IMPLIKASI HUKUM PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DALAM PERKAWINAN DI KUA KECAMATAN SUKODONO SIDOARJO (STUDI
KOMPARASI KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI’I)
SKRIPSI
Oleh: Evi Nur Zaidah NIM.C01213031
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan di
KUA Kecamatan Sukodono Sidoarjo yang berjudul“Implikasi Hukum Pemalsuan
Status Calon Suami Dalam Perkawinan Di KUA Kecamatan Sukodono Sidoarjo
(Studi Komparasi KHI Dan Fiqih Madzhab Syafi’I)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon suami di KUA kecamatan Sukodono serta
bagaimana persamaan dan perbedaan antara KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’I
dalam Implikasi hukum perkawinan adanya pemalsuan status calon suami di KUA kecamatan Sukodono.
Data penelitian dihimpun melalui dokumentasi dan wawancara kepada bapak penghulu KUA Kecamatan Sukodono, bapak Mudin Desa Suko, serta kepala dusun. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan komparasi
KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’i. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pemalsuan
status calon suami dalam perkawinan di KUA Kecamatan Sukodono
perkawinannya batal atau tidak bila di tinjau dari KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’I
dan hal ini di analisis menggunakan teknik deskriptif analisis komparatif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemalsuan status calon suami dalam perkawinan di KUA Kecamatan Sukodono karena adanya niat dari suami untuk poligami akan tetapi enggan untuk mengikuti prosedur dari Pengadilan Agama tentang izin poligami dan tidak izinnya istri pertama. Pihak KUA Kecamatan Sukodono tidak mengetahui adanya unsur pemalsuan yang dilakukan oleh calon suami karena semua berkas yang diterima dan diteliti oleh kepala desa Suko dan KUA Kecamatan Sukodono adalah Legal, diketahui setelah istri pertama yang berasal dari jawa tengah mendengar kabar adanya perkawinan suaminya dengan perempuan berasal dari sukodono dan menggugat suaminya dengan panggilan ditujukan kepada Reskrim Sidoarjo dengan pemanggilan pihak KUA Kecamatan Sukodono untuk menjadi saksi dan memberikan bukti dokumen nikah atas perkawinan suami dengan istri keduanya dan terbukti berkas yang diberikan calon suami kepada KUA Sukodono adalah asli namun keterangan yang diberikan adalah palsu. Calon Suami yang berasal dari Tangerang Banten membulatkan tekad untuk menikah dengan calon istri yang berasal dari sukodono sidoarjo dengan menggunakan identitas lama berstatus perjaka, karena belum adanya pembaruan identitas setelah menikah dengan istri pertama. Implikasi hukum pemalsuan status calon suami perkawinannya dapat dibatalkan sesuai dengan pasal 72 ayat 2 Kompilasi hukum islam.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM...i
PERNYATAAN KEASLIAN...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
PENGESAHAN...iv
ABSTRAK...v
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI...ix
DAFTAR TRANSLITERASI...xii
MOTTO...x
v PERSEMBAHAN...xv
i BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah...12
C. Rumusan Masalah...13
D. Kajian Pustaka...13
F. Kegunaan Penelitian...17
G. Definisi Operasional...18
H. Metode Penelitian...20
I. Sistematika Pembahasan...23
BAB II : KEABSAHAN PERKAWINAN CALON SUAMI DAN SYARAT RUKUN SAH CALON SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI’I A. Keabsahan Perkawinan Menurut KHI 1. Syarat-syarat Perkawinan...25
2. Rukun Perkawinan...27
3. Akibat Hukum Tidak Memenuhi Syarat-syarat dan Rukun perkawinan...28
B. Keabsahan Perkawinan Menurut Fiqih Madzhab Syafi’i 1. Syarat-syarat Perkawinan...28
2. Rukun Perkawinan...49
3. Akibat Hukum Tidak Memenuhi Syarat-syarat dan Rukun Perkawinan...55
BAB III : IMPLIKASI HUKUM PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DALAM PERKAWINAN DI KUA KECAMATAN SUKODONO SIDOARJO A. Pelaksanaan Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono...57
2. Di Luar Gedung KUA...66
B. Gambaran Status Perkawinan Calon Suami 1. Identitas Calon Suami...67
2. Latar Belakang Perkawinan(Kronologis)...67
3. Pelaksanaan Pernikahan...69
BAB IV : ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA KECAMATAN SUKODONO MENURUT KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI’I 1. Analisis Implikasi Hukum Perkawinan Akibat Pemalsuan Status Calon Suami...71
2. Analisis Persamaan dan Perbedaan antara KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’i Dalam Implikasi Hukum Perkawinan Akibat Pemalsuan Status Calon Suami...76
BAB V :PENUTUP A. Kesimpulan...79
B. Saran...79
C. Penutup...80
DAFTAR PUSTAKA...81
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut
wanita dan pria yang bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah
pihak,saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.1
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa Perkawinan
menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.2
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah, dan rahmah.
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ,perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk Nya,baik pada manusia,hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu
1
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Toko Gunung Agung,
1995), 122. 2
2
cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk Nya untuk
berkembangbiak dan melestarikan hidupnya.3
Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul.4 Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al- tazwij yang artinya akad nikah. Juga
bisa diartikan (wath’u al zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir
sama dengan diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal
dari bahasa arab”nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi)”nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa
indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dpergunakan sebab telah
masuk dalam bahasa indonesia.5
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata
perkawinan. Dalam bahasa indonesia,” Perkawinan” berasal dari kata “Kawin”, yang
menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dngan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh”6 istilah “kawin” digunakan secara umum,untuk
tumbuhan,hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami.
Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung
keabsahan secara hukum nasional,adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna
3
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I , (Bandung: Pustaka Setia,1999), 9; Supiana dan
M.Karman,Materi Pendidikan Agama Islam ,( Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), cet ke 3, hal 125
4
Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi,Hikmah,Kisah, Syair, Wasiat, kata
Mutiara,Alih Bahasa,Kuais Mandiri Cipta Persada. (Jakarta: Qisthi Press,2003), 5 5
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, ( Bandung: Pustaka Setia,2000),11
6
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan
3
nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab
(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan
dari pihak lelaki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.7
Adapun menurut syarak: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk
membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera. Para ahli fikih berkata,zawwaj atau nikah adalah akad yang secara
keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan
ungkapan yang ditulis oleh zakiyat darajat dan kawan-kawan yang memberikan
definisi perkawinan sebagai berikut:
“akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.8
Nikah menurut bahasa artinya berkumpul dan bercampur. Sedangkan menurut
istilah syara’ adalah ijab-kabul dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan
untuk membentuk rumah tangga yang kekal,bahagia,sejahtera di bawah naungan rida
ilahi. Menurut aturan agama, akad nikah harus diucapkan dengan kata-kata sharih
yang menunjukkan maksud nikah.9
7
Abd.Rachman Assegaf, Studi Islam Konstektual Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah
(Yogyakarta: Gama Media,2005), 131. 8
Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Fikih, (Jakarta: Departemen Agama RI,1985) jilid II, 48
4
Pernikahan didasarkan pada sesuatu yang dituntut oleh agama, yaitu
berikut ini:
1) Pernikahan didasarkan pada agama.
Ini adalah tuntutan yang pertama. Pernikahan boleh pula
didasarkan pada kecantikan,keturunan, atau kekayaan. Kalau
keempatnya terdapat pada seseorang,hal ini sangat dianjurkan.
2) Bahwa perempuan yang dinikahi hendaklah orang yang banyak
keturunan.
3) Perempuan yang dinikahi itu,kalau dapat, hendaknya masih
perawan.
4) Kedua belah pihak hendaknya taat kepada Tuhan.10
Surat Al Hujuurat: 13
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”11 Seseorang yang hendak meminang perempuan disunahkan untuk
melihatnya lebih dahulu. Tujuannya untuk mengenali (berkenalan untuk
kebaikan) dari kedua pihak,baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan,agar tidak
menimbulkan penyesalan antara keduanya bila pernikahan telah dilangsungkan.12
10
Ibid., 253-256 11
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnnya, Add-Ins, Q.S. Al Hujuurat: 13
5
Perkawinan dianggap sah apabila rukun dan syarat dari perkawinan itu
telah dipenuhi. Diantara rukun dan syarat yang harus dipenuhi adalah salah satu
pihak tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Persyaratan yang harus dipenuhi
adalah syarat materiil, dalam syarat materiil harus mencantumkan identitas diri
para pihak, apabila identitas diri dipalsukan maka terjadi pelanggaran syarat
materiil dalam perkawinan.
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap
perkawinan harus dicatat. (pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam). Dalam pasal
6 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam, untuk memenuhi ketentuan dalam pasal
5,setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan
dituangkan dalam akta perkawinan yang dikeluarkan oleh pegawai pencatat nikah
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Salah satu unsur yang paling utama di dalam
akta perkawinan adalah identitas yang meliputi status perkawinan dari para pihak
yang ingin melaksanakan perkawinan tersebut. Status perkawinan memiliki akibat
hukum bagi para pihak yang terikat dalam suatu perkawinan tersebut. Oleh karena
itu perlu diperhatikan bahwa dalam pemberian identitas berupa status perkawinan
bagi para pihak yang ingin melaksanakan perkawinan tersebut harus dilakukan
6
suami atau istri sehingga tidak menimbulkan suatu masalah di kemudian hari
yang berujung pada sengketa di Pengadilan.
Surat Ar-Rum Ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.13
Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis,sejahtera,bahagia. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya
ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan
batinnya,sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota
keluarga.
Surat Ali Imran Ayat 14
13
7
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”14
Surat Ar-Rum ayat 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.15
Hikmah dari pernikahan adalah menjaga keturunan hingga anak-anak yang
dilahirkan betul-betul dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat.16
Poligami merupakan pembicaraan yang sangat sensitif bagi kaum
hawa. Sebab, tidak sedikit dari mereka tidak mau untuk dipoligami oleh suami
mereka. Masyarakat dan hukum yang dianut oleh orang barat sangat menutup
rapat-rapat mengenai poligami. Sebab, pada dasarnya, mereka kontra dengan
poligami,bahkan tidak ada sedikit pun peluang untuk melakukan poligami atau
monogami.17
14
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnnya, Add- Ins., Q.S. Ali Imran:14.
15
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnnya, Add- Ins., Q.S Ar-Rum:30.
16Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin., 251 17
Wiwi Alawiyah Wahid, Kesalahan-kesalahan Seputar Tahap-tahap Pernikahan Paling Sering
8
Ketentuan dalam masyarakat barat menyatakan bahwa pada waktu
yang sama,seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu
perempuan,dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki.
Sedangkan ayat tentang poligami yang banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia adalah firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 3 :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.18
Pada dasarnya, melakukan poligami memang diperbolehkan, akan
tetapi harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan al-Qur’an. Syarat-syarat tersebut bertujuan supaya praktik poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki
yang tidak bertanggung jawab, serta tidak mengerti aturan-aturan hukum yang
berlaku.
Dampak buruk dari poligami yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak
mengetahui duduk hukumnya sangat besar. Sudah banyak terjadi di
18
9
tengah masyarakat ihwal kaum hawa yang menjadi korban poligami. Dampak
yang sangat signifikan (penting) yaitu terjadinya perceraian suami dengan istri
pertama.
Maka dari itu, sebelum melangkah untuk melakukan poligami,
alangkah baiknya seseorang harus berfikir lebih intens dan berhati-hati supaya
tidak ada yang tersakiti. Selain itu, ia juga harus memikirkan akibat yang
ditimbulkan jika poligami yang hendak ditempuhnya tidak bisa berjalan
dengan baik dan seadil-adilnya.19
Suami yang hendak melakukan poligami diwajibkan meminta izin
kepada sang istri agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan
dikemudian hari.
Permasalahan yang paling tampak jelas adalah istri pertama meminta
cerai atau mengajukan perceraian karena tidak rela suaminya menikah lagi.
Tentu saja,permasalahan ini bisa dihindari apabila sang suami meminta izin
kepada istrinya untuk menikah lagi, dan istrinya mengizinkan. Selain itu,
suami tersebut juga harus mematuhi berbagai aturan dan persyaratan dalam
poligami. Seorang suami yang tidak mematuhi ketentuan dalam
berpoligami,misalnya ia tidak bisa berlaku adil,maka terdapat dosa baginya.
Dan, yang demikian itu merupakan kesalahan besar karena telah
memporak-porandakan pernikahan yang dibangun sebelumnya.
Adapun beberapa syarat dalam berpoligami adalah sebagai berikut:
19
10
1. Adanya persetujuan dari istri-istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.20
Persyaratan tersebut sudah sangat jelas dan harus dipenuhi.Setelah
persyaratan tersebut dipenuhi, seseorang berhak untuk mendapatkan
legitimasi hukum jika ingin beristri lebih dari satu. Laki-laki tersebut tidak
perlu menyembunyikan status perkawinannya telah dilakukan dengan istri
pertama.
Selanjutnya ,laki-laki yang hendak melangsungkan pernikahan yang
kedua,ketiga,keempat,ia boleh terlebih dahulu mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama mengenai pernikahannya tersebut.
Izin dari Pengadilan Agama tersebut memberikan kekuatan hukum
bagi seorang perempuan yang hendak menjadi istri kedua dari laki-laki
tersebut. Selain itu,pernikahan dengan istri kedua bisa tercatat secara resmi
oleh KUA dan mendapatkan kutipan akta nikah.
Dengan adanya kekuatan hukum sesudah tercatat di KUA dan
mempunyai akta nikah,sang istri kedua tersebut berhak melakukan tindakan
hukum sendiri. Contohnya, jika kelak melahirkan anak maka status anaknya
telah jelas,mendapatkan gugatan nafkah kepada sang suami,dan lain
20
11
sebagainya yang masih berkaitan dengan hak seorang istri terhadap
suami,walaupun sebagai istri kedua.
Akan tetapi, laki-laki yang berpoligami dan tidak mentaati
persyaratan serta aturan yang terdapat dalam undang-undang,kemudian nekat
melakukan poligami,tergolong tindakan yang melanggar hukum. Sebab,
sebagai warga Negara yang baik, ia harus mengikuti semua persyaratan dan
undang-undang yang telah ditetapkan.21
B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas terdapat beberapa masalah
yang sangat pokok,yang akan dikemas dalam identifikasi masalah sebagai
berikut:
a. Kronologi Kasus
b. Keterlibatan KUA Kecamatan Sukodono Sidoarjo dalam kasus
pemalsuan status perkawinan calon suami
2. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini perlu dilakukan batasan agar pembahasannya
tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan.
21
12
Disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan penelitian. Oleh
sebab itu maka penulis membatasi masalah dengan membahas tentang:
1. Implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon suami
2. Persamaan dan perbedaan antara KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’I dalam implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon
suami
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon
suami di KUA Kecamatan Sukodono?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara KHI dan Fiqih Madzhab
Syafi’I dalam implikasi hukum perkawinan adanya pemalsuan status calon
suami di KUA Kecamatan Sukodono?\
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini, pada dasarnya untuk mendapatkan
gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang
mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan
tidak adanya pengulangan materi penelitian.
Pembahasan mengenai pemalsuan status perkawinan ini adalah
13
ilmiah yang penulis lakukan,ada beberapa karya ilmiah yang membahas
masalah pemalsuan status perkawinan. Kajian terdahulu ,penelitian tentang
pemalsuan status pernikahan ini pernah dilakukan oleh:
1. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Suami (Studi Analisis Putusan No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal) oleh HADAENA MU’ARIFAH Mahasiswi Jurusan Syariah Program Ahwal Al-
Syakhsiyyah di SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA tahun 2012. Keputusan pembatalan perkawinan didasarkan
pada pertimbangan fakta-fakta hukum yang dnyatakan telah terbukti dan
cukup alasan bahwa suami terbukti telah melakukan penipuan dengan
sengaja dimana suami mengaku duda mati dengan melampirkan surat
kematian istri sirrinya padahal kenyataannya masih berstatus suami dari
istri pertama yang sah meskipun sudah dalam proses perceraian.
2. Akibat Hukum Pemalsuan Identitas Status Perkawinan dalam Akta Perkawinan yang Telah Diterbitkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 441 K/Pdt/1992oleh JAN FREDDY
FRANSISKUS TURNIP mahasiswa Universitas Negeri Jember. Peneliti ini membahas tentang pentingnya pencatatan perkawinan karena
pencatatan perkawinan adalah keharusan karena merupakan akta resmi
yang dapat dipergunakan sebagai bukti otentik tentang adanya
14
pernikahan yang dilakukan oleh suami karena suami berpoligami tanpa
persetujuan istri pertama.
3. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena
Pemalsuan Identitas dan Pengaruhnya Atas Hak Waris Anak (Studi kasus Putusan Perkara Nomor 266/Pdt.G/2005/PA.Bantul)
Peneliti Sikun mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pembatalan perkawinan terjadi karena pemalsuan identitas suami dimana dari
perkawinan tersebut telah dikaruniai 1 anak,bagaimana dengan status hak
kewarisan anakyang perkawinan orangtuanya dibatalkan.
4. Pemalsuan Identitas Sebagai Penyebab Pembatalan Perkawinan
(Studi Kasus di PA.Jakarta Timur Perkara Nomor 1852/Pdt.G/2009/PAJT). peneliti mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bernama Muhamad Muslih. Gugatan perkara permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh penghulu KUA kepada
majelis hakim dipandang sejalan dengan peraturan karena akan
menertibkan proses pencatatan perkawinan keluarga di indonesia dan hal
tersebut akan melindungi penghulu dari jeratan pidana. Perkara
permohonan pembatalan perkawinan tersebut dikabulkan dengan
pertimbangan-pertimbangan ang rumit. Majelis hakim memberlakukan
hukum baru yaitu membatalkan pernikahan kedua dan akta nikah kedua
15
membatalkan pernikahan ke 2 saja. Maka pernikahan tetap berlangsung
dengan menggunakan akta nikah pertama.
5. Analisis terhadap pemalsuan identitas calon pengantin (Studi Kasus Di
KUA Kec.Bantarbolang,Pemalang)
Peneliti bernama Ahmadi mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
terjadinya pemalsuan identitas calon pengantin karena motif si pelaku
ingin menikah lagi tetapi tidak mau izin dari istri yang sebelumnya dan
tidak mau izin ke Pengadilan Agama karena susahnya syarat administrasi
dan hukum perkawinan dari pemalsu identitas tersebut baik dari hukum
islam maupun hukum positf bahwa perkawinan tersebut sah,akan tetapi
cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Berbeda dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, maka peneliti memilih judul skripsi “Implikasi Hukum Pemalsuan Status Calon Suami Dalam Perkawinan Di KUA Kecamatan
Sukodono Sidoarjo (Studi Komparasi KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’i)”
ini karena peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan Kompilasi
Hukum Islam dan Fiqih Madzhab Syafi’i terhadap perkawinan yang di
dalamnya terdapat unsur penipuan dari calon suami,apakah perkawinan
tersebut tetap sah atau batal demi hukum dan guna mengetahui bagaimana
perbedaan dan persamaan dari Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih
16
E. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status
dilakukan oleh calon suami di KUA Kecamatan Sukodono.
2. Untuk mengetahui upaya Petugas Kantor Urusan Agama atau Pegawai
Pencatat Nikah untuk mencegah terjadinya pemalsuan status perkawinan.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara Kompilasi Hukum
Islam dan Madzhab Syafi’I dalam implikasi hukum perkawinan akibat
pemalsuan status yang dilakukan calon suami.
F. Kegunaan Penelitian
Studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat,baik
secara teoritis maupun praktis antara lain:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai media dalam mengembangkan potensi dan sumber daya diri
dalam bidang penelitian.
b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan mutu
serta prestasi di bidang hukum.
c. Memperluas wawasan dalam kaitannya dengan pemalsuan status calon
17
2. Secara Praktis
a. Sebagai media informasi wacana agar dapat memperluas cakrawala
pemikiran dan sebagai pedoman ilmu pengetahuan.
b. Dapat memenuhi persyaratan kelulusan Strata 1 (S1).
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah memahami maksud yang terkandung dalam
pembahasan ini, maka penulis perlu adanya beberapa kata kunci yang harus
diperjelas untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul diatas. Adapun
kata-kata kunci yang harus diperjelas adalah sebagai berikut:
Implikasi Hukum : Efek yang ditimbulkan di masa depan
atau dampak hukum yang dirasakan
ketika melakukan sesuatu atau akibat
langsung yang terjadi karena suatu
hal.22Keterlibatan atau keadaan
terlibat.23
Pemalsuan Status Calon Suami :Tindakan yang dilakukan secara
sengaja oleh calon suami dengan
mengganti sebagian atau keseluruhan
identitas diri dengan maksud
22
http://sanakyevan.blogspot.co.id/2012/03/.implikasi.hukum.html
23
18
mendapatkan keuntungan atau
menutupi status diri sebenarnya.
Upaya atau tindakan memalsukan
status.24
Kompilasi Hukum Islam :Sekumpulan materi hukum islam yang
ditulis pasal demi pasal berjumlah 229
pasal25,sebagai pedoman umat islam
dalam melakukan tindakan hukum.
Kumpulan yg tersusun secara teratur (tt
daftar informasi, karangan dsb).
undang-undang, peraturan, dsb untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat26
Fiqih Madzhab Syafi’i : Pandangan ulama Imam Syafi’i dalam
menetapkan hukum islam dalam syara’
khususnya masalah perkawinan.
Maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari penulis dalam penelitian
ini adalah kajian yang mengupas dan menganalisa tentang perkawinan pria
yang telah mempunyai seorang istri,namun menikah lagi dengan wanita lain
25
http://sanakyevan.blogspot.co.id/2012/03/kompilasi-hukum-islam.html
26
19
tanpa diketahui istri dan keluarga istrinya. Wanita yang akan dinikahinya pun
tidak mengetahui bahwa calon suaminya telah mempunyai seorang istri.
Wanita yang telah dinikahi nya mengetahuinya beberapa hari setelah akad
nikah.
H. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman
penelitian yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu
dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan,
sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari,merumuskan dan
menganalisa sampai menyusun laporan.
Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai
untuk mencari,merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna
mencapai satu tujuan.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
20
Data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai gejala
lainnya yang ada di lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung
pada obyek yang diteliti.27
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah:
a. Sumber data primer adalah sumber yang bersifat utama dan penting
yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian,28yaitu:
1. Kompilasi Hukum Islam
2. Kitab Fiqih Madzhab Syafi’i
a. Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat buku 2
b. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif
Madzhab Syafi’i
c. Fiqih Imam Syafi’i
d. Kajian FIQH Nabawi dan FIQH Kontemporer
e. Fiqih Lima Madzhab
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer,29yang dimaksud
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum( Jakarta:UI Pres,1986),52.
21
dalam sumber sekunder yaitu dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3. Tehnik pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitian ini,penulis menggunakan tehnik
dokumentasi dan wawancara kepada penghulu KUA Kecamatan
Sukodono, bapak Mudin desa suko kecamatan sukodono, serta bapak
kepala dusun.
4. Tehnik pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan literature, maka dalam penelitian ini,menulis
menggunakan metode pengumpulan data melalui telaah buku.
a. Editing, yaitu memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi
yaitu kesesuaian,kelengkapan, kejelasan, relevansi, dan keseragaman
dengan permasalahan.
b. Memeriksa data yang diperoleh dapat memberikan informasi atau
keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti berhubungan dengan
pembahasan tentang Implikasi Hukum Pemalsuan Status Calon Suami
Dalam Perkawinan di KUA Kecamatan Sukodono (Studi Komparasi
KHI dan Fiqih Madzhab Syafi’i)
5. Tehnik Analisis Data
Teknik analisa penelitian ini menggunakan deskriptif analisis komparatif
yaitu teknik analisa data dengan cara memaparkan data apa adanya
22
kemudian dianalisa dengan cara mencari persamaan dan perbedaan
masing-masing data tersebut untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan
yang bersifat khusus dari hasil riset, yang kemudian ditarik kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penulisan skripsi ini
dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
yang lain. Adapun sistematika pembahasan dalam proposal ini adalah sebagai
berikut:
Bab pertama berisi Pendahuluan. Untuk mengantarkan pembahasan
pada bab-bab selanjutnya secara lebih komperhensif, pendahuluan yang secara
ringkas dari keseluruhan skripsi ini berisikan tentang latar belakang,
identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah,kajian
pustaka,tujuan penelitian,kegunaan penelitian, definisi operasional,metode
penelitian, sistematika pembahasan.
Bab Kedua membahas tentang keabsahan perkawinan calon suami
dan syarat rukun sah calon suami dalam perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam dan Fiqih Madzhab Syafi’i. Bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama meliputi keabsahan perkawinan menurut KHI. Sub bab kedua
meliputi keabsahan perkawinan menurut Fiqih Madzhab Syafi’i.
Bab Ketiga membahas tentang pemalsuan status calon suami dalam
23
dua sub bab.Sub-bab pertama meliputi pelaksanaan nikah di KUA sukodono.
Sub bab kedua meliputi gambaran status perkawinan calon suami. Identitas
calon suami, kronologis pernikahan,pelaksanaan pernikahan.
Bab Keempat, analisis persamaan dan perbedaan implikasi hukum
perkawinan akibat pemalsuan status perkawinan menurut KHI dan Fiqih
Madzhab Syafi’i. Bab ini meliputi dua sub bab. Sub bab pertama analisis
implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon suami dan sub bab
kedua analisis persamaan dan perbedaan antara KHI dan Fiqih Madzhab dalam
implikasi hukum perkawinan akibat pemalsuan status calon suami.
Bab Kelima merupakan bab penutup. Yang menyajikan
kesimpulan-kesimpulan yang dilengkapi dengan saran dan penutup.
BAB II
KEABSAHAN PERKAWINAN CALON SUAMI DAN SYARAT RUKUN SAH CALON SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT KHI DAN FIQIH
MADZHAB SYAFI’I
A. Keabsahan Perkawinan Menurut KHI 1. Syarat- syarat Perkawinan
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat” atau menurut
islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.1
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami.
b. Calon Isteri.
c. Wali Nikah.
d. Dua Orang Saksi dan;
e. Ijab dan kabul.
1 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang,1976), cet ke I, juz I, hal 9;Abd.
25
1. Syarat Calon Suami
a.Pasal 15 ayat 1 : sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
b.Pasal 17 ayat 1 : adanya keinginan sendiri (tidak di paksa).
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
a. Pasal 17 ayat 2: Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
2. Syarat Calon Istri
a. Pasal 15 ayat 1: sekurang-kurangya berumur 16 tahun.
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya
26
b. Pasal 16 ayat (2) : tidak adanya paksaan. Persetujuannya berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa
diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip
yang diletakkan UU perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa
raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri masih dibawah umur 15.
3. Syarat Wali Nikah
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (pasal 19 KHI).
Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah.
a. Pasal 20 ayat 1: Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,aqil dan baligh.
2. Rukun Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
27
seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk sholat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.2
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami.
b. Calon Isteri.
c. Wali Nikah.
d. Dua Orang Saksi dan;
e. Ijab dan kabul.
3. Akibat Hukum Tidak Memenuhi Syarat-Syarat dan Rukun Perkawinan
Pasal 17 ayat (2):
Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.3
Pasal 29 ayat (3)
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
B. Keabsahan Perkawinan Menurut Fiqih Madzhab Syafi’i
1. Syarat-syarat Perkawinan
2
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 12.
3
28
Mempunyai sifat ahliyyatul-ada’ yang sempurna yaitu dewasa,berakal sehat,dan tidak overmacht (makhruhan).4
Laki-laki dan perempuan yang akan kawin5
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak
boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan,karena ini yang
tersebut dalam Al-Qur’an. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut:
1. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik
menyangkut nama,jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan
dirinya. Adanya syarat peminangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon pengantin telah
sama-sama tahu mengenal pihak lain,secara baik dan terbuka.
2. Keduanya sama-sama beragama islam (tentang kawin lain agama dijelaskan
tersendiri).
3. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan (tentang larangan
perkawinan dijelaskan tersendiri).
4. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang
akan mengawininya. Tentang izin an persetujuan dari kedua pihak yang akan
4
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 34.
5
29
melangsungkan perkawinan itu dibicarakan panjang lebar dalam kitab-litab fiqh
dan berbeda pula ulama dalam menentapkannya. Al-Qur’an tidak menjelaskan secara langsung persyaratan persetujuan dan izin pihak yang melangsungkan
perkawinan itu. Namun hadits Nabi banyak berbicara berkenaan dengan izin dan
persetujuan tersebut diantaranya:
Hadits Nabi Abu Hurairah muttafaq alaih yang berbunyi:
حكنت ا
حكنت ا رم ْ تست يتح ي ْاا
ست يتح ركبا
فيك ه ل سر ي ا ل ق نذ ْ ت
ل ق ىذا
كست نْا
“Perempuan yang sudah janda tidak boleh dikawinkan kecuali setelah ia minta
dikawinkan dan perempuan yang masih perawan tidak boleh dikawinkan kecuali setelah ia dimintai izin. Mereka berkata ya Rasul Allah bagaimana bentuk
izinnya/Nabi berkata izinnya adalah diamnya.”6
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Muslim yang bunyinya:
كبلا يل نم س نب حْا يثلا
كس ن ذا رم ْ تست ر
ت
“Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan dengan walinya dan
perempuan bikir diminta izinnya sedangkan izinnya itu adalah diamnya.”7
Hadits Nabi juga Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Daud, al Nasa’i dan yang
disahkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi:
رمْ تست ميتيلا رمْا يثلا عم يل ل سيل
6
Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, hadist no 1011 hadist-hadist tentang nikah.
7
30
“Tidak ada urusan bagi wali terhadap perempuan yang telah janda, sedangkan
perempuan yang masih kecil harus diminta izinnya”8
Dari hadits hadits Nabi tersebut ulama sepakat menetapkan keharusan adanya
izin dari perempuan yang dikawinkan bila ia telah janda dan izin itu harus secara
terang. Sedangkan terhadap perempuan yang masih kecil atau masih perawan
berbeda ulama tentang bentuk izin dan persetujuan tersebut, meskipun secara tidak
langsung ulama semuanya mengharuskan adanya persetujuan.
5. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh.
Bahkan kitab-kitab fiqh memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan
yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas,seperti
ungkapan: “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan
perempuan yang masih kecil”. Begitu pula kebolehan itu disebutkan secara tidak
langsung sebagaimana setiap kitab fiqh menyebutkan kewenangan wali mujbir
mengawinkan anak-anak yang masih kecil dan perawan.9
Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu
kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan.
Menurut pandangan mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin,
tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushaharah. Nabi
mengawini Aisyah anak dari Abu Bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan
8
Ibid., hadist no 1012.
9
31
untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat
anak nya sendiri. Namun pada waktu ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada
tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian,tidak adanya batas umur sebagaimana
yang berlaku dalam kitab-kitab fiqh tidak relevan lagi.10
Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Qur’an atau hadits Nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Qur’an dan begitu pula ada hadits Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.
Adapun al-qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 6:
“Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”
Dan ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan
batas umur itu adalah baligh.
Adapun hadis Nabi adalah hadis dari Abdullah ibn Masud muttafaq alaih yang
bunyinya:
بهشلا رشْعم ي ( س هي ع ه ى ص هه ل سر نل ل ق هنع ه يضر د عْسم نْب هه دْبع ْنعَ
ةء بْلا كْنم ع طتْسا نم !
هْي عف ْعطتْسي ْ ل ْنم , ج ْر ْ ل نص ْحأ , رصبْ ل ُضغأ ههنإف , ْج ه زتيْ ف
) ء ج هل ههنإف ; ْ هصل ب
هْي ع هتم
10
32
“ Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi..11
Ada seperti persyaratan dalam hadis Nabi ini untuk melangsungkan
perkawinan,yaitu kemampuan persiapan untuk kawin. Kemampuan dan persiapan
untuk kawin ini hanya terjadi bagi orang yang sudah dewasa.
Dalam salah satu definisi perkawinan disebutkan diatas ada yang
mencantumkan bahwa perkawinan itu menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik
antara suami dan istri. Adanya hak dan kewajiban atas suami atau istri itu
mengandung arti bahwa pemegang tanggung jawab dan hak kewajiban itu sudah
dewasa.
Dalam salah satu persyaratan pasangan yang akan melangsungkan perkawinan
tersebut diatas terdapat keharusan persetujuan kedua belah pihak untuk
melangsungkan perkawinan. Persetujuan dan kerelaan itu tidak akan timbul dari
seseorang yang masih kecil. Hal itu mengandung arti bahwa pasangan yang diminta
persetujuannya itu haruslah sudah dewasa.
11
33
Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus
dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa. Tentang bagaimana batas dewasa itu
dapat berbeda antara laki-laki dan perempuann, dapat pula berbeda karena perbedaan
lingkungan budaya dan tingkat kecerdasan suatu komunitas atau disebabkan oleh
faktor lainnya. Untuk menentukannya diserahkan kepada pembuat undang-undang
dilingkungan masing-masing.12
Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:13
Beragama islam
Laki-laki
Jelas orangnya
Dapat memberikan persetujuan
Tidak terdapat halangan perkawinan
Calon mempelai wanita,syarat-syaratnya:
Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
Perempuan
Jelas orangnya
Dapat diminta pesetujuannya
Tidak terdapat halangan perwaliannya
12 Ibid,67-68.
13
34
Wali nikah, syarat-syaratnya:
Adil
Laki-laki
Dewasa
Mempunyai hak perwalian
Tidak terdapat halangan perwaliannya
Syarat-syarat wali ialah:14
Islam
Balig (dewasa)
Berakal
Merdeka
Adil
Laki-laki
1. Adil (Orang yang menjauhi dosa besar dan tidak terbiasa melakukan
dosa kecil. Setidak-tidaknya orang yang taat beribadah seperti
sembahyahng,puasa,dll.)
2. Laki-laki
Tidaklah sah orang kafir menjadi wali orang islam. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa orang kafir tidak boleh menjadi wali orang islam.
14Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin.S,Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2 Muamalat,Munakahat,Jinayat., (
35
Surat Ali-Imran ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).”15
Begitu juga anak-anak,orang gila,budak atau orang yang durhaka kepada
Tuhan menjadi wali, seperti orang yang meninggalkan shalat dan lain-lainnya tidak
sah mejadi wali. Hal ini karena meninggalkan shalat adalah dosa besar dan telah
keluar dari yang dinamakan adil.
Orang-orang yang berhak menjadi wali ialah:
Bapak kandung
Bapak dari bapak kandung (datuk)
Saudara laki-laki seibu sebapak
Saudara laki-laki yang sebapak
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak
15
36
Paman
Anak paman yag laki-laki
Mu’tiq (orang yang memerdekakan) kemudian asabahnya.16
Persyaratan yang Berhubungan dengan Kedua Calon Mempelai
Syarat perkawinan yang berhubungan dengan kedua calon mempelai, (1) dan (2),
adalah:17
1. Keduanya memiliki identitas dan keberadaan yang jelas.
2. Keduanya beragama islam (Q.S Al-Baqarah (2):221)
3. Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan, mengingat ada beberapa
larangan dalam perkawinan islam, yaitu:
a) Larangan karena perbedaan agama, sebagaimana firman-firman Allah :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
16Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin., 271. 17
37
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(Q.S Al-Baqarah:221)18
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang