1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Identifikasi Permasalahan
Indonesia adalah negara yang plural, dikotomi mayoritas dan minoritas kerap
kali terjadi. Hal ini menimbulkan kecenderungan benturan antar golongan yang tidak
hanya muncul pada aras bentuk fisik, melainkan juga dalam ideologi berkeyakinan.
Lebih rumit lagi ketika semakin bertambahnya isu-isu sara, politik, dan agama.
Situasi dan kondisi pun semakin memanas, sehingga krisis kedamaian terjadi di setiap
pelosok negeri ini. Pada tingkat mentalitas, kesadaran untuk menghargai kemajemukan
yang ada sudah hampir tidak lagi dimiliki oleh sebagian kelompok masyarakat, sebab
pemahaman mereka hanya terpusat kepada kepentingan satu kelompok saja, yaitu
kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, negeri ini nyaris merupakan negara yang sarat
dengan konflik karena banyaknya perbedaan-perbedaan, baik itu dari segi suku,
golongan, ras, budaya, dan agama. Pergesekan pun terjadi, bahkan berakibat pada
benturan-benturan antar ideologi dan pandangan.
Kerusuhan demi kerusuhan yang bernuansa terorisme pun terjadi. Tindakan ini
cenderung semakin merajalela hingga mengancam kebersamaan hubungan antar
golongan. Hal ini cenderung mengakibatkan semakin hilangnya rasa kekeluargaan dan
2
keraguan atas keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara yang mempersatukan
kesatuan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Akibatnya cita-cita
menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan sistem – baik sebagai sebuah sistem sosial
(baca: masyarakat), ataupun sistem politik (baca: negara) menjadi terancam.
Salah satu media cetak di Indonesia menorehkan pendapatnya pada tanggal 07
Februari 2011 mengenai aparat yang lemah dalam melindungi kaum minoritas. Hal ini
dikarenakan timbulnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang, Banten pada hari Minggu, 06 Februari 2011. Bahkan, para pelaku
kekerasan pada peristiwa itu dengan leluasa melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM). Pada sebelah lain, banyak juga kalangan yang menuntut negara mengingat
kewajibannya dalam hal kebebasan melaksanakan dan memberikan perlindungan
kepada warganya untuk melaksanakan keyakinan beragama sebagaimana tercantum
dalam UUD 1945.1
Pada kesempatan lain sebelum penyerangan peristiwa di atas, tokoh umat
Buddha, Bhiksu Gunabhadra, mengungkapkan pendapatnya pada 24 Oktober 2010 di
salah satu media cetak Indonesia yang antara lain mengatakan, bahwa semakin marak
kekerasan atas nama agama di Indonesia. Hal ini membuat semakin terkikis pula batin,
pemikiran, dan kepribadian di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Beliau
mengangkat semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, sebagai kenyataan
1
Diunduh dari
3
empiris bangsa yang telah diingkari karena rakyat Indonesia mulai terkotak-kotak
dengan adanya banyak corak dan ragam di perbedaan yang ada di negara Indonesia.2
2. Alasan Pemilihan Judul
Bahkan baru-baru ini, semakin gencarnya isu-isu yang dinilai sebagai bentuk
makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan dari apa yang
dinamakan “Negara Islam Indonesia” (NII) mulai memunculkan pergolakan-pergolakan
yang menunjukkan sikap tidak setujunya terhadap negara berdasar Pancasila.
Kelompok ini berdiri atas dasar syariat Islam sebagaimana yang pernah dijalankan salah
seorang nabi di kota Madinnah. Hal ini antara lain memacu kelompok fanatik untuk
meneruskan “cita-cita surgawi” yang cenderung menyimpang dari Undang-undang
Dasar (UUD) „45. Gerakan semacam ini berani tampil terang-terangan pada saat ini
karena dimulai dari adanya hak otonomi daerah yang digunakan untuk menyusun dan
menjalankan Peraturan-peraturan Daerah (Perda) atas dasar syariat. Ini sudah terjadi di
beberapa daerah. Termasuk dalam hubungan ini beberapa wilayah kabupaten di
Sulawesi Selatan yang cenderung getol membuat Perda-perda syariat. 3
Segala permasalahan di atas membawa hanyut penulis untuk melihat kembali ke
permukaan tentang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengenai
kesepakatan-kesepakatan awal para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai landasan
filosofis, mengingat implikasinya akan berdampak pada generasi penerus.
2
Diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2010/10/24/18565056/Kekerasan..Erosi.Kepribadian.Bangsa-8 pada 24 Oktober 2010 pukul 19.00 WIB.
3
Diunduh dari http://nii-alzaytun.blogspot.com/,
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/kebangkitan-nii-t25341/, dan
4
Pembentukan Dasar Negara ini mengacu kepada kesadaran rasional yang dilakukan para
pendiri negara.
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II menjadi kesempatan baik bagi
Indonesia untuk langsung memproklamirkan kemerdekaannya. Badan-badan yang
sebelumnya sudah terbentuk seperti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang diketuai oleh K.R.T. Radjiman
Widyodiningrat, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketahui
oleh Soekarno, rapat-rapatnya diadakan di gedung Volksraad (Dewan Rakyat) yang
sekarang menjadi Gedung Pancasila. BPUPKI dibentuk tepat pada hari ulang tahun
Kaisar Hirohito tanggal 29 April 1945, sebagai upaya Jepang untuk mendapat dukungan
dari Bangsa Indonesia, karena posisi Jepang pada Perang Dunia II sudah semakin
terjepit. Oleh karena, rapat sidang awal BPUPKI tidak merumuskan Dasar Negara,
maka terbentuklah rapat kepanitiaan yang disebut Panitia Sembilan yang beranggotakan
lima orang dari kelompok Kebangsaan dan empat orang kelompok Islam yang
kemudian merumuskan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Demi mencapai
konsensus itu telah banyak perdebatan (komunikasi) antar mereka (aktor).
Berdasarkan alasan-alasan sebagaimana disebutkan di atas, maka penulis
menutuskan untuk memilih sebagai judul tesis ini:
5 3. Rumusan Masalah
3.1. Batasan Masalah
Pada sidang BPUPKI-PPKI membahas banyak cakupan mengenai keadaan dan
kondisi negara yang mau berdiri, mulai dari cakupan ideologi, politik, ekonomi, dan
lain sebagainya. Untuk memperoleh jawaban terhadap masalah sebagaimana
dirumuskan di atas, maka penulis membatasi masalah yang hendak penulis teliti ialah
seputar bahasan para pendiri negara merundingkan dasar negara yang akan digunakan.
Oleh karena itu penulis akan menelitinya dengan jalan mengajukan dua pertanyaan
pembantu penelitian sebagai berikut: Pertama, apa latar belakang pemikiran masing-masing para pendiri bangsa? Kedua, Apa alasan penerimaan para pendiri negara terhadap Pancasila sebagai dasar negara?
3.2. Pertanyaan Penelitian
Melalui sejumlah permasalahan sebagaimana disebutkan, yang terkait dengan
judul di atas, maka pertanyaan penelitian yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: 1. Alasan apakah yang menyebabkan para pendiri negara sepakat untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara?
4. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan alasan para pendiri negara dalam menerima Pancasila
6 5. Definisi Operasional
Alasan penerimaan : istilah ini memiliki arti sejauh mana alasan (reason) dalam penerimaan – ada proses dan cara di dalamnya –
terhadap suatu kesepakatan.
Pancasila : merupakan lima prinsip yang diajukan oleh Soekarno
pertama kali untuk menjadi dasar falsafah negara dan
mengalami perjalanan historisnya melalui rapat-rapat
sidang BPUPKI-PPKI.
Pendiri negara : ialah tokoh-tokoh negara yang melakukan
perundingan-perundingan dalam forum sidang untuk mengambil
kesepakatan mengenai hal-hal yang menyangkut dasar
negara, terutama dalam kajian ini ialah kesepakatan yang
berkaitan dengan keyakinan agama.
6. Signifikansi Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan Pancasila sudah pernah dilakukan. Pancasila
sebagai landasan filosofis dinilai sebagai pemersatu masyarakat Indonesia yang
majemuk. Dalam penulisan tesisnya, Tedi Kholiludin, misalnya, ingin melihat apakah
peraturan di dalam perundangan di Indonesia sudah menggambarkan sisi Pancasila yang
mengayomi dan melindungi masyarakat atau belum.4 Artinya, negara memiliki
kewajiban untuk menjaga dan menerapkan kerukunan antar umat beragama.
4Tedi Kholiludin, “Agama, Negara, dan Hak
7
Selain itu ada juga salah seorang peneliti, Claudia Pattiruhu, yang antara lain
mengatakan, bahwa negara Indonesia merupakan negara kebangsaan yang resmi
berideologi Pancasila dengan konteks etnisitas dan religiusitas yang plural. Ia merujuk
pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang menurutnya mempunyai makna yang dalam,
terkait dengan kemajemukan yang ada di Indonesia. Bangsa Indonesia dituntut untuk
menyadari akan keragaman itu dan secara bersama-sama diajak keluar dari lingkup
primordial masing-masing, menuju pencapaian pemahaman bersama memandang
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui Pancasila sebagai ideologi bersama.5
Melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, penulis
melengkapinya dengan melakukan penelitian terhadap alasan penerimaan para Pendiri
Negara terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Pada sebelumnya, Kholiludin telah
meneliti sejauh mana peran negara mengayomi dan melindungi warganya. Sedangkan
Claudia Pattiruhu meneliti pemaknaan Pancasila dalam pidato Soekarno. Kedua hal ini
akan membantu penulis untuk melihat sejauh mana, nantinya, konsistensi mengenai
dasar negara ini dari kesepakatan awal yang telah dilakukan. Artinya, fokus penelitian
yang telah penulis paparkan di awal tulisan, penulis mengkaji permasalahan yang
berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar negara yang diusung bersama (konsensus).
B. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Jenis Penelitian
Penulis menggunakan jenis pendekatan kualitatif untuk menganalisa konten tiap
tulisan dari para pendiri negara. Jenis penelitian yang dilakukan ialah studi pustaka.
Metode yang penulis lakukan ialah deskriptif. Berdasarkan tujuan penelitian deskriptif,
5Claudia Monique Pattiruhu, “Teologi Agama
8
maka penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and Development/RD), karena digunakan untuk mengembangkan informasi yang ada untuk pembelajaran. Sedangkan berdasarkan pada tingkat kealamiahan tempat penelitian,
penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian naturalistik karena dalam
mengumpulkan data berdasar pada pandangan dari sumber data.6
2. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan data primer. Data ini bersumber pada tulisan-tulisan para
tokoh yang tersedia, yang menggambarkan pola pikir mereka tentang nilai-nilai yang
ada dalam Pancasila. Selain itu, penulis menggunakan data dari Risalah Sidang BPUPKI-PPKI.
3. Teknik Analisa Data
Penulis menganalisa data melalui teori tindakan komunikatif Habermas. Setiap
tindakan para tokoh yang tertuang dalam tulisan-tulisan mereka menjadi komunikatif
ketika coba dipahami oleh orang kedua yang membaca tulisan mereka. Penulis
melakukan kajian isi (content analysis) untuk keperluan mendeskripsikan secara objektif, sistematis tentang manifestasi komunikasi. Pada akhirnya menarik kesimpulan
yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya, dengan usaha menemukan
karakteristik pesan.7
4. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dirangkai dalam lima bab. Bab Pertama, berisikan latar belakang permasalahan penelitian, pembatasan masalah yang a.l. disusul dengan dua
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, cet.ke-9, 2010), 5.
7
9
pertanyaan penelitian (research questions) dan tujuan penelitian. Bab Kedua, berisikan upaya pendekatan konseptual. Bab Ketiga, berisikan data-data historis-empirik berupa ucapan para pendiri negara sebagaimana yang telah ditemukan dalam risalah
persidangan BPUPKI-PPKI dari tanggal 25 Mei – 22 Agustus 1945, yang berkaitan
dengan ide, pemahaman yang menggambarkan alasan mereka menerima Pancasila.
Bab Keempat, memberi ruang pada penulis untuk menganalisis data. Artinya penulis akan mengkaji kesepakatan-kesepakatan awal dalam pencapaian pemahaman
bersama, sejauh mana ditanggapi oleh masing-masing tokoh. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang menyimpulkan hasil penelitian penulis apa makna atau pesan yang