HADIS TENTANG RAWDAH DALAM SUNAN
AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941
Skripsi:
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
CHOIRUR ROSYIDAH
NIM: E03212005
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
H{ADIS TENTANG
RAWD{AH
DALAM SUNAN
AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu Alqur’an dan tafsir
Oleh:
CHOIRUR ROSYIDAH NIM. E03212005
PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang berlanda tangau di barvah ini saya:
Nama
: Choirur RosviclahNlN,i
: E03212005Jurusan : llmu Alquran dan Taf.sir Dengan
ini
menyatakan bahrva skripsi peirelitiar"'/karyasayil
sendiri. kecualisumbernya.
ini
secara keseluruhan acialah hasilpada bagian-bagian
yang
dii'u-jukCHOIRUR ROSYIDAH
8032 I 2005
Suraba;',a, I I Agustus 2016
I(E}dENTERTAN
AGAMA
UIITVERSITAS
ISI,AM
NtrGERI
SUNAN
AMPEL
ST]RABAYA
PERP'USTA,KAAN
Jl. Jend. A. Yard I 17 Surabay a'50237 felp. 03 l-8 43 1972 Fax.03 l -84 13300 E-Mail : perpus@,uinsby. ac.id.
LEMBAR PERNYATAAN PER.SETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertand, t tt8a , di bawah rni, saya:
Nama NIM
,
Choirur
rosgrdah
Fakultas/Jurusaa,
Fi
tF
/t &f
E-mail address
'
ld.
nwrig ah@
UaUoo - CornDemi peagembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk membetikan kepada Perpustakaan UIN
Sunan Ampel surabaya,
Hak Bebas
Royalti Non-Eksklusif atas karya iltniah :E Sekripsi E Tesis l-l Desertasi El
Lain-laitl (... ... . . .. .) yang berjudul :Hsd
-s k-a-nt"e.m Kcv.d-d -ah
d-ql-qm
S9n$n
-ci-t-:Ii:nnidhr*n-0l
lCIl)beserta peraagkat yang diperlukan
(:ila ada).
Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif iniPetpustakaan
UIN Sr:nao
Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/fornat-kan,mengelolanya dalasr bentuk pangkalan
data
(database), mendistribusikannya, danmenampilkao/mempublikasikannya di Intemet atau media laio secara fiilltextvnttk kepentingan
akademis ranpa pedu meminta
iiin dati
saya selama tetap mencantumkan nalna saya sebagaipenulis/pencipta dan atau penerbit yarg bersangkutan.
Saya bersedia uatuk meflangung secarzpribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan
Ampel Surabaya, segala bentuk tufltutan hukum yang timbul atas pelaf,rggaran Hak Gpta dalam
karyaibuiah sayaini
Demikian pemyatarm
^iy*gsaya
buat dengan sebenamyaSurabaya,P.
lg.tst'.t s
ioib
PenulisSto
(
C\"cic,.ir rc59idgh
fr@fictawgfu tada tag,n: F-oZ:ltoof
PERSETU JUT\ N PEN{ BIN,IEING S KRTPSI
Skripsi oleh Choirur Rosyiclah ini benar-bcnar teiah diperiksa dan disetujui untuk
diujikan
Sur-abava. 1l Agustus 2016
Pcnrbimbing
PENGESAIIAN TINT PENGUJI SKRIPSI
Skripsi olch Chcirur Rosyidah ini teiah rlipeftahankan di deparr
'l'irn Penguji Skripsi
Suratral'a, 15 ggustus 2016 Nlengesahkan
Universitas Islanr Ncgeri Sunan Ampel Fakutrtas Ushuluddirr dait F-ilsaf:rt
tua,
uhid.. M.A
NIP. I 3r002199i031002
NLrP. 101109006 l'cngu ji I,
Prof. Dr. []. TIrinul i\ri1lii.M.Ag
NIP. 1q5032 I 19890i 1001
1 002 i 99303 1 002 Tim Penguji:
Fathoniz
ffi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……….... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ……… iii
PERNYATAAN KEASLIAN ……… iv
MOTTO ………... v
PERSEMBAHAN ……….. vi
ABSTRAK ………. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ……… viii
KATA PENGANTAR ……… x
DAFTAR ISI ……… xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……..………. 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ……… 4
C. Rumusan Masalah ……… 5
D. Tujuan Penelitian ………. 5
E. Kegunaan Penelitian ……… 6
xiii
G. Telaah Pustaka ………. 7
H. Metodologi Penelitian ………. 9
I. Langkah-langkah Penelitian ……… 13
J. Sistematika Pembahasan ……… 14
BAB II: KE-S{AH{IH{-AN HADIS DAN TEORI PEMAKNAANNYA A. Teori Ke-s}ah}ih}-an Hadis ………. 15 1. Kriteria ke-s}ah}ih}-an sanad hadis ……… 17 2. Kriteria ke-s}ah}ih}-an matan hadis ………. 32 B. Teori Ke-h}ujjah-an Hadis ……….. 39
1. Ke-h}ujjah-an hadis s}ah}ih} ………. 41 2. Ke-h}ujjah-an hadis h}asan ………. 45 3. Ke-h}ujjah-an hadis d}a’if ………. 45 C. Teori Pemaknaan Hadis ……… 47
1. Pendekatan dari segi bahasa ……… 48
2. Pendekatan dari segi kandungan makna melalui latar belakang datangnya hadis ……… 54
xiv
BAB III: HADIS RAWD{AH DALAM KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI
NOMOR INDEKS 3941
A. Biografi Imam al-Tirmidhi ………. 62
B. Kitab Sunan al-Tirmidhi ……… 67
C. Hadis tentang Rawd}ah ……….. 72
D. Data Hadis Pendukung ……….. 73
E. Skema Sanad Imam al-Tirmidhi ………. 75
1. Rincian sanad ……… 79
2. Biografi perawi ……… 80
BAB IV: KUALITAS, KE-H{UJJAH-AN SERTA PEMAKNAAN HADIS TENTANG RAWD{AH DALAM SUNAN AL-TIRMIDHI NOMOR INDEKS 3941 A. Kualitas dan Ke-h}ujjah-an Hadis Rawd}ah ………. 104 1. Kualitas sanad ………. 104
2. Kualitas matan ……… 111
3. Ke-h}ujjah-an hadis rawd}ah ……… 112 B. Pemaknaan Hadis Rawd}ah ……….. 112
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 120
ABSTRAK
Choirur Rosyidah, Hadis tentang Rawd}ah dalam Sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk mengkaji kualitas, kehujjahan dan makna hadis-hadis yang membahas tentang rawd}ah.
Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh tempat yang berada di Masjid Nabawi yakni rawd}ah. Definisi rawd}ah ialah nama tempat yang berada di Masjid Nabawi yakni antara makam Rasulullah saw dan mimbar. Tempat tersebut juga diyakini sebagai salah satu sarana untuk terkabulnya do’a. Jadi terkabulnya do’a juga tidak diketahui kapan waktunya dan apakah rawd}ah sendiri bermakna demikian. Maka penulis menemukan hadis tentang rawd}ah.
Untuk itu masalah yang akan diteliti ini berkaitan dengan: 1) Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis rawd}ah dalam sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941. 2) Bagaimana pemaknaan hadis tentang rawd}ah dalam sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan h{adith serta ke-h{ujjah-an hadis rawd}ah. Selain itu untuk mengetahui makna yang dimaksud dari hadis rawd}ah.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan al-Tirmidhi dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan matn. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang rawd}ah yang sesungguhnya.
Kesimpulannya dari penelitian ini yaitu kualitas hadis ini h}asan baik dari segi sanad maupun matan sehingga bisa dijadikan hujjah dan termasuk riwayah bi al-ma’na. Dari penelitian ini ditemukan bahwa makna rawd}ah dalam hadis tersebut ialah dalam konteks hakiki (makna sebenarnya) yang berarti dipahami sebagai taman surga yang sebenarnya, dimana tempat itu akan berpindah ke surga akhirat nanti.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mekkah atau Makkah al-Mukarromah merupakan sebuah kota utama
di Arab Saudi. Kota ini menjadi tujuan utama kaum muslimin untuk menunaikan
ibadah haji. Di kota ini terdapat sebuah bangunan utama yang bernama Masjidil
Haram dengan Ka’bah di dalamnya. Bangunan Ka’bah ini dijadikan patokan arah
kiblat untuk ibadah salat umat islam di seluruh dunia. Kota ini merupakan kota
suci umat islam dan tempat lahirnya Nabi Muhammad saw.1
Masjid Nabawi adalah salah satu masjid terpenting yang terdapat di
Kota Madinah, Arab Saudi karena dibangun oleh Nabi Muhammad dan menjadi
tempat makam dia dan para sahabatnya. Masjid ini merupakan salah satu masjid
yang utama bagi umat muslim setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjidil
Aqsa di Yerussalem. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar ke-2 di dunia
setelah Masjidil Haram di Mekkah.2
Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah
setelah masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrahnya dari Mekkah ke
Madinah. Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah tiba di
Madinah. Pada waktu menaiki unta tunggangannya, beliau menghentikan
perjalanannya. Lokasi itu semua adalah tempat penjemuran buah kurma milik
1 Fathurrahman Wahyu, Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Erlangga, 2010),16. 2 Haekal Husain, Sejarah Hidup Muhammad. Terj (Jakarta: Litera AntarNusa, 1994),
2
anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr yang kemudian dibeli oleh
Rasulullah SAW untuk dibangunkan masjid dan tempat kediamannya.3
Awalnya masjid ini berukuran 50 m x 50 m dengan tinggi atap sekitar
3,5 m. Rasulullah turut ikut membangunnya dengan tangannya sendiri,
bersama-sama dengan para sahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini
terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan
tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka.
Selama Sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari.
Hanya di waktu Isya’, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.
Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman
Nabi. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan
masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang
digunakan sebagai tempat orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki rumah.
Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras
masjid.
Adapun keutamaan Masjid Nabawi dinyatakan oleh Nabi didalam
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal no indeks 16117 sebagaimana sabdanya:
۱٦۱۱٧
َلﺎَﻗ ،ُﺲُﻧﻮُﻳ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
:
َلﺎَﻗ ،ٍﺪْﻳَز َﻦْﺑا ِﲏْﻌَـﻳ ٌدﺎﱠَﲪ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
:
،ُﻢﱢﻠَﻌُﻤْﻟا ٌﺐﻴِﺒَﺣ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ﱡﺰﻟا ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٍءﺎَﻄَﻋ ْﻦَﻋ
َلﺎَﻗ ،ِْﲑَـﺑ
:
َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
:
»
ِﰲ ٌة َﻼَﺻ
ٌة َﻼَﺻَو ،َماَﺮَْﳊا َﺪِﺠْﺴَﻤْﻟا ﱠﻻِإ ،ِﺪِﺟﺎَﺴَﻤْﻟا َﻦِﻣ ُﻩاَﻮِﺳ ﺎَﻤﻴِﻓ ٍة َﻼَﺻ ِﻒْﻟَأ ْﻦِﻣ ُﻞَﻀْﻓَأ اَﺬَﻫ يِﺪِﺠْﺴَﻣ
َﻼَﺻ ِﺔَﺋﺎِﻣ ْﻦِﻣ ُﻞَﻀْﻓَأ ِماَﺮَْﳊا ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟا ِﰲ
اَﺬَﻫ ِﰲ ٍة
«
“Diceritakan kepadaku Yunus, berkata: diceritakan kepadaku Hammad yakni ibn Zaid, berkata: diceritakan kepadaku Habib al-Mu’allim dari atha’ dari Abdillah bin Zubair, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Salat di masjidku (Masjid
3
Nabawi) lebih baik dari 1000 salat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram. Salat di Masjidil Haram lebih baik dari 100.000 salat di masjid lainnya.4
Di dalam Masjid Nabawi terdapat rawd}ah yaitu antara makam
Rasulullah dan mimbar.
Rawd{ah adalah nama tempat yang ada di dalam masjid Nabawi yaitu
antara makam Rasulullah dan mimbar, luasnya sekitar 144 M2 yang sekarang
ditandai dengan pilar-pilar berwarna putih, lantainya dihiasi permadani wol yang
cantik dan unik. Rawd{ah juga disebut taman surga. Doa-doa yang dipanjatkan
dari rawd}ah ini diyakini akan dikabulkan oleh Allah. Berdasarkan hadis beliau
Rasulullah SAW, Nabi bersabda:
َِﲤ ِﻦْﺑ ِدﺎﱠﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٍﺮْﻜَﺑ ِﰊَأ ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٌﻚِﻟﺎَﻣ ﺎَﻧَﺮَـﺒْﺧَأ ،َﻒُﺳﻮُﻳ ُﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ُﺪْﺒَﻋ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
،ٍﻢﻴ
ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا َﻲِﺿَر ﱢِﱐِزﺎَﳌا ٍﺪْﻳَز ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ
:
َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﱠنَأ
:
»
ﺎَﻣ
ِﺔﱠﻨَﳉا ِضﺎَﻳِر ْﻦِﻣ ٌﺔَﺿْوَر يَِﱪْﻨِﻣَو ِﱵْﻴَـﺑ َْﲔَـﺑ
«
“Diceritakan kepadaku Abdullah bin Yusuf, dikhabarkan kepadaku Malik dari Abdillah bin Abi Bakar dari ‘Abbad bin tamimi dari Abdillah bin Zaid al-Maziniy RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: (Tempat yang terletak diantara rumahku dengan mimbarku merupakan suatu taman diantara taman-taman surga). (HR. Bukhari).5
Luas rawd{ah adalah 22 m x 15 m yakni jarak antara rumah Nabi dan
mimbarnya kurang lebih 22 meter dan panjang ke belakang kurang lebih 15 meter.
Salat sunnah di rawd{ah lebih utama dibandingkan salat yang dilaksanakan di
tempat lain, kecuali salat fardhu. Salat fardhu lebih utama dilaksanakan di barisan
pertama walaupun tidak berada dalam rawd{ah. Para pengunjung masjid Nabawi
berusaha untuk dapat melaksanakan salat sunnah di rawd{ah. Ibnu al-Qasim
4Ah}mad bin H{anbal, Musnad Ah}mad bin H{anbal, juz. 26 (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1999), 41-42.
5 Abi Abdillah Muh}ammad bin Ismail Al-Bukhari, S{ah}ih} al-Bukhari (Riyadh: Bait
4
berkata “Tempat salat yang paling di sukai di masjid nabawi adalah di rawd{ah
dan tempat yang paling disukai sebagai salat fardhu adalah shaf pertama.” Jadi
benar makam Rasulullah di kamar Aisyah ra, tetapi kamar Aisyah tidak termasuk
area rawd{ah.
Dalam permasalahannya itu di rawd{ah itu bermakna taman surga atau
sebaliknya. Dan rawd{ah dalam kamus berarti padang rumput dan apakah yang
dimaksud hadis tersebut padang rumput seperti pada umumnya atau lainnya.
Alasan penulis memakai judul tersebut ialah karena ingin mengetahui
lebih dalam apakah yang dimaksud rawd{ah itu yang berada di Masjid Nabawi dan
sebagai tempat terkabulnya do’a atau sebaliknya. Dan adapun alasan mengambil
dari kitab Sunan al-Tirmidhi ialah karena selain ada di kitab S{ah}ih} Bukhari dan
S{ah}ih} Muslim yakni berada di kitab tersebut. Untuk menjawab permasalahan
tersebut maka akan dijelaskan lebih rinci untuk selanjutnya.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Setelah dipaparkan latar belakang diatas agar tidak terjadi pelebaran
pembahasan maka perlu adanya batasan masalah. Adapun identifikasi masalah
adalah memerinci masalah sehingga dapat diketahui dengan jelas.6 Dijelaskan
lebih rinci, sebagai berikut:
1. Hadis tentang rawd}ah
2. Kualitas hadis tentang rawd}ah
3. Kehujjahan hadis tentang rawd}ah
6 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011),
5
4. Pemaknaan hadis tentang rawd}ah
Dari identifikasi diatas, agar pembahasaannya diatas tidak melebar dan
bahasannya lebih spesifik dan komprehensif hadis tentang rawd{ah, permasalahan
hanya dibatasi tentang pemaknaan hadis tentang makna rawd}ah dalam hadis
tersebut serta perbedaan pendapat mengenai kualitas hadis tersebut disertai
pendapat para ulama.
C. Rumusan Masalah
Dari rangkaian penjelasan yang dikemukakan diatas maka penelitian
ini difokuskan pada pencarian makna rawd}ah dalam hadis. Disampaikan
menyajikan tentang perbedaan pendapat diantara para ulama serta kehujjahan
hadis tersebut. Untuk lebih jelasnya, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis rawd{ah?
2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang rawd{ah?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang valid mengenai
hadis-hadis maka dilakukan dengan tujuan yang disesuaikan dengan rumusan
masalah diatas, yaitu:
1. Untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis rawd{ah?
2. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang rawd{ah?
6
Dengan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, maka
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak antara
lain:
1. Secara teoritis
Dapat dijadikan kegiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya sehubungan dengan rawd}ah, Dapat dijadikan bahan referensi bagi
penelitian yang sejenis di masa yang akan datang.
2. Secara aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan penulis sendiri.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam
pengembangan fakultas ushuluddin kedepan.
3. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dan pedoman yang layak dalam
kehidupan bila dikaitkan dengan fenomena religi. Khususnya bermanfaat bagi
khazanah intelektual islam, dapat mempelajari ma’ani al-hadith. Bagi penulis
penelitian ini berguna untuk memperoleh gelar sarjana Theologi Islam strata 1
dan ilmu-ilmu dari fakultas Ushuluddin.
F. Penegasan judul
Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahami judul penelitian dan
untuk mempertegas penafsiran terhadap pokok pembahasan penelitian hadis
tentang “rawd{ah” ini, maka perlu dijelaskan istilah yang terangkai dalam judul
7
Hadis : Riwayat yang bertalian dengan sabda dan perilaku Nabi Muhammad
saw dan perbuatannya.7 Secara bahasa berarti baru. Secara istilah
berarti apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik berupa ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah), ketetapan
(Taqririyah) dan sifat beliau.8
Rawd{ah : Padang rumput9, dalam kajian ini berarti nama tempat yang ada
didalam Masjid Nabawi yaitu antara makam Rasulullah SAW dan
mimbar
Maksud dari judul penelitian ini adalah penulis mencoba memberi
makna yang tepat pada kata rawd}ah dalam hadis yang terdapat dalam kitab
Sunan al-Tirmidhi nomor indeks 3941.
G. Telaah Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi
dengan skripsi lain, maka penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan
kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Selama penulis teliti belum ada yang membahas judul yang penulis
sampaikan diatas dan dalam UIN sunan ampel Surabaya belum ada skripsi yang
membahas. Adapun kemiripan karya tulis tersebut terdapat di Universitas lain.
7 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia terbaru (Surabaya: Amelia, 2003),
163.
8 Mahmud al-T}aha>n, Taisir Musthalah Hadis (Surabaya: al-Hidayah, t.t), 15
9 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
8
1. Skripsi oleh Shihhah Tsaniyah yang berjudul “Anak-Anak di Surga Dalam
al-Qur’a>n (Wilda>nun, Gilma>nun): Kajian Tematik”. Fakultas Ushuluddin
dan Pemikian Islam. Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2015
Skripsi tersebut membahas tentang konsep anak-anak di surga dalam
al-Qur’a>n
2. Skripsi oleh Zunaidi Nur yang berjudul “Konsep al-Jannah Dalam al-Qur’a>n
(Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu)”. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam. Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tahun 2014.
Skripsi tersebut membahas tentang metode semantik al-Qur’a>n Toshihiko
Izutsu, perkembangan makna kata al-Jannah ditinjau dari sisi Diakronik,
makna dasar dan makna relasional kata al-Jannah dalam al-Qur’a>n
3. Skripsi oleh Muhammad Aswar yang berjudul “Enkulturasi al-Qur’a>n
(Telaah Ayat-ayat tentang Surga)”. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun 2014.
Skripsi tersebut membahas tentang keterpaduan konsep surga arab pra-islam
dengan al-Qur’a>n, pola resiprokal al-Qur’a>n dengan sosio-kultur arab
dalam menyampaikan gagasan tentang surga dan implikasi kultural dari
enkulturasi al-Qur’a>n dalam ayat-ayat tentang surga.
9
Sebuah penelitian ilmiah wajib adanya metode tertentu untuk
menjelaskan objek yang menjadi kajian agar mendapatkan hasil yang tepat sesuai
rumusan masalahnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi gerak dan
batasan dalam pembahasan ini agar tepat sasaran. Secara terperinci metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kepustakaan (library
research) yakni mencari serta meneliti suatu hadis dari kitab-kitab induk
kemudian dikaji menggunakan kaidah ilmu hadith.
Selain menggunakan model kepustakaan, penelitian ini bersifat
kualitatif untuk mendeskripsikan kualitas matan hadith beserta sanadnya. Hal
ini bisa diketahui dengan cara meneliti kitab induk, yakni kitab Sunan
al-Tirmidhi dan kitab-kitab yang terkait. Sehingga dapat menentukan posisi hadis
yang diriwayatkan Imam al-Tirmidhi dalam kitab Sunan al-Tirmidhi nomor
indeks 3941.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu data yang terkumpul
kemudian diuraikan secara obyektif kemudian di analisis secara konseptual
dengan menggunakan metode ma’ani al-hadis yakni ilmu yang membahas
tentang pemaknaan baik menggunakan kaidah majaz ataupun hakiki.
3. Sumber Data Penelitian
Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis Al-Mu’jam Al-Mufahras Li
10
dibantu penelusuran hadis melalui software Maktabah Syamila dengan
menggunakan penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran lewat
kata awal, tengah atau akhir dalam matan hadis. Dan data yang digunakan
dalam penelitian ini ada dua macam yaitu data primer dan sekunder.
Pertama, Data primer adalah sumber data yang berfungsi sebagai
sumber asli yakni dalam penelitian ini menggunakan kitab sunan al-tirmidhi
karya Imam al-Tirmidhi beeserta sharah}nya yakni kitab tuh}fatul ah}wadhy
karya Abu al-‘Ula Muh}ammad Abdurrahman.
Kedua, Data sekunder adalah sumber data yang melengkapi atau
mendukung data primer, yakni berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan
pokok permasalahan tersebut. Data-data tersebut ialah sebagai berikut:
a. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alf<a}zi al-H{adi<s al-Nabawy, karya Arnold
John Wensink
b. Tahdhi>b al-Tahdhi>b, karya Shiha>b al-Di>n Ah}mad bin ‘Ali bin
Hajar al-‘Asqalany
c. Taisir Must}alah al-H}adith, karya Mah}mud al-T{aha>n
d. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Jamaluddin Abi al-H{ajjaj
Yusuf al-Mizzi
e. Al-Thiqat, karya Abi H{a>tim Muh}ammad bin H{ibba>n bin Ah}mad
al-Tamimi al-Basti
11
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah
dan lainnya.
Dalam penelitian hadis, penerapan metode ini dilakukan dengan 2
teknik pengumpulan data, yaitu: takhrij al-hadith dan i’tibar al-hadith.
a. Takhrij al-hadith
Takhrij al-hadith dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menunjukkan
tempat hadis pada kitab-kitab sumber aslinya.10 Maka takhrij al-hadith
merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan
kualitas suatu hadis.
b. I’tibar
I’tibar dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk
suatu hadis tertentu, pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang
periwayat saja.dengan menyertai sanad lain akan Nampak seluruh jalur
sanad dari hadis yang diteliti.11 Kegunaan I’tibar disini adalah untuk
mengetahui ada atau tidak adanya pendukung baik itu yang berstatus
Tawa>bi’ atau Shawa>hid.12
c. Kritik sanad
Kritik sanad adalah meneliti rangkaian rawi yang telah meriwayatkan
hadis dari rawi pertama hingga rawi terakhir. Hadis tersebut bisa dikatakan
10 Mahmud al-T{ahhan, Metode Takhrij al-Hadith dan Penelitian Sanad Hadis, terj.
Ridwan Nasir (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 4.
12
s}ah}ih} apabila para rawi memiliki lima kriteria yakni muttasil, ‘adil,
dabit, terhindar dari shad dan ‘illat.
d. Kritik matan
Sanad hadis yang belum s}ah}ih} belum tentu matan hadis tersebut
s}ah}ih} maka dari itu perlu adanya penelitian terhadap sebuah matan.
Untuk kesahihan matan perlu adanya kriteria, sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2) Tidak bertentangan dengan hadis dan si>rah nabawiyyah
3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah
4) Hadis-hadis tidak mirip dengan sabda kenabian13
5. Metode Analisis Data
Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui
penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua
komponen, yakni sanad dan matan maka analisis data hadis akan meliputi dua
komponen tersebut. Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad
dengan pendekatan keilmuan rijal al-h}adith dan al-jarh} wa al-ta’dil, serta
mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut
(tahammul wa al-ada’).14 Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan
tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka
selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.
13 Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013),
86.
14 M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005),
13
Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas
matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan
eksplisit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis
lain yang yang bermutu s}ah}ih} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum
diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.
Dalam hadis yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan hadis yang
digunakan untuk analisis isi adalah pendekatan dari segi bahasa yang
digunakan untuk membedakan makna hakiki dan makna majazi dalam suatu
hadis.
I. Langkah-langkah Penelitian
Data yang disajikan dalam penelitian ini didapat dari proses penelitian
kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari berbagai macam
literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Dengan menggunakan metode ma’ani al-hadith maka penulis akan
membahas hadis yang menjelaskan makna hadis tersebut menggunakan metode
ma’ani al-hadith yakni ilmu yang membahas tentang pemaknaan baik
menggunakan kaidah majaz ataupun hakiki.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis ini
seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, pemaknaan kata dengan
menggunakan kaidah ma’ani al-hadith untuk mendapatkan hakikat makna
14
J. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulisan ini
disusun atas lima bab, sebagai berikut:
BAB I berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, penegasan judul, alasan memilih judul, tujuan
penelitian, metodologi penelitian lalu dilanjutkan dengan sistematika pembahasan
BAB II berisi tentang teori keshahihan hadis, teori kehujjahan hadis,
teori pemaknaan hadis dan pengertian rawd{ah
BAB III berisi pembahasan tentang hadis rawd{ah dalam Sunan
Tirmidhi no indeks 3941 meliputi biografi Imam Tirmidhi, kitab Sunan
al-Tirmidhi, hadis tentang rawd{ah, data hadis pendukung, skema sanad Imam
al-Tirmidhi, penjelasan hadis rawd{ah
BAB IV berisi tentang analisis terhadap makna rawd{ah dalam hadis
Sunan al-Tirmidhi no indeks 3941 kualitas sanad dan matan hadis, kehujjahan
hadis rawd{ah, pemaknaan hadis rawd{ah
BAB II
KE-
S{AH{IH
{-AN HADIS DAN TEORI PEMAKNAANNYA
A. Teori Ke-s}ah{i>h{-an Hadis
Mah{mu>d T{ah}a>n dalam kitab Mus}t}ala>h}-nya menjelaskan
bahwa s}a}hi>h} menurut bahasa adalah adalah lawan kata dari saqi>m
(sakit) artinya sehat. Arti s}a}hi>h demikian menjadi makna hakikat jika
untuk badan dan menjadi makna maja>z untuk kata hadis yang lainnya.1 Menurut Subhi al-Salih, Secara terminologis hadis s}ah{i>h}} adalah
hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
d}a>bit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir
berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung sha>dh (kejanggalan)
ataupun ‘illat (cacat).2
Ibn Al-S}alah membuat sebuah definisi mengenai hadis sahih yang
disepakati oleh para muhaddisin. Ia berpendapat sebagaimana yang dikutip
oleh Ajja>j al-Khatti>b:
َأ ﱠﻣﺎ
َْﳊا
ِﺪ ْﻳ
ُﺚ
ﱠﺼﻟا
ِﺤ
ْﻴ ُﺢ
:
َـﻓ ُﻬ
َﻮ
َْﳊا
ِﺪ ْﻳ
ُﺚ
ْﻟا
ُﻤ
ْﺴ َﻨ
ُﺪ
ﱠﻟا
ِﺬ
َـﻳ ي
ﱠﺘ
ِﺼ
ُﻞ ِإ
ْﺳ َﻨ
ُدﺎ ُﻩ
ِﺑ َـﻨ
ْﻘ ِﻞ
ْﻟا
َﻌ ْﺪ
ِل
ﻟا
ﱠﻀ
ِﺑﺎ
ِﻂ
ِإ
َﱃ
ُﻣ ْﻨ َـﺘ
َﻬ ُﻩﺎ
َو ،
َﻻ
اًذﺎَﺷ ُنْﻮُﻜَﻳ
َو
َﻻ
ُﻣ َﻌ ﱠﻠ
ًﻼ
1 Mah{mu>d T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah} al-H{adi>s (t.k: Markaz Madi> li
al-Dira>sa>t, 1405 H), 30
16
Adapun hadis s}ah{i>h ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan d{a>bit> sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (‘illat).3
Sedangkan menurut Ahmad Umar Hasyim mendefinisikan hadis sahih
ialah:
،ُﻩﺎَﻬَـﺘْﻨُﻣ َﱃِإ ِدﺎَﻨﱠﺴﻟا ِلﱠوَأ ْﻦِﻣ ِﻂِﺑﺎﱠﻀﻟا ِلْﺪَﻌْﻟا ِﻦَﻋ ِﻂِﺑﺎﱠﻀﻟا ِلْﺪَﻌْﻟا ِﻞْﻘَـﻨِﺑ ُﻩُﺪَﻨَﺳ ُﻞِﺼﱠﺗا ﺎَﻣ َﻮُﻫ
اًذﺎَﺷ ُنْﻮُﻜَﻳَﻻَو
َو
َﻻ
ُﻣ َﻌ ﱠﻠ
ًﻼ
Yaitu hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan d{a>bit dari awal sanad sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (‘illat).4
Dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Shalah, dapat
dirumuskan bahwa kesahihan hadis dengan 3 kriteria, yaitu:
1. Sanad hadis yang diteliti harus bersambung mulai dari mukharrij
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘adil dan d{a>bit>}
3. Hadis tersebut, baik sanad maupun matannya harus terhindar dari
kejanggalan (sha>dh) dan kecacatan (‘illat).
Ibnu Al-Shalah berpendapat bahwa:
Syarat hadis s}ah}ih} seperti tersebut diatas telah disepakati oleh para muhaddisin.
Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang ke-s}ah}ih}-an suatu hadis
bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya
perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut
3 Muhammad Ajja>j al-Khatti>b, Ushu>l-H{adi>th ter. Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), 304.
4 Ah}mad ‘Umar Hasyim, Qawaid Ushu>l-H{adi>th (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby,
17
atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat
tersebut.5
Abi Az-Zinad mensyaratkan bagi hadis sahih bahwa:
hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan
menyampaikan hadis. Ibnu As-Sam’any juga mengatakan, bahwa hadis sahih
itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang thiqah (‘adil dan
d{a>bit}) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar
apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat
ingatannya.6
Sebuah hadis bisa dikatakan sahih tidak hanya dari segi sanadnya saja
tetapi juga dari segi matan. Hadis yang sanadnya sahih belum tentu matannya
juga s}ah}ih maka kedua-duanya harus diteliti. Oleh karenanya kriteria
kesahihan hadis dibagi menjadi dua, yakni sahih dari segi sanad dan s}ah}ih
dari segi matan. Keduanya memiliki persyaratan tersendiri. Jadi, sebuah hadis
disebut s}ah}ih jika sanad dan matannya sama-sama berkualitas s}ah}ih}.
1. Kriteria ke-s}ah}ih}-an sanad hadis
Menurut bahasa, sanad bermakna sandaran, tempat kita bersandar.
Ada juga yang mendefinisikan sanad sebagai sejarah perjalanan matan.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, sanad adalah jalan yang
18
menyampaikan kepada matan hadis.7 Al-Badru bin Jama’ah al-T{ibi mengatakan bahwa sanad adalah:
ِْﱳَﻤْﻟا ِﻖْﻳِﺮَﻃ ْﻦَﻋ ُرﺎَﺒْﺧِْﻹا
Berita tentang jalan matan.8
Ada juga yang menyebutkan:
ِلﱠوَْﻷا ِرَﺪْﺼَﻣ ْﻦَﻋ َِﱳَﻤْﻟا ْﻮُﻠَﻘَـﻧ َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ِةاَوﱡﺮﻟا ُﺔَﻠِﺴْﻠِﺳ
Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.9
Secara etimologi isnad adalah menyandarkan. Sementara dalam
istilah ilmu hadis bahwa isnad adalah menerangkan sanad hadis atau jalan
menerima hadis. Orang yang menerangkan sanad hadis disebut musnid.
Sedangkan hadis yang disebut dengan menerangkan sanad-nya hingga
sampai kepada Rasulullah disebut musnad.10
Dapat dikatakan bahwa perangkat metodologis kritik sanad hadis
yang dirumuskan oleh para ulama tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi
melalui proses yang panjang dan rumit. Pada tahap yang paling awal,
langkah kritik sanad masih dalam bentuk sederhana dan belum ada kaidah
yang baku. Dalam kurun waktu seratus tahun pertama,
periwayat-periwayat hadis tampaknya masih didominasi oleh para sahabat dan tabiin
senior yang ke-thiqah-annya dapat diandalkan. Sehingga tidak heran jika
7 Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis ‘Teori dan Metodologi’
(Yogyakarta: Diva Press, 2015), 243.
8 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 45. 9 Ibid., 46.
10M Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan
19
kritik hadis masih dilakukan secara terbatas pada satu dua orang yang
bermasalah.11
Para ulama hadis mengemukakan beberapa kriteria ke-s}ah}ih}-an
hadis dari segi sanad, yakni sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung (Ittisha>l al-Sanad)
Ittis}a>l al-Sanad yang dimaksud ialah bahwa setiap perawi
yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada
diatasnya dan juga sebaliknya sampai kepada pembicara yang
pertama.12 Perawi tersebut bertemu dan menerima periwayatan dari gurunya baik secara langsung13 atau secara hukum karena dalam hal pertemuan atau persambungan sanad para rawi ulama biasa
menggunakan istilah tersebut.14
Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua
macam lambang yang digunakan oleh periwayat, sebagai berikut:
1) Pertemuan secara langsung (mubasyarah) yakni seseorang bertatap
muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.
Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang
dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti
11 Saifuddin, Tadwin Hadis: Kontribusinya dalam Perkembangan Historiografi Islam
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 290.
12 Mah{mud T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah} al-H{adi>s (Surabaya: Toko Kitab Hidayah,
1985), 34.
13 Seorang murid bertatap muka secara langsung dengan sang guru yang menyampaikan
hadis. Maka ia akan mendengar langsung atau melihat langsung apa yang telah dilakukan gurunya. Pertemuan langsung seperti ini biasanya dilambangkan dengan lafaz ،ﲏﺛﺪﺣ ،ﺖﻌﲰ ﺎﻧﱪﺧأ ،ﱐﱪﺧأ ،ﺎﻨﺛﺪﺣ
20
diatas pada umumnya menggunakan lambang ungkapan:
ُﺖْﻌَِﲰ
(aku mendengar),
ﺎَﻧَﺮَـﺒْﺧَأ /
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ /
ْ ِﱐَﺮَـﺒْﺧَأ / ِْﲏَﺛﱠﺪَﺣ
(memberitakankepadaku/kami),
ﺎًﻧَﻼُﻓ ُﺖْﻳَأَر
(aku melihat fulan).2) Pertemuan secara hukum (hukmi) yakni seseorang meriwayatkan
hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata
yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
َﻞَﻌَـﻓ
ٌنَﻼُﻓ / ٍنَﻼُﻓ ْﻦَﻋ / ٌنَﻼُﻓ َلﺎَﻗ
( si Fulan…/dari si Fulan/si Fulanmelakukan seperti ini.15
Para ahli hadis menjelaskan beberapa langkah untuk
mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad seperti penjelasan
berikut:
1) Mencatat semua nawa perawi dalam sanad yang diteliti.
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
3) Mempelajari s}i>ghat tah}ammul wa al-ada>’, yakni bentuk lafaz
ketika menerima atau mengajarkan hadis.16 4) Meneliti guru dan murid.17
Suatu sanad bisa dikatakan muttas}il (bersambung) apabila:
15 Ibid.,
16 Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
143.
17 M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja
21
1) Seluruh rawi dalam sanad tersebut berstatus thiqah (‘a>dil dan
d}a>bit})
2) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekat sebelumnya dalam
sanad tersebut telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah
menurut ketentuan.
Maksud dari penjelasan diatas adalah ketersambungan atau
tidaknya para rawi bisa diketahui dengan 2 teknik, yaitu:
1) Harus mengetahui bahwa orang yang diterima periwayatannya
wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk
mengetahuinya, maka harus mengetahui biografinya terlebih
dahulu melalui kitab rija>l al-h}adi>th atau tawa>ri>kh al-ruwah
terutama dari tahun wafat dan lahirnya.
2) Kemudian harus diketahui pula keterangan imam hadis tentang
bertemu atau tidaknya seorang perawi, mendengar atau tidak
mendengar, melihat orang yang menyampaikan riwayat atau tidak
melihat karena keterangan tersebut akan menjadi saksi kuat untuk
memperjelas keberadaan sanad.18 b. Keadilan para perawi (‘Adalah Ar-Ruwah)
Adil dalam bahasa artinya seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang
yang adil adalah:
ِةَءْوُﺮُﻤْﻟا ِمِراَﻮَﺧَو ِﻖْﺴِﻔْﻟا َﻦِﻣ َﻢِﻠَﺳَو ُﻪُﻘُﻠُﺧ َﻦُﺴَﺣَو ُﻪُﻨْـﻳِد َمﺎَﻘَـﺘْﺳا ِﻦَﻣ
22
“Adil artinya orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muru’ah”
Istiqamah dalam beragama artinya orang tersebut konsisten
dalam beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala
dosa yang menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama
(al-Khuruj ‘an ath-Tha’ah), mempermudah dosa besar atau
melanggengkan dosa kecil. Adapun menjaga muru’ah artinya menjaga
kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan
akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut
umum dan tradisi.19
Keadilan seorang perawi, menurut Ibnu Al-Sam’any harus
memenuhi empat syarat, sebagai berikut:
1) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
2) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan
santun.
3) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
4) Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan
dengan syara’.
Penjelasan diatas dapat mencakup pengertian bahwa dalam
sifat adil terdapat beberapa unsur, sebagai berikut:
1) Para rawi harus islam. Riwayat yang datangnya dari orang kafir
tidak diterima karena dianggap tidak dipercaya. Syuhudi Ismail
23
memberikan penjelasan bahwa dalam syarat islam ini bahwa hanya
berlaku bagi orang yang meriwayatkan dan tidak disyaratkan islam
bagi orang yang menerima riwayat. Tidak masalah jika rawi
tersebut belum beragama islam ketika menerima riwayat asalkan
islam ketika menyampaikan riwayat.20
2) Mukallaf. Menurut pendapat al-asahh periwayatan anak yang
belum dewasa tidak bisa diterima karena belum terjamin dari
kedustaan. Demikian pula halnya periwayatan orang gila.21 Syarat mukallaf hanya berlaku bagi orang yang meriwayatkan sedangkan
penerima tidak wajib mukallaf tetapi harus mumayyiz asalkan
ketika menyampaikan riwayat harus sudah mukallaf.22
3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasiq dan
sebab-sebab yang dapat mencacatkan kepribadian seseorang.
Seorang periwayat hadis tidak boleh melakukan hal-hal yang
melanggar peraturan agama dan kebiasaan (adat istiadat yang
berlaku).
Dalam menilai keadilan tidak mengharuskan peneliti mengetahui
secara langsung. Hal ini akan menjadi sulit kecuali bagi orang yang hidup
sezaman dengan para rawi. Oleh karenanya, peran ulama kritikus menjadi
20 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
113-118.
21 Rahman, Ikhtisar Must}alahul…, 120.
22 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
24
sangat penting.23 Dalam menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah satu teknik, sebagai berikut:
1) Keterangan seorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seseorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab-kitab al-jarh} wa al-ta’dil.
2) Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti imam empat,
yaitu: Hanafi, Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbali.24 c. Para perawi bersifat d}a>bit} (d}a>bt} Al-ruwah)
D{a>bit} berasal dari kata d{abat}a artinya kuat. Dalam
terminologi ilmu hadis, terdapat berbagai rumusan definisi d}a>bit yang
dimajukan oleh para ulama. Di antaranya dikemukakan oleh al-Sarkhasi25 bahwa d}a>bt} mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan
kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis,
mampu memahami secara mendalam makna yang dikandungnya, menjaga
dan menghafalnya semaksimal mungkin hingga pada waktu penyebaran
dan periwayatan hadis yang didengarnya tersebut kepada orang lain, yakni
hingga proses penyampaian hadis tersebut kepada orang lain (ada’
al-hadis). 26
Dengan demikian dituntut adanya konsistensi mulai dari proses
tahammul hingga proses ada’-nya. Artinya bahwa hadis yang disebarkan
23 Khon, Ulumul Hadis…, 170.
24At-T{ah}a>n, Taisir Must}a>lah…, 121-122.
25 Nama lengkap al-Sarkhasi> adalah Muh}ammad bin Ah}mad bin Sahal Abu> Bakar,
yang kemudian terkenal dengan sebutan al-Sarkhasi> (w. 483 H). Dia adalah seorang ulama dari kalangan Ah}naf, seorang Mujtahid, ulama Ushu>l dari Sharkhas dari masa kekuasaan Ibn Kemal Pasha.
25
itu sama persis namun tidak harus secara redaksional dengan hadis yang
diterimanya dahulu. ‘Ajjaj al-Khatib menyajikan formulasi d}a>bt} ini
sebagai intensitas intelektual seorang rawi tatkala menerima hadis dan
memahaminya sebagaimana yang didengarnya, selalu menjaganya hingga
saat periwayatannya, yakni hafal dengan sempurna jika ia
meriwayatkannya berdasarkan hafalannya, paham dengan baik makna
yang dikandungnya, hafal benar terhadap tulisannya, dan paham betul
akan kemungkinan adanya perubahan (tah}ri>f), penggantian (tabdi>l)
maupun pengurangan (tanqi>s}) jika ia meriwayatkan hadis tersebut
berdasarkan tulisannya. Dengan model pengetatan periwayatan hadis
semacam ini, maka akan dapat menjaganya dan terjadinya lupa dan
kesalahan.27 Maka ia harus menjaganya dan menyampaikannya dengan baik seperti ketika menerimanya. Sifat ini hanya bisa dimiliki oleh orang
yang diberi ketetapan hati dan kesucian hati sebagaimana para imam hadis
yang diberi gelar al-h}a>fiz}.28
Sifat d}a>bit ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) D{a>bit} fi> al-s}udu>r artinya memiliki daya ingat dan hafalan
yang kuat sejak ia menerima hadis dari seorang syaikh atau
seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya
kepada orang lain atau ia memiliki kemampuan untuk
menyampaikannya kapan saja periwayatan itu diperlukan.
27 Ibid.,
26
2) D{a>bit} fi> al-s}ut}u>r artinya tulisan hadisnya sejak mendengar
dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian dan
kekurangan sejak menerimanya sampai ia menyampaikan hadis
tersebut. Maksudnya tidak ada kesalahan dalam tulisan hadis yang
diriwayatkan, sama seperti pertama kali ia mendapatkan.29
Apabila seorang perawi memiliki daya ingat yang kuat sejak
menerima hadis sampai ia menyampaikannya kepada orang lain dan
ingatannya siap dikeluarkan kapan saja dan dimanapun dikehendaki, maka
ia disebut d}a>bit} fi> al-s}udu>r. apabila periwayatannya berdasarkan
pada buku catatannya maka ia disebut d}a>bit} fi> s}ut}u>r /
al-kita>b.
Ibn al-Athir al-Jazari mengemukakan klasifikasi lain tentang
d}a>bit} z}ahir dan d}a>bit ba>t}in. d}a>bit z}ahir diartikan sebagai
kemampuan intelektual seorang perawi dilihat dari sisi makna kebahasaan,
sedangkan d}a>bit} ba>t}in diartikan sebagai kemampuan intelektual
seorang perawi dalam mengungkap hukum syara’ yang dikandung oleh
sebuah teks hadis yang diriwayatkannya, yakni berupa fiqih. Namun
demikian, lanjut al-Jazari yang dimaksud dengan d}a>bit} dalam ilmu
hadis menurut pendapat mayoritas ulama adalah d}a>bit} z}ahir.30
Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk
mengetahui ked}a>bitan seorang perawi. Ibn al-S}alah} mengatakan
bahwa:
27
ked}a>bitan seorang perawi hadis dapat diketahui dengan cara
mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah perawi
yang thiqah dan telah terkenal ked}a>bitannya. Jika riwayat seorang
perawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah perawi lain,
meski secara makna, maka riwayatnya dapat dijadikan sebagai dalil
keagamaan, namun bila menyalahi maka hal itu dapat dijadikan
indikasi bahwa seorang perawi tersebut tidak d}a>bit dan oleh
karenanya riwayatnya tertolak untuk dijadikan hujjah.31
Mengenai hal ini, Syuhudi Isma’il mengajukan pendapatnya
bahwa:
ked}a>bitan seorang perawi dapat diketahui melalui beberapa jalan: pertama,
kesaksian para ulama dan popularitasnya di mata para muhaddisin.
Kedua, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan
oleh perawi lain yang telah dikenal ked}a>bit}annya. Kesesuaian
dimaksud boleh jadi hanya secara maknawi atau mungkin hingga
secara redaksional. Ketiga, apabila seorang perawi sesekali
mengalami kekeliruan, maka klaim d}a>bit} masih layak dipakaikan
padanya, namun apabila kekeliruan dimaksud sering terjadi, maka
klaim d}a>bit} yang disandangnya “tanggal” dengan sendirinya.32
Ada dua term yang biasa digunakan menyangkut d}a>bit}, yang
kemudian melambangkan tipologinya, yakni d}a>bt} (d}a>bit} biasa) dan
ta>mm al-d}a>bt} (d}a>bit} sempurna). Kedua bentuk ked}a>bit}an
tersebut jika dinilai bobot kualifikasinya maka d}a>bt} ta>mm itulah yang
28
lebih bisa dijadikan jaminan bahwa kes}ah}ih}an hadis yang bersangkutan
lebih unggul dibandingkan d}a>bit} biasa seperti bentuk pertama.
Lebih-lebih jika periwayatan hadis dilakukan secara makna, maka adanya
kedalaman pemahaman hadis bagi seorang perawi merupakan sebuah
kemutlakan.33
Adapun cara penetapan ked}a>bit}an seorang periwayat, menurut
berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. ked}a>bit}an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian
ulama
b. ked}a>bit}an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ked}a>bit}annya. Tingkat
kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna
atau mungkin ke tingkat harfiah
c. apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan,
maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang
d}a>bit}. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka
periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai
periwayat yang d}a>bit}.34 d. Tidak terjadi ‘Illat
33 Ibid., 120
34 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesah}ih}an H{adis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
29
Dari segi bahasa ‘Illat berarti penyakit, sebab, alasan atau udzur.
Sedangkan arti ‘illat disini artinya suatu sebab tersembunyi yang membuat
cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.
‘Illat hadis dapat dijelaskan dengan cara menghimpun semua sanad hadis
dan memperhatikan perbedaan para periwayatnya. Menurut Khatib
al-Baghdady, ‘illat hadis dapat diketahui dengan menghimpun semua sanad
hadis, melihat perbedaan perawinya dan menempatkan mereka sesuai
dengan tempatnya, baik dari segi hafalan, kesempurnaan atau ke-d}a>bit
}-annya.35
Menurut Ali al-Madani dan al-Khattib, untuk mengetahui ‘illat
hadis terlebih dahulu semua semua sanad yang berkaitan dengan hadis
yang diteliti, dihimpun sehingga dapat diketahui sha>hid dan ta>bi’-nya.
Mayoritas ‘illat hadis terjadi pada sanad hadis. Pada umumnya ‘illat hadis
berbentuk, sebagai berikut:
1) Sanad yang tampak muttas}il dan marfu’ ternyata muttasil namun
mauqu>f.
2) Sanad yang muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mursal.
3) Terjadi percampuran hadis pada bagian hadis lain.
4) Terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena berjumlah lebih
dari satu serta memiliki kemiripan nama sedangkan kualitas
periwayatnya tidak sama-sama thiqah.
35 Mahmud al-Tahhan, Metode Takhrij al-Hadis dan Penelitian Sanad Hadis, terj.
30
Maka untuk meneliti sanad hadis dan mengetahui keadaan rawi
demi memenuhi lima kriteria tersebut, dalam ilmu hadis dikenal sebuah
cabang keilmuan yang disebut rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang secara
spesifik mengupas keberadaan para rawi hadis. Ilmu ini berfungsi untuk
mengupas data-data para rawi yang terlibat dalam civitas periwayatan
hadis dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli hadis yang menjadi
kritikus terhadap para rawi hadis tersebut.36 e. Tidak terjadi kejanggalan (Shudhu>dh)
Kata “Shudhu>dh” menurut bahasa adalah kata benda yang
berbentuk isim fa’il yang berarti sesuatu yang menyendiri. Menurut
mayoritas ulama, kata “shudhu>dh” bermakna menyendiri.37 Maksud
shudhu>dh disini adalah periwayatan orang yang thiqah (terpercaya yaitu
adil dan d}a>bit} ) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih
thiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadis sahih harus tidak terjadi
shudhu>dh berarti hadis tidak terjadi adanya periwayatan orang yang
thiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih thiqah.38
Menurut Nuruddin ‘ltr, yang dimaksud dengan sha>dh adalah
suatu kondisi dimana seorang perawi berbeda dengan perawi berbeda
dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, sehingga rawi yang lain
36 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003),
6.
37 Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),
166
31
tersebut harus lebih diunggulkan. Rawi yang lebih unggul disebut
mah}fuz}, sedangkan yang lebih rendah posisinya disebut sha>dh.39
Sedangkan menurut Imam al-Sha>fi’i, hadis sha>dh adalah suatu
hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, namun tidak
ada sejumlah perawi thiqah lainnya yang juga meriwayatkan hadis
tersebut. Suatu hadis baru dinyatakan sha>dh apabila hadis yang
diriwayatkan perawi yang thiqah tersebut bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh banyak perawi yang thiqah tersebut bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi thiqah lainnya.
Perawi yang sama-sama thiqah memiliki stratifikasi yang berbeda, karena
perbedaan dalam tingkat ked}abit}-annya dan bukan terletak pada tingkat
keadilannya.40
Secara lebih luas, dalam terminologi ilmu hadis terdapat tiga
pendapat berkenaan dengan definisi sha>dh, yakni: pertama, pendapat
yang dimajukan al-Sha>fi’i, yang mengatakan bahwa hadis baru
dinyatakan mengandung sha>dh apabila hadis yang diriwayatkan oleh
seorang rawi yang thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi yang juga bersifat thiqah. Dengan demikian, hadis
sha>dh itu tidaklah disebabkan oleh kesendirian individu perawi dalam
sanad hadis (fard} mutlaq)dan juga tidak disebabkan perawi yang tidak
thiqah, kedua, pendapat yang dikemukakan oleh H{afiz} Abu Ya’la
al-Khalili, menurutnya sebuah hadis dinyatakan mengandung sha>dh apabila
32
hanya memiliki satu jalur saja, baik hadis tersebut diriwayatkan oleh
perawi yang thiqah maupun yang tidak, baik bertentangan atau tidak.
Dengan demikian, hadis sha>dh bagi al-Khalili sama dengan hadis yang
berstatus fard} mutlaq. Alasannya ialah karena hadis yang berstatus fard}
mutlaq itu tidak memiliki shahid, yang memunculkan kesan bahwa
perawinya sha>dh bahkan matruk.41
Kejanggalan suatu hadis itu, terletak kepada adanya perlawanan
antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat
diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan
jumlah sanad atau kelebihan dalam ke d}a>bit-an rawinya atau dari
segi-segi tarjih yang lain.42
2. Kriteria ke-s}ah}i>h}-an matan hadis
Kata matan dalam bahasa arab (
ُْﱳَﻤْﻟا
) menurut bahasa berarti:keras, kuat, sesuatu yang tampak dan asli. Matan kitab ialah yang tidak
bersifat komentar dan bukan tambahan penjelasan. Dimaksud dengan kata
matan dalam ilmu hadis ialah penghujung sanad.43
Definisi tersebut, sama dengan pandangan Ibnu al-Atsir al-Jazari
yakni setiap matan hadis tersusun atas elemen lafadz (teks) dan elemen
41 Ibid., 123.
42 Al-Rahman, Ikhtisar Mus{hthalahul…123.
43 Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki
33
makna (konsep). Dengan demikian, maka komposisi ungkapan matan
hadis hakikatnya adalah pencerminan konsep ide yang intinya dirumuskan
berbentuk teks. Adapun teks matan hadis juga Nass al-Hadi>th atau Nass
al-Riwa>yat. Sementara itu persyaratan ke-s}ah}i>h}-an hadis diketahui
bahwa matan yang s}ah}ih} adalah matan yang selamat dari shudhu>dh
dan ‘illat.
Apabila sanad hadis menjadi objek penting ketika melakukan
penelitian maka dengan demikian matan hadis juga harus diteliti pula,
karena bagaimana pun keduanya saling berkaitan. Belum lagi ada
beberapa redaksi matan hadis yang menggunakan periwayatan secara
makna. Sudah barang tentu matan hadis juga harus mendapatkan
perhatian untuk dikaji ulang.44
Langkah-langkah untuk meneliti matan hadis, ada tiga langkah,
yakni:
a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad hadis
b. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
c. Meneliti kandungan matan.45
Adapun Kriteria-kriteria dalam kritik kandungan matan adalah
sebagai berikut:46
a. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an
44 Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi…, 26. 45 Ibid…,121-122.
46 Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013),
34
Jika menemukan sebuah hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an
maka ada dua sudut pandang:
1. Dari sudut wurud
Al-Qur’an seluruhnya adalah Qat}’iyy al-Wuru>d.
sedangkan hadis, kecuali hadis mutawattir adalah z}anniyy
al-Wuru>d. Maka dengan dalil akal bahwa yang z}anniyy
al-Wuru>d harus ditolak jika bertentangan dengan al-Qur’an.
2. Dari sudut dila>lah-nya
Al-Qur’an dan hadis kadang kala z}anniyy al-Wuru>d.
Untuk memastikan keduanya tidak bertentangan maka
keduanya haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan
ta’wil. Jika salah satunya mengandung ta’wil. Selanjutnya
masih mungkin untuk dipadukan, maka diantara keduanya jelas
tidak terjadi pertentangan dan tidak ada alasan untuk menolak
hadis yang bersangkutan semata karena bertentangan dengan
nash al-Qur’an.
b. Tidak bertentangan dengan hadis dan si>rah nabawiyyah
Syarat menolak riwayat karena bertentangan dengan hadis. Jika
hendak menolak hadis marfu’ maka harus terpenuhi dua syarat:
1. Tidak ada kemungkinan memadukan, jika dimungkinkan
35
perlu menolk salah satunya. Sebagian ulama terkadang lebih
memilih menolak hadis karena sedikit bertentangan dengan
hadis lain, padahal sebetulnya tidak jika dipikirkan
matang-matang.
2. Hadis yang dijadikan untuk menolak hadis lain harus berstatus
mutawattir. Syarat itu ditegaskan oleh Ibnu Hajar di dalam
al-Ifs}a>h} ‘Ala Nukat Ibn al-S}ala>h}, ia mengkritik sikap
al-Jauzaqa>ni> di dalam bukunya al-Ba>t}il yang menilai
mawd}u’ sejumlah riwayat yang bertentangan dengan hadis
yang tidak mutawattir.
c. Tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah47 1. Riwayat yang bertentangan dengan akal
Yang dimaksud adalah akal yang tercerahkan dengan
al-Qur’an dan hadis s}ah}ih}, bukan hanya akal semata.
Sesungguhnya akal saja tidak bisa menghukumi baik dan
buruk.
Disini terdapat ruang yang luas untuk berijtihad bagi para
ulama dan memungkinkan terjadi perbedaan, maka seharusnya
ada klarifikasi dalam syarat-syarat sahnya suatu hadis disisi
periwayatan. Di sisi akal, tidak gegabah menolak hadis-hadis
hanya karena ada syubhat ringan dan tidak mudah menerima
hadis yang tidak s}ah}ih kecuali ta’wil yang mengada-ada,
36
sehingga akal terkurung dalam kebingungan dan keraguan. Hal
itu karena perkataan Rasul terbebas dari terbelit-belit dan
mengada-ada.
2. Riwayat yang bertentangan dengan indra48
Ada beberapa hadis yang bertentangan dengan kenyataan
yang dapat diraba. Hal ini tidak dapat diragukan lagi
kebatilannya karena bertentangan dengan indra. Tidak
termasuk petunjuk Nabi kalau beliau meminta manusia untuk
menerima apa yang bertentangan dengan panca indra, tapi
bukan berarti apa yang datang dari Rasul itu harus dapat diraba
dengan panca indra. Antara dua masalah ini terdapat perbedaan
yang sangat besar. Jika beliau memberi khabar tentang suatu
perkara yang tidak dapat diraba oleh panca indra, maka wajib
menerimanya. Adapun hadis-hadis yang bertentangan dengan
indra, maka hal itu tidak terjadi
3. Riwayat-riwayat yang bertentangan dengan sejarah
Sejarah yang dimaksud adalah sejarah yang dapat
dipastikan kebenarannya. Hadis yang ditolak adalah
hadis ah}ad yang bertentangan dengan sejarah, karena
hadis-hadis ah}ad itu mempunyai eksistensi yang nisbi, maka tidak
37
boleh bertentangan dengan sesuatu yang eksistensinya pasti
atau mendekati kepastian.
d. Hadis-hadis yang tidak mirip dengan sabda kenabian
Sulit untuk menentukan mana yang tidak menyerupai perkataan
Nabi, tetapi ada tiga hal yang terpenting yang masuk dalam criteria
tersebut:
1. Hadis-hadis yang mengandung keserampangan
Nabi SAW tidak pernah mengatakan perkataan secara
keserampangan untuk mendatangkan hal-hal yang
menakjubkan. Yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, baik
dalam kata atau makna.49
Ibnu al-Qayyim menyebutkan, ada beberapa hadis palsu
yang dapat diketahui tanpa melihat sanadnya, seperti yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan sanad Marfu’:
Barangsiapa setelah salat maghrib melakukan salat enam
rakaat, tidak berbicara satu katapun diantara keenam rakaat itu
maka baginya ibadah menyamai ibadah selama dua belas tahun.
Ibnu al-Qayyim menyatakan hadis tersebut mengandung
serampangan yang luas, semuanya adalah pendustaan terhadap
38
Nabi. Sebenarnya, sebagaimana pendapat Ibnu al-Qayyim,
keserampangan-keserampangan itu menunjukkan kepada
pembuatnya atas dua hal, yaitu ia sangat bodoh atau ia seorang
zindiq, yang ingin mengurangi derajat Rasulullah dengan
menisbahkan riwayat-riwayat ini.50 2. Hadis yang mengandung makna rendah
Yang dimaksud rendah adalah rendah maknanya, adapun
rendah dalam kata maka tidak cukup sebagai bukti untuk
menghukumi sebagai hadis palsu, karena mungkin periwayat
meriwayatkan dengan maknanya saja, dan mengungkapkannya
dengan kata-kata rendah dari dirinya, tetapi harus diterangkan
kerendahannya agar tidak dinisbahkan kepada Rasulullah.
3. Hadis yang menyerupai perkataan ulama khalaf
Seorang peneliti akan menemukan riwayat-riwayat yang
dinisbahkan kepada Rasulullah sebagian istilah yaitu
hadis-hadis yang menyerupai perkataan para ahli fiqih, teolog atau
aliran-aliran. Biasanya yang menyebabkan hal itu terjadi
adanya fanatisme terhadap alirannya sehingga mendorong
untuk memalsukan hadis, untuk menopang alirannya dan
menyerang musuhnya.
e. Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan
hadis kepada narasumber
39
Target analisisnya terkait potensi kehujjahan hadis dalam upaya
merumuskan norma syari’ah. Tujuannya adalah untuk mengetahui
apakah melibatkan peran aktif Nabi atau hanya sebatas praktek
keagamaan sahabat/tabiin, hasil analisisnya menjurus pada: marfu’,
mauquf dan maqtu’.51
Penelitian pada matan berbeda dengan penelitian pada sanad.
Menurut Syuhudi Ismail. Ada beberapa kesulitan dalam penelitian matan
yang disebabkan beberapa faktor:
a. Adanya periwayatan secara makna
b. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam
c. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat
diketahui
d. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang
berdimensi supra rasional
e. Masih langkanya kitab-kitab hadis yang membahas secara khusus
penelitian matan hadis.52
B. Teori Ke-h{ujjah{-an Hadis
Ke-hujjah-an hadis pada hakikatnya adalah pengakuan resmi dari
Alqur’an perihal potensi dalam menunjukkan ketetapan syari’at. Para ulama
sepakat untuk menjadikan sunnah sebagai sumber ajaran islam yang kedua
setelah Alquran terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan sunnah.
40
Imam Auza’i mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan su