G
PLAN
LO
ISSN : 1858-3261
SEKAPUR SIRIH
KEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN
Sejarah menunjukkan bahwa walaupun secara umum semua fihak sama berpendapat betapa pentingnya keberadaan
sumberdaya hutan bagi kehidupan, namun dalam kenyataannya pembangunan sumberdaya hutan secara berkelanjutan selalu
saja dibenturkan dengan kepentingan sumber-sumber pembangunan bersifat kepentingan jangka pendek. Kondisi tersebut
yang akhirnya berujung pada degradasi kuantitas dan kualitas hutan, karena konversi kawasan secara otomatis menghilangkan
potensi modal pembangunan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan sumberdaya hutan yang melekat dan ada karena
keberadaannya
Dalam era globalisasi tekanan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan bagi kepentingan sekarang dan masa depan
makin menggema, bahkan kewajiban pengelolaan sumberdaya hutan secara bertanggung jawab dikaitkan dengan berbagai
prasyarat berjalannya negosiasi dan komitmen-komitmen internasional yang sangat strategis bagi kepentingan nasional.
Peran kompetensi dan komitmen sumberdaya manusia pengelola dan para fihak yang terkait dengan sumberdaya hutan
layak dianggap menjadi kunci solusi lingkaran permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan sekarang dan kedepan. Upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia
harus menjadi upaya yang tidak terpisahkan dengan
upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, jalur fungsional menjadi
alternatif pilihan upaya percepatan peningkatan
kapabilitas aparat secara berkesinambungan. Penetapan fungsional perencana (planolog) adalah salah satu upaya strategis
yang diharapkan dapat menjadi jawaban peningkatan profesionalisme pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak dalam
mendukung penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Dalam rangka dukungan nyata atas upaya peningkatan kapabilitas aparat fungsional perencana, kami menilai perlu untuk
menerbitkan suatu media sebagai ajang penyampaian, pertukaran dan pemutakhiran informasi yang menyangkut
keplanologian kepada publik., berdasarkan argumen itulah Buletin ”PLANOLOG” ini diterbitkan.
Akhirnya dengan tulus kami menyampaikan penghargaan atas kerja keras dan sumbangan pemikiran semua fihak yang
memungkinkan terbitnya buletin triwulanan ini. Mudah-mudahan semangat tersebut dapat menjadi modal utama agar media
ini dapat berkesinambungan dan bermanfaat bagi semua fihak sesuai dengan tujuannya.
Demikian dan Sukses Bersama Kita Bisa ...
Berbagai hal baik teknis maupun non teknis telah merintangi penerbitan edisi perdana buletin PLANOLOG ini, namun
atas kerja keras tim redaksi dan lindungan Yang Maha Kuasa, akhirnya buletin perdana ini terbit juga ke depan pembaca.
Berbagai informasi dan wacana yang berharga dalam persoalan kehutanan khususnya keplanologian dapat anda
cermati di dalamnya. Selanjutnya pembaca bisa menilai isi edisi perdana ini, kami sangat berharap tanggapan dan masukan dari
pembaca demi memajukan buletin ini untuk lebih baik kedepannya. Kami juga sangat membuka diri bagi yang ingin
menyumbangkan artikel maupun buah pikiran yang berhubungan dengan keplanologian.
Harapan kami semoga kehadiran buletin ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kehutanan khususnya yang
terkait dengan keplanologian.
Selamat membaca.
Redaksi
Halaman
2
Latar Belakang
Identifikasi Permasalahan
Seakan berbarengan dengan reformasi, frekuensi konflik lahan hutanpun di berbagai daerah mencuat kepermukaan. Berbagai klaim dan tuntutan kepemilikan kelompok-kelompok komunitas tertentu, atas kawasan hutan yang secara hukum telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Klaimpun berkembang sedemikian rupa atas lahan hutan, baik yang bebas maupun telah dibebani hak guna usaha, hak pengusahaan hutan. Dalih penyerobotan lahan milik komunitas menjadi lahan hutan negara, merupakan argumen klaim yang paling umum dengan modus disertai ancaman dan tindak anarkis apabila klaim mendapat respon atau mendapat respon tetapi tidak sesuai dengan isi tuntutan. Keberhasilan demi keberhasilan klaim seakan menjadi preseden bagi modus klaim serupa di berbagai tempat lainnya.
Kembali seakan belum cukup kepelikan masalah lahan yang ada, tekanan klaim dalam bentuk lain muncul terhadap
lahan hutan dalam bentuk ” ” yang
berdalih kepentingan umum dan kepentingan peningkatan penerimaan negara dari sektor-sektor strategis seperti pertambangan, perkebunan, transmigrasi sampai dengan pembukaan jaringan jalan.. Klaim dalam bentuk yang terakhir ini kerap membenturkan penafsiran antar peraturan dan perundangan yang mendasari masing-masing sektor.
Penitikberatan permasalahan pada terminologi sumberdaya lahan/kawasan semata , telah menafikan pengertian kawasan hutan adalah merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari sumberdaya lahan dan tegakan hutan/rencana penghutanan kembali di atasnya. Pergeseran tersebut telah mengaburkan manfaat sumberdaya hutan yang bukan saja menghasilkan outputnya sendiri berupa hasil hutan, namun yang tak kalah penting, sumberdaya hutan juga berperan strategis dalam menunjang eksistensi pembangunan sektor-sektor lain
Terlepas dari pengaburan makna hakiki dari sumberdaya hutan di atas, pertanyaan yang timbul, ”Begitu Lemahnyakah Peraturan PerUndangan yang mendasari penetapan Kawasan Hutan Negara, sehingga upaya konversi lahan hutan bisa mencabik-cabik kawasan dan fungsinya yang strategis hanya dengan dalih kepentingan-kepentingan jangka pendek ?”
Dasar hukum penetapan kawasan hutan Negara dimulai dari penafsiran pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang pada intinya menetapkan, bahwa hutan termasuk komoditi strategis bagi hajat hidup
trade off interest & comodity
Dari Sisi Internal Kehutanan
Tinjauan Persepsi Peraturan Per-Undang-Undang-an
masyarakat (public goods), sehingga dikuasai oleh negara d a n d i k e l o l a u n t u k s e b e s a r - b e s a r kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Berangkat dari penafsiran atau persepsi dikuasai dan dikelola oleh negara, maka lahirlah perUUan sebagai deivasi pasal 33 tersebut berupa UU Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 yang masih mengakomodasi berberapa ordonansi yang diterbitkan jaman Hindia Belanda.yang menyangkut perlindungan alam, penunjukkan register hutan dlsb. Sampai akhirnya dengan berbagai pertimbangan UU No.5 tahun 1967 dirubah menjadi UU No.41 tahun 1999 dengan judul yang sama.
Dalam perkembangannya kawasan hutan dari penunjukkan secara parsial kemudian meningkat menjadi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang bersifat makro indikatif dan telah ditanda tangani berbagai fihak lintas sektor yang kemudian ditata batas secara bertahap (mikro definitif) dan disahkan Berita Acaran Tata Batasnya oleh para Bupati setempat.
Persepsi internal kehutanan yang ditanamkan dalam proses penetapan kawasan hutan negara ini adalah : Secara hukum penetapan kawasan hutan dengan SK Menhut sama kuatnya secara hukum dengan Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Agraria/BPN. Oleh karena itu adalah suatu pelanggaran hak, apabila ada penggunaan kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan tanpa seijin Pemerintah cq Departemen Kehutanan. Padahal klausul tersurat tentang persepsi tersebut tidak terdapat baik dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan, PP No. 34 tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan maupun PP No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, bahkan pengertian tentang pemantapan kawasan hutan pun belum disepakati !.
Menanggapi realitas perkembangan kebutuhan pembangunan yang membuka peluang kemungkinan terjadinya kebutuhan lahan oleh fihak lain (non kehutanan), maka telah dibuat pelbagai peraturan yang mengatur kriteria, mekanisme/tata cara penggunaan lahan kawasan hutan antara lain melalui cara pelepasan, tukar menukar dan pinjam pakai. Namun pada prakteknya tidak terselenggara secara harmonis, kerap sekali penggunaan lahan hutan telah dilaksanakan kendati perijinannya belum atau sedang berproses.
Mengacu pada perjalanan proses di atas, dimana persepsi internal yang beranggapan seolah tidak ada yang salah dengan peraturan perundangan kehutanan dan penerapannya sangat berbeda nyata dengan kondisi senyatanya di lapangan, berdampak pada semua kegiatan yang berkaitan dengan kawasan hutan direncanakan dan dilaksanakan dalam konteks ”business as usual” atau dengan kata lain seperti tidak ada konflik di lahan hutan.. Hal tersebut jelas merugikan performance kinerja kehutanan secara keseluruhan dan berdampak pada rendahnya share kehutanan pada pembangunan nasional.
MERETAS UNIVERSALITAS ENTITAS PEMBANGUNAN
MENUJU SOLUSI
PROBLEM LAND TENURE, DEGRADASI HUTAN DAN KAWASAN HUTAN
(Suatu Pencerahan Pemahaman)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Dari Sisi Peraturan PerUUan Sektor Terkait
Terkait dengan aspek lahan, maka Agragria/BPN sebagai organ Pemerintah yang diberi otoritas untuk mengurus masalah pertanahan Nasional jelas berperan strategis dalam status aspek legal kawasan/lahan hutan. UU Agraria/Pertanahan mengatur otoritas BPN untuk menerbitkan pengakuan legalitas alas hak atas tanah dalam berbagai tingkatnya mulai dari hak milik, hak guna usaha, hak garap yang didasarkan atas permohonan pengguna dan sebab musabab yang mendasari timbulnya hak, seperti jual beli, waris, hibah, ijin usaha dsb. Dalam hal ini termasuk aset milik negara seperti tanah untuk kantor, gudang, rumah dinas menjadi wajib bersertifikat hak milik demi terjaminnya keamanan kekayaan negara. Kenyataan menunjukkan bahwa, sampai dengan saat ini belum ada satupun unit kawasan hutan negara yang disertifikasi oleh BPN, malah sebaliknya di beberapa bagian kawasan hutan yang telah ditunjuk dan ditetapkan dengan SK. Menhut, BPN mengeluarkan sertifikat hak kepemilikan atas tanah, sehingga b i s a d i s i m p u l k a n , b a h w a B P N t i d a k / b e l u m m e n g e t a h u i / m e n g a k u i S K M e n h u t t e n t a n g penunjukkan/penetapan kawasan hutan tersebut.
UU Pertambangan yang lahir lebih dahulu daripada UU Pokok Kehutanan sering sekali menjadi argumen sektor pertambangan untuk memprioritaskan pemanfaatan lahan untuk tambang bahkan di kawasan hutan lindung dan konservasi sekalipun. Hal ini menunjukkan, pengabaian atas SK. Menhut tentang penunjukkan dan penetapan hutan., dimana secara hukum positif, pengabaian tersebut didukung oleh hasil-hasil vonis pengadilan yang memenangkan pertambangan atas sengketa pemanfaatan tambang di atas lahan hutan.
UU Transmigrasi mengatur, bahwa pelaksanaan pemukiman transmigrasi di kawasan hutan, baru boleh dilakukan setelah ijin pelepasan kawasan dari Menhut terbit. Namun dalam prakteknya tidak ada pembatalan terhadap penggunaan lahan kawasan hutan yang terlanjur di gunakan untuk pemukiman transmigrasi sebelum terbit/ada ijin pelepasannya dari Menhut. Kenyataan lapangan menunjukkan penyelesaian status kawasan hutan yang digunakan oleh transmigrasi menjadi status quo, bahkan telah ada yang diterbitkan hak kepemilikannya oleh BPN setempat.
Dari tinjauan UU-UU dan implikasinya dari Sektor terkait tersebut, didapatkan kecenderungan keseragaman pandangan, yaitu ; belum/tidak diakuinya kekuatan SK Menhut sebagai alas hukum penetapan kawasan hutan negara. Hal ini diperkuat dari hasil-hasil putusan Pengadilan yang mengadili konflik penyerobotan lahan kawasan hutan oleh fihak pengguna secara tidak sah, hampir selalu dimenangkan oleh ”penyerobot” baik masyarakat maupun antar sektor di dalam tubuh pemerintahan sama (pertambangan, perkebunan, transmigrasi dsb.).
Dari tinjauan sisi internal dan eksternal kehutanan /sektor terkait di atas, maka dapat dirumuskan masalah mendasar dari adanya konflik lahan adalah :
Perumusan Masalah
”Ketidak pastian status yang menderivasi ketidak pastian sanksi yang mengikat telah mengakibatkan rendahnya pengakuan properti lahan kawasan sekaligus fungsi strategis hutan Negara”
penyebab strategis rendahnya pengakuan atas eksistensi/keberadaan kawasan hutan yang bermuara pada tingginya laju degradasi lahan hutan dan hutan, sedangkan tujuan dan manfaat nya adalah untuk mendapatkan alternatif upaya peningkatan peningkatan pengakuan kawasan hutan, sehingga laju degradasi hutan dan lahan hutan dapat diminimalisasi.
Maksud dan Tujuan
Analisis/Pembahasan
Maksud penulisan kajian umum ini adalah untuk mendapatkan
Lebih dari 30 tahun upaya Pemerintah cq Departemen Kehutanan secara terpadu dengan Pemerintah Kabupaten dan Propinsi yang telah menghabiskan begitu banyak biaya dan tenaga untuk mengukuhkan kawasan hutan negara, namun terhadap penunjukkan hutan negara seluas ± 13.805.509 ha sampai dengan tahun 2004 tercatat dari ± 217.163,25 km batas luar baru terealisasi ± 165.990,69 km, sedangkan dari ± 81.380 km tata batas fungsi-fungsi dalam kawasan hutan negara baru terealisasi ± 51.172,56 km, dengan catatan, bahwa masih dipertanyakan/ditelusuri seberapa jauh kesesuaian dan kelengkapan dokumentasi hasil pengukuran (Peta, Buku Ukur, Berita Acara Tata Batas, Hasil Padu serasi Rencana Tata Ruang) dan kondisi pal sebagai batas fisik di lapangan serta kondisi fisik kawasan hutan senyatanya. Sebagai catatan, seharusnya program/kegiatan penelusuran alas hukum kawasan hutan ini menjadi prioritas utama program pra-kondisi hutan.
Kenyataan kondisi yang ditinjau dari aspek hukum cukup rawan di atas menjadi makin rumit, karena dilain fihak fenomena konflik lahan kawasan hutan adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari atau ditutup-tutupi, karena eksternalitas negatifnya terhadap degradasi luas dan fungsi hutan sangat jelas terlihat dan terasa, baik dalam bentuk bencana alam maupun kerugian negara, kerugian finansil para pengusaha yang secara sah telah mendapatkan ijin pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan dan bermuara terancamnya kelestarian hutan dan hilangnya potensi sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dari tinjauan singkat aspek hukum, jelas bahwa status legal kawasan hutan ternyata hanya diakui secara ekslusif oleh lingkup Departemen Kehutanan secara internal saja, sedangkan sebagian fihak-fihak lain yang berkepentingan dengan lahan cenderung memandangnya sebagai lahan bebas/bera'. Apabila hal ini tidak segera diluruskan, akan timbul lemahnya posisi tawar Departemen Kehutanan mewakili Pemerintah dalam legalitas kawasan hutan sebagai aset negara, timbulnya kerancuan pada para pengguna lahan kawasan hutan yang tertib hukum (baca: mengakui eksistensi SK. Menhut) antara lain seperti timbulnya kekhawatiran atas jaminan kepastian status hukum lahan usahanya.
Halaman
3
G
P
L
A
N
L
O
Halaman
4
Upaya pelurusan yang dilakukan jelas harus canggih dan berdampak jangka pendek dan yang pasti akan tidakpopuler, karena menyangkut friksi kepentingan lintas sektor, namun demikian boleh diyakini kepastian status hukum kawasan hutan sebagai aset negara mestilah menjadi prioritas, karena kepentingannya yang menyangkut sosial politik dan ekologi serta ekonomi bukan saja strategis di internal negara tetapi telah menjadi isu global .
Mengingat dimensi permasalahan lahan hutan paling tidak meliputi dimensi ekonomi, sosial dan ekologi, maka dimensi hukum haruslah diletakkan sebijak mungkin agar tidak memperumit permasalahan yang sudah ada. Hukum s e l a y a k n y a m e n j a d i p e n g a w a l y a n g m e n j a m i n terselenggaranya optimalisasi manfaat aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari lahan hutan dan hutan secara proporsional, kontradiksi antar UU seharusnya tidak menciptakan trade off antar fungsi manfaat aspek melainkan mensinerjikannya.
Ketika aspek sosial, ekonomi dan ekologi disepakati sebagai entitas pembangunan, maka sudah seharusnya aspek-aspek tersebut mutlak menjadi dasar pertimbangan setiap kegiatan pembangunan yang menggunakan lahan hutan yang berkonsekuensi konversi hutan yang tumbuh di atasnya. Berangkat dari kesamaan entitas/karakteristik tersebutlah solusi minimalisasi ekternalitas negatif pembangunan terhadap aspek-aspek tersebut dibangun.
Integrasi domein sumberdaya hutan sebagai sumber output barang dan jasa hasil hutan dan jasa lingkungan dengan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang terselenggaranya keberadaan pembangunan sektor terkait yang seringkali terdikhotomi karena rigiditas perhitungan PDRB secara langsung maupun tidak langsung mengkondisikan inferioritas sampai peniadaan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang sektor lain, padahal keberhasilan pembangunan Nasional merupakan integrasi dari pembangunan parsial masing-masing sektor Pengintegrasian kedua domein akan menjadi penghubung ketergantungan pembangunan lintas sektor sekaligus menjadi forum pensinerjian antar sektor kehutanan dengan sektor terkait, sebagai contoh ; ketergantungan pembangunan pangan sangat tergantung pada pengairan yang notabene merupakan salah satu benefit keberadaan sumberdaya hutan, sediaan alur sungai yang reperesentatif sebagai alternatif moda transportasi, kedalaman pantai yang layak untuk pelabuhan dan sediaan air sebagai penggerak turbin PLTA akan menjadi effektif dan effisien (minimalisasi biaya pengerukan yang mahal dan minimalisasi ekternalitas kekeringan) dengan keberadaan sumberdaya hutan yang meminimalisasi endapan akibat erosi dan abrasi serta belum lagi kaitan sumberdaya hutan yang mampu menyerap polutan dan mentransmisikan oksigen sangat strategis bagi sektor kesehatan, serta pengaruh keberadaan sumberdaya hutan terhadap iklim dlsb.
Dari penempatan amanat hukum secara proporsional, kesamaan entitas yang berlaku universal dan tinjauan domein sumberdaya kehutanan tidak sekedar output namun terintegrasi secara utuh dengan domein sumberdaya hutan sebagai input tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) alternatif pendekatan dalam tinjauan masalah land tenure lahan hutan dari sisi pandangan pembangunan nasional dan berdampak positif terhadap pengakuan kawasan hutan, yaitu :
1. Penegasan status lahan kawasan hutan sebagai Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN), sehingga,
kewajiban pengamanannya mulai dari aspek alas hukum l a h a n ( s e r t i f i k a t ) , r e g i s t r a s i ( r e g i s t e r h u t a n ) pengamanan(patroli) dan pemeliharaan (rekontruksi) serta pemanfaatannya(sewa guna). Pengamanan IKMN mewajib- kan sertifikasi sah atas tanah-tanah hutan sebagai milik sah Negara dan dibuat registernya serta dokumen berkaitan pemilikan termasuk patok batas di lapangan harus teradministrasi dengan rapih dan aman, setiap penggunaannya (peminjaman, penambahan dan pengurangan) harus tercatat dan didasari oleh ijin sah yang berlaku. Pola penggunaan/pemanfaatan dalam bentuk apapun tidak menghilangkan kepemilikan negara atas lahan hutan tersebut (tidak mengurangi luas hutan negara ), kecuali dilakukan suatu ruijslaag yang memenuhi ketentuan. Dengan berlakunya status IKMN, maka baik hukum administrasi tata laksana, hukum perdata dan hukum pidana berlaku atas properti negara tersebut. Pendekatan ini merupakan upaya minimalisasi potensi kerugian negara sekaligus meningkatkan posisi tawar Pemerintah cq Departemen Kehutanan dalam p e n g e l o l a a n h u t a n y a n g s e c a r a e k o n o m i s menguntungkan, namun tetap ramah lingkungan dan berfihak pada local specific entity dalam memelihara k e s e i m b a n g a n d i s t r u b u s i m a n f a a t h u t a n . 2. Penetapan/Pengukuhan lahan kawasan hutan cukup sampai SK Menhut RI seperti saat ini, namun dalam pengalokasian pemanfaatan dalam kerangka pengelolaannya menitik beratkan pada Fungsi Utama/Dominan dari bagian kawasan hutan yang b e r s a n g k u t a n . M a k s i m a l i s a s i p e m a n f a a t a n multiguna/multi produk (barang dan jasa) dengan menjaga fungsi tersebut pada ambang yang aman secara teknis dalam arti minimalisasi transmisi potensi ekternalitas negatif yang mungkin terjadi akibat pemanfaatan.
3. Pengayaan SK Menhut RI tentang Penetapan Kawasan hutan dengan SKB Menteri tentang Integrasi penetapan kawasan hutan dalam konteks sumberdaya hutan sebagai input strategis penunjang pembangunan sektor terkait Terwujudnya SKB ini boleh diyakini akan memperkuat pengakuan kawasan hutan terutama dari sektor terkait, sehingga potensi friksi/konflik bisa digiring menjadi proses pensinerjian pembangunan lintas sektor.
Bahwa hutan secara umum sesuai pasal 33 UUD 1945 dikategorikan sebagai ”public goods” bukanlah berarti kawasan yang bersifat status quo, sehingga dapat digunakan secara ”bebas nilai”, namun dikuasai oleh negara seharusnya ditafsirkan bukan sebagai penghilangan property right Negara atas kawasan hutan tersebut. Dengan kata lain ditinjau dari sisi pandang Hukum Nasional kawasan Hutan adalah juga ”private goods” yang wajib dilindungi dengan properti right yang jelas dan sah menurut hukum demi keamanan keberadaannya. Pemahaman ini berimplikasi UU keagrarian sebagai sentral otoritas kepemilikan wajib memberikan alas hukum yang sah terhadap kawasan hutan sebagai salah satu aset nasional yang dimandatkan pengurusan dan pengelolaannya opada Departemen Kehutanan. Bahwa pasal 33 UUD 1945 menetapkan ”hutan, tanah dan air ... untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, wajib ditafsirkan dalam konteks maksimalisasi fungsi dan manfaat serta minimalisasi dampak/eksternalitas pengelolaannya, sehingga perlu dilindungi keberadaannya dan diatur pengelolaannya sebijaksana mungkin sesuai karakter sumberdaya-sumberdaya dimaksud, sehingga
G
P
L
A
N
L
O
Halaman
5
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
ketika tata ruang/tata guna lahan yang mencerminkan land capability dan land suitability telah disepakati didasari oleh karakteristik sumberdaya, maka konteks untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat haruslah berbasis pada konsistensi kesepakatan yang telah dibuat tersebut .
Penetapan suatu kawasan hutan negara, didasarkan atas terpenuhinya karakteristik dimensi fungsi hutan, sedangkan fungsi kawasan hutan dengan luasan lahan di bawahnya diklasifikasikan berdasarkan bentangan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena DAS mewakili topografi yang mencerminkan klasifikasi karakteristik tingkat resiko ekternalitas negatif dari pengelolaannya terhadap kepentingan umum kehidupan secara menyeluruh(sebesar-besar kemakmuran rakyat), yaitu semakin menyeluruh(sebesar-besar kemiringan lahan dan semakin tinggi lahan dari atas permukaan laut serta semakin dekat dekat dengan sumber-sumber air (sungai, danau dan laut) semakin besar potensi ekternalitas negatif pengelolaannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pengelolaan adalah yang bertendensi pada konversi yang berakibat pada pengurangan tegakan hutan di atas lahan hutan, sehingga fungsi ekologinya terganggu dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi dan sosial di sekitar wilayah dampak.
Berangkat dari proses penetapan kawasan hutan di atas, maka sangatlah tepat pendekatan entitas pembangunan trilogi sosial, ekologi dan ekonomi sebagai wujud fungsi manfaat sumberdaya hutan dan pencuatan domein sumberdaya hutan sebagai input serta pendekatan hukum yang dipandang sebagai faktor pengikat/penjamin terselenggaranya entitas pembangunan secara proporsional digunakan sebagai dasar solusi terjaminnya pengelolaan kawasan hutan secara harmonis dengan sektor-sektor terkait dalam dimensi pembangunan Nasional.
Te r b u k t i b a h w a , r e n d a h n y a p e n g a k u a n eksistensi/keberadaan kawasan hutan dengan pembenaran aspek legalitas masing-masing sektor .salah satu penyebab utama dari tingginya laju degradasi hutan dan lahan hutan Perbedaan pandangan internal kehutanan yang ”over value” atas status hukum kawasan hutan satu sisi dan pandangan eksternal kehutanan yang ”under value” atas fungsi dan benefit sumberdaya hutan di sisi lain mengakibatkan konflik-konflik lahan hutan berkembang seolah ”unsoluable” .
Dari analisis pembahasan masalah penyebab degradasi terutama terkait dengan rendahnya pengakuan atas keberadaan/eksistensi kawasan hutan yang bermuara pada degradasi lahan hutan dan hutan, maka sebagai alternatif upaya meningkatkan pengakuan kawasan hutan, disimpulkan dan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat dilakukan melalui penegasan statusnya sebagai Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN) dalam bentuk peningkatan status hukumnya dari SK Menhut RI menjadi Sertifikat Hak Milik Lahan Hutan Negara cq Dep. Kehutanan. Alternatif ini selain menjamin keamanan dan meningkatkan akurasi neraca sumberdaya hutan, namun j u g a b e r k o n s e k u e n s i b e r l a k u n y a a t u r a n penyelenggaraan IKMN atas kawasan hutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Kesimpulan dan Rekomendasi
2. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat dilakukan melalui, Penempatan aspek hukum secara p r o p o r s i o n a l l e b i h s e b a g a i p e n g i k a t e n t i t a s pembangunan , sosial, ekologi dan ekonomi seluruh s e k t o r, d a r i p a d a s e b a g a i a l i b i p e m b e n a r a n penyelenggaraan pembangunan sektor masing-masing, s e h i n g g a s i n e r j i s i t a s m a k s i m a l i s a s i f u n g s i , benefit/manfaat serta minimalisasi potensi ekternalitas negatiflah yang menjadi pertimbangan prioritas pembangunan seluruh sektor. Alternatif mendukung pengamanan kawasan hutan dari sisi luas dan fungsi secara partisipatif oleh seluruh pengguna/pemanfaat kawasan hutan.
3. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat dilakukan melalui pemanfaatan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang pembangunan berbagai sektor terkait yang mendasari SKB antar Menteri Sektor terkait. Alternatif ini mengedepankan harmonisasi share forward linkage sub-sistem on farm sumberdaya hutan dengan backward linkage sector lain yang tergantung kepada keberadaan hutan dalam luas yang cukup. Semoga dengan reformasi kebijakan lahan khususnya di kawasan hutan dapat mendukung paradigma
ke masa depan. (SR/AD)
Halaman
6
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Dalam rangka menindak lanjuti rangkaian Internasional workshop desentralisasi kehutanan yang dilaksanakan di Interlaken Swiss pada tanggal 27-30 April 2004. Departemen Kehutanan dengan dukungan FLBEU,MFP-DFID,World Bank, serta JICA menyelenggarakan workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Indonesia.
Workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Indonesia dilaksanakan di hotel Intercontinental Mid Plaza Jakarta pada tanggal 26 27 Agustus 2004. Workshop ini dihadiri oleh para pengambil keputusan dari pemerintah kabupaten dan propinsi, Perguruan Tinggi, LSM, BUMN, Organisasi Profesi Kehutanan, Lembaga Donor, Departemen Kehutanan, Departemen Luar Negeri, Bapennas, Departemen Dalam Negeri dan Swasta, dihadiri oleh 132 peserta. Workshop ini bertujuan untuk memperkenalkan prinsipprinsip umum pelaksanaan desentralisasi,pertukaran pengalaman pengelolaan sumber daya hutan oleh pemerintah daerah serta mencari wacana (model) baru pengembangan desentralisasi Kehutanan. Tulisan ini mencoba menginformasikan hasil identifikasi beberapa permasalahan desentralisasi sektor Kehutanan dari hasil workshop tersebut.
Berdasarkan pandangan umum yang disampaikan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Mr. Christian Kuchli (Pemerintah Swiss), Mr. Ronan Mac-Aongusa (Komisi Eropa) dan presentasi yang disampaikan oleh Dr. I Made Suwandi (Depdagri), Dr. Dedi M. Masykur Riyadi (Bappenas), Bupati Rokan Hilir, Bupati Kutai Barat, Djauhari Oratmangun (Deplu) serta hasil Diskusi Kelompok dan Diskusi Plena, di identifikasi permasalahan-permasalahan yang mengemuka dan perlu mendapat tindak lanjut, yaitu :
P e r m a s a l a h a n p a d a P e n g a t u r P e r a n d a n Tanggungjawab Lintas Tataran dan Sektor dalam Kaitannya dengan Sektor Kehutanan adalah perumusan kebijakan dan p e r e n c a n a a n k e h u t a n a n b e l u m s i s t e r n a t i s d a n terintegrasi,kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum dirumuskan dengan mantap,belum mantapnya kebijakan penetapan dan pengelolaan kawasan hutan serta pemanfaatannya,masih lemahnya upaya penegakan hukum dan koordinasi antar sektor dan stakeholder terkait,proses perijinan tidak konsisten dan cenderung panjang untuk pengelolaan hutan,belum optimalnya fasilitasi dan dialog yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah dan stakeholders terkait di daerah serta kurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah pusat kepada daerah serta belum optimalnya pelayanan publik di bidang kehutanan.
tuntutan masyarakat terhadap kepastian kawasan (terutama hutan milik/adat/ulayat) semakin meningkat,ketidakpastian terhadap status kawasan berdampak negatif terhadap hutan,di banyak kabupaten terdapat kebutuhan lahan hutan untuk membangun perkebunan. Hal ini menuntut peninjauan kembali peraturan
Permasalahan pada Kerangka Kebijakan dan Pengaturan Penganggaran serta Pengembangan Investasi adalah
perundangan mengenai pelepasan kawasan hutan konversi.Masalah tenurial masih lebih terkait dengan pemanfaatan kayu dan belum mengedepankan jasa lingkungan yang disediakan sumber daya hutan.Masyarakat merasakan terbatasnya akses untuk memanfaatkan hasil hutan serta kewenangan bupati memberikan ijin pemanfaatan kayu seluas 100 hektar merupakan instrumen pengendali terhadap pencurian kayu/penebangan ilegal.
Permasalahan pada Proses Multipihak dan Peningkatan Kapasitas adalah keterwakilan dalam proses partisipasi multi-pihak yang masih kurang memuaskan, proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, proses m u l t i p i h a k t e r k e n d a l a o l e h w a k t u d a n a n g g a r a n , k e t i d a k j e l a s a n k e w e n a n g a n D i s h u t , ketidaksesuaian antara UU 41/99 dengan peraturan perundangan yang terkait lainnya, kelembagaan kehutanan di daerah belum optimal, kurangnya komitmen dalam penyediaan sumberdaya dan keuangan dari para pihak yang terlibat serta keterbatasan sumberdaya keuangan dari Pemerintah dalam peningkatan kapasitas daerah di bidang k e h u t a n a n . A d a p u n o p s i p e n y e l e s a i a n y a n g direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan
peraturan perundangan dibidang Kehutanan.
b. Perlu keseimbangan dan
c. Pelaksanaan desentralisasi kehutanan perlu mengacu
kepada proses pembelajaran ( ) dari
beberapa. negara yang memiliki tingkat keberhasilan yang nyata dan aspirasi daerah sebagai basis kelembagaan.
d. Memantapkan konsistensi dalam implementasi konsep tata ruang dengan memperhatikan kepentingan dan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
e. Perlu strategi pengembangan dan restrukturisasi industri perkayuan.
f. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta stakeholder terkait lainnya.
g. Mengembangkan pola pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional secara kolaborasi (
).
h. Segera dilakukan penyesuaian Peraturan Perundangan yang saling bertentangan.
i. Perlu ada agenda konkrit untuk penguatan desentralisasi.
j. Pelaksanaan desentralisasi perlu dilakukan melalui pentahapan yang mencakup mobilisasi dana, penyusunan struktur pelaksana dan kultur, serta peningkatan interaksi antara pemerintah dan pemda.
k. Perlunya payung hukum ( ) untuk
memecahkan konflik antara Undang-Undang. l. Peningkatan profesionalisme dan kapasitas SDM.
1. Desentralisasi sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis perlu dilaksanakan secara gradual serta
intangible tangible benefit
lesson learned
collaborative management
political will
.
Ada 2 pandangan umum tentang desentralisasi dari hasil workshop yaitu :
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DESENTRALISASI
SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA
( Disarikan dari workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Jakarta,26-27 Agustus 2004)
Halaman
7
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
membangun konsensus secara terbuka, transparan dan proses yang inklusive, penentuan kebijakan secara partisipatif, pengembangan kapasitas SDM, teknis dan institusi, provisi sumberdaya finansial dan insentif bagi investasi, sejalan dengan tujuan pada konteks lokal dan fleksibilitas untuk mengantisipasi terhadap perbedaan dan perubahan situasi. Prioritas perlu ditetapkan untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas penduduk setempat untuk mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif. Pelaksanaan desentralisasi harus mempunyai manfaat yang positif kepada masyarakat setempat.
2. Suksesnya pelaksanaan desentralisasi memerlukan beberapa persyaratan antara lain perumusan yang jelas, kondisi yang kondusif untuk pengembangan aspek legal dan kerangka kebijakan serta penyebaran informasi y a n g l u a s y a n g m e m a k a n w a k t u , m a m p u mengintegrasikan proses desentralisasi ke dalam , tujuan yang dapat dicapai, aturan dan tanggung jawab yang jelas.Adanya sumberdaya dan akuntabilitas serta adanya mekanisme resolusi konflik. Suksesnya hasil pelaksanaan desentralisasi berpengaruh kuat terhadap pengamanan lahan dan aspek keuangan, penerimaan negara dan perpajakan. (PS/AD)
National Forest Program
Salah satu indikator implikasi dari good governance adalah suatu kebijakan publik yang dihasilkannya.
Rumus umum dalam kebijakan publik adalah keputusan pemrintah untuk berbuat ( ) atau tidak berbuat ( ) khususnya, terkait intervensi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik ( Dunn, 1980).
Suatu kebijakan dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik apabila di dalam proses perumusan , penetapan, implementasi, sosialisasi, evaluasi dan monitoring melibatkan publik atau dengan kata lain menganut asas transparansi. Nilai-nilai kebersamaan, keterwakilan dan berkeadilan akan mempresentasikan aapakah suatu kebijakan publik layak secara teknis, administratif, lingkungan, sosial budaya, legal dan politis.
Paradigma pemilihan Presiden/Wakil Presiden, dan legislatif secara langsung menghasilkan lingkungan kebijakan yang kondusif, yaitu dalam bentuk mensyaratkan diskusi publik dalam setiap tahap proses penetapannya.
Rencana sektor kehutanan merupakan salah satu kebijakan publik yang strategis dari Departemen Kehutanan didalam proses perumusan sampai dengan implementasinya tidak terlepas dari keharusan diskusi publik dimaksud di atas.
Apapun rencana yang disusun Departemen kehutanan harus berorientasi pada fokus kesejahteraan masyarakat dan kelestarian keberadaan, fungsi dan manfaat hutan. Hal ini sangat relevan dengan persyaratan proses dihasilkannya perencanaan hutan dan kehutanan sebagai kebijakan publik.
do do no thing
Sehubungan dengan pemenuhan persyaratan perencanaan sebagai kebijakan publik perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Didasarkan oleh perumusan hasil identifikasi p e r m a s a l a h a n y a n g t e p a t d a n f o k u s d a n memperhatikan heterogenitas sektor maupun wilayah (spasial). Hindarkan generalisasi permasalahan ! 2. Alternatif solusi merupakan hasil kajian dan komparasi
empiris yang direpresentasikan sebagai skenario-skenario dan asumsinya.
3. Terhadap setiap alternatif dilengkapi kajian dampak positif dan negatifnya.
4. Terhadap alternatif terpilih dilengkapi dengan strategi sosialisasi dan implementasi (endorsement mulai dari diskusi publik secara dini).
5. Pengendalian pelaksanaan melalui monitoring dan evaluasi, dilaksanakan secara konsisten dengan indikator yang jelas.
6. Adanya penilaian obyektif terhadap pelaksanaan sekaligus umpan balik untuk penyempurnaan rencana. (SR/SR)
POSISI RENCANA SEBAGAI SUATU KEBIJAKAN PUBLIK
Halaman
8
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Pengantar
Apa itu Perencana?
Dalam struktur organisasi Departemen Kehutanan terdapat suatu kelompok jabatan fungsional yang biasanya berada langsung di bawah kendali Eselon II. Sampai saat ini di Departemen Kehutanan terdapat beberapa jenis jabatan fungsional, antara lain: Pengendali Ekosistem Hutan, Penyuluh Kehutanan, Auditor, Widyaiswara, Arsiparis, Penata Komputer, Surveyor & Pemetaan, Peneliti, Perencana.
Masing-masing jabatan fungsional tersebut berada di beberapa Eselon I lingkup Departemen Kehutanan sesuai dengan bidangnya, dengan gambaran sebagai berikut: 1. Pengendali Ekosistem hutan berada di Eselon I sesuai
dengan bidangnya.
2. Auditor berada di Inspektorat Jenderal dan dalam pembinaan Badan Pemeriksa Kehutanan (BPK).
3. Widyaiswara berada di Sekretariat Jenderal (Pusdiklat Kehutanan) dan dalam pembinaan LAN.
4. Penyuluh Kehutanan berada di Sekretariat Jenderal (Pusbinluh Kehutanan).
5. Arsiparis berada di Sekretariat jenderal.
6. Surveyor dan Pemetaan berada di Badan Planologi Kehutanan dan dalam pembinaan BAKOSURTANAL. 7. Peneliti berada di Badan Litbang Kehutanan dan dalam
pembinaan LIPI.
8. Perencana berada sebagian besar di Badan Planologi Kehutanan dan dalam pembinaan BAPPENAS.
Tulisan di bawah ini mencoba menginformasikan kepada pembaca sekilas tentang Fungsional Perencana, dengan harapan ada beberapa dari pembaca yang tertarik dan berkeinginan menyumbangkan pikiran dan karyanya untuk kemajuan pembangunan kehutanan dari aspek perencanaan dengan menjadi Fungsional Perencana.
Keberadaan fungsional perencana dilandasi dan diatur dalam Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) No. 16/Kep/M.PAN/3/2001. Fungsional Perencana dibentuk dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna SDM pada Aparatur Negara yang bertugas melakukan kegiatan perencanaan pembangunan.
Fungsional perencana selanjutnya disebut Perencana adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pada unit perencanaan tertentu.
Seperti lazimnya pengaturan jabatan fungsional, terdapat unsur dan sub unsur kegiatan yang menjadi semacam “spesifikasi” dari aspek-aspek yang menjadi ciri khas dari jabatan fungsional tersebut. Bagi perencana, unsur dan sub unsur kegiatannya diuraikan sebagai berikut:
1. Pendidikan, yang meliputi:
a. Mengikuti pendidikan sekolah dan memperoleh gelar/ijasah
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan kedinasan di bidang perencanaan dan mendapatkan sertifikat dan/atau STTPL
2. Kegiatan perencanaan, yang meliputi: a. Identifikasi permasalahan
b. Perumusan alternatif kebijakan perencanaan c. Pengkajian alternatif
d. Penentuan alternatif dan rencana pelaksanaan e. Pengendalian
f. Penilaian hasil pelaksanaan
3. Pengembangan profesi yang meliputi:
a. Membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang perencanaan
b. M e n t e r j e m a h k a n / m e n y a d u r b u k u d i b i d a n g perencanaan
c. Berpartisipasi secara aktif dalam penertiban buku di bidang perencanaan
d. Berpartisipasi secara aktif dalam pemaparan (ekspose) draft/pedoman/modul di bidang perencanaan
e. Melakukan studi banding di bidang perencanaan f. Melakukan kegiatan pengembangan di bidang
perencanaan
4. Penunjang kegiatan perencanaan yang meliputi:
a. Mengajar/malatih/melakukan bimbingan di bidang perencanaan pembangunan
b. Mengikuti seminar/lokakarya di bidang perencanaan pembangunan
c. Menjadi pengurus organisasi profesi
d. Menjadi anggota delegasi dalam pertemuan internasional
e. Menjadi anggota Tim Penilai Jabatan Perencanana f. Memperoleh gelar kesarjanaan lainnya
g. Memperoleh penghargaan/tanda jasa di bidang perencanaan
Adapun jenjang jabatan perencana terdiri atas: Perencana pertama, Perencana muda, Perencana Madya, Perencana Utama, dengan pangkat dan golongan ruang jabatan digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Matrik penggolongan jenjang jabatan perencana, pangkat dan golongan ruang
FUNGSIONAL PERENCANA, TERTARIKKAH ANDA?
Oleh:Ir. Ali Djajono, M.Sc.
JENJANG JABATAN PANGKAT DAN GOLONGAN/RUANG
Perencana pertama - Penata Muda, Gol III/a - Penata Muda Tk I, Gol III/b
Pererencana muda - Penata, Gol III/c - Penata Tk I, Gol III/d
Perencana madya - Pembina, Gol IV/a - Pembina Tk I, Gol IV/b - Pembina utama muda, Gol IV/c
Halaman
9
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
fungsional lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali Ekosistem dll).
Persyaratan untuk menjadi perencana pada masing-masing mekanisme digambarkan dalam tabel di bawah ini
Tabel 2. Uraian persyaratan pengangkatan menjadi Perencana
Berminat ke Perencana ?
Berminat menjadi perencana?, menurut pendapat penulis ada beberapa alasan yang menjadikan perencana menarik untuk dijadikan alternatif peningkatan potensi dan karir diluar jabatan struktural.
Alasan-alasan tersebut antara lain:
1. Adanya beberapa tantangan dan peluang kegiatan di bidang perencanaan yang masih memerlukan dukungan tenaga-tenaga spesialis (profesional) perencanaan yang lebih punya banyak waktu dibandingkan tenaga-tenaga struktural. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan, kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: penyusunan rencana-rencana kehutanan (misal: Rencana jangka panjang, Renstra, Renja, Rencana Kinerja), National Forest Programme (NFP), penyusunan rencana-rencana kegiatan lingkup Instansi, Analisis kebijakan kehutanan, perumusan kebijakan kehutanan, evaluasi dan pengendalian rencana.
2. Lawas/lingkup kegiatan perencanaan sangat luas meliputi dimensi Nasional, internal sektor, lintas sektor, regional/wilayah, daerah dan antar daerah.
3. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan, jumlah perencana masih terbatas dan kebanyakan telah ditugaskan kembali ke struktural.
4. Penetapan sebagai perencana menggunakan sistem “levelering”, artinya bahwa pengangkatan pertama kali sebagai perencana penetapan angka kreditnya tergantung pada pangkat dan golongan ruang terakhir yang dimiliki, tidak ditentukan oleh masa kerja, jenjang pendidikan, serta pengalaman kerja dan pelatihan lainnya. Disamping itu persyaratan untuk menjadi perencana tidak begitu “rumit” seperti apabila ingin menjadi misalnya widyaiswara atau auditor serta memperoleh tunjangan yang relatif memadai.
Apa Mekanisme dan persyaratan untuk menjadi Perencana?. Ada 3 (tiga) tipe cara pengangkatan untuk menjadi Perencana, masing-masing melalui: a) Mekanisme “Impassing”, b) Mekanisme pengangkatan pertama kali; c) Mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya, dengan persyaratan pada masing-masing mekanisme berbeda.
Pengangkatan melalui mekanisme “inpassing” diberlakukan saat pertama kali jabatan fungsional perencana diperkenalkan dan diimplementasikan serta mekanisme ini hanya berlaku s/d 2003. Sehingga pengangkatan melalui mekanisme ini sudah tidak ada lagi.
Pengangkatan menjadi perencana melalui mekanisme pengangkatan pertama kali diperlakukan bagi PNS yang berminat menjadi perencana dan yang sebelumnya tidak/belum memangku jabatan struktural/fungsional lainnya. Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan sebelumnya adalah staf biasa atau belum pernah menjadi fungsional lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali Ekosistem dll).
Sedangkan Pengangkatan menjadi perencana melalui mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya diperlakukan bagi PNS yang berminat menjadi perencana dan yang sebelumnya memangku jabatan struktural/fungsional lainnya. Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan sebelumnya adalah pejabat struktural atau menjadi
Dalam petunjuk teknis yang diatur dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS No. 234/M.PPN/04/2002, terdapat contoh pejabat struktural yang berkeinginan menjadi perencana. Contoh tersebut digambarkan sebagai berikut: Dra Diah Anggraeni, MA, adalah PNS dengan pangkat/golongan ruang Pembina IV/a. Dra. Diah Anggraeni, MA berkeinginan menjadi pejabat perencana. Untuk menjadi perencana harus ikut Diklat perencana dan ujian kompetensi perencana. Dalam ujian ini, Dra. Diah Anggraeni, MA dinyatakan lulus untuk jenjang jabatan perencana madya. Kepada Dra. Diah Anggraeni diberikan angka kredit sebesar 400 dan dapat diangkat menjadi perencana madya.
Untuk sekadar memberikan gambaran, tabel dibawah ini memperlihatkan jumlah angka kredit kumulatif minimal untuk pengangkatan perencana.
Halaman
10
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Perencana di Departemen Kehutanan
Seperti telah disampaikan di atas bahwa untuk lingkungan Departemen Kehutanan, tenaga perencana sebagaian besar berada di Badan Planologi Kehutanan yang sekaligus merupakan unit pembinaan tenaga perencana di lingkup Departemen Kehutanan.
Berdasarkan informasi yang ada, semua perencana yang ada di Departemen Kehutanan pengangkatannya melalui mekanisme “impassing”, dengan gambaran kondisi perencana seperti pada tabel berikut.
Tabel 4. Jumlah perencana lingkup Departemen Kehutanan diperinci per Unit Instansi
menyampaikan sumbangsih pikiran dan karyanya pada kegiatan perencanaan pembangunan dan kebijakan sektor kehutanan, namun dalam kenyataan 3 tahun perjalanan para perencana tersebut belum banyak “berkiprah”. Dalam realitanya produk-produk rencana pembangunan sektor kehutanan dan beberapa kebijakan kehutanan yang dihasilkan bukan merupakan sumbangan nyata dari para perencana. Dapatlah dikatakan bahwa perencana di Departemen Kehutanan tersebut belum “berfungsi”.
Dilain sisi banyaknya peluang kegiatan perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan kehutanan, s e b e n a r n y a s e k a l i g u s j u g a m e m b u k a kemungkinan/kesempatan keberadaan perencana pada unit perencanaan Eselon I lingkup Departemen Kehutanan diluar Badan Planologi Kehutanan.
Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa keberadaan perencana sebenarnya sangat potensial untuk mendukung d a n m e m b a n t u p e n y u s u n a n r e n c a n a - r e n c a n a pembangunan dan rumusan kebijakan di lingkup Eselon I masing-masing. Lalu mungkinkah Unit-unit Eselon I lingkup Departemen Kehutanan selain Badan Planologi Kehutanan mempunyai “hasrat” untuk memacu staf atau pejabat di lingkungannya mau menekuni jabatan lain di luar jabatan struktural untuk menjadi perencana ?.
Kesempatan ada, peluang ada. Memang lalu menjadi “PR” bagi perencana itu sendiri mengapa “kiprah”nya belum nampak. Eksistensi perencana akan sangat tergantung pada inisiatif, kreatifitas dan produktifitas dari para perencananya sendiri dalam mendukung dan menyumbang pemikiran untuk lebih memperkaya rencana-rencana pembangunan yang akan disusun maupun rumusan kebijakan yang akan ditetapkan. Selama perencana belum bisa menunjukkan eksistensinya, maka sangat wajar apabila dalam realita institusi jarang memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada perencana untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan perencanaan.
Lalu pertanyaanya adalah, apakah para pembaca (baca PNS) tulisan ini berminat menjadi Perencana dengan segala konsekwensinya?. Terserah untuk mempertimbangkannya dengan sisi pandang masing-masing. (AD/AD)
Gambaran distribusi tenaga perencana termasuk yang telah kembali ke struktural bisa mengindikasikan adanya “kegamangan” institusi atau keraguan dari perencananya sendiri dalam kedudukannya sebagai tenaga fungsional. Mungkin akan ada banyak alasan yang mendasari mengapa hal itu terjadi. Tapi dalam konteks tulisan ini informasi tersebut bisa menjadi gambaran senyatanya kepada pembaca (baca PNS) dalam rangka mempertimbangkan dirinya untuk menjadi Perencana.
Halaman
11
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
A. PENGANTAR
B. LATAR BELAKANG
Tulisan ini diambil dari Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 20052009 yang ditetapkan oleh Menhut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005. Penekanan pokok tulisan ini mengenai visi, misi, identifikasi masalah, kebijakan, program dan kegiatan pokok dalam Renstra-KL tanpa mengurangi substansi dan isi lengkap dari Buku Renstra-KL Departemen Kehutanan tersebut.
Renstra-KL ini disusun melalui proses komunikasi dan konsultasi dengan stakeholders di berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa, serta secara rutin dilakukan di Jakarta termasuk dengan para donor sektor kehutanan, pada akhirnya Renstra-KL ini dikonsultasikan dengan DPR-RI.
Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan.
Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja d a n m e n d o r o n g p e n g e m b a n g a n w i l a y a h d a n pertumbuhan ekonomi. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non k e h u t a n a n m e n y e b a b k a n t i m b u l n y a b e r b a g a i permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
P e m e r i n t a h t e l a h b e r u p a y a m e n a n g a n i permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu illegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor kehutanan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam rencana - rencana kehutanan.
Dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999, UU No. 25 tahun 2004, UU Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan peraturan lain yang terkait, disusunlah Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Renstra-KL Departemen Kehutanan akan digunakan sebagai arahan kebijakan dan strategi pembangunan kehutanan dalam menyusun program dan kegiatan tahun 2005-2009.
C. VISI dan MISI
D. IDE
Sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 3 serta persetujuan DPR-RI periode 2004-2009, ditetapkanlah visi pembangunan kehutanan Indonesia kedepan yaitu:
Berdasarkan visi tersebut, Departemen Kehutanan menyelenggarakan pengurusan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari serta untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan UU No. 5 tahun 1990 serta persetujuan DPR-RI periode 2004-2009, disusunlah misi pembangunan kehutanan Indonesia yaitu:
1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari;
3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS);
4. Mendorong peran serta masyarakat;
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan;
6. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah.
Untuk melakukan analisa selanjutnya perlu dilihat kondisi kehutanan saat ini dan menetapkan kondisi kehutanan yang diinginkan kedepan dilihat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi yang selanjutnya dilakukan identifikasi permasalahan untuk menetapkan kebijakan, program dan kegiatan pokok.
Berdasarkan hasil analisa terhadap kondisi kehutanan saat ini serta kondisi kehutanan yang diinginkan kedepan dapat diidentifikasi akar permasalahan di bidang kehutanan yaitu:
A. Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal 1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara
lain oleh: proses penataan ruang belum terkoordinasi dengan baik; unit Pengelolaan pada semua fungsi kawasan hutan belum seluruhnya terbentuk dan pemanfaatan hutan belum berpihak kepada masyarakat.
2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara lain oleh: pemanfaatan sumberdaya hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih “Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk
Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat”
NTIFIKASI MASALAH
RENCANA STRATEGIS
KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL)
DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005-2009
Halaman
12
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
lemah; penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan hutan belum maksimal serta laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih rendah dibandingkan dengan laju kerusakan hutan dan lahan.
B. Peran dan distribusi manfaat belum adil
1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan antara lain oleh: tidak ada arah yang jelas, dan d u k u n g a n s e r i u s p e m e r i n t a h d a l a m mengembangkan industri kehutanan yang kompetitif serta tidak ada keadilan dalam distribusi manfaat industri kehutanan.
2. Kegiatan perekonomian masyarakat yang terkait dengan sumberdaya hutan belum optimal disebabkan antara lain oleh: peraturan perundangan yang mengatur akses masyarakat terhadap hutan belum tersedia secara memadai; belum berkembangnya industri pengolahan hasil hutan skala kecil dan menengah serta belum tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang kehutanan.
Untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah, Departemen Kehutanan menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas periode 2005-2009 (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004), sebagai berikut:
1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal;
2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan hutan; 5. Pemantapan kawasan hutan.
Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, Departemen Kehutanan menetapkan program pembangunan kehutanan periode 2005-2009 yang telah diintegrasikan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Program-program tersebut adalah: Pemantapan keamanan dalam negeri; Pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan; Perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; Rehabilitasi dan p e m u l i h a n c a d a n g a n s u m b e r d a y a a l a m ; Pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Pendidikan kedinasan; Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan; Penelitian pengembangan dan ilmu pengetahuan teknologi; serta Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
U n t u k m e n d u k u n g k e b i j a k a n p r i o r i t a s pembangunan kehutanan yang telah dibuat, E. KEBIJAKAN
F. PROGRAM
G. KEGIATAN POKOK
Departemen Kehutanan juga menetapkan kegiatan pokok pembangunan kehutanan sebagai berikut:
1. Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal, dengan kegiatan pokok antara lain :
a. Menyediakan informasi lokasi-lokasi rawan pencurian kayu;
b. Menggalang masyarakat peduli pemberantasan pencurian kayu.
c. Menurunkan ganguan terhadap hutan;
d. Mengintensifkan langkah-langkah koordinasi dengan POLRI-TNI, Kejaksaan Agung dan sektor terkait lain dalam penanganan illegal logging untuk operasi dan penyelesaian tindak pidana kehutanan;
e. Melakukan upaya-upaya operasi-operasi pemberantasan illegal logging dan illegal trade.
2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, dengan kegiatan pokok antara lain : a. Melakukan fasilitasi peningkatan performance
industri kehutanan;
b. Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit IUPHHK hutan alam dan IUPHHK Hutan tanaman;
c. Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product);
d. Mengoptimalkan PNBP dan Dana Reboisasi (DR); e. Menfasilitasi pembangunan HTI seluas minimal 5
juta Ha;
f. Menfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta Ha.
3. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a. Mendorong efektivitas pelaksanaan RHL pada areal seluas 5 juta Ha termasuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai (60 % dalam kawasan hutan, 40 % luar kawasan hutan);
b. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di 200 unit KSA/KPA;
c. Membentuk 20 unit model Taman Nasional dan dapat beroperasi;
d. Penanggulangan kebakaran hutan;
e. Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas secara optimal, termasuk berfungsinya daerah tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al: waduk, pembangkit listrik tenaga air);
f. Mendorong peningkatan pengelolaan jasa lingkungan melalui pengelolaan hutan wisata.
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a. Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan;
b. Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta akses masyarakat kepada hutan;
c. Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM kehutanan;
Halaman
13
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
5. Pemantapan kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a. Menfasilitasi terbentuknya unit pengelolaan hutan KPHP, KPHL dan KPHK;
b. Mengupayakan penyelesaian penunjukan kawasan hutan;
c. Mendorong penyelesaian penetapan kawasan hutan pada 30 % luas kawasan hutan yang telah ditata batas;
d. Melakukan koordinasi, sinkronisasi dengan sektor lain dalam proses penatagunaan kawasan hutan; e. Mempertahankan keberadaan kawasan hutan
yang ada;
f. Menyediakan kelengkapan informasi SDHA, meliputi al: potensi penutupan lahan, kayu komersiil dan non komersiil, potensi non kayu, hidupan liar, jasa lingkungan dan wisata;
g. Menyediakan data/informasi spatial dan non spatial kehutanan. (JP/AD)
Mungkin kalau dahulu kala istilah kata yang kerap berkait dengan hutan adalah ”hukum rimba” dan mungkin juga ”main kayu”, namun jelas kalau sekarang kata yang paling sering dan akrab terdengar berkaitan dengan hutan adalah , sedangkan dua istilah terdahulu telah menjadi kosa kata Nasional yang lebih berkait dengan tindak kekerasan dan kriminal.
Hutan rimba yang indah, ijo royo-royo tempat orang berwisata, memandangi fauna dan tempat penyair berkelana mencari inspirasi alam raya bagi karya-karyanya, mungkin tinggal di dalam lagu dan puisi, karena manusia memanfaatkan kayu namun menafikan sampai dengan mengingkari kegunaan-kegunaan lain dari keberadaan hutan. Bahkan lahan tempat tumbuh flora dan berdiam fauna hutan pun didis-integrasikan keberadaannya dengan hutan, sehingga sang benih hutan dan satwa-satwa tiada lagi mempunyai kesempatan untuk merekontruksi diri dan kediamannya, ironis memang tapi itulah kenyataannya.
Mungkin sekali lagi mungkin manusia lupa, melupakan atau dilupakan, bahwa keberadaannya yang berdampingan dengan hutan diikat oleh hukum alam dari Sang Maha Pencipta, hukum tanpa kompromi yang tidak mengenal kolusi atau suap dan semacamnya. Ada ubi ada talas, ada rakyat ada raja, ada budi ada balas dan ada jahat pasti ada murka, hukum alam yang mengikat telah membuktikan kedurjanaan manusia pada rimba membawa bencana malapetaka yang melanda. Jelas bukan sajen yang diminta, tapi upaya nyata rekontruksi dan revitalisasi ”alas” jua yang harus menjadi imbal jasa.
Ketika ”ada apa dengan cinta” booming sebagai idola remaja, tak ada salahnya gita ”ada apa dengan rimba” pun
menggema, sangatlah dan kalau ada yang
menganggap cukup dengan syair ”mungkin alam mulai bosan dengan tingkah kita” segalanya bisa sirna, karena korban bencana sudah menjadi fakta. Elegi ada apa dengan rimba akan terus berkonotasi negatif, apabila Rimbawan sebagai yang mengaku manusia rimba masih sibuk mencari nama daripada berkarya, padahal nama menjadi mulia hanya k e t i k a b e r m a n f a a t p a d a s e s a m a c i p t a .
Tiap detik kesadaran terus bermakna, hanya insan yang ”tak bernyawa” bak raga berkelana nan kian terbenam dalam samsara. Ketika sang saat tetap merenda mimpi bukan tak mungkin hari akhir telah tiba, masalahnya masihkah sang primadona ada apa dengan rimba berjaya ?
Maaf sekali lagi maaf ini crita numpang lewat saja. Kulo nuwuun. (SR/AD)
illegal logging
culun gatek
ADA APA
DENGAN RIMBA (AADR) ?
Oleh: Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.
Syahdan suatu ketika seorang sarjana lulusan universitas terkemuka sedang mengamati perilaku seorang petani muda yang setiap hari pulang ke rumah dari ladang lebih kurang jam 10.00 pagi. Dalam suatu kesempatan berdialog, sang sarjana menawarkan nasehat untuk masa depan yang lebih baik bagi petani, dialog selengkapnya sebagai berikut :
Sarjana (S)
: Kalau anda menambah jam kerja di ladang, tentu produksi akan lebih besar.
Petani (P)
: Tentu, tapi kalau produksi saya menjadi lebih besar terus bagaimana.
(S) : Penghasilan anda kan naik, sehingga modal memperluas ladang ada, sehingga produksi dan penghasilan akan berlipat.
(P) : Kalau sudah begitu terus bagaimana ?
(S) : Anda tentu mampu menjadi pengusaha dan mempunyai karyawan yang banyak, sehingga cukup mengatur saja, tidak perlu bekerja langsung.
(P) : Terus bagaimana ? (dengan berbinar -binar)
(S) : Anda punya waktu luang dengan kelaurga.
(P) : Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mecapai itu ?
(S) : Hmmm….. lebih kurang 15-20 tahun.
(P) : Jadi……jadi saya harus menunggu selama itu untuk mewujudkan apa yang sudah dapat saya wujudkan hari ini !?!
(S) : ??????
Halaman
14
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan petani hutan, meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan, dan kehutanan. PPK mempunyai peran multifungsi yang perlu mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. PPK merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
Revitalisasi Kehutanan khususnya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas sumber daya hutan melalui peningkatan peran serta para pihak, baik dunia usaha, masyarakat maupun pemerintah. Peningkatan produktivitas sumber daya hutan berarti peningkatan output (luaran) baik dalam bentuk hasil hutan kayu maupun non-kayu (termasuk jasa lingkungan). Dengan demikian peningkatan produktivitas sumber daya hutan tersebut akan membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih luas bagi masyarakat maupun dunia usaha. Dengan demikian revitalisasi kehutanan tidak keluar dari atau merupakan p e n d a l a m a n d a n p e n a j a m a n p r o g r a m - p r o g r a m pembangunan kehutanan yang telah dituangkan dalam RPJP, RPJM maupun Renstra Departemen Kehutanan.
Beberapa alasan kenapa revitalisasi kehutanan perlu dilakukan antara lain : a). Menurunnya peran dan fungsi kehutanan dalam pembangunan nasional akibat meningkatnya degradasi sumberdaya hutan b) Sektor kehutanan mempunyai keunggulan komparatif, dimana Indonesia masih memiliki kawasan hutan cukup luas dan berfungsi sebagai paru-paru hijau dunia (120,35 juta ha) serta kaya dengan keanekaragaman hayati yang tinggi; c) Dalam jangka panjang sektor kehutanan dapat menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional (devisa, lapangan kerja, dll); d) Permintaan pasar atas produk kehutanan secara nasional maupun global cenderung meningkat terus; d) Industri kehutanan dalam arti luas (pengelolaan hutan lestari: IUPHHK/HPH, IUPHHT/HTI; industi pengolahan dan jasa lingkungan) dapat bersaing secara global dan mempunyai daya saing yang tinggi; e) Untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang bergantung terhadap SDH sebanyak 48,8 juta orang, dan 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. f). Resiliensi Industri-industri sektor kehutanan yang rendah, rata-rata hanya berbasiskan terhadap keunggulan bahan baku.
Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan ini dilakukan karena apabila permasalahan yang dihadapi PPK dapat diselesaikan, dan potensi PPK dapat didaya-gunakan maka lebih dari separuh permasalahan mendasar bangsa ini, seperti kemiskinan, pengangguran, daya saing, dan kelestarian sumberdaya alam akan dapat diselesaikan.
Paradigma penyelenggaraan pembangunan kehutanan ke depan berubah dari orientasii timber forest management menjadi forest resources management, yang diharapkan dapat menjamin terhadap pengelolan hutan yang lestari untuk
ARAH REVITALISASI KEHUTANAN
DALAM KERANGKA RPPK 2005-2009
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut telah diterjemahkan dalam visi pembangunan kehutanan, yakni Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat. Pembangunan kehutanan ke depan ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang dapat memberikan kesejahteraan masyarakat yang secara umum tercermin pada kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Dengan demikian revitalisasi industri kehutanan, dilakukan melalui peningkatan produktivitas SDH, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan kelembagaan dan memberikan akses yang lebih luas terhadap SDH.
Kebijakan dan strategi PPK harus bersifat integratif, baik kebijakan di-pertanian, perikanan, dan kehutanan (policy on agriculture), maupun kebijakan untuk pertanian, perikanan, dan kehutanan (di sektor atau bidang lain) atau policy for agriculture; harus memadukan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan kegiatan operasional jangka pendek; serta harus memadukan kebijakan yang mempengaruhi pasar (harga, perdagangan) dan kebijakan yang melakukan peningkatan kondisi struktural (infrastruktur, teknologi); serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan aspek kelembagaan.
Kebijakan dan strategi umum Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan adalah sebagai berikut :1)Pengurangan kemiskinan dan kegureman PPK, 2)Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi PPK, 3)Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Kebijakan dan strategi operasional PPK mencakup 12 prioritas kebijakan integratif yang difokuskan pada 4 kategori produk, yaitu : Produk-produk yang mendukung ketahanan pangan, produk-produk yang kegiatan produksi dan distribusinya mendukung pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan, produk-produk yang diandalkan sebagai produk ekspor, s e r t a p r o d u k - p r o d u k y a n g t e r m a s u k k a t e g o r i pengembangan produk baru. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan makmur dengan mempertimbangkan kondisii SDH dan permasalahan yang dihadapi,maka telah ditetapkan kebijakan prioritas p e m b a n g u n a n k e h u t a n a n s e b a g a i b e r i k u t : 1)Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, 2)Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, 3)Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, 4)Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, 5)Pemantapan kawasan hutan. Sesuai rencana strategis yang ditetapkan, sasaran revitalisasi kehutanan mencakup beberapa kegiatan dengan indikator pencapaian sebagai berikut:
a. Pengembangan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan komitment bersama para pihak dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan yang lebih terarah dan sistematis, termasuk juga dalam merevitalisasi sektor kehutanan ke depan.
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Halaman
15
c. Pemantapan kawasan hutan untuk menjamin kepastian pengelolaan hutan dan pengusahaan hasil hutan.
d. Melakukan fasilitasi dalam pengelolaan hutan lestari pada IUPHHK hutan alam dan IUPHHK hutan tanaman, serta pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
e. Melakukan revitalisasi dan merestrukturisasi industri kehutanan yang lebih obyektif dan terbuka terhadap pasar domestik dan global.
f. Pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat untuk mendukung penyediaan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan konsumsii masyarakat domestik dan global.
g. Pengembangan rehabilitasi hutan dan lahan dan peningkatan Pengelolaan DAS, untuk meningkatkan daya dukung DAS.
h. Pengembangan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan. i. Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (
)
j. Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Reboisasi (DR).
Semangat yang dikandung didalam Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan khususnya bidang kehutanan itu sendiri diharapkan dapat menjadi milik petani/nelayan/petani-hutan, pemerintah, parlemen, dunia usaha, akademisi, masyarakat-warga, dan seluruh rakyat Indonesia. Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun PPK at all cost dengan cara-cara yang top-down sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat PPK tidak hanya urusan bercocok tanam, pemeliharaan ternak atau penebangan pohon yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. PPK mempunyai peran multifungsi yang perlu mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Produk dan bisnis PPK diharapkan akan mampu mengatasi berbagai permasalahan tersebut dan memiliki kemampuan untuk menyandarkan keunggulan produksi dan distribusinya pada kekuatan dan kehandalan kegiatan luar usaha tani, khususnya agroindustri dan agro service dalam satu sistem yang integratif. (EC/AD)
non timber forest product .
1. Bahwa pada PERENCANAAN DAN STATISTIK KEHUTANAN saat ini sedang disusun ?
a. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai derivasi UU No. 41/1999 dan PP 44/2004 serta UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004.
b. Rencana pembangunan jangka panjang 2005-2025 sebagai acuan kearah mana kehutanan akan berjalan c. Penyempurnaan Statistik Kehutanan 2003
d. Analisis Sektor Kehutanan bertujuan
2. Bahwa Komitmen dan Integrasi Perencanaan dapat menjadi sumber penghemantan pengeluaran negara, karena :
a. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra akan menutup peluang duplikasi kegiatan anggaran. b. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra akan
konsisten dengan kebijakan prioritas Departemen Kehutanan, sehingga hambatan-hambatan vital pembangunan akan segera terpecahkan , dengan demikian energi, waktu dan biaya tidak terserap pada penanganana permasalahan secara parsial.
c. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra, fokus orientasi pemberdayaan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumber daya hutan akan terjamin/tidak bias dalam pencapaiannya.
d. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra, maka keberhasilan kebijakan pembangunan Departemen Kehutanan lebih sinergis dan efisien pada sasaran dan tujuan Departemen Kehutanan secara menyeluruh. (SR/SR)
untuk merumuskan rekomendasi terhadap isu dan permasalahan kehutanan dan yang terkait dengan sektor lainnya. Kajian ini meliputi:
-Urgensi Implementasi PDRB Hijau di Sektor Kehutanan, dikaji oleh Dr. M. Soeparmoko dan Dr. Dodik Ridho Nurochmat
Kajian Prospek Pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat, dikaji oleh Prof. Dr. Dudung Darusman dan Dr. Hardjanto
Kajian Prospek Pengembangan Produk Hasil Hutan Non Kayu, dikaji oleh Bramasto Nugroho dan Ir. Pantun Nainggolan, M.Sc.
Kajian Dampak Pertambangan dalam Kawasan Hutan, dikaji oleh Dr. Syaiful Anwar dan Dr. Kukuh Murtilaksono.
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Halaman
16
Hutan memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan. Hutan memiliki beragam manfaat baik manfaat ekologis, manfaat ekonomis dan manfaat sosial. Manfaat ekonomis hutan dalam perekonomian negara tidak dapat dipandang remeh. Selama lebih dari 3 dekade, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional dan berkontribusi dalam bentuk peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan dari sisi ekonomis adalah dengan berdirinya industri pengolahan kayu.
Industri pengolahan kayu di Indonesia dikembangkan secara intensif sejak tahun 1980-an. Diawali dengan d i k e l u a r k a n n y a S K B t i g a M e n t e r i ( P e r t a n i a n , Perdagangan/Koperasi, dan Perindustrian) pada bulan Mei 1980 tentang penyediaan kayu dalam negeri dikaitkan dengan ekspor kayu bulat. SKB tersebut ditindaklanjuti dengan SKB empat Dirjen (Kehutanan, Aneka Industri, Perdagangan dalam Negeri, Perdagangan Luar Negeri) pada bulan April 1981 tentang peningkatan industri pengolahan kayu terpadu yang berintikan industri kayu lapis.
Perkembangan industri ini meningkat pesat ketika pemerintah melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Dalam perkembangan selanjutnya, industri pengolahan kayu terutama kayu lapis menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di sektor non migas bersama dengan industri tekstil.
Dewasa ini industri kayu lapis Indonesia menghadapi berbagai kendala yang menghambat perkembangannya, diantaranya adalah kesulitan pasokan bahan baku; beralihnya konsumen ke produk substitusi kayu lapis hardwood seperti kayu lapis softwood, MDF, OSB; maraknya illegal logging dimana kayunya digunakan oleh negara kompetitor untuk memproduksi kayu lapis dengan harga yang lebih murah; non tarrif barrier dalam bentuk isu lingkungan yang diterapkan negara konsumen dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana prospek ekspor industri kayu lapis Indonesia di masa yang akan datang ? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba menganalisa dengan melihat daya saing industri kayu lapis Indonesia dan melihat potensi pasar kayu lapis dimasa depan.
Untuk mengetahui daya saing industri kayu lapis Indonesia, dapat diketahui salah satunya dengan melihat nilai
dari (RCA), dan Indeks
Spesialisasi Perdagangan. Metode RCA adalah salah satu alat pengukuran daya saing yang didasarkan pada prestasi ekspor komoditi i dalam ekspor sektor tertentu negara j dibandingkan dengan kontribusi ekspor komoditi i dalam ekspor sektor tertentu dunia. Penyimpangan ke atas (ke bawah) dari nilai satu menunjukkan ada (tidak adanya) keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi komoditi tertentu.
Sedangkan ISP adalah suatu pengukuran untuk mengetahui daya saing komoditi tertentu di pasar dunia dengan cara melihat tahapan industrialisasi dan Daya Saing Industri Kayu Lapis Indonesia