PENERBITAN SURAT PERINTAH PENYIDIKAN (SPRINDIK) BERULANGKALI DALAM KASUS LA NYALLA MATTALITTI DALAM
PERSPEKTIF ASAS KEPASTIAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Oleh :
Moch. Supriadi Al-Furqani NIM. C03212016
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODDI HUKUM PIDANA ISLAM
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dalam Berulangkali dalam Kasus La Nyalla Mattaliti dalam Prespektif Asas Kepastian Hukum Islam ” Skripsi ini merupakan penelitian untuk menjawab pertanyaan, 1) Bagaimana Penerbitan Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) dalam kasus La Nyalla Mattaliti? 2) Bagaimana penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) berulangkali dalam kasus La Nyalla Mattaliti perspektif asas kepastian hukum islam?
Penelitian ini adalah penelitian empiris, Penelitian hukum empiris didasarkan pada kenyataan di lapangan atau melalui observasi (pengamatan) langsung. Berkenan dengan tipologi dan klasifikasi penelitian, hukum normatif desertakan dengan penelitian hukum doctrinal (doktrin), sedangkan penelitian hukum empiris disertakan dengan penelitian non doctrinal (tanpa doktrin). Penelitian hukum empiris yang mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum. Penelitian hukum empiris hendak mengadakan pengukuran terhadap peraturan perundang-undangan tertentu mengenai efektivitasnya, maka definisi-definisi operasional dapat diambil dari peraturan perundang-undangan.
Dari skripsi ini dapat disimpulkan 1) bahwa berawal dari penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi penyalahgunaan bantuan dana hibah yang diterima kamar dagang dan industri Jawa Timur (KADIN JATIM) dari pemprov Jawa Timur tersangka Diar Kusuma Putra dan tersangka Nelson Sembiring dengan dasar surat perintah penyidikan KEJATI No.Print -163/0.5/Fd.1/02/2015 tanggal 17 februari 2015 dan surat perintah penyidikan No.Print-164/0.5/Fd.1/02/2015 tanggal 17 februari 2015. 2) Bahwa dalam hukum islam tentang penerbitan surat perintah penyidik (SPRINDIK) dalam kasus La Nyalla Mattaliti perspektif asas kepastian hukum islam. Menurut peneliti, perbuatan yang dilakukan oleh tersangka termasuk dalam unsur jarimah ta’zir. Karena dengan alasan terdakwa mau mengembalikan seluruh kerugian Negara yang bernilai Rp. 5.359.479.150.- yang disebabkan olehnya.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, sebaiknya penegak hukum lebih detail untuk mengambil suatu keputusan agar tidak terjadi kesalahan fatal sehingga manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dapat terealisasikan di masyarakat secara ril.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 4
C. Batasan masalah ... 5
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 6
G. Kajian pustaka ... 7
H. Definisi Operasional ... 10
I. Metode Penelitian ... 11
J. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM HUKUM POSITIF DAN
ISLAM ... 20
A. Pengertian Asas Kepastian Hukum ... 20
B. Macam-macam Asas dalam Hukum Islam... 21
C. Penjelasan Asas Kepastian Hukum dalam Islam dan Dasar Hukumnya ... 26
D. Unsur-unsur hukuman dalam Islam ... 30
BAB III PROFIL KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR DAN HASIL WAWANCARA ... 32
A. Sejarah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ... 32
B. Visi dan Misi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ... 40
C. Tugas Pokok dan Fungsi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ... 43
D. Logo dan Arti Logo Kejaksaan ... 45
E. Doktrin Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ... 47
BAB IV PENERBITAN SURAT PERINTAH PENYIDIK (SPRINDIK) BERULANGKALI DALAM KASUS LA NYALLA MATTALITI DALAM PRESPEKTIF ASAS KEPASTIAN HUKUM ISLAM .... 67
A. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Berulangkali dalam Kasus La Nyalla Mattaliti ... 67
B. Analisis Prespektif Asas Kepastian Hukum Islam ... 81
BAB V PENUTUP ... 84
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Proses hukum acara pidana dan penegakannya memang tidak pernah
ada habisnya untuk dibahas, karena banyak lika-liku ketentuan hukum di
dalamnya yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) seseorang.
Menurut almarhum Yap Thiam Hien yang mengatakan bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebuah “miniature” dari
konsitusi sebuah Negara hukum.
Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Penyidikan harus dibedakan dengan penyelidikan (upaya penyelidik
untuk mencari suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana)1.
Sedangkan fungsi dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), maka
sebelumnya perlu menjelaskan dasar hukum dikeluarkannya Sprindik
sebagaimana diatur Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”.
1
Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1
2
Selain Pasal 109 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
di atas, ada juga ketentuan administatif penyidikan internal yang mengatur
mengenai Sprindik, yang dapat temukan di Pasal 1 angka 17, Pasal 4 huruf d,
Pasal 10 ayat (1), Pasal 15 dan Pasal 25 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan (Perkap No. 14 Tahun 2012).
Kasus hukum yang menjerat Ketua Umum Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti dianggap sebagai
persoalan serius bangsa. Khususnya yang menyangkut sistem hukum dan
hubungan kelembagaan dalam tata negara Indonesia.
Seperti diketahui, KADIN Jatim pada tahun 2015 mengalami
permasalahan dalam pengelolaan Dana Hibah dari Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Jatim. Hal itu bermuara pada perkara hukum di awal tahun 2015
lalu. Yang pada akhirnya, Kejati Jatim menjerat dua orang pengurus KADIN
Jatim ke ranah hukum. namun, perkara tersebut sudah dinyatakan Inkra
(berkekuatan hukum tetap) terhitung sejak Desember 2015 lalu. Bahkan,
kerugian Negara telah dihitung oleh BPKP dan telah dikembalikan oleh
pelaku.
Persis sama dengan yang dilakukan pada saat perkara KADIN pada
tahun 2015 lalu. Sehingga dalam dua tahun ini, berturut-turut pengurus dan
3
Ternyata, perkara yang sudah inkra tersebut dibuka lagi oleh Kejati
Jatim di awal tahun 2016 dengan sebutan KADIN jilid dua. Penyidik Kejati
Jatim kembali memanggil hampir semua pengurus dan staf KADIN Jatim.2
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan Ketua Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi dana hibah tahun 2012 sebesar Rp 5 miliar. Menurut berita
yang penulis kutip, uang tersebut diduga digunakan untuk membeli saham
Bank Jatim.3
Pada bulan mei 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menerbitkan
Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) jilid keempat untuk Ketua Umum
Persatuan Sepak Bola Selurih Indonesia itu. Penetapan tersangka sebelumnya,
oleh La Nyala yang kini kabur ke luar negeri selalu dibalas dengan
praperadilan. Hakim Pengadilan Negeri Surabaya selalu memenangkan
praperadilan La Nyalla.4
Dengan adanya surat perintah penyidikan (SPRINDIK) berulangkali,
maka belum adanya asas kepastian hukum, terlebih kepastian hukum dalam
Islam. Seperti dalam QS. Al-Isra’ ayat 15 yang berbunyi:
2
Upaya Kriminalisasi Terhadap La Nyalla dan Kronologis Lengkap Dana Hibah Kadin Jatim, http://www.liputan1.com/2016/02/05/upaya-kriminalisasi-terhadap-la-nyalla-dan-kronologis-lengkap-dana-hibah-kadin-jatim/. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2016
3
La Nyalla Mattalitti Jadi Tersangka Kasus Korupsi Dana Hibah. http://news.liputan6.com/read/2460401/la-nyalla-mattalitti-jadi-tersangka-kasus-korupsi-dana-hibah. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2016
4
Sprindik ke-4: La Nyalla Tersangka Lagi, Praperadilan Lagi.
4
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
Sedangkan dalam kaidah fiqh berbunyi:
دْوﺪﺣ
لﺎﻌﻓ
ء ﻌ ا
ْﺒ
دْورو
ﱢﺺﻨ ا
“Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada aturan hukumnya”.
Bahasan terpenting dalam hal ini adalah daya berlaku surut (atsarun
raj’i). Pada prinsipnya aturan fiqh jinayah ini tidak berlaku surut. Meskipun
demikian, kalangan para ulama, ada yang berpendapat mengenai adanya
kekecualian dari hal tersebut.
Hal inilah yang menuntun peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)
BerulangKali Dalam Kasus La Nyalla Mattalitti dalam Perspektif Asas
Kepastian Hukum Islam”.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah
5
1. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan Ketua Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi dana hibah tahun 2012 sebesar Rp 5 miliar.
2. Dalam perspektif hukum positif, penerbitan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) berulang-ulang kali memang bukan menjadi suatu masalah.
3. Pada bulan mei 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menerbitkan Sprindik
(Surat Perintah Penyidikan) jilid keempat untuk Ketua Umum Persatuan
Sepak Bola Selurih Indonesia itu. Penetapan tersangka sebelumnya, oleh La
Nyala yang kini kabur ke luar negeri selalu dibalas dengan praperadilan.
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya selalu memenangkan praperadilan La
Nyalla.
4. Sedangkan dalam hukum Islam tentang asas kepastian hukum, maka hal
tersebut menimbulkan persoalan yang perlu diteliti kembali.
C.Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang telah dikemukakan di atas, agar
penelitian terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka
penulis memberi batasan permasalahan pada : Asas kepastian hukum dalam
Islam pada kasus penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) berulang
6
D.Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) dalam kasus La
Nyalla Mattalitti ?
2. Bagaimana penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) berulang kali
dalam kasus La Nyalla Mattalitti dalam perspektif Asas Kepastian Hukum
Islam ?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana Penerbitan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) dalam kasus La Nyalla Mattalitti.
2. Untuk mengetahui bagaimana Penerbitan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) berulang kali dalam kasus La Nyalla Mattalitti dalam perspektif
Asas Kepastian Hukum Islam.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini yaitu :
1. Manfaat praktis
Mengetahui bagaiamana asas kepastian hukum dalam Islam pada
Penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) berulang kali dalam kasus
La Nyalla Mattalitti.
7
a. Dapat dijadikan sebagai salah satu sarana penulis dalam
mempraktekkan ilmu-ilmu pengetahuan (teori) yang telah penulis
dapatkan selama di institusi tempat penulis belajar.
b. Bagi Pembaca dapat digunakan sebagai referensi serta informasi
mengenai asas kepastian hukum dalam Islam pada Penerbitan Surat
Perintah Penyidikan (Sprindik) berulang kali dalam kasus La Nyalla
Mattalitti.
G.Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap objek
yang sama serta menghindari anggapan plagiasi karya tertentu, maka perlu
pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Diantara penelitian yang
sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut.
Skripsi Tria Rosita Oktarina dengan judul “Pelaksanaan Penyelidikan
dan Penyidikan Perkara Pidana Carok Massal di Wilayah Hukum Polwil
Madura”. Skripsi ini membahas tentang pelaksanaan penyelidikan dan
penyidikan suatu perkara pidana carok massal yang dilakukan oleh Polres
Pamekasan yang notabennya berada diwilayah hukum Polwil Madura.
Penelitian ini termasuk penelitian empiris yang bersifat deskriptif yang
mengunakan data primer dan data sekunder, dimana penulis mengumpulkan
data-data dari narasumber yang terkait yakni aparat penyidik Polres
Pamekasan dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi
dokumen. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, ternyata
8
sebagai berikut: 1) Petugas mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana baik
melalui laporan, pengaduan, pengetahuan penyidik sendiri,atau melaui media.
2) Setelah dinyatakan memang merupakan tidak pidana maka dilakukan
tindakan penyidikan.5
Skripsi Indarwati Darmastuti dengan judul “Proses Penyidikan dalam
Upaya Penyelesaian Berita Acara Pemeriksaan Di Polresta Surakarta (Studi
Kasus Pembunuhan Berencana No. Pol. BP/113/IV/2005/Reskrim). Skripsi ini
membahas mengenai proses penyidikan dalam upaya penyelesaian berita acara
pemeriksaan perkara pembunuhan berencana di Polresta Surakarta.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan penanganan perkara pembunuhan berencana yaitu penyidikan,
dimulai dari diketahui terjadinya tindak pidana pembunuhan berecana yaitu
dari laporan saksi pertama kemudian dibuatkan laporan polisi. Sedangkan
penyidikan, yaitu membuat surat perintah penyidikan, membuat surat perintah
tugas, melakukan pemanggilan terhadap saksi, melakukan pemeriksaan saksi
dan tersangka, melakukan upaya paksa, menyusun sampul berkas perkara,
serta menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan.6
Jurnal Gebrandy Alfrendo Lalolarang yang berjudul “Kajian Yurudis
Penetapan Sprindik Berulangkali oleh Kejaksaan Setelah Gugatan
Praperadilan Diterima (Studi Kasus La Nyalla Mattalitti). Penelitian ini
5
Tria Rosita Oktarina, “Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Carok Massal di Wilayah Hukum Polwil Madura”. (Skripsi—Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008).
6
Indarwati Darmastuti, “Proses Penyidikan dalam Upaya Penyelesaian Berita Acara Pemeriksaan Di Polresta Surakarta (Studi Kasus Pembunuhan Berencana No. Pol. BP/113/IV/2005/Reskrim)”.
9
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan
Praperadilan menurut KUHAP dan bagaimana akibat hukum status tersangka
La Nyalla Mattalitti pasca dikabulkannya Putusan Praperadilan. Dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Lembaga
Praperadilan bertujuan melindungi hak-hak asasi tersangka dari tindakan
sewenang-wenang dan melanggar hukum oleh aparat penegak hukum. Sebagai
manusia biasa, para aparat penegak hukum itu dapat saja keliru atau khilaf
menetapkan status tersangka, bahkan pada putusan pengadilan dapat saja
terjadi “obscuur libel” atau “obscuur in persona” yang merupakan bentuk
penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan yang tidak
dibenarkan menurut hukum. 2. Dikabulkannya Praperadilan La Nyalla
Mattalitti oleh Pengadilan Negeri Surabaya yang ditanggapi oleh Termohon,
Kajati Jawa Timur dengan menerbitkan Sprindik baru sebagai tersangka,
menyebabkan di antara aparat penegak hokum terjadi benturan pendapat dan
sikap yang mempertontonkan tidak solid dan tidak akrabnya hubungan secara
kelembagaan di antar aparat penegak hukum, oleh karena masing-masing
berpijak pada dasar hukum itu sendiri. Kejaksaan dapat menjadi penyelidik
sekaligus penuntut umum pada tindak pidana tertentu seperti tindak pidana
khusus misalnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,
dengan substansi yang hendak dicapainya ialah mengembalikan kerugian
keuangan negara melalui mekanisme Jaksa sebagai Pengacara Negara atau
Pemerintah.7
7
Gebrandy Alfrendo Lalolarang, “Kajian Yurudis Penetapan Sprindik Berulangkali oleh
10
Dari beberapa skripsi maupun jurnal di atas, belum menjelaskan
secara jelas mengenai asas kepastian hukum dalam Islam pada penerbitan
Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) berulang kali dalam kasus La Nyalla
Mattalitti. Apalagi dalam masalah yang penulis teliti merupakan bentuk
penilitian yang baru, jadi masih belum banyak yang meneliti mengenai
masalah tersebut.
H.Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam
penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan
tujuannya.
Adapun judul skripsi ini “Penerbitan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) BerulangKali Dalam Kasus La Nyalla Mattalitti dalam Perspektif
Asas Kepastian Hukum Islam”. Dan agar tidak terjadi kesalapahaman di
dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu kiranya penulis uraiakan
tentang pengertian judul tersebut sebagai berikut :
Surat Perintah Penyidikan
(SPRINDIK)
: Surat Perintah yang dikeluarkan
oleh Atasan Penyidik kepada
Penyidik Pembantu yang namanya
tercantum dalam Surat Perintah
Penyidikan, setelah adanya
Kejaksaan Setelah Gugatan Praperadilan Diterima (Studi Kasus La Nyalla Mattalitti)”, (Jurnal— Lex Crimen Vol V/No. 6/Ags, 2016).
11
kesimpulan dari gelar/evaluasi
hasil penyelidikan bahwa telah
terjadi tindak pidana. Sehingga
dengan demikian sprindik ditanda
tangani oleh atasan penyidik. Dan
atasan penyidik adalah Pejabat
yang secara struktur berkedudukan
sebagai atasan Penyidik.8
Kasus La Nyalla Mattalitti : Tersangka kasus dugaan korupsi
dana hibah tahun 2012 sebesar Rp
5 miliar. Uang tersebut diduga
digunakan untuk membeli saham
Bank Jatim.
Asas Kepastian Hukum Islam : Asas yang menyatakan bahwa
tidak ada satu perbuatan yang
dapat dihukum kecuali atas
kekuatan ketentuan peraturan
yang ada dan berlaku pada
perbuatan itu.9
8
Pengertian Sprindik. http://infowuryantoro.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-sprindik.html. Diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 129.
12
I. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang akan dipakai adalah penelitian hukum empiris.
Penelitian hukum empiris didasarkan pada kenyataan di lapangan atau
melalui observasi (pengamatan) langsung. Berkenaan dengan tipologi dan
klasifikasi penelitian, hukum normatif disetarakan dengan penelitian hukum
doctrinal, sedangkan penelitian hukum empiris disetarakan dengan penelitian
non doktrinal.10 Penelitian hukum empiris yang mencakup penelitian terhadap
identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.
Penelitian hukum empiris hendak mengadakan pengukuran terhadap peraturan
perundang-undangan tertentu mengenai efektivitasnya, maka definisi-definisi
operasional dapat diambil dari peraturan perundang-undangan tersebut.11
1. Data yang dikumpulkan
Data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan
menyusun suatu informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan
data yang dipakai untuk suatu keperluan. Adapun data yang perlu
dikumpulkan sebagai berikut :
a. Hasil wawancara dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Sumber Data
10
Syamsudin Pasamai, Metodologi Penelitian & Penulisan Karya Ilmiah Hukum, (Makassar: PT. Umitoha, 2010), 66.
11
Muktifajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 153.
13
Sebagaimana lazimnya penelitian hukum di masyarakat (sosio-legal
research), penelitian ini membutuhkan data baik data primer yang berasal
dari informan, maupun data sekunder yang berasal dari “bahan hukum”.
Data primer yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan
penerbitan Sprindik atas kasus Laa Nyalla Mattalitti jika dianalisis dengan
asas kepastian hukum Islam. Dalam hal ini yaitu Maruli Hutagalung selaku
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan beberapa staf Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur yang menangani kasus tersebut.
Data sekunder adalah data yang bersumber dari Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), literatur, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan proses penyidikan dan penyelidikan, serta
hasil-hasil penelitian sebelumnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.12
a. Observasi
Obeservasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang
menggunakan pertolongan indra mata. observasi juga merupakan salah
satu tehnik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode
12
14
penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan
menggunakan panca indera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran,
untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah
penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek,
kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi
dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau
kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Penulis melakukan observasi secara langsung di Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur.
b. Studi Dokumenter
Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan
studi dokumentasi, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), peraturan perundang-undangan, dan peraturan lain
yang membahas mengenai penyidikan dan penyelidikan.
c. Wawancara
Dalam hal ini dilakukan survai dan wawancara dengan metode
depth interview atau wawancara mendalam untuk mengumpulkan
data yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.13
Wawancara juga dilakukan dengan menggunakan petunjuk wawancara
(guided interview) sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan terhadap pejabat daerah terutama
13
15
dari Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan beberapa staf-staf yang
menangani kasus tersebut.
4. Teknik Pengolahan Data
Pada Jenis penelitian kualitatif ini, pengolahan data tidak harus
dilakukan setelah data terkumpul atau pengolahan data selesai. Dalam hal
ini, data sementara yang terkumpulkan, data yang sudah ada dapat diolah
dan dilakukan analisis data secara bersamaan. Pada saat analisis data, dapat
kembali lagi ke lapangan untuk mencari tambahan data yang dianggap
perlu dan mengolahnya kembali. Pengolahan data dalam penelitian
kualitatif dilakukan dengan cara mengklasifikasikan atau mengkategorikan
data berdasarkan beberapa tema sesuai fokus penelitannya.14
Pengolahan data pada penelitian ini terdiri dari :
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan lapangan. Langkah-langkah yang
dilakukan adalah menajamkan analisis, menggolongkan atau
pengkategorisasian ke dalam tiap permasalahan melalui uraian singkat,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data
sehingga dapat ditarik dan diverifikasi. Data yang direduksi antara lain
14
Suyanto dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif. Pendekatan. (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 173
16
seluruh data mengenai permasalahan penerbitan Sprindik berulangkali
pada kasus Laa Nyalla Mattalitti jika dianalisis dengan asas kepastian
hukum Islam.
b. Penyajian Data
Setelah data di reduksi, langkah analisis selanjutnya adalah
penyajian data. Penyajian data merupakan sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dalam penelitian ini, data yang disajikan yaitu mengenai tentang
hasil wawancara dari pihak terkait yang ada di Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur.
c. Verifikasi
Tahap ini merupakan tahap penarikan kesimpulan dari semua data
yang telah diperoleh sebagai hasil dari penelitian. Penarikan kesimpulan
atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna/arti,
keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat atau proposisi.
Sebelum melakukan penarikan kesimpulan terlebih dahulu dilakukan
reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan atau verifikasi
dari kegiatan-kegiatan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, penulis memberikan verifikasi yang
17
kepastian hukum Islam perlu dikaji kembali keabsahan kepastin hukum
nya. Namun hal tersebut perlu pembuktian mendalam agar
mengetahuinya.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah sebagai bagian dari proses pengujian data yang
hasilnya digunakan sebagai bukti yang memadai untuk menarik kesimpulan
penelitian.15 Analisis data adalah proses mencari dan menyusun sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara.
Analisa data dapat dilakukan setelah memperoleh data-data, baik
dengan observasi, wawancara, serta dokumentasi. Kemudian data-data
tersebut diolah dan dianalisis untuk mencapai tujuan akhir penelitian.
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif kualitatif yaitu cara analisis yang cendrung menggunakan kata-
kata untuk menjelaskan fenomena atau data yang diperoleh.16
Data kualitatif digunakan untuk menganalisa data yang tidak
berbentuk angka dan digunakan untuk analisa data deskriptif kualitatif
dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif adalah bermula
dari fakta-fakta khusus, peristiwa konkrit yang kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.17
15
Indriantoro, Metodelogi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2002), 11.
16
Drajat Suharjo, Metode Penelitian dan Penulisan Laporan Ilmiah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), 178.
17
18
Pada saat wawancara penulis sudah melakukan analisis terhadap
jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah
dianalisa terasa belum memuasakan, maka penulis akan melanjutkan
pertanyaan lagi sampai tahap tertentu hingga diperoleh data yang dianggap
kredibel yang disebut data collection. Aktivitas dalam analisis data yaitu
data reduction, data display, dan conclusion drawing or verification.18
Data-data yang sudah dikumpulkan yakni data collection akan
direduksi yaitu dilakukan dengan cara mengurangi data yang tidak sesuai
dengan fokus penelitian. Setelah data direduksi, data didisplay yaitu
dibedakan berdasarkan jenis klasifikasi yang telah ditentukan. Data yang
direduksi dan didisplay, maka tahap selanjutnya adalah verification data
yang ada dengan kebenarannya setelah itu penarikan kesimpulan.
J. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan suatu penjabaran secara
deskriptif tentang hal-hal yang peneliti tulis dalam skripsi ini yang secara
garis besar terdiri dari lima bab.
Bab satu diuraikan tentang permasalahan secara umum yang meliputi
latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
18
Sugiono, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Cetakan ke 11, (Bandung: Alfa Beta, 2012), 246.
19
Bab dua membahas kajian pustaka tentang tentang teori-teori yang
mendukung dalam penelitian diantaranya meliputi Asas kepastian hukum
dalam Islam.
Bab tiga membahas tentang data yang akan memaparkan tentang
hasil wawancara dengan Kepala dan beberapa pihak Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur yang terkait kasus Laa Nyaalla Mattalitti.
Bab empat membahas tentang hasil dan pembahasan yang akan
mengemukakan tentang bagaimana penerbitan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) berulang kali dalam kasus La Nyalla Mattalitti dan bagaimana
dalam perspektif Asas Kepastian Hukum Islam
Bab lima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan selanjutnya
memberikan saran yang ditujukan untuk perbaikan perbaikan kondisi
BAB II
ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM HUKUM POSITIF DAN ISLAM
A. Pengertian Asas Kepastian Hukum
Kepastian adalah kata berasal dari pasti, yang artinya tentu; sudah
tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu. Seorang filsuf hukum
Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar
hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga
diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum.1
Asas kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum
harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya
merupakan tujuan utama dari hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka
hukum akan kehilanfan jati diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki
jati diri maka hukum tidak lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap
orang.
Munculnya hukum modern membuka pintu bagi masuknya
permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan
nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan sesuatu
yang baru, tetapi nilai nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional
sudah ada sebelum era hukum modern, bahkan dalam ajaran hukum Islam.
Dalam hal ini aturan yang dijadikan pedoman adalah Al-Qur’an dan hadist
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), 847
21
sebagai dasar utama, disisi lain masih ada ketentuan-ketentuan lainnya,
misalnya, ijma’, qiyas, dsb.
B. Macam-Macam Asas-Asas Dalam Hukum Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata Fikih Jinayah.
Fikih Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil
hukum yang terperinci dari al-Qur’an dan Hadist. Tindakan kriminal
dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu umum
serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
al-Qur’an dan Hadist. Hukum Pidana Islam merupaka Syari’at Allah yang
mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun
akhirat. 2
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas
dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan olehpenguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak
tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam
2
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 1.
22
peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui
asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia.
Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja
dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam
masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat),
yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia dan
benda dalam masyarakat.
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah
konsepsi Hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena
manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
Hubungan-hubungan itu adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan
manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Sedangkan untuk tujuan Hukum Islam sendiri secara umum sering
dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia
di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaatmdan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan Hukum Islam
adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual
23
yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.3
Hukum Islam juga mengandung asas-asas, asas Hukum Islam berasal
dari sumber Hukum Islam terutama al-Qur’an dan Hadist yang
dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk
berijtihad. Asas-asas Hukum Islam banyak, disamping asas-asas yang b`erlaku
umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asanya
sendiri-sendiri. Asas-asas umum Hukum Islam adalah asas-asas hukum yang
meliputi semua bidang dan lapangan Hukum Islam, yaitu sebagai berikut :
1. Asas Keadilan
Asas keadilan adalah asas yang penting dan mencakup semua asas
dalam bidang Hukum Islam. Akibat dari pentingnya asas dimaksud,
sehingga Allah Swt. mengungkapkan di dalam al-Qur’an lebih dari 1.000
kali, terbanyak disebut setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak
ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan di antaranya adalah Surat Shadd ayat 26 :
3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 42.
24
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Allah memerintahkan agar manusia menegakkan keadian, menjadi
saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga
dekat. Berdasarkan semua itu, dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah
asas yang mendasari proses dan sasaran Hukum Islam.
2. Asas Kemanfaatan
Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum,
seyogyanya dipertimbangkan kemanfaatannya, baik bagi yang
bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat. Dalam
menerapkan ancaman hukum mati terhadap seseorang yang melakukan
pembunuhan, misalnya dapat dipertimbnagkan kemanfaatan penjatuhan
hukum itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukum
mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat, hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan
hukum mati lebih bermafaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau
saksi korban, ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman
danda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini ditarik dari
25
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.
Disamping asas-asas umum tersebut di atas, didalam hukum
pidana juga terdapat asas-asas hukum Islam. Di antaranya adalah :
a. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang
yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan surat al-Qashsash ayat 59
ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak akan mengadzab siapapun
juga kecuali jika ia telah mengutus Rosul-Nya. Asas ini melahirkan
kaidah yang berbunyi, “tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan
manusia sebelum ada aturan hukumnya.4
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
4
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukun Islam,(Bandung : LPPM- Universitas Islam), 115
26
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan
mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam
berbagai surat dan ayat di dalam al-Qur’an: surat al-An’aam ayat 165,
al-Faathir ayat 18, az-Zumar ayat 7, an-Najam ayat 38, al-Muddatsir
ayat 38. Sebagai contoh pada ayat 38 surat al-Muddatstir Allah
menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan,
dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat
oleh orang lain.
c. Asas praduga tak bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan sesuatu kejahatan harus dianggap
tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan
menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari
ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi sumber asas legalitas dan asas
larangan memindahkan kesalahan pada orang lain yang telah
disebutkan diatas tadi
C. Penjelasan Asas Kepastian Hukum dalam Islam dan Dasar Hukumnya
Asas kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum
harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya
.
27
merupakan tujuan utama dari hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka
hukum akan kehilangan jati diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki
jati diri maka hukum tidak lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap
orang. Dalam asas kepastian hukum, tidak boleh ada hukum yang saling
bertentangan, hukum harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh
masyarakat umum. Pengertian asas kepastian hukum juga terkait dengan
adanya peraturan dan pelaksanaannya. Kepastian hukum akan mengarahkan
masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.
Dengan adanya asas kepastian hukum, maka masyarakat bisa lebih tenang
dan tidak akan mengalami kerugian akibat pelanggaran hukum dari orang
lain.5
Di samping itu kepastian hukum dapat diartikan jaminan bagi
anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara atau
penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang.
Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip, asas utama dari penerapan
hukum disamping dan sering berhadapan dengan asas keadilan. Kepastian
hukum menuntut lebih banyak penafsiran secara harfiah dari ketentuan
undang-undang.6
Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada dua
5
Asas Kepastian Hukum. http://pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum. Diakses pada tanggal 02 Januari 2017.
28
unsur dalam paham negara hukum. Pertama, bahwa hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan
berdasarkan suatu norma objektif yang juga mengikat pihak yang
memerintah. Kedua, bahwa norma objektif itu, hukum memenuhi syarat
bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan dengan idea
hukum. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara, dan hukum itu
sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan
masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah
keadilan.7 Demikian maka, pengertian negara berdasarkan hukum berarti
bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat harus
didasarkan atas hukum. Hal ini berarti hukum mempunyai kedudukan yang
tinggi dan setiap orang baik pemerintah ataupun warga negara harus tunduk
terhadap hukum.8 Kepastian hukum merupakan suatu kebutuhan langsung
masyarakat.
Selain dalam hukum positif, kepastian hukum juga diatur dalam
Islam, hal tersebut bertujuan agar segala hajat hidup manusia dapat berjalan
dengan semestinya, tentunya dengan berpedoman dengan Al-Qur’an dan
Hadist.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 15, Allah Swt berfirman:
6
H. Ridwan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2009), 124.
7
Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 295.
8
Jum Anggraeni, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 37.
29
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
Selanjutnya di surat Al-Maidah ayat 95 terdapat ketegasan Illahi
yang menyatakan Allah mengampuni kesalahan yang sudah berlalu, yang
berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”.
30
ada satu perbuatan pun dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.9
Asas kepastian hukum adalah yang menyatakan bahwa tidak ada satu
perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan perundang-undangan
yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan, di samping menyuratkan asas
kepastian hukum juga asas hukum tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif).
D. Unsur-Unsur Hukuman dalam Islam
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana
dalam Hukum Islam, diperlukan unsur formil, normatif dan moral sebagai
berikut:
1. Unsur Formil (adanya Undang-Undang atau Nash) yaitu, setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat
dipidana kecuali adanya Nash atau Undang-Undang yang mengaturnya.
Dimana suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dikenai sanksi sebelum adanya peraturan. Sedangkan
unsur Formil dalam Syariat Islam lebih dikenal dengan istilah “Ar
Ruknasy-Syar’i”.10
2. Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang
menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan
9
Anwar Harjono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 155.
10
Siti Nuraini, Unsur-unsur Hukum Pidana Islam. http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2171324-unsur-unsur-tindak-pidana. Diakses pada tanggal 02 Januari 2017.
31
hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur
materiil yang dalam Hukum pidana Islam disebut dengan “Ar-Rukun
Almadi” yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran
terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Swt.
3. Unsur Moral, dalam syariat islam disebut “Ar-Rukun Al-Adabi” yaitu
kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata
mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini
disebut mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang sudah baligh dan
berakal sehat yang mana pelaku tindak pidana adalah orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang
dilakukannya. Bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat
dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, anak-anak
dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri.
Selain unsur-unsur hukum pidana yang telah disebutkan, perlu
diungkapkan bahwa hukum pidana Islam dapat dilihat dari beberapa segi,
yaitu sebagai berikut :
1. Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam
dapat dibedakan menjadi (a) jari<mah h}udu<d, (b) jari<mah qishas<h, dan (c)
jari<mah ta’zi<r.
2. Dari segi unsur niat, ada dua jari<mah, yaitu (a) yang sengaja, dan (b)
tidak sengaja.
32
(b) tidak sengaja.
4. Dari segi si korban, jari<mah itu ada dua, yaitu (a) yang bersifat biasa, dan
(b) kelompok.
5. Dari segi tabiat, jari<mah terbagi dua, yaitu (a) yang bersifat biasa, dan
32
BAB III
PROFIL KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR DAN HASIL WAWANCARA
A. Sejarah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945, ini mengandung pengertian
bahwa di dalam berbangsa dan bernegara paradigm yang digunakan untuk
menjalani kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan
lain-lain diselenggarakan atas hukum (Rechstaats) tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (Machstaat).1
Hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur pergaulan
manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan
mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta proses yang mewujudkan
kaidah tersebut sebagai kenyataan di masyarakat. Menurut terminologi
bahasa, yang dimaksud dengan istilah asas ada dua pengertian. Arti asas yang
pertama adalah dasar, alas, fundamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah
suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau
berpendapat dan sebagainya.2
Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
Undang-Undang oleh karena itu dalam menyajikan data pada skripsi ini,
1Undang-undang 1945 yang sudah di amandemen serta penjelasannya,
(Surabaya, Serbajaya, 1998)
2
Powerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(2005), 60-61
33
penulis melakukan penelitian di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur agar penulis
mengetahui bagaimana melaksanakan tugas dan fungsi sebagai penegak
hukum di Indonesia.
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada
Zaman kerajaan Hindu-Jawa yang terletak di Jawa Timur, yaitu pada masa
Kerajaan Majapahit, istilah Dhyaka, Adhyaksa, dan Dharmadhyaksa sudah
mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini
berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam
bahasa sansekerta.
Seorang peneliti dari Belanda, W.F. Shutterhein mengatakan bahwa
Dhyaksa adalah pejabat negara di zaman kerajaan Majapahit, tepatnya di
saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa pada tahun 1350-1389 M.
Dhyaksa adalah hakim yang di beri tugas untuk menangani masalah
peradilan dalam sidang pengadilan, para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang
adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi dhyaksa.3
Pernyataan diatas tersebut di dukung pula oleh pernyataan lainnya
yakni pernyataan dari H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhiyaksa
adalah pengawasan (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom
dan Van Vollenhoven bahkan menyebutkan bahwa patih terkenal dari
majapahit yakni Patih Gajah Mada, juga adalah seorang Adhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, Badan yang memiliki relevansi
dengan jaksa dan kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie, lembaga
3
34
ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan
Officier van Justities di dalam sidang pengadilan negeri, Pengadilan yustisi
(Jurisdictie Geschillen), dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) di bawah
perintah langsung dari Asisten Presiden ( Residen).
Hanya saja pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka, dengan kata lain, jaksa dan kejaksaan
pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung yakni antara
lain :
a. Mempertahankan segala peraturan negara
b. Melakukan penuntutan
c. Melaksanakan Putusan Pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya
dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang
berkaitan dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Kejaksaan Tinggi adalah Kejaksaan di Ibu kota propinsi dengan
daerah hukum meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan. Kepala
kejaksaan Tinggi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil
kepala kejaksaan tinggi dan dibantu oleh beberapa orang unsure pembantu
pimpinan dan unsur pelaksana.4
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur dipimpin oleh E.S. Maruli
Hutagalung, SH. MH.Kejaksaan Tinggi Jawa Timur adalah Kejaksaan di
Ibukota Provinsi Jawa Timur dengan wilayah tugas meliputi 38 Kejaksaan
4
Ibid,
35
Negeri se Jawa Timur. Kantor Kejaksaan Tinggi ini berada di Jl. Jend. A.
Yani No. 54-56, Surabaya Telepon (031) 8291066.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur saat ini adalah E.S. Maruli
Hutagalung, SH. MH yang sebelumnya dijabat oleh ELVIS JOHNY,
SH.MH. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Kejaksaan Tinggi dibantu
oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
Berikut Struktur Organisasi Pejabat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur :
Kepala Kejaksaan Tinggi E.s Maruli Hutagalung, SH.MH.
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Rudi Prabowo Aji, SH.MH.
Kepala Bagian Tata Usaha Romy Arizyanto, SH.MH
Asisten Pembinaan Masnunah, SH.,M.Hum.
Asisten Intelijen Edy Birton, SH. MH.
Asisten Tindak Pidana Umum Tjahjo Aditomo, SH
Asisten Tindak Pidana Khusus I Made Suarnawan, SH, MH.
Asisten Perdata dan Tata Usaha
Negara Sudiharto, SH.MH.
Asisten Pengawasan Nikolaus Kondomo, SH.MH.
Jumlah pegawai di wilayah Kejaksaan Jawa Timur sebanyak 1.692
orang terdiri dari 797 orang Jaksa dan 895 orang Tata Usaha.5
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara
resmi di fungsikan pertama kali oleh undang-undang pemerintahan zaman
pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu
Sirei No.3/1942, No. 2/1944 dan No.49/1944. Yaitu tentang Eksistensi
5
Ibid,
36
Kejaksaan yang berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo
Hooin (pengadilan agung), Koootoo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihoo
Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa
Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :
a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelenggaran.
b. Menuntut perkara.
c. Menjalankan putusan peradilan dalam perkara criminal.
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan
dalam Negara Republik Indonesia, hal ini di jelaskan dalam Pasal 11 aturan
peralihan UU 1945 yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2
Tahun 1945. Yang berisi tentang mengamanatkan bahwa sebelum Negara
Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya
sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.
Maka segala badan dan peraturan yang ada masih berlaku. Karena
itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan kejaksaan
dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan
37
Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai
perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun
waktu dan perubahan sistem pemerintah. Sejak awal eksistensinya, hingga
kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 25 periode
kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah
ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara
kerja Kejaksaan RI, juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem
pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan
mendasar pertama berawal tanggal 30 juni 1961, saat pemerintah
mengesahkan Undang- Undang No. 15 Tahun 1961 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kejaksaan RI. Undang-undang ini menegaskan Kejaksaan
sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum
pasal 1, penyelenggaraan tugas departemen kejaksaan dilakukan menteri atau
jaksa agung pasal 5 dan susunan organisasi yang diatur oleh keputusan
presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang kejaksaan dalam rangka
sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi
departemen disahkan undang-undang No. 16 tahun 1961 tentang
pembentukan Kejaksaan Tinggi.6
Dalam undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah
6
Ibid
38
yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang . Kejaksaan sebagai pengendali
proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam
penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan
apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat
bukti yang sah menurut hukum acara pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar). Karena itulah undang-undang kejaksaan yang baru ini dipandang
lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran kejaksaan RI sebagai
lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekusaan negara yang
diemban oleh kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
tertuang dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. ketentuan ini bertujuan melindungi profesi
jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.7
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur
tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 30,
7
Djoko Prakoso, S.H.1987.Mengenal Lembaga Kejaksaan Di Indinesia.Bina Aksara:Jakarta.
39
yakni :
a. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) Melakukan penuntutan.
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
bersyarat.
4) Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang.
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan
penyidik.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaanturut
menyelenggarakan kegiatan :
1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
2) Pengamanan kebijakan penegak hukum.
3) Pengamanan pengedaraan barang cetakan
40
masyarakat dan negara.
5) Pencegahan dan penyalahgunaan dan penodaan agama.
6) Penelitian dan pengembangan hukum statistic criminal.
B. Visi dan Misi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
1. Visi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Penetapan Visi sebagai bagian dari perencanaan strategik, yaitu
merupakan suatu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi atau
lembaga. Visi tidak hanya penting bagi suatu perusahaan atau instansi,
tetapi juga pada kehidupan organisasi atau lembaga itu selanjutnya.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sebagai lembaga penegak hukum
dalam rangka penyelenggaraan fungsi serta pelaksana tugas dan
wewenang sesuai dengan ketentuan perundang-undanganyang berlaku
menetapkan visi s