol 1 pada metode Ward, ternyata tetap berkumpul dalam satu gerombol yang sama dalam gerombol 3 pada Fuzzy C-means. Hanya saja Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat bergabung dengan gerombol 3

(7)

10

Tabel 5 Nilai rata-rata indikator tiap gerombol metode ward

Indikator Pendidikan Gerombol Rataan Nasional

1 2 3

X1 = Angka Putus Sekolah

2.14

2.78 3.47 3

X2 = Siswa per Rombel

37.75

33.56 34.00 35.48

X3 = Siswa per Guru

12.88

10.33 10.40 11.42

X4 = Rombel per Sekolah

10.93

8.51 8.01 9.64

X5 = Angka Partisipasi Kasar

60.70

68.90 72.15 60.48

Tabel 6 Nilai rata-rata indikator tiap gerombol metode fuzzy c-means

Indikator Pendidikan Gerombol Rataan Nasional

1 2 3

X1 = Angka Putus Sekolah

3.69

2.63 2.39 3

X2 = Siswa per Rombel

35.57

33.67 37.00 35.48

X3 = Siswa per Guru

11.07

10.33 12.90 11.42

X5 = Rombel per Sekolah

9.18

8.89 10.98 9.64

X9 = Angka Partisipasi Kasar

55.40

68.90 60.03 60.48

pada metode Fuzzy C-means. Masuknya NTT dan Papua Barat sebagai anggota baru pada gerombol 3 metode Fuzzy C-means tidak mempengaruhi keragaman data pada masing-masing indikator pendidikan Sekolah Lanjutan Atas (Tabel 8).

DIY, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara tetap berkumpul dalam gerombol 2 baik itu pada metode Ward maupun metode Fuzzy C-means. Jumlah anggota pada gerombol 2 pun sama yaitu sebanyak 9 propinsi.

Gerombol 3 pada metode Ward merupakan gerombol dengan jumlah anggota terbanyak, yaitu sebanyak 16 propinsi. Begitu pula gerombol 1 pada metode Fuzzy C-means, merupakan gerombol dengan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 14 propinsi. Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, NTB, dan Papua tetap bergabung dalam satu gerombol baik itu pada gerombol 3 metode Ward maupun gerombol 1 metode Fuzzy C-means. Adanya Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada gerombol 3 metode Ward mengakibatkan terjadinya pencilan pada data indikator Siswa/rombel (X2) dan Siswa/guru (X3) (Tabel 8).

Gerombol 2 pada metode Ward maupun pada Fuzzy C-means merupakan gerombol yang memiliki karakteristik yang terbaik dibanding gerombol yang lain. DIY, Aceh,

Kepulauan Riau, dan Maluku, merupakan propinsi yang memiliki karakteristik yang paling baik dibandingkan propinsi lainnya di Indonesia, sedangkan Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat tergolong propinsi yang memilki kriteria pendidikan Sekolah Lanjutan Atas yang paling buruk.

Nilai Uji Wilks’ Lambda yang digunakan pada kedua metode tersebut, ternyata menghasilkan nilai-p < α, artinya hasil penggeromboan tersebut berbeda nyata sehingga kedua metode tersebut bisa digunakan untuk analisis gerombol. Rasio nilai keragaman pada pengujian MANOVA dapat dilihat dari nilai Wilks’ Lambda. Nilai Wilks’ Lambda metode Fuzzy C-means lebih besar daripada metode Ward, sedangkan nilai fungsi tujuan metode Fuzzy C-means lebih kecil daripada metode Ward (Tabel 7). Berdasarkan kriteria penilaian kebaikan metode penggerombolan pada Tabel 7, penggerombolan dengan metode Fuzzy C-means lebih baik daripada metode ward untuk data indikator pendidikan Sekolah Lanjutan Atas.

Tabel 7 Nilai kebaikan model metode ward dan fuzzy c-means

Metode Fungsi Tujuan Wilks' P

Ward 106.052 9.177 0.000

Gambar

Tabel 6 Nilai rata-rata indikator  tiap gerombol  metode fuzzy c-means

Referensi

Dokumen terkait

Logika samar (Fuzzy Logic) dengan metode Fuzzy C-Means Clustering cukup baik digunakan untuk segmentasi citra berdasarkan warna walaupun inputan citra berupa citra RGB

Perbandingan hasil penentuan inisialisasi cluster dan jumlah cluster pada Fuzzy C-Means menggunakan metode hitogram thresholding dibandingkan cara random ditunjukkan

Perluasan yang menarik untuk model Fuzzy C-means adalah algoritma Gustafson- Kessel clustering yang diusulkan oleh Gustafson dan Kessel (1979), Fuzzy clustering dengan

mengklasifikasikan data ibu hamil berdasarkan tingkat risiko bahaya kehamilan dan mengukur efektifitas penggunaan metode pada proses klasifikasi tersebut1. Metode

Fuzzy C-Means dan metode RFM masih memiliki beberapa kekurangan, disarankan pengembangan aplikasi yang lebih dinamis agar dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengolah

Ditambah lagi dengan perhitungan dengan metode fuzzy c-means dirasa sangat mampu membantu menangani permasalahan tersebut baik dari sisi perekaman data maupun dalam

Metode Fuzzy C-Means (FCM) adalah suatu teknik pengelompokan data dimana keberadaan tiap titik data dalam suatu cluster ditentukan oleh derajat keanggotaan.. Fuzzy

Maka, penulis menggunakan algoritma Fuzzy C-Means untuk proses penilaian kinerja pegawai dengan mengunakan 4 kriteria yaitu kehadiran, tugas pokok, tugas tambahan, inovasi.. Selanjutnya