• Tidak ada hasil yang ditemukan

HADIS TENTANG RAWDAH DALAM SUNAN AL-TIRMDHI NOMOR INDEKS 3941.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HADIS TENTANG RAWDAH DALAM SUNAN AL-TIRMDHI NOMOR INDEKS 3941."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

HADIS TENTANG RAWDAH DALAM SUNAN

AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

CHOIRUR ROSYIDAH

NIM: E03212005

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

H{ADIS TENTANG

RAWD{AH

DALAM SUNAN

AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)

Ilmu Alqur’an dan tafsir

Oleh:

CHOIRUR ROSYIDAH NIM. E03212005

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang berlanda tangau di barvah ini saya:

Nama

: Choirur Rosviclah

NlN,i

: E03212005

Jurusan : llmu Alquran dan Taf.sir Dengan

ini

menyatakan bahrva skripsi peirelitiar"'/karya

sayil

sendiri. kecuali

sumbernya.

ini

secara keseluruhan acialah hasil

pada bagian-bagian

yang

dii'u-juk

CHOIRUR ROSYIDAH

8032 I 2005

Suraba;',a, I I Agustus 2016

(4)

I(E}dENTERTAN

AGAMA

UIITVERSITAS

ISI,AM

NtrGERI

SUNAN

AMPEL

ST]RABAYA

PERP'USTA,KAAN

Jl. Jend. A. Yard I 17 Surabay a'50237 felp. 03 l-8 43 1972 Fax.03 l -84 13300 E-Mail : perpus@,uinsby. ac.id.

LEMBAR PERNYATAAN PER.SETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertand, t tt8a , di bawah rni, saya:

Nama NIM

,

Choirur

rosgrdah

Fakultas/Jurusaa,

Fi

tF

/t &f

E-mail address

'

ld.

nwrig ah@

UaUoo - Corn

Demi peagembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk membetikan kepada Perpustakaan UIN

Sunan Ampel surabaya,

Hak Bebas

Royalti Non-Eksklusif atas karya iltniah :

E Sekripsi E Tesis l-l Desertasi El

Lain-laitl (... ... . . .. .) yang berjudul :

Hsd

-s k-a-nt"e.m Kcv.d-d -ah

d-ql-q

m

S9n$n

-ci-t-:

Ii:nnidhr*n-0l

lCIl)

beserta peraagkat yang diperlukan

(:ila ada).

Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini

Petpustakaan

UIN Sr:nao

Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/fornat-kan,

mengelolanya dalasr bentuk pangkalan

data

(database), mendistribusikannya, dan

menampilkao/mempublikasikannya di Intemet atau media laio secara fiilltextvnttk kepentingan

akademis ranpa pedu meminta

iiin dati

saya selama tetap mencantumkan nalna saya sebagai

penulis/pencipta dan atau penerbit yarg bersangkutan.

Saya bersedia uatuk meflangung secarzpribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan

Ampel Surabaya, segala bentuk tufltutan hukum yang timbul atas pelaf,rggaran Hak Gpta dalam

karyaibuiah sayaini

Demikian pemyatarm

^iy*gsaya

buat dengan sebenamya

Surabaya,P.

lg.tst'.t s

ioib

Penulis

Sto

(

C\"cic,.ir rc59idgh

fr@fictawgfu tada tag,n

: F-oZ:ltoof

(5)

PERSETU JUT\ N PEN{ BIN,IEING S KRTPSI

Skripsi oleh Choirur Rosyiclah ini benar-bcnar teiah diperiksa dan disetujui untuk

diujikan

Sur-abava. 1l Agustus 2016

Pcnrbimbing

(6)

PENGESAIIAN TINT PENGUJI SKRIPSI

Skripsi olch Chcirur Rosyidah ini teiah rlipeftahankan di deparr

'l'irn Penguji Skripsi

Suratral'a, 15 ggustus 2016 Nlengesahkan

Universitas Islanr Ncgeri Sunan Ampel Fakutrtas Ushuluddirr dait F-ilsaf:rt

tua,

uhid.. M.A

NIP. I 3r002199i031002

NLrP. 101109006 l'cngu ji I,

Prof. Dr. []. TIrinul i\ri1lii.M.Ag

NIP. 1q5032 I 19890i 1001

1 002 i 99303 1 002 Tim Penguji:

Fathoniz

ffi

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ………. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……….... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ……… iii

PERNYATAAN KEASLIAN ……… iv

MOTTO ………... v

PERSEMBAHAN ……….. vi

ABSTRAK ………. vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ……… viii

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ……… xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……..………. 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ……… 4

C. Rumusan Masalah ……… 5

D. Tujuan Penelitian ………. 5

E. Kegunaan Penelitian ……… 6

(8)

xiii

G. Telaah Pustaka ………. 7

H. Metodologi Penelitian ………. 9

I. Langkah-langkah Penelitian ……… 13

J. Sistematika Pembahasan ……… 14

BAB II: KE-S{AH{IH{-AN HADIS DAN TEORI PEMAKNAANNYA A. Teori Ke-s}ah}ih}-an Hadis ………. 15 1. Kriteria ke-s}ah}ih}-an sanad hadis ……… 17 2. Kriteria ke-s}ah}ih}-an matan hadis ………. 32 B. Teori Ke-h}ujjah-an Hadis ……….. 39

1. Ke-h}ujjah-an hadis s}ah}ih} ………. 41 2. Ke-h}ujjah-an hadis h}asan ………. 45 3. Ke-h}ujjah-an hadis d}a’if ………. 45 C. Teori Pemaknaan Hadis ……… 47

1. Pendekatan dari segi bahasa ……… 48

2. Pendekatan dari segi kandungan makna melalui latar belakang datangnya hadis ……… 54

(9)

xiv

BAB III: HADIS RAWD{AH DALAM KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI

NOMOR INDEKS 3941

A. Biografi Imam al-Tirmidhi ………. 62

B. Kitab Sunan al-Tirmidhi ……… 67

C. Hadis tentang Rawd}ah ……….. 72

D. Data Hadis Pendukung ……….. 73

E. Skema Sanad Imam al-Tirmidhi ………. 75

1. Rincian sanad ……… 79

2. Biografi perawi ……… 80

BAB IV: KUALITAS, KE-H{UJJAH-AN SERTA PEMAKNAAN HADIS TENTANG RAWD{AH DALAM SUNAN AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941 A. Kualitas dan Ke-h}ujjah-an Hadis Rawd}ah ………. 104 1. Kualitas sanad ………. 104

2. Kualitas matan ……… 111

3. Ke-h}ujjah-an hadis rawd}ah ……… 112 B. Pemaknaan Hadis Rawd}ah ……….. 112

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 120

(10)

(11)

ABSTRAK

Choirur Rosyidah, Hadis tentang Rawd}ah dalam Sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk mengkaji kualitas, kehujjahan dan makna hadis-hadis yang membahas tentang rawd}ah.

Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh tempat yang berada di Masjid Nabawi yakni rawd}ah. Definisi rawd}ah ialah nama tempat yang berada di Masjid Nabawi yakni antara makam Rasulullah saw dan mimbar. Tempat tersebut juga diyakini sebagai salah satu sarana untuk terkabulnya do’a. Jadi terkabulnya do’a juga tidak diketahui kapan waktunya dan apakah rawd}ah sendiri bermakna demikian. Maka penulis menemukan hadis tentang rawd}ah.

Untuk itu masalah yang akan diteliti ini berkaitan dengan: 1) Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis rawd}ah dalam sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941. 2) Bagaimana pemaknaan hadis tentang rawd}ah dalam sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan h{adith serta ke-h{ujjah-an hadis rawd}ah. Selain itu untuk mengetahui makna yang dimaksud dari hadis rawd}ah.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan al-Tirmidhi dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan matn. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang rawd}ah yang sesungguhnya.

Kesimpulannya dari penelitian ini yaitu kualitas hadis ini h}asan baik dari segi sanad maupun matan sehingga bisa dijadikan hujjah dan termasuk riwayah bi al-ma’na. Dari penelitian ini ditemukan bahwa makna rawd}ah dalam hadis tersebut ialah dalam konteks hakiki (makna sebenarnya) yang berarti dipahami sebagai taman surga yang sebenarnya, dimana tempat itu akan berpindah ke surga akhirat nanti.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mekkah atau Makkah al-Mukarromah merupakan sebuah kota utama

di Arab Saudi. Kota ini menjadi tujuan utama kaum muslimin untuk menunaikan

ibadah haji. Di kota ini terdapat sebuah bangunan utama yang bernama Masjidil

Haram dengan Ka’bah di dalamnya. Bangunan Ka’bah ini dijadikan patokan arah

kiblat untuk ibadah salat umat islam di seluruh dunia. Kota ini merupakan kota

suci umat islam dan tempat lahirnya Nabi Muhammad saw.1

Masjid Nabawi adalah salah satu masjid terpenting yang terdapat di

Kota Madinah, Arab Saudi karena dibangun oleh Nabi Muhammad dan menjadi

tempat makam dia dan para sahabatnya. Masjid ini merupakan salah satu masjid

yang utama bagi umat muslim setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjidil

Aqsa di Yerussalem. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar ke-2 di dunia

setelah Masjidil Haram di Mekkah.2

Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah

setelah masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrahnya dari Mekkah ke

Madinah. Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah tiba di

Madinah. Pada waktu menaiki unta tunggangannya, beliau menghentikan

perjalanannya. Lokasi itu semua adalah tempat penjemuran buah kurma milik

1 Fathurrahman Wahyu, Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Erlangga, 2010),16. 2 Haekal Husain, Sejarah Hidup Muhammad. Terj (Jakarta: Litera AntarNusa, 1994),

(13)

2

anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr yang kemudian dibeli oleh

Rasulullah SAW untuk dibangunkan masjid dan tempat kediamannya.3

Awalnya masjid ini berukuran 50 m x 50 m dengan tinggi atap sekitar

3,5 m. Rasulullah turut ikut membangunnya dengan tangannya sendiri,

bersama-sama dengan para sahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini

terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan

tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka.

Selama Sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari.

Hanya di waktu Isya’, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.

Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman

Nabi. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan

masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang

digunakan sebagai tempat orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki rumah.

Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras

masjid.

Adapun keutamaan Masjid Nabawi dinyatakan oleh Nabi didalam

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal no indeks 16117 sebagaimana sabdanya:

۱٦۱۱٧

َلﺎَﻗ ،ُﺲُﻧﻮُﻳ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

:

َلﺎَﻗ ،ٍﺪْﻳَز َﻦْﺑا ِﲏْﻌَـﻳ ٌدﺎﱠَﲪ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

:

،ُﻢﱢﻠَﻌُﻤْﻟا ٌﺐﻴِﺒَﺣ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ﱡﺰﻟا ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٍءﺎَﻄَﻋ ْﻦَﻋ

َلﺎَﻗ ،ِْﲑَـﺑ

:

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

:

»

ِﰲ ٌة َﻼَﺻ

ٌة َﻼَﺻَو ،َماَﺮَْﳊا َﺪِﺠْﺴَﻤْﻟا ﱠﻻِإ ،ِﺪِﺟﺎَﺴَﻤْﻟا َﻦِﻣ ُﻩاَﻮِﺳ ﺎَﻤﻴِﻓ ٍة َﻼَﺻ ِﻒْﻟَأ ْﻦِﻣ ُﻞَﻀْﻓَأ اَﺬَﻫ يِﺪِﺠْﺴَﻣ

َﻼَﺻ ِﺔَﺋﺎِﻣ ْﻦِﻣ ُﻞَﻀْﻓَأ ِماَﺮَْﳊا ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟا ِﰲ

اَﺬَﻫ ِﰲ ٍة

«

“Diceritakan kepadaku Yunus, berkata: diceritakan kepadaku Hammad yakni ibn Zaid, berkata: diceritakan kepadaku Habib al-Mu’allim dari atha’ dari Abdillah bin Zubair, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Salat di masjidku (Masjid

(14)

3

Nabawi) lebih baik dari 1000 salat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram. Salat di Masjidil Haram lebih baik dari 100.000 salat di masjid lainnya.4

Di dalam Masjid Nabawi terdapat rawd}ah yaitu antara makam

Rasulullah dan mimbar.

Rawd{ah adalah nama tempat yang ada di dalam masjid Nabawi yaitu

antara makam Rasulullah dan mimbar, luasnya sekitar 144 M2 yang sekarang

ditandai dengan pilar-pilar berwarna putih, lantainya dihiasi permadani wol yang

cantik dan unik. Rawd{ah juga disebut taman surga. Doa-doa yang dipanjatkan

dari rawd}ah ini diyakini akan dikabulkan oleh Allah. Berdasarkan hadis beliau

Rasulullah SAW, Nabi bersabda:

َِﲤ ِﻦْﺑ ِدﺎﱠﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٍﺮْﻜَﺑ ِﰊَأ ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٌﻚِﻟﺎَﻣ ﺎَﻧَﺮَـﺒْﺧَأ ،َﻒُﺳﻮُﻳ ُﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ُﺪْﺒَﻋ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

،ٍﻢﻴ

ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا َﻲِﺿَر ﱢِﱐِزﺎَﳌا ٍﺪْﻳَز ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ

:

َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﱠنَأ

:

»

ﺎَﻣ

ِﺔﱠﻨَﳉا ِضﺎَﻳِر ْﻦِﻣ ٌﺔَﺿْوَر يَِﱪْﻨِﻣَو ِﱵْﻴَـﺑ َْﲔَـﺑ

«

“Diceritakan kepadaku Abdullah bin Yusuf, dikhabarkan kepadaku Malik dari Abdillah bin Abi Bakar dari ‘Abbad bin tamimi dari Abdillah bin Zaid al-Maziniy RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: (Tempat yang terletak diantara rumahku dengan mimbarku merupakan suatu taman diantara taman-taman surga). (HR. Bukhari).5

Luas rawd{ah adalah 22 m x 15 m yakni jarak antara rumah Nabi dan

mimbarnya kurang lebih 22 meter dan panjang ke belakang kurang lebih 15 meter.

Salat sunnah di rawd{ah lebih utama dibandingkan salat yang dilaksanakan di

tempat lain, kecuali salat fardhu. Salat fardhu lebih utama dilaksanakan di barisan

pertama walaupun tidak berada dalam rawd{ah. Para pengunjung masjid Nabawi

berusaha untuk dapat melaksanakan salat sunnah di rawd{ah. Ibnu al-Qasim

4Ah}mad bin H{anbal, Musnad Ah}mad bin H{anbal, juz. 26 (Beirut: Muassasah

al-Risalah, 1999), 41-42.

5 Abi Abdillah Muh}ammad bin Ismail Al-Bukhari, S{ah}ih} al-Bukhari (Riyadh: Bait

(15)

4

berkata “Tempat salat yang paling di sukai di masjid nabawi adalah di rawd{ah

dan tempat yang paling disukai sebagai salat fardhu adalah shaf pertama.” Jadi

benar makam Rasulullah di kamar Aisyah ra, tetapi kamar Aisyah tidak termasuk

area rawd{ah.

Dalam permasalahannya itu di rawd{ah itu bermakna taman surga atau

sebaliknya. Dan rawd{ah dalam kamus berarti padang rumput dan apakah yang

dimaksud hadis tersebut padang rumput seperti pada umumnya atau lainnya.

Alasan penulis memakai judul tersebut ialah karena ingin mengetahui

lebih dalam apakah yang dimaksud rawd{ah itu yang berada di Masjid Nabawi dan

sebagai tempat terkabulnya do’a atau sebaliknya. Dan adapun alasan mengambil

dari kitab Sunan al-Tirmidhi ialah karena selain ada di kitab S{ah}ih} Bukhari dan

S{ah}ih} Muslim yakni berada di kitab tersebut. Untuk menjawab permasalahan

tersebut maka akan dijelaskan lebih rinci untuk selanjutnya.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Setelah dipaparkan latar belakang diatas agar tidak terjadi pelebaran

pembahasan maka perlu adanya batasan masalah. Adapun identifikasi masalah

adalah memerinci masalah sehingga dapat diketahui dengan jelas.6 Dijelaskan

lebih rinci, sebagai berikut:

1. Hadis tentang rawd}ah

2. Kualitas hadis tentang rawd}ah

3. Kehujjahan hadis tentang rawd}ah

6 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011),

(16)

5

4. Pemaknaan hadis tentang rawd}ah

Dari identifikasi diatas, agar pembahasaannya diatas tidak melebar dan

bahasannya lebih spesifik dan komprehensif hadis tentang rawd{ah, permasalahan

hanya dibatasi tentang pemaknaan hadis tentang makna rawd}ah dalam hadis

tersebut serta perbedaan pendapat mengenai kualitas hadis tersebut disertai

pendapat para ulama.

C. Rumusan Masalah

Dari rangkaian penjelasan yang dikemukakan diatas maka penelitian

ini difokuskan pada pencarian makna rawd}ah dalam hadis. Disampaikan

menyajikan tentang perbedaan pendapat diantara para ulama serta kehujjahan

hadis tersebut. Untuk lebih jelasnya, maka permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis rawd{ah?

2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang rawd{ah?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang valid mengenai

hadis-hadis maka dilakukan dengan tujuan yang disesuaikan dengan rumusan

masalah diatas, yaitu:

1. Untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis rawd{ah?

2. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang rawd{ah?

(17)

6

Dengan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, maka

diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak antara

lain:

1. Secara teoritis

Dapat dijadikan kegiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya sehubungan dengan rawd}ah, Dapat dijadikan bahan referensi bagi

penelitian yang sejenis di masa yang akan datang.

2. Secara aplikatif

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan penulis sendiri.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam

pengembangan fakultas ushuluddin kedepan.

3. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dan pedoman yang layak dalam

kehidupan bila dikaitkan dengan fenomena religi. Khususnya bermanfaat bagi

khazanah intelektual islam, dapat mempelajari ma’ani al-hadith. Bagi penulis

penelitian ini berguna untuk memperoleh gelar sarjana Theologi Islam strata 1

dan ilmu-ilmu dari fakultas Ushuluddin.

F. Penegasan judul

Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahami judul penelitian dan

untuk mempertegas penafsiran terhadap pokok pembahasan penelitian hadis

tentang “rawd{ah” ini, maka perlu dijelaskan istilah yang terangkai dalam judul

(18)

7

Hadis : Riwayat yang bertalian dengan sabda dan perilaku Nabi Muhammad

saw dan perbuatannya.7 Secara bahasa berarti baru. Secara istilah

berarti apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW

baik berupa ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah), ketetapan

(Taqririyah) dan sifat beliau.8

Rawd{ah : Padang rumput9, dalam kajian ini berarti nama tempat yang ada

didalam Masjid Nabawi yaitu antara makam Rasulullah SAW dan

mimbar

Maksud dari judul penelitian ini adalah penulis mencoba memberi

makna yang tepat pada kata rawd}ah dalam hadis yang terdapat dalam kitab

Sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.

G. Telaah Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi

dengan skripsi lain, maka penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan

atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan

penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan

kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Selama penulis teliti belum ada yang membahas judul yang penulis

sampaikan diatas dan dalam UIN sunan ampel Surabaya belum ada skripsi yang

membahas. Adapun kemiripan karya tulis tersebut terdapat di Universitas lain.

7 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia terbaru (Surabaya: Amelia, 2003),

163.

8 Mahmud al-T}aha>n, Taisir Musthalah Hadis (Surabaya: al-Hidayah, t.t), 15

9 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap

(19)

8

1. Skripsi oleh Shihhah Tsaniyah yang berjudul “Anak-Anak di Surga Dalam

al-Qur’a>n (Wilda>nun, Gilma>nun): Kajian Tematik”. Fakultas Ushuluddin

dan Pemikian Islam. Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2015

Skripsi tersebut membahas tentang konsep anak-anak di surga dalam

al-Qur’a>n

2. Skripsi oleh Zunaidi Nur yang berjudul “Konsep al-Jannah Dalam al-Qur’a>n

(Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu)”. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran

Islam. Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta, tahun 2014.

Skripsi tersebut membahas tentang metode semantik al-Qur’a>n Toshihiko

Izutsu, perkembangan makna kata al-Jannah ditinjau dari sisi Diakronik,

makna dasar dan makna relasional kata al-Jannah dalam al-Qur’a>n

3. Skripsi oleh Muhammad Aswar yang berjudul “Enkulturasi al-Qur’a>n

(Telaah Ayat-ayat tentang Surga)”. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, tahun 2014.

Skripsi tersebut membahas tentang keterpaduan konsep surga arab pra-islam

dengan al-Qur’a>n, pola resiprokal al-Qur’a>n dengan sosio-kultur arab

dalam menyampaikan gagasan tentang surga dan implikasi kultural dari

enkulturasi al-Qur’a>n dalam ayat-ayat tentang surga.

(20)

9

Sebuah penelitian ilmiah wajib adanya metode tertentu untuk

menjelaskan objek yang menjadi kajian agar mendapatkan hasil yang tepat sesuai

rumusan masalahnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi gerak dan

batasan dalam pembahasan ini agar tepat sasaran. Secara terperinci metode

penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kepustakaan (library

research) yakni mencari serta meneliti suatu hadis dari kitab-kitab induk

kemudian dikaji menggunakan kaidah ilmu hadith.

Selain menggunakan model kepustakaan, penelitian ini bersifat

kualitatif untuk mendeskripsikan kualitas matan hadith beserta sanadnya. Hal

ini bisa diketahui dengan cara meneliti kitab induk, yakni kitab Sunan

al-Tirmidhi dan kitab-kitab yang terkait. Sehingga dapat menentukan posisi hadis

yang diriwayatkan Imam al-Tirmidhi dalam kitab Sunan al-Tirmidhi nomor

indeks 3941.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu data yang terkumpul

kemudian diuraikan secara obyektif kemudian di analisis secara konseptual

dengan menggunakan metode ma’ani al-hadis yakni ilmu yang membahas

tentang pemaknaan baik menggunakan kaidah majaz ataupun hakiki.

3. Sumber Data Penelitian

Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis Al-Mu’jam Al-Mufahras Li

(21)

10

dibantu penelusuran hadis melalui software Maktabah Syamila dengan

menggunakan penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran lewat

kata awal, tengah atau akhir dalam matan hadis. Dan data yang digunakan

dalam penelitian ini ada dua macam yaitu data primer dan sekunder.

Pertama, Data primer adalah sumber data yang berfungsi sebagai

sumber asli yakni dalam penelitian ini menggunakan kitab sunan al-tirmidhi

karya Imam al-Tirmidhi beeserta sharah}nya yakni kitab tuh}fatul ah}wadhy

karya Abu al-‘Ula Muh}ammad Abdurrahman.

Kedua, Data sekunder adalah sumber data yang melengkapi atau

mendukung data primer, yakni berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan

pokok permasalahan tersebut. Data-data tersebut ialah sebagai berikut:

a. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alf<a}zi al-H{adi<s al-Nabawy, karya Arnold

John Wensink

b. Tahdhi>b al-Tahdhi>b, karya Shiha>b al-Di>n Ah}mad bin ‘Ali bin

Hajar al-‘Asqalany

c. Taisir Must}alah al-H}adith, karya Mah}mud al-T{aha>n

d. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Jamaluddin Abi al-H{ajjaj

Yusuf al-Mizzi

e. Al-Thiqat, karya Abi H{a>tim Muh}ammad bin H{ibba>n bin Ah}mad

al-Tamimi al-Basti

(22)

11

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.

Metode ini diterapkan pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah

dan lainnya.

Dalam penelitian hadis, penerapan metode ini dilakukan dengan 2

teknik pengumpulan data, yaitu: takhrij al-hadith dan i’tibar al-hadith.

a. Takhrij al-hadith

Takhrij al-hadith dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menunjukkan

tempat hadis pada kitab-kitab sumber aslinya.10 Maka takhrij al-hadith

merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan

kualitas suatu hadis.

b. I’tibar

I’tibar dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk

suatu hadis tertentu, pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang

periwayat saja.dengan menyertai sanad lain akan Nampak seluruh jalur

sanad dari hadis yang diteliti.11 Kegunaan I’tibar disini adalah untuk

mengetahui ada atau tidak adanya pendukung baik itu yang berstatus

Tawa>bi’ atau Shawa>hid.12

c. Kritik sanad

Kritik sanad adalah meneliti rangkaian rawi yang telah meriwayatkan

hadis dari rawi pertama hingga rawi terakhir. Hadis tersebut bisa dikatakan

10 Mahmud al-T{ahhan, Metode Takhrij al-Hadith dan Penelitian Sanad Hadis, terj.

Ridwan Nasir (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 4.

(23)

12

s}ah}ih} apabila para rawi memiliki lima kriteria yakni muttasil, ‘adil,

dabit, terhindar dari shad dan ‘illat.

d. Kritik matan

Sanad hadis yang belum s}ah}ih} belum tentu matan hadis tersebut

s}ah}ih} maka dari itu perlu adanya penelitian terhadap sebuah matan.

Untuk kesahihan matan perlu adanya kriteria, sebagai berikut:

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an

2) Tidak bertentangan dengan hadis dan si>rah nabawiyyah

3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah

4) Hadis-hadis tidak mirip dengan sabda kenabian13

5. Metode Analisis Data

Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui

penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua

komponen, yakni sanad dan matan maka analisis data hadis akan meliputi dua

komponen tersebut. Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad

dengan pendekatan keilmuan rijal al-h}adith dan al-jarh} wa al-ta’dil, serta

mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut

(tahammul wa al-ada’).14 Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan

tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka

selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.

13 Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013),

86.

14 M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005),

(24)

13

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan

menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas

matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan

eksplisit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis

lain yang yang bermutu s}ah}ih} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum

diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.

Dalam hadis yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan hadis yang

digunakan untuk analisis isi adalah pendekatan dari segi bahasa yang

digunakan untuk membedakan makna hakiki dan makna majazi dalam suatu

hadis.

I. Langkah-langkah Penelitian

Data yang disajikan dalam penelitian ini didapat dari proses penelitian

kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari berbagai macam

literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

Dengan menggunakan metode ma’ani al-hadith maka penulis akan

membahas hadis yang menjelaskan makna hadis tersebut menggunakan metode

ma’ani al-hadith yakni ilmu yang membahas tentang pemaknaan baik

menggunakan kaidah majaz ataupun hakiki.

Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis ini

seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, pemaknaan kata dengan

menggunakan kaidah ma’ani al-hadith untuk mendapatkan hakikat makna

(25)

14

J. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulisan ini

disusun atas lima bab, sebagai berikut:

BAB I berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, penegasan judul, alasan memilih judul, tujuan

penelitian, metodologi penelitian lalu dilanjutkan dengan sistematika pembahasan

BAB II berisi tentang teori keshahihan hadis, teori kehujjahan hadis,

teori pemaknaan hadis dan pengertian rawd{ah

BAB III berisi pembahasan tentang hadis rawd{ah dalam Sunan

Tirmidhi no indeks 3941 meliputi biografi Imam Tirmidhi, kitab Sunan

al-Tirmidhi, hadis tentang rawd{ah, data hadis pendukung, skema sanad Imam

al-Tirmidhi, penjelasan hadis rawd{ah

BAB IV berisi tentang analisis terhadap makna rawd{ah dalam hadis

Sunan al-Tirmidhi no indeks 3941 kualitas sanad dan matan hadis, kehujjahan

hadis rawd{ah, pemaknaan hadis rawd{ah

(26)

BAB II

KE-

S{AH{IH

{-AN HADIS DAN TEORI PEMAKNAANNYA

A. Teori Ke-s}ah{i>h{-an Hadis

Mah{mu>d T{ah}a>n dalam kitab Mus}t}ala>h}-nya menjelaskan

bahwa s}a}hi>h} menurut bahasa adalah adalah lawan kata dari saqi>m

(sakit) artinya sehat. Arti s}a}hi>h demikian menjadi makna hakikat jika

untuk badan dan menjadi makna maja>z untuk kata hadis yang lainnya.1 Menurut Subhi al-Salih, Secara terminologis hadis s}ah{i>h}} adalah

hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan

d}a>bit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir

berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung sha>dh (kejanggalan)

ataupun ‘illat (cacat).2

Ibn Al-S}alah membuat sebuah definisi mengenai hadis sahih yang

disepakati oleh para muhaddisin. Ia berpendapat sebagaimana yang dikutip

oleh Ajja>j al-Khatti>b:

َأ ﱠﻣﺎ

َْﳊا

ِﺪ ْﻳ

ُﺚ

ﱠﺼﻟا

ِﺤ

ْﻴ ُﺢ

:

َـﻓ ُﻬ

َﻮ

َْﳊا

ِﺪ ْﻳ

ُﺚ

ْﻟا

ُﻤ

ْﺴ َﻨ

ُﺪ

ﱠﻟا

ِﺬ

َـﻳ ي

ﱠﺘ

ِﺼ

ُﻞ ِإ

ْﺳ َﻨ

ُدﺎ ُﻩ

ِﺑ َـﻨ

ْﻘ ِﻞ

ْﻟا

َﻌ ْﺪ

ِل

ﻟا

ﱠﻀ

ِﺑﺎ

ِﻂ

ِإ

َﱃ

ُﻣ ْﻨ َـﺘ

َﻬ ُﻩﺎ

َو ،

َﻻ

اًذﺎَﺷ ُنْﻮُﻜَﻳ

َو

َﻻ

ُﻣ َﻌ ﱠﻠ

ًﻼ

1 Mah{mu>d T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah} al-H{adi>s (t.k: Markaz Madi> li

al-Dira>sa>t, 1405 H), 30

(27)

16

Adapun hadis s}ah{i>h ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan d{a>bit> sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (‘illat).3

Sedangkan menurut Ahmad Umar Hasyim mendefinisikan hadis sahih

ialah:

،ُﻩﺎَﻬَـﺘْﻨُﻣ َﱃِإ ِدﺎَﻨﱠﺴﻟا ِلﱠوَأ ْﻦِﻣ ِﻂِﺑﺎﱠﻀﻟا ِلْﺪَﻌْﻟا ِﻦَﻋ ِﻂِﺑﺎﱠﻀﻟا ِلْﺪَﻌْﻟا ِﻞْﻘَـﻨِﺑ ُﻩُﺪَﻨَﺳ ُﻞِﺼﱠﺗا ﺎَﻣ َﻮُﻫ

اًذﺎَﺷ ُنْﻮُﻜَﻳَﻻَو

َو

َﻻ

ُﻣ َﻌ ﱠﻠ

ًﻼ

Yaitu hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan d{a>bit dari awal sanad sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (‘illat).4

Dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Shalah, dapat

dirumuskan bahwa kesahihan hadis dengan 3 kriteria, yaitu:

1. Sanad hadis yang diteliti harus bersambung mulai dari mukharrij

sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

2. Seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘adil dan d{a>bit>}

3. Hadis tersebut, baik sanad maupun matannya harus terhindar dari

kejanggalan (sha>dh) dan kecacatan (‘illat).

Ibnu Al-Shalah berpendapat bahwa:

Syarat hadis s}ah}ih} seperti tersebut diatas telah disepakati oleh para muhaddisin.

Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang ke-s}ah}ih}-an suatu hadis

bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya

perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut

3 Muhammad Ajja>j al-Khatti>b, Ushu>l-H{adi>th ter. Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2013), 304.

4 Ah}mad ‘Umar Hasyim, Qawaid Ushu>l-H{adi>th (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby,

(28)

17

atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat

tersebut.5

Abi Az-Zinad mensyaratkan bagi hadis sahih bahwa:

hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan

menyampaikan hadis. Ibnu As-Sam’any juga mengatakan, bahwa hadis sahih

itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang thiqah (‘adil dan

d{a>bit}) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar

apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat

ingatannya.6

Sebuah hadis bisa dikatakan sahih tidak hanya dari segi sanadnya saja

tetapi juga dari segi matan. Hadis yang sanadnya sahih belum tentu matannya

juga s}ah}ih maka kedua-duanya harus diteliti. Oleh karenanya kriteria

kesahihan hadis dibagi menjadi dua, yakni sahih dari segi sanad dan s}ah}ih

dari segi matan. Keduanya memiliki persyaratan tersendiri. Jadi, sebuah hadis

disebut s}ah}ih jika sanad dan matannya sama-sama berkualitas s}ah}ih}.

1. Kriteria ke-s}ah}ih}-an sanad hadis

Menurut bahasa, sanad bermakna sandaran, tempat kita bersandar.

Ada juga yang mendefinisikan sanad sebagai sejarah perjalanan matan.

Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, sanad adalah jalan yang

(29)

18

menyampaikan kepada matan hadis.7 Al-Badru bin Jama’ah al-T{ibi mengatakan bahwa sanad adalah:

ِْﱳَﻤْﻟا ِﻖْﻳِﺮَﻃ ْﻦَﻋ ُرﺎَﺒْﺧِْﻹا

Berita tentang jalan matan.8

Ada juga yang menyebutkan:

ِلﱠوَْﻷا ِرَﺪْﺼَﻣ ْﻦَﻋ َِﱳَﻤْﻟا ْﻮُﻠَﻘَـﻧ َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ِةاَوﱡﺮﻟا ُﺔَﻠِﺴْﻠِﺳ

Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.9

Secara etimologi isnad adalah menyandarkan. Sementara dalam

istilah ilmu hadis bahwa isnad adalah menerangkan sanad hadis atau jalan

menerima hadis. Orang yang menerangkan sanad hadis disebut musnid.

Sedangkan hadis yang disebut dengan menerangkan sanad-nya hingga

sampai kepada Rasulullah disebut musnad.10

Dapat dikatakan bahwa perangkat metodologis kritik sanad hadis

yang dirumuskan oleh para ulama tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi

melalui proses yang panjang dan rumit. Pada tahap yang paling awal,

langkah kritik sanad masih dalam bentuk sederhana dan belum ada kaidah

yang baku. Dalam kurun waktu seratus tahun pertama,

periwayat-periwayat hadis tampaknya masih didominasi oleh para sahabat dan tabiin

senior yang ke-thiqah-annya dapat diandalkan. Sehingga tidak heran jika

7 Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis ‘Teori dan Metodologi’

(Yogyakarta: Diva Press, 2015), 243.

8 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 45. 9 Ibid., 46.

10M Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan

(30)

19

kritik hadis masih dilakukan secara terbatas pada satu dua orang yang

bermasalah.11

Para ulama hadis mengemukakan beberapa kriteria ke-s}ah}ih}-an

hadis dari segi sanad, yakni sebagai berikut:

a. Sanadnya bersambung (Ittisha>l al-Sanad)

Ittis}a>l al-Sanad yang dimaksud ialah bahwa setiap perawi

yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada

diatasnya dan juga sebaliknya sampai kepada pembicara yang

pertama.12 Perawi tersebut bertemu dan menerima periwayatan dari gurunya baik secara langsung13 atau secara hukum karena dalam hal pertemuan atau persambungan sanad para rawi ulama biasa

menggunakan istilah tersebut.14

Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua

macam lambang yang digunakan oleh periwayat, sebagai berikut:

1) Pertemuan secara langsung (mubasyarah) yakni seseorang bertatap

muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.

Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang

dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti

11 Saifuddin, Tadwin Hadis: Kontribusinya dalam Perkembangan Historiografi Islam

(Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 290.

12 Mah{mud T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah} al-H{adi>s (Surabaya: Toko Kitab Hidayah,

1985), 34.

13 Seorang murid bertatap muka secara langsung dengan sang guru yang menyampaikan

hadis. Maka ia akan mendengar langsung atau melihat langsung apa yang telah dilakukan gurunya. Pertemuan langsung seperti ini biasanya dilambangkan dengan lafaz ،ﲏﺛﺪﺣ ،ﺖﻌﲰ ﺎﻧﱪﺧأ ،ﱐﱪﺧأ ،ﺎﻨﺛﺪﺣ

(31)

20

diatas pada umumnya menggunakan lambang ungkapan:

ُﺖْﻌَِﲰ

(aku mendengar),

ﺎَﻧَﺮَـﺒْﺧَأ /

ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ /

ْ ِﱐَﺮَـﺒْﺧَأ / ِْﲏَﺛﱠﺪَﺣ

(memberitakan

kepadaku/kami),

ﺎًﻧَﻼُﻓ ُﺖْﻳَأَر

(aku melihat fulan).

2) Pertemuan secara hukum (hukmi) yakni seseorang meriwayatkan

hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata

yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:

َﻞَﻌَـﻓ

ٌنَﻼُﻓ / ٍنَﻼُﻓ ْﻦَﻋ / ٌنَﻼُﻓ َلﺎَﻗ

( si Fulan…/dari si Fulan/si Fulan

melakukan seperti ini.15

Para ahli hadis menjelaskan beberapa langkah untuk

mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad seperti penjelasan

berikut:

1) Mencatat semua nawa perawi dalam sanad yang diteliti.

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.

3) Mempelajari s}i>ghat tah}ammul wa al-ada>’, yakni bentuk lafaz

ketika menerima atau mengajarkan hadis.16 4) Meneliti guru dan murid.17

Suatu sanad bisa dikatakan muttas}il (bersambung) apabila:

15 Ibid.,

16 Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009),

143.

17 M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja

(32)

21

1) Seluruh rawi dalam sanad tersebut berstatus thiqah (‘a>dil dan

d}a>bit})

2) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekat sebelumnya dalam

sanad tersebut telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah

menurut ketentuan.

Maksud dari penjelasan diatas adalah ketersambungan atau

tidaknya para rawi bisa diketahui dengan 2 teknik, yaitu:

1) Harus mengetahui bahwa orang yang diterima periwayatannya

wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk

mengetahuinya, maka harus mengetahui biografinya terlebih

dahulu melalui kitab rija>l al-h}adi>th atau tawa>ri>kh al-ruwah

terutama dari tahun wafat dan lahirnya.

2) Kemudian harus diketahui pula keterangan imam hadis tentang

bertemu atau tidaknya seorang perawi, mendengar atau tidak

mendengar, melihat orang yang menyampaikan riwayat atau tidak

melihat karena keterangan tersebut akan menjadi saksi kuat untuk

memperjelas keberadaan sanad.18 b. Keadilan para perawi (‘Adalah Ar-Ruwah)

Adil dalam bahasa artinya seimbang atau meletakkan sesuatu

pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang

yang adil adalah:

ِةَءْوُﺮُﻤْﻟا ِمِراَﻮَﺧَو ِﻖْﺴِﻔْﻟا َﻦِﻣ َﻢِﻠَﺳَو ُﻪُﻘُﻠُﺧ َﻦُﺴَﺣَو ُﻪُﻨْـﻳِد َمﺎَﻘَـﺘْﺳا ِﻦَﻣ

(33)

22

“Adil artinya orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muru’ah”

Istiqamah dalam beragama artinya orang tersebut konsisten

dalam beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala

dosa yang menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama

(al-Khuruj ‘an ath-Tha’ah), mempermudah dosa besar atau

melanggengkan dosa kecil. Adapun menjaga muru’ah artinya menjaga

kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan

akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut

umum dan tradisi.19

Keadilan seorang perawi, menurut Ibnu Al-Sam’any harus

memenuhi empat syarat, sebagai berikut:

1) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.

2) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan

santun.

3) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat

menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.

4) Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan

dengan syara’.

Penjelasan diatas dapat mencakup pengertian bahwa dalam

sifat adil terdapat beberapa unsur, sebagai berikut:

1) Para rawi harus islam. Riwayat yang datangnya dari orang kafir

tidak diterima karena dianggap tidak dipercaya. Syuhudi Ismail

(34)

23

memberikan penjelasan bahwa dalam syarat islam ini bahwa hanya

berlaku bagi orang yang meriwayatkan dan tidak disyaratkan islam

bagi orang yang menerima riwayat. Tidak masalah jika rawi

tersebut belum beragama islam ketika menerima riwayat asalkan

islam ketika menyampaikan riwayat.20

2) Mukallaf. Menurut pendapat al-asahh periwayatan anak yang

belum dewasa tidak bisa diterima karena belum terjamin dari

kedustaan. Demikian pula halnya periwayatan orang gila.21 Syarat mukallaf hanya berlaku bagi orang yang meriwayatkan sedangkan

penerima tidak wajib mukallaf tetapi harus mumayyiz asalkan

ketika menyampaikan riwayat harus sudah mukallaf.22

3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasiq dan

sebab-sebab yang dapat mencacatkan kepribadian seseorang.

Seorang periwayat hadis tidak boleh melakukan hal-hal yang

melanggar peraturan agama dan kebiasaan (adat istiadat yang

berlaku).

Dalam menilai keadilan tidak mengharuskan peneliti mengetahui

secara langsung. Hal ini akan menjadi sulit kecuali bagi orang yang hidup

sezaman dengan para rawi. Oleh karenanya, peran ulama kritikus menjadi

20 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),

113-118.

21 Rahman, Ikhtisar Must}alahul…, 120.

22 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

(35)

24

sangat penting.23 Dalam menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah satu teknik, sebagai berikut:

1) Keterangan seorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa

seseorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam

kitab-kitab al-jarh} wa al-ta’dil.

2) Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti imam empat,

yaitu: Hanafi, Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbali.24 c. Para perawi bersifat d}a>bit} (d}a>bt} Al-ruwah)

D{a>bit} berasal dari kata d{abat}a artinya kuat. Dalam

terminologi ilmu hadis, terdapat berbagai rumusan definisi d}a>bit yang

dimajukan oleh para ulama. Di antaranya dikemukakan oleh al-Sarkhasi25 bahwa d}a>bt} mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan

kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis,

mampu memahami secara mendalam makna yang dikandungnya, menjaga

dan menghafalnya semaksimal mungkin hingga pada waktu penyebaran

dan periwayatan hadis yang didengarnya tersebut kepada orang lain, yakni

hingga proses penyampaian hadis tersebut kepada orang lain (ada’

al-hadis). 26

Dengan demikian dituntut adanya konsistensi mulai dari proses

tahammul hingga proses ada’-nya. Artinya bahwa hadis yang disebarkan

23 Khon, Ulumul Hadis…, 170.

24At-T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah…, 121-122.

25 Nama lengkap al-Sarkhasi> adalah Muh}ammad bin Ah}mad bin Sahal Abu> Bakar,

yang kemudian terkenal dengan sebutan al-Sarkhasi> (w. 483 H). Dia adalah seorang ulama dari kalangan Ah}naf, seorang Mujtahid, ulama Ushu>l dari Sharkhas dari masa kekuasaan Ibn Kemal Pasha.

(36)

25

itu sama persis namun tidak harus secara redaksional dengan hadis yang

diterimanya dahulu. ‘Ajjaj al-Khatib menyajikan formulasi d}a>bt} ini

sebagai intensitas intelektual seorang rawi tatkala menerima hadis dan

memahaminya sebagaimana yang didengarnya, selalu menjaganya hingga

saat periwayatannya, yakni hafal dengan sempurna jika ia

meriwayatkannya berdasarkan hafalannya, paham dengan baik makna

yang dikandungnya, hafal benar terhadap tulisannya, dan paham betul

akan kemungkinan adanya perubahan (tah}ri>f), penggantian (tabdi>l)

maupun pengurangan (tanqi>s}) jika ia meriwayatkan hadis tersebut

berdasarkan tulisannya. Dengan model pengetatan periwayatan hadis

semacam ini, maka akan dapat menjaganya dan terjadinya lupa dan

kesalahan.27 Maka ia harus menjaganya dan menyampaikannya dengan baik seperti ketika menerimanya. Sifat ini hanya bisa dimiliki oleh orang

yang diberi ketetapan hati dan kesucian hati sebagaimana para imam hadis

yang diberi gelar al-h}a>fiz}.28

Sifat d}a>bit ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

1) D{a>bit} fi> al-s}udu>r artinya memiliki daya ingat dan hafalan

yang kuat sejak ia menerima hadis dari seorang syaikh atau

seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya

kepada orang lain atau ia memiliki kemampuan untuk

menyampaikannya kapan saja periwayatan itu diperlukan.

27 Ibid.,

(37)

26

2) D{a>bit} fi> al-s}ut}u>r artinya tulisan hadisnya sejak mendengar

dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian dan

kekurangan sejak menerimanya sampai ia menyampaikan hadis

tersebut. Maksudnya tidak ada kesalahan dalam tulisan hadis yang

diriwayatkan, sama seperti pertama kali ia mendapatkan.29

Apabila seorang perawi memiliki daya ingat yang kuat sejak

menerima hadis sampai ia menyampaikannya kepada orang lain dan

ingatannya siap dikeluarkan kapan saja dan dimanapun dikehendaki, maka

ia disebut d}a>bit} fi> al-s}udu>r. apabila periwayatannya berdasarkan

pada buku catatannya maka ia disebut d}a>bit} fi> s}ut}u>r /

al-kita>b.

Ibn al-Athir al-Jazari mengemukakan klasifikasi lain tentang

d}a>bit} z}ahir dan d}a>bit ba>t}in. d}a>bit z}ahir diartikan sebagai

kemampuan intelektual seorang perawi dilihat dari sisi makna kebahasaan,

sedangkan d}a>bit} ba>t}in diartikan sebagai kemampuan intelektual

seorang perawi dalam mengungkap hukum syara’ yang dikandung oleh

sebuah teks hadis yang diriwayatkannya, yakni berupa fiqih. Namun

demikian, lanjut al-Jazari yang dimaksud dengan d}a>bit} dalam ilmu

hadis menurut pendapat mayoritas ulama adalah d}a>bit} z}ahir.30

Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk

mengetahui ked}a>bitan seorang perawi. Ibn al-S}alah} mengatakan

bahwa:

(38)

27

ked}a>bitan seorang perawi hadis dapat diketahui dengan cara

mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah perawi

yang thiqah dan telah terkenal ked}a>bitannya. Jika riwayat seorang

perawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah perawi lain,

meski secara makna, maka riwayatnya dapat dijadikan sebagai dalil

keagamaan, namun bila menyalahi maka hal itu dapat dijadikan

indikasi bahwa seorang perawi tersebut tidak d}a>bit dan oleh

karenanya riwayatnya tertolak untuk dijadikan hujjah.31

Mengenai hal ini, Syuhudi Isma’il mengajukan pendapatnya

bahwa:

ked}a>bitan seorang perawi dapat diketahui melalui beberapa jalan: pertama,

kesaksian para ulama dan popularitasnya di mata para muhaddisin.

Kedua, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan

oleh perawi lain yang telah dikenal ked}a>bit}annya. Kesesuaian

dimaksud boleh jadi hanya secara maknawi atau mungkin hingga

secara redaksional. Ketiga, apabila seorang perawi sesekali

mengalami kekeliruan, maka klaim d}a>bit} masih layak dipakaikan

padanya, namun apabila kekeliruan dimaksud sering terjadi, maka

klaim d}a>bit} yang disandangnya “tanggal” dengan sendirinya.32

Ada dua term yang biasa digunakan menyangkut d}a>bit}, yang

kemudian melambangkan tipologinya, yakni d}a>bt} (d}a>bit} biasa) dan

ta>mm al-d}a>bt} (d}a>bit} sempurna). Kedua bentuk ked}a>bit}an

tersebut jika dinilai bobot kualifikasinya maka d}a>bt} ta>mm itulah yang

(39)

28

lebih bisa dijadikan jaminan bahwa kes}ah}ih}an hadis yang bersangkutan

lebih unggul dibandingkan d}a>bit} biasa seperti bentuk pertama.

Lebih-lebih jika periwayatan hadis dilakukan secara makna, maka adanya

kedalaman pemahaman hadis bagi seorang perawi merupakan sebuah

kemutlakan.33

Adapun cara penetapan ked}a>bit}an seorang periwayat, menurut

berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:

a. ked}a>bit}an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian

ulama

b. ked}a>bit}an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan

kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh

periwayat lain yang telah dikenal ked}a>bit}annya. Tingkat

kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna

atau mungkin ke tingkat harfiah

c. apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan,

maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang

d}a>bit}. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka

periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai

periwayat yang d}a>bit}.34 d. Tidak terjadi ‘Illat

33 Ibid., 120

34 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesah}ih}an H{adis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

(40)

29

Dari segi bahasa ‘Illat berarti penyakit, sebab, alasan atau udzur.

Sedangkan arti ‘illat disini artinya suatu sebab tersembunyi yang membuat

cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.

‘Illat hadis dapat dijelaskan dengan cara menghimpun semua sanad hadis

dan memperhatikan perbedaan para periwayatnya. Menurut Khatib

al-Baghdady, ‘illat hadis dapat diketahui dengan menghimpun semua sanad

hadis, melihat perbedaan perawinya dan menempatkan mereka sesuai

dengan tempatnya, baik dari segi hafalan, kesempurnaan atau ke-d}a>bit

}-annya.35

Menurut Ali al-Madani dan al-Khattib, untuk mengetahui ‘illat

hadis terlebih dahulu semua semua sanad yang berkaitan dengan hadis

yang diteliti, dihimpun sehingga dapat diketahui sha>hid dan ta>bi’-nya.

Mayoritas ‘illat hadis terjadi pada sanad hadis. Pada umumnya ‘illat hadis

berbentuk, sebagai berikut:

1) Sanad yang tampak muttas}il dan marfu’ ternyata muttasil namun

mauqu>f.

2) Sanad yang muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mursal.

3) Terjadi percampuran hadis pada bagian hadis lain.

4) Terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena berjumlah lebih

dari satu serta memiliki kemiripan nama sedangkan kualitas

periwayatnya tidak sama-sama thiqah.

35 Mahmud al-Tahhan, Metode Takhrij al-Hadis dan Penelitian Sanad Hadis, terj.

(41)

30

Maka untuk meneliti sanad hadis dan mengetahui keadaan rawi

demi memenuhi lima kriteria tersebut, dalam ilmu hadis dikenal sebuah

cabang keilmuan yang disebut rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang secara

spesifik mengupas keberadaan para rawi hadis. Ilmu ini berfungsi untuk

mengupas data-data para rawi yang terlibat dalam civitas periwayatan

hadis dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli hadis yang menjadi

kritikus terhadap para rawi hadis tersebut.36 e. Tidak terjadi kejanggalan (Shudhu>dh)

Kata “Shudhu>dh” menurut bahasa adalah kata benda yang

berbentuk isim fa’il yang berarti sesuatu yang menyendiri. Menurut

mayoritas ulama, kata “shudhu>dh” bermakna menyendiri.37 Maksud

shudhu>dh disini adalah periwayatan orang yang thiqah (terpercaya yaitu

adil dan d}a>bit} ) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih

thiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadis sahih harus tidak terjadi

shudhu>dh berarti hadis tidak terjadi adanya periwayatan orang yang

thiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih thiqah.38

Menurut Nuruddin ‘ltr, yang dimaksud dengan sha>dh adalah

suatu kondisi dimana seorang perawi berbeda dengan perawi berbeda

dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, sehingga rawi yang lain

36 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003),

6.

37 Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),

166

(42)

31

tersebut harus lebih diunggulkan. Rawi yang lebih unggul disebut

mah}fuz}, sedangkan yang lebih rendah posisinya disebut sha>dh.39

Sedangkan menurut Imam al-Sha>fi’i, hadis sha>dh adalah suatu

hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, namun tidak

ada sejumlah perawi thiqah lainnya yang juga meriwayatkan hadis

tersebut. Suatu hadis baru dinyatakan sha>dh apabila hadis yang

diriwayatkan perawi yang thiqah tersebut bertentangan dengan hadis yang

diriwayatkan oleh banyak perawi yang thiqah tersebut bertentangan

dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi thiqah lainnya.

Perawi yang sama-sama thiqah memiliki stratifikasi yang berbeda, karena

perbedaan dalam tingkat ked}abit}-annya dan bukan terletak pada tingkat

keadilannya.40

Secara lebih luas, dalam terminologi ilmu hadis terdapat tiga

pendapat berkenaan dengan definisi sha>dh, yakni: pertama, pendapat

yang dimajukan al-Sha>fi’i, yang mengatakan bahwa hadis baru

dinyatakan mengandung sha>dh apabila hadis yang diriwayatkan oleh

seorang rawi yang thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan

oleh sejumlah perawi yang juga bersifat thiqah. Dengan demikian, hadis

sha>dh itu tidaklah disebabkan oleh kesendirian individu perawi dalam

sanad hadis (fard} mutlaq)dan juga tidak disebabkan perawi yang tidak

thiqah, kedua, pendapat yang dikemukakan oleh H{afiz} Abu Ya’la

al-Khalili, menurutnya sebuah hadis dinyatakan mengandung sha>dh apabila

(43)

32

hanya memiliki satu jalur saja, baik hadis tersebut diriwayatkan oleh

perawi yang thiqah maupun yang tidak, baik bertentangan atau tidak.

Dengan demikian, hadis sha>dh bagi al-Khalili sama dengan hadis yang

berstatus fard} mutlaq. Alasannya ialah karena hadis yang berstatus fard}

mutlaq itu tidak memiliki shahid, yang memunculkan kesan bahwa

perawinya sha>dh bahkan matruk.41

Kejanggalan suatu hadis itu, terletak kepada adanya perlawanan

antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat

diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang

lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan

jumlah sanad atau kelebihan dalam ke d}a>bit-an rawinya atau dari

segi-segi tarjih yang lain.42

2. Kriteria ke-s}ah}i>h}-an matan hadis

Kata matan dalam bahasa arab (

ُْﱳَﻤْﻟا

) menurut bahasa berarti:

keras, kuat, sesuatu yang tampak dan asli. Matan kitab ialah yang tidak

bersifat komentar dan bukan tambahan penjelasan. Dimaksud dengan kata

matan dalam ilmu hadis ialah penghujung sanad.43

Definisi tersebut, sama dengan pandangan Ibnu al-Atsir al-Jazari

yakni setiap matan hadis tersusun atas elemen lafadz (teks) dan elemen

41 Ibid., 123.

42 Al-Rahman, Ikhtisar Mus{hthalahul…123.

43 Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki

(44)

33

makna (konsep). Dengan demikian, maka komposisi ungkapan matan

hadis hakikatnya adalah pencerminan konsep ide yang intinya dirumuskan

berbentuk teks. Adapun teks matan hadis juga Nass al-Hadi>th atau Nass

al-Riwa>yat. Sementara itu persyaratan ke-s}ah}i>h}-an hadis diketahui

bahwa matan yang s}ah}ih} adalah matan yang selamat dari shudhu>dh

dan ‘illat.

Apabila sanad hadis menjadi objek penting ketika melakukan

penelitian maka dengan demikian matan hadis juga harus diteliti pula,

karena bagaimana pun keduanya saling berkaitan. Belum lagi ada

beberapa redaksi matan hadis yang menggunakan periwayatan secara

makna. Sudah barang tentu matan hadis juga harus mendapatkan

perhatian untuk dikaji ulang.44

Langkah-langkah untuk meneliti matan hadis, ada tiga langkah,

yakni:

a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad hadis

b. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna

c. Meneliti kandungan matan.45

Adapun Kriteria-kriteria dalam kritik kandungan matan adalah

sebagai berikut:46

a. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an

44 Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi…, 26. 45 Ibid…,121-122.

46 Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013),

(45)

34

Jika menemukan sebuah hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an

maka ada dua sudut pandang:

1. Dari sudut wurud

Al-Qur’an seluruhnya adalah Qat}’iyy al-Wuru>d.

sedangkan hadis, kecuali hadis mutawattir adalah z}anniyy

al-Wuru>d. Maka dengan dalil akal bahwa yang z}anniyy

al-Wuru>d harus ditolak jika bertentangan dengan al-Qur’an.

2. Dari sudut dila>lah-nya

Al-Qur’an dan hadis kadang kala z}anniyy al-Wuru>d.

Untuk memastikan keduanya tidak bertentangan maka

keduanya haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan

ta’wil. Jika salah satunya mengandung ta’wil. Selanjutnya

masih mungkin untuk dipadukan, maka diantara keduanya jelas

tidak terjadi pertentangan dan tidak ada alasan untuk menolak

hadis yang bersangkutan semata karena bertentangan dengan

nash al-Qur’an.

b. Tidak bertentangan dengan hadis dan si>rah nabawiyyah

Syarat menolak riwayat karena bertentangan dengan hadis. Jika

hendak menolak hadis marfu’ maka harus terpenuhi dua syarat:

1. Tidak ada kemungkinan memadukan, jika dimungkinkan

(46)

35

perlu menolk salah satunya. Sebagian ulama terkadang lebih

memilih menolak hadis karena sedikit bertentangan dengan

hadis lain, padahal sebetulnya tidak jika dipikirkan

matang-matang.

2. Hadis yang dijadikan untuk menolak hadis lain harus berstatus

mutawattir. Syarat itu ditegaskan oleh Ibnu Hajar di dalam

al-Ifs}a>h} ‘Ala Nukat Ibn al-S}ala>h}, ia mengkritik sikap

al-Jauzaqa>ni> di dalam bukunya al-Ba>t}il yang menilai

mawd}u’ sejumlah riwayat yang bertentangan dengan hadis

yang tidak mutawattir.

c. Tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah47 1. Riwayat yang bertentangan dengan akal

Yang dimaksud adalah akal yang tercerahkan dengan

al-Qur’an dan hadis s}ah}ih}, bukan hanya akal semata.

Sesungguhnya akal saja tidak bisa menghukumi baik dan

buruk.

Disini terdapat ruang yang luas untuk berijtihad bagi para

ulama dan memungkinkan terjadi perbedaan, maka seharusnya

ada klarifikasi dalam syarat-syarat sahnya suatu hadis disisi

periwayatan. Di sisi akal, tidak gegabah menolak hadis-hadis

hanya karena ada syubhat ringan dan tidak mudah menerima

hadis yang tidak s}ah}ih kecuali ta’wil yang mengada-ada,

(47)

36

sehingga akal terkurung dalam kebingungan dan keraguan. Hal

itu karena perkataan Rasul terbebas dari terbelit-belit dan

mengada-ada.

2. Riwayat yang bertentangan dengan indra48

Ada beberapa hadis yang bertentangan dengan kenyataan

yang dapat diraba. Hal ini tidak dapat diragukan lagi

kebatilannya karena bertentangan dengan indra. Tidak

termasuk petunjuk Nabi kalau beliau meminta manusia untuk

menerima apa yang bertentangan dengan panca indra, tapi

bukan berarti apa yang datang dari Rasul itu harus dapat diraba

dengan panca indra. Antara dua masalah ini terdapat perbedaan

yang sangat besar. Jika beliau memberi khabar tentang suatu

perkara yang tidak dapat diraba oleh panca indra, maka wajib

menerimanya. Adapun hadis-hadis yang bertentangan dengan

indra, maka hal itu tidak terjadi

3. Riwayat-riwayat yang bertentangan dengan sejarah

Sejarah yang dimaksud adalah sejarah yang dapat

dipastikan kebenarannya. Hadis yang ditolak adalah

hadis ah}ad yang bertentangan dengan sejarah, karena

hadis-hadis ah}ad itu mempunyai eksistensi yang nisbi, maka tidak

(48)

37

boleh bertentangan dengan sesuatu yang eksistensinya pasti

atau mendekati kepastian.

d. Hadis-hadis yang tidak mirip dengan sabda kenabian

Sulit untuk menentukan mana yang tidak menyerupai perkataan

Nabi, tetapi ada tiga hal yang terpenting yang masuk dalam criteria

tersebut:

1. Hadis-hadis yang mengandung keserampangan

Nabi SAW tidak pernah mengatakan perkataan secara

keserampangan untuk mendatangkan hal-hal yang

menakjubkan. Yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, baik

dalam kata atau makna.49

Ibnu al-Qayyim menyebutkan, ada beberapa hadis palsu

yang dapat diketahui tanpa melihat sanadnya, seperti yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan sanad Marfu’:

Barangsiapa setelah salat maghrib melakukan salat enam

rakaat, tidak berbicara satu katapun diantara keenam rakaat itu

maka baginya ibadah menyamai ibadah selama dua belas tahun.

Ibnu al-Qayyim menyatakan hadis tersebut mengandung

serampangan yang luas, semuanya adalah pendustaan terhadap

(49)

38

Nabi. Sebenarnya, sebagaimana pendapat Ibnu al-Qayyim,

keserampangan-keserampangan itu menunjukkan kepada

pembuatnya atas dua hal, yaitu ia sangat bodoh atau ia seorang

zindiq, yang ingin mengurangi derajat Rasulullah dengan

menisbahkan riwayat-riwayat ini.50 2. Hadis yang mengandung makna rendah

Yang dimaksud rendah adalah rendah maknanya, adapun

rendah dalam kata maka tidak cukup sebagai bukti untuk

menghukumi sebagai hadis palsu, karena mungkin periwayat

meriwayatkan dengan maknanya saja, dan mengungkapkannya

dengan kata-kata rendah dari dirinya, tetapi harus diterangkan

kerendahannya agar tidak dinisbahkan kepada Rasulullah.

3. Hadis yang menyerupai perkataan ulama khalaf

Seorang peneliti akan menemukan riwayat-riwayat yang

dinisbahkan kepada Rasulullah sebagian istilah yaitu

hadis-hadis yang menyerupai perkataan para ahli fiqih, teolog atau

aliran-aliran. Biasanya yang menyebabkan hal itu terjadi

adanya fanatisme terhadap alirannya sehingga mendorong

untuk memalsukan hadis, untuk menopang alirannya dan

menyerang musuhnya.

e. Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan

hadis kepada narasumber

(50)

39

Target analisisnya terkait potensi kehujjahan hadis dalam upaya

merumuskan norma syari’ah. Tujuannya adalah untuk mengetahui

apakah melibatkan peran aktif Nabi atau hanya sebatas praktek

keagamaan sahabat/tabiin, hasil analisisnya menjurus pada: marfu’,

mauquf dan maqtu’.51

Penelitian pada matan berbeda dengan penelitian pada sanad.

Menurut Syuhudi Ismail. Ada beberapa kesulitan dalam penelitian matan

yang disebabkan beberapa faktor:

a. Adanya periwayatan secara makna

b. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam

c. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat

diketahui

d. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang

berdimensi supra rasional

e. Masih langkanya kitab-kitab hadis yang membahas secara khusus

penelitian matan hadis.52

B. Teori Ke-h{ujjah{-an Hadis

Ke-hujjah-an hadis pada hakikatnya adalah pengakuan resmi dari

Alqur’an perihal potensi dalam menunjukkan ketetapan syari’at. Para ulama

sepakat untuk menjadikan sunnah sebagai sumber ajaran islam yang kedua

setelah Alquran terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan sunnah.

(51)

40

Imam Auza’i mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan su

Gambar

Tabel urutan periwayatan:

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa sintesis membran komposit hidroksiapatit tulang sapi-kitosan-poli(vinil alkohol) dengan metode film casting dan penguapan

[r]

Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Kecemasan Mengerjakan Skripsi

Masa sekolah merupakan suatu masa untuk mencapai identitas diri dimana siswa mengeksplorasi diri dengan berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman sebaya, yaitu dengan ikut

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagi para peserta pengadaan penyedia pekerjaan konstruksi tersebut diatas diberikan kesempatan menyampaikan sanggahan (bila

Mitos menurut semiotik Roland Barthes menjelaskan bahwa makna hedonisme memiliki pengertian yang dapat direpresentasikan menjadi suatu aktivitas dan tindakan-tindakan

45 Data yang terkumpul pada setiap kegiatan adalah hasil observasi setiap Siklus dan akan dianalisa secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan kenyataan atau

Pipa HDPE dapat disambungkan dengan cara pemanasan (heat fusion) yang mana sambungan pipa HDPE akan menyatu (bersenyawa) dan mempunyai kekuatan lebih dibandingkan