PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
AGUNG CAHYA KURNIAWAN NIM: A82210071
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Perbandingan Sistem Pemerintahan Khilafah Dengan Sistem pemerintahan Demokrasi. Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah : 1) Bagaimana sistem pemerintahan khilafah. 2) Bagaimana sistem pemerintahan Demokrasi. 3) Bagaimana perbandingan antara sistem Khilafah dengan sistem Demokrasi.
Untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan historis, maksudnya dalam mendiskripsikan masalah ini penulis menggambarkan pemerintahan Khilafah dan pemerintahan Demokrasi. Untuk itu penulis menggunakan kerangka teori Abul A’la Al-Maududi tentang tujuan diselenggarakannya Negara. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara menelaah buku-buku yang berhubungan dengan Khilafah dan Demokrasi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa : 1) Khilafah berasal dari bahasa arab yang berarti pemerintahan. Dari segi epistemologi, khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sistem khilafah, kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan, dalam hal ini syara’, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. 2) Kata
demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti
ABSTRACT
This thesis titled Comparative Government System of caliphate With Democratic governance system. The focus of the issues examined in this thesis are: 1) How does the system of government caliphate. 2) How is the government system of Democracy. 3) What is the ratio between the caliphate system with democratic system. To identify these problems, this study takes a historical approach, meaning in describing these problems and the authors describe the Caliphate ruling Democratic administration. To the authors use a theoretical framework Abul A'la Al-Maududi on the objective of the State. This study is a literature study that was done by reviewing the books related to the Caliphate and Democracy.
This study concludes that: 1) the Caliphate derived from Arabic which means government. In terms of epistemology, the caliphate was a system of government headed by a caliph who cling to the Qur'an and Sunnah. In the caliphate system, supreme sovereignty in the hands of God, in this case the Personality ', and the highest
power in the hands of the people. 2) The word democracy comes from the word demos
meaning people and cratein which means government. Simply put, the meaning of
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM
PERNYATAAN KEASLIAN ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
MOTTO... iv
BAB II SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH A. Pengertian Pemerintahan Khilafah ... 12
C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Khilafah ... 32
BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI
A. Pengertian Pemerintahan Demokrasi ... 39
B. Sistem pemerintahan Demokrasi di Indonesia ... 45
C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Demokrasi ... 60
BAB IV PERBANDINGAN SISTEM KHILAFAH dan DEMOKRASI
A. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Khilafah ... 66
B. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Demokrasi ... 72
BAB V PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pemerintahan yang diterapkan dalam suatu Negara memiliki
perbedaan oleh latar belakang Negara yang berbeda. Penggunaan sistem
pemerintahan dalam suatu Negara terkadang merupakan suatu proses trial dan
juga termasuk didalamnya persaingan untuk mendapatkan pengaruh,
kekuasaan, dan faktor kepentingan.
Sistem pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan
Islam (Masa Nabi Muhammad) dapat menciptakan masyarakat yang
berkeadaban yang pada mulanya berpola pikir jahiliyyah. Nabi Muhammad
SAW berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat di bantah (Unguestionable
Leader) bagi NegaraIslam yang baru lahir pada masa itu. Sebagai Nabi, beliau
meletakkan prinsip-prinsip Agama (Islam) seperti: Memimpin shalat,
menyampaikan berabagai khotbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta
keluar negeri untuk membentuk angkatan perang, dan membagikan rampasan
perang secara adil dan bijaksana. Dalam masa pemerintahannya, beliau
membentuk piagam Madinah yang dianggap sebagai dokumen HAM, yang
landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai di antara muslim dan
yang bukan muslim.
Pada masa Khulafaurrasyidin yang berlangsung selama 30 tahun,
pemerintahan Islam sudah mulai mengalami berbagai perubahan yang
menimbulkan berbagai konflik yang mulai tampak tajam pada masa Kholifah
ke 3 ( Usman Bin Affan ra). Pada masa itu muncullah bermacam-macam
ideologis seperti Favoritisme dan Nepotisme yang dilakukan oleh sekelompok
pejabat pemerintahan, yang pada akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Utsman
itu sendiri.
Pada masa Ali pemerintahan Islam mengalami gejolak yang lebih
dahsyat. Saat itu muncul berbagai ragam faksi politik, yang membentuk
spektrum pemikiran politik Islam, yaitu kaum Khawarij, Syiah, dan Sunni.
Yang setiap kelompok ini mempunyai pemikiran yang saling berseberangan
dan kaum-kaum tersebut dan membentuk ideologinya masing-masing.1 Pada
masa-masa berikutnya sistem pemerintahan Islam lebih cenderung ke sistem
warisan yang dimulai ketika masa Muawiyah pada pemerintahan Dinasti
Umayah.2
Indonesia hingga saat masih ini menggunakan sistem demokrasi dalam
menjalankan ke pemerintahannya. Demokrasi dianggap efektif bagi
perkembangan Indonesia karena pada masa sebelumnya, beberapa macam
1
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 98-99.
2
sistem pernah diaplikasikan di Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia
mengandung nilai-nilai keislaman karena sebagian besar penduduk dan
pemimpin berasal dari umat Islam. Keadaan ini dapat juga disebut
pemerintahan Islami atau sistem pemerintahan yang mengakomodasi nilai-nilai
keIslaman. Dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia, dibentuk
daerah-daerah otonom untuk menjalankan proses demokrasi, agar dapat memperkecil
tekanan pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik dan tingkat
kesejahteraan manusia.
Menurut Robet A. Dahl: "Otonom akan menimbulkan peluang-peluang
untuk melancarkan destruksi. Setiap daerah otonom dapat berpeluang untuk
mengabadikan ketidakadilan, melestarikan egoisme sempit dan juga untuk
menghancurkan demokrasi itu sendiri".3 Sehingga menurutnya setiap daerah
otonom harus memiliki kualitas dan pengawasan tertentu. Selain itu, pada
sistem demokrasi di Negeri ini yang menggunakan pemilu dengan sistem
multipartai, dalam pemilihan wakil-wakil rakyat saja masih terdapat banyak
kekurangan, seperti operasional yang besar tapi tidak efektif, sebagai contoh
adalah lambatnya perhitungan suara dan kondisi IT yang amburadul, padahal
biaya IT sangatlah besar, sehingga mensinyalir ada unsur KKN. Dilihat dari
tendernya saja, pengadaan IT pemilu tidak melalui lelang, tetapi melalui
penunjukan langsung. Ini menjadi tanggung jawab bagi para pemimpin dan
3
yang dipimpin (rakyat), dan juga kita sebagai mahasiswa sebagai generasi masa
depan.
Kita harus bisa membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik dan
harus bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Karena salah satu bentuk
ketidakdewasaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan
mengharapkan hasil yang berbeda. Ironis memang, jika kita melihat
masalah-masalah yang terjadi dalam pemilu yang berskala nasional saat ini, Jika melihat
realita yang terjadi ketika diadakan pesta demokrasi skala kecil seperti di
sekolah atau di tingkat perguruan tinggi, kita masih merasa kesulitan dalam
menghadapi masalah yang muncul.
Sebagai solusi kita harus bisa mengatasi penyebab runtuhnya umat
Islam pada masa ini. Kita juga harus bisa meneladani dan mengambil hikmah
kisah yang terjadi pada zaman khalifah Ali ra. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, "Ya.. Ali…!!, Pada masa khalifah Abu Bakar keadaan
umat Islam tidak kacau seperti ini, begitu juga pada masa khalifah Umar dan
Utsman ". Kemudian Ali menjawab: "Dulu ketika masa pemerintahan Abu
Bakar, Umar dan Usman, mereka memimpin orang-orang seperti aku dan
sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu". Artinya adalah
Keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya di tentukan oleh pemimpin itu
Dari bebrapa hal tersebut di atas penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Perbandingan sitem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; “ Perbandingan Sistem Pemerintahan Khilafah dan Demokrasi”.
Untuk menjabarkan pokok masalah tersebut, penulis mengemukakan
beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pemerintahan Khilafah ?
2. Bagaimana sistem pemerintahan Demokrasi ?
3. Bagaimana perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan Demokrasi ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sistem dan kebijakan dalam pemerintahan Khilafah
khususnya pada masa Muawiyah.
2. Untuk mengetahui sistem dan kebijakan pemerintahan Demokrasi
khusunya di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam kedua sistem Khilafah
dan Demokrasi.
1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi intelektual guna menambah
khasanah ilmiah dibidang Sejarah Kebudayaan Islam, khususnya di
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Diharapkan dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kalangan
Akademis, terutama menyikapi kebradaan sejarah masa lampau untuk
pelajaran di masa kini dan yang akan datang.
3. Diharapkan dapat memberi manfaat bagi kalangan mahasiswa yang
bergelut dalam bidang sejarah dan kebudayaan Islam.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
1. Pendekatan
Dalam penelitian tentang perbandingan sistem pemerintahan Khilafah
dan sistem pemerintahan Demokrasi penulis menggunakan pendekatan
histories, maksudnya didalam mendiskripsikan masalah ini penulis
menggambarkan pemerintahan Khilafah Umayyah dan pemerintahan
Demokrasi di Indonesia.
Melakukan pendekatan politik, dimana pendekatan ini digunakan untuk
mengetahui politik Umayyah dan sistem Demokrasi di Indonesia mengenai
2. Kerangka Teori
Secara umum penelitian ini adalah tentang histories, selain itu penulisan
dalam skripsi ini juga menggunakan teori max weber tentang
kepemimpinan, menurutnya ada 3 tipe kepemimpinan yang dimilki oleh
para pemimpin agama yaitu pertama, tipe kepemimpinan kharismatik
bahwa keparuhan diberikan kepada pemimpin yang diakui karena sifat-sifat
keteladanan pribadi yang dimilikinya. Kedua, kepemimpinan tradisional
bahwa tugas mereka adalah mempertahankan aturan-aturan yang telah
berlaku dalam agama, dan ketiga, kepemimpinan legal bahwa kekuasaan
bersumber dan dibatasi oleh hukum.4
Selain teori tersebut penulis juga menggunakan teori Abul A’la
Al-Maududi tentang tujuan diselenggarakannya Negara yaitu pertama untuk
mengelakkan terjadinya eksploitasi manusia, kelompok, atau
antar-kelas dalam masyarakat. Kedua untuk memelihara kebebasan (ekonomi,
politik, pendidikan dan agama) para warga Negara dan melindungi seluruh
warga Negara dari invasi asing. Ketiga untuk menegakkan sistem keadilan
sosial yang seimbang sebagaimana di kehendaki oleh Al-qur’an. Keempat
untuk memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebijakan. Kelima
menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi
setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.5
4
S. Riberu, Dasar-Dasar Kepemimpinan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992),5.
5
Dari teori ini penulis berharap dapat meneliti kelebihan dan kelemahan
apa dalam perbandingn sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan
Demokrasi.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan usaha untuk menunjukkan
sumber-sumber yang terkait dengan judul skripsi ini, sekaligus menelusuri tulisan atau
penelitian tentang masalah yang dipilih dan juga untuk membantu penulisan
dalam menemukan data sebagai bahan perbandingan, supaya data yang dikaji
itu lebih jelas.
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa literatur
sebagai bahan bacaan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Di antara literatur
yang penulis pergunakan dalam menyusun skripsi ini, antara lain; Khilafah dan
Kerajaan karangan Abul A’ala Al-maududi, membahas antara lain sejarah pemerintahan Islam, hanya beberapa dasawarsa setelah sepeninggal Rosulullah
s.a.w.
Buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dedi Supriyadi membahas
tentang peradaban Islam semenjak sejarah pra-Islam sampai peradaban modern
Islam di Asia tenggara termasuk Indonesia.
Skripsi dengan judul Kebijakan Politik Muawiyah: Khilafah Pertama
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah
Nugroho Noto Susanto,6 dimana langkah-langkah dapat dijabar meliputi
beberapa pokok:
1. Heuristik, yaitu proses mencari untuk menemukan sumber-sumbernya.
Maksudnya adalah kegiatan mengumpulan buku-buku yang ada
hubungannya dengan pembahasan dalam skripsi ini. Sedangkan data dari
pembahasan ini hanyalah melalui sumber kepustakaan, yang bisa dipakai
untuk bahan rujukan yang sesuai dengan pembahasan dalam sekripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem
pemerintahan Demokrasi.
2. Pengolahan data, yaitu untuk memperoleh fakta yang valid sesuai dengan
penulisan skripsi ini, maka data-data itu diolah melalui:
a. Selektif data, yaitu memilih data yang dianggap sesuai dengan
penulisan skripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah
sistem pemerintahan Demokrasi.
b. Komparatif, yaitu membandingkan fakta-fakta dari
fenomena-fenomena sejenis pada periode masa lampau untuk memudahkan dalam skripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan
sistem pemerintahan Demokrasi.
6
3. Interpretasi, yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan dari
fakta-fakta yang telah diperoleh.
4. Historiografi, yaitu langkah untuk menyajikan hasil penafsiran fakta sejarah
ke dalam bentuk-bentuk tulisna menjadi kisah.7 Artinya: dari
sumber-sumber yang ada disusun menjadi suatu kisah dalam hal ini yaitu “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan
Demokrasi.
Setelah pengolahan data dan interpretasi terhadap data tentang
penulisan sistem Khilafah dan sistem Demokrasi Indonesia , selanjutnya
penulis menyajikan dalam bentuk tulisan Perbandingan sistem pemerintahan
Khilafah dan Demokrasi.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya dibagi menjadi lima bab,
yang antara satu dan yang lainnya berkaitan.
Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdidri dari sub bab antara
lain : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Pendekatan dan Kerangka Teotik, Penelitian Terdahulu,
Metode Penelitian, Sistematika Pembahsan, dan Daftar Pustaka.
7
Setelah membahas pendahuluan, penulis menguraikan mengenai
definisi sistem pemerintahan Khilafah, serta kebijakan-kebijakan di dalam
sistem tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum
tentang bagaimana sistem khilafah tersebut berjalan.
Bab ketiga ini penulis mengemukakan tentang bagaimana sistem
Demokrasi dan kebijakan-kebijakan apa yang terdapat dalam sistem tersebut.
Setelah pembahsan ini, baru menginjak pembahsan mengenai bab keempat
yaitu perbandingan sistem Khilafah dan sistem Demokrasi.
Dalam bab keempat ini penulis mengemukakan tentang perbandingan
sistem Khilafah dan sistem Demokrasi meliputi kelebihan dan kelemahan apa
saja yang terdapat pada kedua sistem tersebut.
Setelah bab demi bab dibahas, berikutnya penulis mengemukakan
kesimpulan dari uraian yang telah dijabarkan pada bab terdahulu dan juga
BAB II
SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
A. Pengertian Pemerintahan Khilafah
Istilah khilafah memiliki beberapa pengertian yaitu perwakilan,
pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti dan penguasa, ada juga yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f” dalam berbagai bentuknya mengandung
makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang kemudian
melahirkan kata khilafah dan khalifah.8
Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika Abu
Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya
sebagai khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam
mengurusi bidang keNegaraan.
Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan
sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu consensus atau
kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah agar
berpegang teguh kepada syariah.
8Ahmad Warison Munawwir, Kamus Al-munawwi, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
Menurut Dawam Raharjo, khalifah yakni kepala Negara dalam
pemerintahan Islam, memang merupakan istilah Quran. Tetapi dalam
al-Quran istilah ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya
kata-kata yang mengandung istilah pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan
dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khilafah atau kekuasaan
politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang
manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu fungsi yang di emban
manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Amanat ini
pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan
menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.9
Abu A’-la Al-Maududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam
Islam memandang kekhilafahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi
(manusia) dengan yang member (Tuhan).
Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi kepatuhan,
dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem
pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah SWT menjadi sistem yang
lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah
pemberontakan atau kudeta melawan sang pencipta.10
9M Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci(Jakarta: Paramadina, 1996), 363-364.
10Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah Wa-al Mulk, (tej) Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan
Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus
kenamaan mendefinisikan Khalifah, Imamah, dan imarah sebagai tiga kalimat
yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan NegaraIslam yang meliputi
kemaslahatan dunia dan agama.11
Letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang satu dan yang
lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang akan
menjelaskan suatu karakter pemerintahan. Undang-undang adalah ruh bagi
setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensi.12 Sebagai contoh
suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki tabiat
natural yakni insting, yakni kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun
dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi arogan dan
despotis. Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah
pemerintahan yang otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi
pemerintahan itu dapat menghasilkan suatu kondisi perpecahan dan kehancuran
suatu Negara.
Jika suatu perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual dan
pembesar Negara, kebijakan politiknya disebut rasional: dan jika aturan-aturan
itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya, maka orientasi
politiknya adalah religious, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan
keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan,
penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan
menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti ini tidaklah terpuji.13
Mengenai keimamhan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang
demikian itu adalah pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai
undang-undang, yaitu prinsip-prinsip bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah.
Selain itu hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang kepada empat
sumber hukum: al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dengan demikian
menurut Dhiauddin Ra’is, di dalam undang-undang Islam tersebut, terhimpun
hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan Ilahi.14
Menurut Ibnu Khaldun, untuk menciptakan suatu Negara yang bisa
tegak dan kuat, maka dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa
diterima dan diikuti oleh rakyat. Namun, hukum tersebut tidak semata
didasarkan kepada akal, sebagaimana hukum itu dibuat oleh para terkemuka,
bijaksana, cerdik, pandai melainkan ditentukan oleh Allah melalui perantara
Rasul, maka pemerintahan yang demikian disebut berdasarkan agama. Dalam
hal ini Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religious memandang pentingnya
sebuah pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan
akhirat.Menurutnya manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja
yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan yang akhirnya hanyalah mati dan
13Ibid., hal 88.
kesirnaan belaka. Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami
menjadikan kamu dengan sia-sia.”15
Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya
untuk mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi.
Sedangkan hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam
segala hal, ibadah mereka, tata cara hidup mereka, dan juga berhubungan
dengan Negara.
Maka tidaklah dibenarkan suatu Negara yang didasarkan kepada
penaklukan dan paksaan pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut
dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan
perbuatan tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan
kebijaksanaan politik.16
Dari beberapa pengertian tentang khilafah yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa khilafah adalah sebuah
sistem pemerintahan yang dipimpin oleh khalifah yang menaungi seluruh umat
Islam dalam berbagai aspek kehidupan seperti ketatanegaraan, muamalah (jual
beli, hubungan antar manusia, dll). Khilafah disebut juga imamah yang artinya
kepemimpinan. Hukum yang digunakan khilafah adalah Al-Qur’an, As
Sunnah, dan Ijma’ sahabat.
15Al-Qur’an, surat 23 : ayat 115.
B. Sejarah Perkembangan Kekhilafahan
1. Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a. Proses pengangkatan Abu Bakar ra. Sebagai Khalifah
Abu Bakar menjadi khalifah sejak 11-13 Hijriyah / 632-634M.
Proses pengangkatan Abu Bakar Ra, sebagai khalifah berlangsung
dramatis. Setelah Rasulullah wafat, kaum muslim di Madinah, berusaha
utuk mencari penggantinya. Ketika kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon
khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa
yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar mencalonkan Said bin
Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti
nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah
bergegas menyampaikan pendirian kaum muhajirin, yaitu agar
menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut
mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar).
Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon
khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun
kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.17
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut
semakin rumit, maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu
17 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990),
Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian
proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh
Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan
tersebut.18
Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama,
menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam
masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku Arab
kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi,
tidak diwariskan secara turun temurun.
b. Proses Pengangkatan Umar bin Khattab Sebagai Khalifah
Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses
perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai
khalifah yang sah. Sementara Umar Bin Khattab diangkat melalui
penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan
persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan khalifah guna
menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri.
Ketika Abu Bakar jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M
dan selama 15 hari tidak kunjung sembuh, ia memanggil para sahabat
18 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media
besar dan mengemukakan keinginannya. Beliau menginginkan sebelum
meninggal, kekuasaa sudah berada ditangan pengganti yang benar.19
Setelah mendengar penjelasan khalifah, Usman sangat setuju
dengan pendapat khalifah mengenai penunjukan Umar bin Khattab
sebagai penggantinya kelak. Karena menurut Usman Bin Affan, Umar
adalah orang yang sangat tegas dan bijaksana. Mendengar hal ini,
beberapa sahabat terkemuka, yang dikepalai oleh Thalhah, mengirim
delegasi menemui Abu bakar, dan berusaha meyakinkannya supaya
tidak menunjuk Umar untuk menggantikan sebagai khalifah.
Tidak lama setelah proses penyaringan pendapat tersebut,
khalifah Abu Bakar meninggal dunia. Jenazah Abu Bakar Ash-Shiddiq
kemudian dimakamkan dirumah Siti Aisyah berdampingan dengan
makam Nabi Muhammad SAW. Dengan meninggalnya khalifah Abu
Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh khalifah baru yaitu Umar Bin
Khattab.20
c. Proses Pengangkatan Ustman bin Affan ra. Menjadi Khalifah
Umar ra menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah
Majelis Syura yang beranggotakan enam orang, mereka adalah: Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin ‘Ubaidillah ra, Az-Zubair bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Dan Abdur Rahman
bin ‘Auf ra. Umar ra.merasa berat untuk memilih salah seorang di antara
mereka. Beliau berkata, ” Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab
tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika
Allah SWT menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Dia akan
membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di
antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas
penunjukan orang yang terbaik setelah nabi kalian.
Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di
rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota.
Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan
Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak
seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif
mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama
Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.
Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga,
Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti
dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman
mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar
aspirasinya. Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan
diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut
oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.21
d. Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib ra. Menjadi Khalifah
Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar
bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus
berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan
Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali
menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki
jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.
2. Pada Masa Mu’awiyah
a. Biografi Mu’awiyah
Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di kota Makah pada Rajab
60/April 603M dan meninggal dunia pada tahun 60 H/680M adalah
seorang bangsawan Quraisy. Pendiri dan khalifah pertama Bani
Umayyah (41-61H/April 680M).22 Nama Bani Umayyah berasal dari
nama Umayyah ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang pemimpin
kabilah Quraisi di zaman jahiliyah. Umayyah berasal dari keluarga
21 Ibid, 25.
22Dewan redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
bangsawan serta mempunyai cukup kekayaan dan memiliki 10 orang
putra yang terhormat dalam masyarakat.23 Nama lengkap Mu’awiyah
adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Manaf. Sebagai keturunan Abdi Manaf, Mu’awiyah
mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad SAW. Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di zaman jahiliyah. Ia menganut
agama Islam di hari penaklukan kota Makkah pada tahun 629M
bersama-sama dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya.
Dengan demikian teranglah bahwa Mu’awiyah biu Abu Sufyan
termasuk orang yang terakhir masuk agama Islam, dan diantara Bani
Umayyah banyak yang dahulunya merupakan musuh-musuh Islam.
Tetapi setelah ia masuk Islam mereka dengan segera memperlihatkan
semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya, seolah-olah mereka
ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa
yang besar terhadap agama Islam, dan agar orang lupa terhadap sikap
dan perlawanan mereka terhadap agam Islam sebelum mereka
memasukinya. Mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang baik
dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang murtad
dan orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, serta orang-orang yang
tidak membayar zakat.24
Ambisi politik Mu’awiyah bin Abu Sufyan sudah terlihat ketika
ia baru masuk Islam ia selalu bersaing dengan pamannya Hasyim.
Wibawanya di mata kaum Quraisy memang tidak pernah rendah. Selain
keturunan bangsawan ia juga kaya dan memiliki pengaruh luas di dalam
masyarakat. Atas dasar itulah Mu’awiyah binAbu Sufyan pantas menjadi pemimpin di Dunia Islam.
Pengangkatan dirinya sebagai pemegang pucuk pemerintah
berlangsung melalui proses yang panjang, bermula dari terbunuhnya
Khalifah Utsmman bin Affan dan digantikan oleh Ali bin Abu Thalib. Mu’awiyah mempunyai ambisi untuk menggantikan Utsman karena Ali telah dibaiat. Meskipun demikian, Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak
kehabisan akal dalam merongrong pemerintahan Khalifah keempat ini.
Ia menuntut balas atas kematian Utsman, yang mengakibatkan
meletusnya suatu pertempuran dahsyat yang dikenal dalam sejarah
dengan perang siffin. Ketika Ali sudah hampir memenangi peperangan tersebut, Mu’awiyah bin Abu Sufyan bersama kelompok mengusulkan
24Ahmad Al-usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media
gencatan senjata dan menyelesaikan persoalan dengan tahkim (
menggunakan hakim).25
Semenjak terjadinya peristiwa tahkim itu sebagian pasukan Ali
memisahkan diri karena tidak setuju dengan tahkim tersebut.Kelompok
yang memisahkan diri ini menamakan dirinya kelompok Khawarij.
Sebaliknya, tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan masih kuat tetap utuh.
Akhirnya kemenangan jatuh ditangan Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
terutama karena kematian Ali ditangan salah seorang kaum Khawarij, yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada januari 661. Mu’awiyah
menggunakan kesempatan ini untuk menyusun strategi dengan baik
dalam rangka mengambil alih kekosongan pemerintahan.
b. Pertumbuhan awal Bani Umayyah
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, maka
dianggap berakhirnya satu era yakni era Khulafaur Rasyidin.26
Tidak lama setelah Ali wafat, kemudian Hasan putra tertua Ali
dinobatkan sebagai Khalifah dari Kufah oleh pengikut setia Ali. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh didukung oleh penduduknya. Dalam kondisi transisi tersebut, Mu’awiyah tidak
25Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, 248.
26 M Hasbi Aminuddin, Konsep Agama Islam Menurut Fazhur Rohman (Yogyakarta: UI Press, 2000),
menyia-nyiakan kesempatan dengan melancarkan serbuan ke
Irak.Hasan pun menggerakkan pasukannya yang dipimpin oleh Qays untuk menghadapi gerakan Mu’awiyah.Secara cerdik Mu’awiyah
menyebarkan isu tentang kematian Qays di tengah peperangan yang
sedang berlangsung.Isu ini cukup efektif untuk mengendorkan
semangat pertempuran, sehingga pasukan Hasan terkalahkan.27
Semenjak berkuasa, Mu’awiyah (661-680) memulai
langkah-langkah baru untuk merekontruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan
khalifah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan elite
pemerintahan.Ia memperkuat barisan militer dan memperluas
kekuasaan administrative Negara dan merancang alas an-alasan moral
dan politis yang baru demi kesetian terhadap Khalifah. Pertama, ia
berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan
panglima-panglima Arab yang mengepalai kesukuan Arab. Selanjutnya,
ia berusaha memantapkan pendapatan Negara dan hasil pribadi, dan
lahan pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan sasania dan dari
investasi pembukaan tanah baru dan irigasi. Kebijakan politik dan
kekuasaan financial yang ditempuhnya bersasal dari nilai-nilai tradisi
Arab, konsiliasi, kedermawanan dan penghormatan terhadap
bentuk tradisi kesukuan.Sifat-sifat dan kemampuan mu’awiyah sebagai
sebuah pribadi adalah lebih berarti dari pada institusi manapun.28
Setelah teguh kekuasaanya, Mu’awiyah mulai membuat
berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus,
keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan.Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syi’ah
pendukung Ali dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani
Hsyim dalam merebutkan kekuasaan. Selain itu juga Damaskus yang
terletak di wilayah Syam (suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat
menjadi gubernur oleh Umar bin Khatab. Kedua, menumpas
orangorang-orang yang berposisi, yang dianggap berbahaya, jika tidak
dibujuk dengan harta dan kedudukan, serta menumpas kaum
pemberontak. Ketiga, membangun kekuatan militer yang terdiri dari
tiga angkatan, yaitu darat, laut, dan kepolisisan yang tangguh dan loyal.
Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam
negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yakni
memperluas wilayah kekuasaan. Keempat meneruskan perluasan
wilayah kekuasaan Islam baik ke timur maupun ke barat. Kelima, baik
28Ira M Lapidus, Sejarah Islam Umat Islam Bagian ke Satu dan Dua (Jakarta: Raja Grafindo, 1999),
Mu’awiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan dengan
merekrut orang-orang muslim sebagai penjabat pemerintahan, sebagai
penasehat, administrator, dokter dan kesatuan-kesatuan tentara.
Keenam,Mu’awiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Bizantium. Ketujuh, kebijaksanaan dan
keputusan yang terpenting yang dibuat oleh Khalifah Mu’awiyah adalah
mengubah sistem pemerintahan dari bentuk Khilafah bercorak
demokratis menjadi sistem mulk (kerajaan) dengan mengangkat
putranya Yazid menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai
Khalifah sepeninggalnya nanti.29
c. Konsolidasi Pemerintahan
Pemerintah Bani Umayyah berdiri setelah Khalifah Rasyidin
yang berakhir yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib
pada tahun 40H/661M.
Pemerintahan Bani Umayyah dihitung sejak Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tanggal 25 Rabi’ul awwal 41H/661M. pemerintahan Bani Umayyah
berakhir dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di perang
Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132H/749M. dengan demikian,
pemerintahan Bani Umayyah berlangsung selama 92 tahun, menurut
tanggal Hijriah atau 90 tahun menurut tanggal Masehi. Pemerintahan
Bani Umayyah dikuasai oleh dua keluarga yaitu keluarga dari Abu
Sufyan dan dari keluarga Bani Marwan dan diperintah oleh 14 khalifah
dengan Damaskus sebagai ibu kota.30
Nama-nama ke empat belas khalifah dari dua keluarga tersebut
adalah :
Abdul Malik bin Marwan bin Hakam (65-86H/684-705M).
Walid bin Abdul Malik (86-96 H / 705-714 M).
Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M).
Umar bin Abdul Aziz bin Marwan (99-101H/717-719M).
Yazid bin Abdul Malik (101-105 H / 719-723 M).
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 723-742 M).
Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/742-743 M).
30Ahmad Al-usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media
Setelah itu Khalifah Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisir dengan baik, situasi ketika Mu’awiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan.Mu’aawiyah melakukan
perubahan-perubahan besar dan menonjol di dalam negeri itu.Dasar
yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan daratnya yang kuat dan efisien.Mu’awiyah dapat mengandalkan
pasukan orang-orang syiria yang kuat dan seti, yang tetap berdiri di
sampingnya dalam keadaan paling berbahaya sekalipun. Dengan
bantuan orang-orang syiria yang setia, Mu’awiyah bin Abu Sufyan
berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menururt garis-garis
pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang
untuk pertama kalinya digunakan.
Dalam lembaran sejarah Islamakan tetap tercatat bahwa Mu’awiyah telah menimbulkan perubahan besar dalam ketataNegaraan
Islam, yang menyimpang dari peraturan-peraturan (konvensi) yang
berlaku semenjak Nabi Muhammad SAW wafat. Pada masa
pemerintahan Bani Umayyah bertitik pada perluasan wilayah,
pembangunan fisik besar-besaran, menjamin keamanan bagi kelancaran
hubungan dagang antara dunia belahan timur dengan dunia belahan
barat, baik melalui Silk road (jalan sutera) maupun Sea Routers (jalan
laut) hingga kebutuhan akan rempah-rempah terjamin.32
Mu’awiyah menjabat sebagai Khalifah dalam waktu yang cukup
panjang, banyak mengadakan perubahan atau kebijakan-kebijakan yaitu
:
a. Sebagai Khalifah yang pertama kali meniru sikap hidup asing yang
penuh dengan kemewahan dan keagungan.
b. Khalifah yang pertama mengadakan atau menetapkan adanya
pasukan pengawal pada gerbang istana kediamannya.
c. Menciptakan pasukan istana yang dilengkapi dengan alat senjata.
d. Membuat alat khusus bagi dirinya dalam masjid besar di kota
Damaskus untuk tempat beribadah.
e. Menertibkan administrasi pemerintahan dengan menggunakan
sistem administrasi imperium Persia untuk wilayah bagian timur,
sedangkan untuk wilayah bagian barat meniru administrasi
imperium Romawi.
f. Menciptakan sistem komunikasi yang tertib guna menyampaikan
berita secara cepat ke segenap penjuru wilayah Islam.
g. Khalifah yang pertama kali membentuk sebuah lembaga Negara
dengan penjabat-penjabat yang khusus.
h. Khalifah yang pertama kali melancarkan celaan terhadap Khalifah
Ali bin Abi Thalib di atas mimbar di setiap shalat Jum’at.
i. Khalifah yang pertama kali membiasakan hidup dalam kemewahan.
j. Khalifah yang pertama kali menjadikan jabatan khalifah itu menjadi
sebuah jabatan warisan.
k. Khalifah yang pertama kali membangun armada di lautan di dalam
sejarah Islam.33
Masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah yang
paling cemerlang di antara khulafah Islamiyah seluruhnya,, di mana
keamanan dalam negeri begitu baiknya dan segala anasir-anasir yang bersikap permusuhan terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah dapat dibasmi, berkat moral Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang tinggi, dan pedangnya yang tajam. Masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
adalah masa kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah-limpah. Mu’awiyah bin Abu Sufyan berhasil melakukan penaklukan
-penaklukan disemua medan dan diwarnai dengan
kemenangan. Selain itu, masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan bukan saja satu masa yang panjang, bahkan juga luas, penuh
dengan faktor-faktor yang memungkinkan terbentuknya suatu Negara
yang besar dan suatu bangsa yang sukses.
C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Khilafah
Perlu diketahui fungsi religius syari’at agama, seperti shalat, jabatan mufti,
jabatan hakim, jihad, dan pengawasan pasar termasuk ke dalam imamah besar
yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan pohon besar dan dasar yang
menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan membawahinya, baik duniawi
maupun agamawi. Kekuatannya menyeluruh dalam melaksanakan hukum
agama maupun dunia.34 Berikut akan dijelaskan beberapa fungsi yang khusus
untuk khilafah :
1. Imamah Shalat, telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah
yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat
kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah
yang paling tinggi diantara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan
ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar
telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta
bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi
masalah-masalah duniawi.
2. Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para ulama
dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang yang
teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti adalah salah satu kepentingan
keagamaan kaum muslimin. Khalifah harus memperhatikannya.
3. Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan
sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang
untuk menjalankan jabatan ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu Darda’ untuk menjadi hakim di Madinah, memilih syuraih untuk tugas
hakim di Bashrah dan Abu Musa al-asy’ari di Kufah.
4. Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syari’at agama merupakan
tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya sedikit
lebih luas dibandingkan dengan jabatan hakim. Ia memutusan hukuman
pencegahan sebelum tindak criminal dilakukan. Ia melaksanakan
hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari’at agama dengan semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang merasa
dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku.
5. Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasarat tugas ini ialah, bahwa
orang yang melaksanakanya harus bersifat adil, sesuai dengan ketentuan
agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki pengetahuan tentang
jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan itu. Hal ini disebabkan
perjanjian dalam bentuknya yang benar, urutannya yang tepat dan
dengan sebaik-baiknya, serta melihat kondisi dan syarat yang
melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum agama.
6. Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban
amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi dia tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penipuan dan
perlakuan curang dalam maslah timbang-menimbang dan
ukur-mengukur. Ia juga berusaha membuat orang menunda hutang supaya
membayarkan dengan apa yang dimilikinya. Konsekuensi jabatan ini
adalah ia berada di bawah jabatan hakim.
7. Pencentakan Uang Logam. Pengawasan terhadap pencetakan uang
merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khalifah.
Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.35
Demikian pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara
menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya
mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak
ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa khilafah itu
seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh.Semua fungsi
mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi.
Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, bahwa hal tersebut
tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun yang jelas bahwa Allah telah
menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam mengurusi
persoalan-persoalan hidup hamba-Nyadengan tujuan dapat memenuhi kepentingan dan
melepaskan kesukaran yang mereka miliki.
Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma’ dan
mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka
muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli,
kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada
Rasul, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.36
Tidak boleh menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada waktu yang
sama. Adapun prasyarat untuk mendirikan lembaga imamah itu, setidaknya ada
empat yaitu: al-‘ilmu, al-adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’do’.
Adapun syarat yang kelima ada banyak perbedaan pendapat yakni nasb
al-quraisy.37
a. Syarat pertama al-ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam harus
menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksananakan hukum
-hukum Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang
merupakan kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan
pengetahuannya tersebut ia dapat memberikan keputusan yang
memuaskan masyarakat, Negara, dan agama.
b. Keadilan al-‘adalah dianggap perlu disebabkan imamah merupakan
lembaga yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan juga menjadi
prasyarat. Akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai apakah
keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang memasukkan
inovasi-inovasi baru ke dalam I’tiqad umat.
c. Kesanggaupan al-kifayah berarti, bahwa seorang imam bersedia
melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia
pergi berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup
bertanggungjawab untuk mengerahkan umat menuju peperangan. Dia
juga harus tau tentang ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat
melaksanakan tugas politik. Semua hal tersebut harus dia miliki agar
mampu melaksanakan fungsinya melindungi agama, berjihad melawan
musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.
d. Bebasnya pancaindra dan badan dari cacat atau kelemahan seperti gila,
buta, bisu atau tuli, dan kehilangan anggota badan, semua itu dijadikan
kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua. Satu
diantaranya disebabkan keadaan terpaka, misalnya tidak mampu
bertindak karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu
syarat yang sama pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat
badan.
e. Setelah menunjuk imamah dengan beberapa syarat yang telah disebut
di atas. Maka yang tidak kalah penting dan merupakan salah satu cirri
dari khilafah adalah gelar Amir al-Mu’minin. Gelar itu merupakan
kreasi periode para khalifah al-rasyidun, ketika Abu Bakar dibai’at,
para sahabat dan kaum muslim menyebutnya khalifah Rasulillah, lalu
bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan merekapun
memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka
menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya.
Demikian gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan
bertambahnya pergantian khalifah.
Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “amir.”Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “amir
mekah” dan “amir Hijaz.” Ketika memimpin pasukan muslim dalam perang
Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai “amir al-mu’minin.”Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar
tersebut.Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar tersebut adalah
Abdullah ibn Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah.Para
khalifah yang datang sesudahUmar juga mewarisi gelar ini sebagai suatu ciri,
yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah
BAB III
SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI
A. Pengertian Demokrasi
Selama beberapa waktu setelah perang dunia ke –II berlangsung,
perdebatan diantara para penganut aliran klasik yang berkeras mendefinisikan
demokrasi berdasarkan sumber dan tujuannya dengan para teoritikus penganut
konsep demokrasi ala Schumpeter berdasarkan prosedur, jumlahnya semakin
banyak. Semakin banyak teoritikus menarik garis perbedaan yang tajam antara
definisi-definisi demokrasi yang rasional, utopis, idealistis disatu pihak, dengan
definisi-definisi demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional dan
prosedural dipihak lain, yang menyimpulkan bahwa hanya definisi terakhir
yang memberikan analisis dan acuan empiris yang membuat konsep itu
bermanfaat.
Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan
sistem politik abad XX sebagai demokrasi sejauh para pembuat keputusan
kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum
yang adil, jujur dan berkala. Dan di dalam sistem itu para calon secara
bebasbersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk yang telah
demokrasi mengandung dua dimensi yaitu dimensi kontes dan dimensi
partisipasi, yang menurut Robert Dahl merupakan hal yang menentukan bagi
demokrasi atau politik.38
Demokrasi merupakan faham dan sistem politik yang didasarkan pada doktrin “power of the people”, yakni kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem
pemerintahan.Demokrasi baik sebagai doktrin atau faham maupun sebagai
sistem politik dipandang sebagai alternatif yang lebih baik daripada sistem
politik lainnya yang terdapat dihampir setiap bangsa dan Negara.Demikian
kuatnya faham demokrasi, sampai-sampai konsepnya telah menjadi keyakinan
politik (political belief) kebanyakan bangsa, yang pada gilirannya kemudian
berkembang menjadi isme, bahkan berkembang menjadi mitos yang dipandang
dapat membawa berkah bagi kehidupan bangsa-bangsa beradab.39
Sedangkan pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara di mana dalam sistem
38
Samuel P.Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga (Jakarta: Grafiti, 1995),5.
39
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat
dan kekuasaan oleh rakyat.40
Dalam hal ini, demokrasi juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau
pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota
masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang telah diberi
wewenang.41 Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang
mengandung pengertian bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dan
kewajiban yang sama.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana
dikemukakan para ahli sebagai berikut, menurut Joseph A. Schmeter,
demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; Affan Gaffar
memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif
(demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif
adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah Negara.
40Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta,
2000), 110.
Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada
dunia politik praktis.42
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat
dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan
ketentuan dalam maslah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam
menilai kebijakan Negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan
kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara yang menganut sistem demokrasi
adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan
rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang
dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan
berada ditangan rakyat.
Sementara di sisi lain Ulf Sundhausen mensyaratkan demokrasi sebagai
suatu sistem politik yang menjalankan tiga kriteria, yaitu pertama, dijaminnya
hak-hak semua warga Negara untuk memilih dan dipilih, kedua, semua warga
Negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi dan memperoleh
informasi dan beragama serta ketiga, dijaminnya hak yang sama di depan
hukum.
Demokrasi adalah sebuah paradok. Dimana disatu sisi ia mensyaratkan
adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi dan berkonflik, namun
di sisi lain ia juga mensyaratkan adanya keteraturan, kesetabilan dan konsensus.
Kunci untuk mendamaikan paradok dalam demokrasi terletak pada cara kita
memperlakukan demokrasi. Demokrasi seyogyanya juga diperlakukan
semata-mata sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebuah tujuan apalagi
disakralkan. Dengan demikian keteraturan, kesetabilan dan konsesnsus yang
dicita-citakan dan dibentuk pun diposisikan sebagai hasil bentukan dari suatu
proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog yang bersifat konsensual.43
Dari bebrapa pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat
demokrasi sebagai suatu sistem bermsyarakat dan bernegara serta pemerintahan
memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaaan ditangan rakyat baik
dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan
pemerintahan berada ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal :
pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua,
pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk
rakyat (government for people). Jadi hakikat suatu pemerintahan yang
demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata
pemerintahan.
Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people)
mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan
43Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994),
diakui (legitimate government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak
diakui (unligitimate government) dimata rakyat. Pemerintahan yang sah dan
diakui (legitimate government) berarti suatu pemerintahan yang mendapat
pengakuan dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Sebaliknya pemerintahan
yang tidak sah dan tidak diakui (unligitimate government) berarti suatu
pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat
pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legimitasi bagi suatu pemerintahan
sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat
menjalankan roda birokrasi dan progam-progamnya sebagai wujud dari amanat
yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Pemerintahan dari rakyat memberikan
gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut
kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari
rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supranatural.
Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people).
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri.
Selain itu juga mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan
kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control).
Pengawasan rakyat dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak
pengawasan oleh rakyat (social control) akan menghilangkan ambisi
otoriterianisme para penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).
Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people)
mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada
pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus
didahulukan dan diutamakan di atas segalanya. Untuk itu pemerintah harus
mendengarkan dan mengakomodasi kepentingan rakyat dalam merumuskan
dan menjalankan kebijakan dan progam-progamnya, bukan sebaliknya hanya
menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga dan kelompoknya.Oleh karena
itu pemerintah harus membuka kanal-kanal (saluran) dan ruang kebebasan serta
menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat dalam
menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun secara langsung.
B. Sistem Pemerintahan Demokrasi di Indonesia
1. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, perkembangan demokrasi
telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan
membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam
dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi serta character and nation building dengan partisipasi rakyat
sekaligus menghindarkan timbulnya diktator perorangan, partai atau
militer. Perkembangan demokrasi di Indonesia dibagi dalam 4 periode:
pertama, periode 1945 - 1959; kedua, periode 1959 - 1965; ketiga, periode
1965 - 1998; keempat, periode 1998 - sekarang.
a. Periode 1945-1959 (Masa Demokrasi Parlementer)
Demokrasi parlementer menonjolkan peranan parlementer serta
partai-partai. Akibatnya, persatuan yang digalang selama
perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak
dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah
kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk
Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem
parlementer member peluang untuk dominasi partai-partai politik
dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem
parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai
mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi
partai-partai politik usia kabinet pada pada masa ini jarang dapat bertahan
cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah.
Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mampunya
anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk
mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang
dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden mengeluarkan
dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian dasar demokrasi
berdasarkan sistem parlementer berakhir.44
b. Periode 1959-1965 (Masa Demokrasi Terpimpin)
Demokrasi terpimpin ini telah menyimpang dari demokrasi
konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari
demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden,
terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis
dan peran ABRI sebagai unsure sosial-politik semakin meluas.
Undang-Undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang
presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun.
Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat
Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan
pembatasan waktu lima tahun ini yang ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar. Selain itu banyak sekali tindakan yang menyimpang
atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.Soekarno sebagai presiden
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum,
padahal dalam penjelasan Undang-Undang dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang
untuk berbuat demikian.
Selainperundang-undangan dimana berbagai tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres)
yang memakai dekrit presiden sebagai sumber hukum. Partai politik
dan pers yang sedikit menyimpang dari “rel revolusi” tidak
dibenarkan, sedangkan politik mercusuar dibidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah mnyebabkan keasaan
ekonomi menjadi tambah seram. G 30 S/PKI telah mengakhiri
periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa