• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN POLA PENGASUHAN IBU TERHADAP REMAJA DARI KELUARGA MISKIN. Eka Sofya Innayati, Fivi Nurwianti, dan Aries Yulianto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN POLA PENGASUHAN IBU TERHADAP REMAJA DARI KELUARGA MISKIN. Eka Sofya Innayati, Fivi Nurwianti, dan Aries Yulianto"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN POLA

PENGASUHAN IBU TERHADAP REMAJA DARI KELUARGA MISKIN

Eka Sofya Innayati, Fivi Nurwianti, dan Aries Yulianto

Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan (otoritatif, otoriter, dan permisif). Pengukuran dukungan sosial menggunakan alat ukur Interpersonal Social Evaluation List (ISEL) (Cohen, Mermelstein, Karmack, & Hoberman, 1985) dan pengukuran pola pengasuhan menggunakan alat ukur Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) (Robinson, Mandelco, Olsen & Hart, 1995). Partisipan pada penelitian ini berjumlah 92 orang ibu dari keluarga miskin di Kota Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja dari keluarga miskin. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan antara dukungan sosial yang ditinjau dari usia dan tingkat pendidikan.

Kata Kunci:

Dukungan Sosial; Pola Pengasuhan; Ibu dari Keluarga Miskin; Remaja

Abstrack

The purpose of this research is to know the relationship between social support and parenting styles (authoritative, authoritarian, permissive). The measurement of social support was using Cohen, Mermelstein, Karmack, & Hoberman’s (1985) Interpersonal Social Evaluation List (ISEL) and the measurement of parenting styles was using Robinson, Mandelco, Olsen & Hart’s (1995) Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ). The respondents are 92 mothers from poor family in Jakarta. The result of the research shows that there is no significant relationship between social support and mother’s parenting styles toward adolescent from poor family. Furthermore, this research also shows that there is a significantly difference in the mean between social support which reviewed from age and level of education.

Key Word :

(2)

1. Pendahuluan

Hidup dibawah garis kemiskinan tentu akan menimbulkan banyak masalah yang cukup kompleks. Masalah yang sering kali muncul di dalam keluarga miskin di Indonesia adalah terkait dengan tindak kekerasan orang tua terhadap anak. Data Komnas Perlindungan Anak tahun 2009 menunjukkan sebanyak 81 ibu kandung (15,9%) adalah pelaku kekerasan terhadap anak, diikuti ayah kandung 73 orang (13,96%). Sementara tindak kekerasan anak terbanyak tahun 2010 terjadi di Jakarta. Korban tindak kekerasan fisik mencapai 278 anak, sedangkan korban kekerasan seksual 170 anak. Menurut Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komnas Perlindungan Anak, kemiskinan menjadi sumber utama kekerasan terhadap anak-anak Indonesia yang dilakukan orang tua, paman, bibi, kakak, bahkan nenek dan kakek yang seharusnya menjadi pelindung mereka (Windoro, 2010).

Tindak kekerasan seperti ini dapat terjadi dikarenakan kebutuhan hidup keluarga yang semakin tinggi namun disisi lain orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Akibatnya, hidup dalam kemiskinan seringkali menjadi beban psikologis bagi orang tua dari keluarga miskin. Menurut Conger et al, 1992; Mcloyd, 1990 (dalam Jackson, Gyamfi, Gunn, & Blake, 1998) kemiskinan dapat mengurangi kualitas pengasuhan yang dikarenakan stres yang tinggi dan persisten pada orang tua. Kualitas pengasuhan tersebut dapat dilihat dari perilaku pengasuhan orang tua terhadap anak. Terdapat lima perilaku pengasuhan yang memengaruhi kesehatan dan perilaku anak yakni, jenis disiplin (konsisten vs tidak konsisten), tingkat keterlibatan orang tua, tingkat pengawasan orang tua, jenis komunikasi, dan pola pengasuhan (Newman, Harrison, Dashiff, & Davies, 2008). Peneliti lebih menitikberatkan pada pola pengasuhan dikarenakan pola pengasuhan dianggap sebagai konstruk global yang mencerminkan seluruh iklim emosional orang tua dan anak (Darling & Steinberg, 1993).

Terdapat dua dimensi yang menjadi dasar pola pengasuhan, yakni dimensi kontrol dan kehangatan. Dari dua dimensi tersebut, maka dapat dibedakan tiga tipe pola pengasuhan yakni, otoritatif, otoriter, dan permisif (Baumrind, 1967, 1971, 1980, dalam Martin & Maccoby, 1997). McLoyd (1990, dalam Magnuson & Duncan, 2002) menemukan bahwa orang tua dengan pendapatan rendah cenderung menggunakan pola asuh otoriter dan menghukum serta kurang mendukung atau kurang menyediakan stimulasi pengalaman belajar di rumah untuk anak. Mereka juga seringkali menggunakan hukuman fisik dan disiplin yang kurang tegas, serta kurang menanyakan tentang harapan anak, tidak memberikan reward

(3)

Disisi lain, terdapat contoh pengasuhan yang baik di dalam keluarga miskin. Pola pengasuhan yang baik ini dirasakan oleh Iwan Setiawan ketika ia berusia remaja. Iwan Setiawan yang merupakan anak seorang sopir angkot berhasil menjadi Director Internal Client Management Data Analysis and Consulting Nielsen Consumer Research New York, Amerika Serikat. Keberhasilannya ini tidak terlepas dari peran orang tua Iwan Setiawan, khususnya Ibu. Ia menggambarkan sosok ibu sebagai seseorang yang berperan besar dalam membangun karakter dan pendidikannya. Ibu dari Iwan Setiawan selalu menerapkan prinsip demokrasi dan selalu bisa menghadirkan kehangatan di tengah keluarganya. Ibunya pula yang menekankan pentingnya pendidikan pada anak-anaknya (Noya, 2011). Pengasuhan ibu dari Iwan Setiawan ini termasuk ke dalam ciri pola pengasuhan otoritatif. Dari contoh tersebut, dapat terlihat bahwa keluarga miskin yang menerapkan pola pengasuhan otoritatif dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan diri serta kehidupan anak remajanya kelak.

Oleh sebab itu, untuk dapat menerapkan pola pengasuhan otoritatif yang dapat mendukung aspek emosional remaja, ibu dari keluarga miskin membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Menurut Young (2006), terdapat dua jenis dukungan sosial, yakni persepsi terhadap dukungan sosial (perceived social support) dan dukungan sosial yang diterima (received social support). Persepsi terhadap dukungan sosial lebih bermanfaat bagi kesehatan mental manusia dibandingkan dengan dukungan sosial yang diterima (Taylor, Sherman, Jarcho, Takagi, & Dunagan, 2004). Selain itu, dukungan sosial tidak selalu dapat menguntungkan bagi kesehatan apabila dukungan yang tersedia tidak dipersepsikan sebagai bentuk dukungan (Dunkel-Schetter, et al., dalam Sarafino, 2009). Oleh sebab itu, persepsi ibu dari keluarga miskin terhadap dukungan sosial sangat penting untuk diketahui.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan antara persepsi terhadap dukungan sosial dan pengasuhan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hashima dan Amato (1994). Mereka mengemukakan bahwa persepsi terhadap dukungan sosial berhubungan secara negatif dengan perilaku menghukum, khususnya pada ibu dengan pendapatan rendah. Dengan kata lain, semakin rendah persepsi terhadap dukungan sosial maka perilaku menghukum akan semakin meningkat, dan sebaliknya. McLoyd (1997, dalam Magnuson & Duncan, 2002) juga menambahkan bahwa dukungan sosial yang meliputi dukungan emosional dan instrumental, dapat menjadi penghalang beberapa efek negatif dari kesulitan ekonomi pada perilaku pengasuhan.

(4)

dimana anak akan menuju ke masa dewasa. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) mendefinisikan masa remaja sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak (childhood) menuju masa dewasa (adulthood) yang disertai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial serta menetapkan bahwa masa remaja dialami individu pada usia antara 11 sampai 19 atau 20 tahun. Masa remaja dapat dianggap sebagai masa yang lebih sulit dibanding masa kanak-kanak. Dalam masa ini, remaja sedang mencari jati diri mereka untuk menemukan identitas diri dan makna hidup mereka (Erikson, 1968 dalam Rathi & Rastogi, 2007). Dalam penemuan identitas diri dan makna hidup, remaja membutuhkan pengasuhan orang tua yang mendukung dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Banyak penelitian membahas bahwa pola pengasuhan yang paling menguntungkan bagi remaja adalah pola pengasuhan otoritatif (Martin & Colbert, 1997). Remaja yang menggambarkan orang tuanya otoritatif lebih kompeten dalam area psikososial dan prestasi sekolah, dan rendahnya distress dan masalah perilaku (Steinberg, Elmen, & Mounts, 1989; Lambron, Mounts, Steinberg, 1993 dalam Martin & Colbert, 1997). Sebaliknya, pola pengasuhan yang buruk dan tidak mendukung cenderung berdampak negatif pada diri remaja. Steinberg (2002) menyebutkan bahwa remaja yang mendapat kekerasan, diabaikan, dan pengasuhan yang tidak konsisten akan beresiko lebih besar pada masalah psikologis dan perilaku. Dalam hal ini, pengasuhan ibu yang akan lebih banyak berperan bagi perkembangan emosional remaja dibandingkan dengan ayah. Ini disebabkan karena ayah lebih sering terlibat di dalam aktivitas waktu senggang daripada di dalam aktivitas pengasuhan (Collins & Russell dalam Steinberg & Silk, 2002). Selain itu, bagi remaja ibu lebih banyak berperan sebagai pendukung dan lebih terlibat di dalam aspek emosional hidup mereka (Barnard & Solchany, 2002).

Berdasarkan penjelasan diatas, fenomena kemiskinan beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya berupa munculnya stres dan depresi orang tua serta persepsi terhadap dukungan sosial tentu akan berkontribusi terhadap pola pengasuhan yang diterapkan ibu pada remaja di dalam rumah. Oleh karena itu, penelitian mengenai hubungan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja menjadi hal yang penting untuk dibahas di dalam penelitian ini.

(5)

2. Tinjauan Teoritis 2.1 Dukungan Sosial

Cohen (1992) mengemukakan mengenai tiga konsep mengenai dukungan sosial yakni social networks (jaringan sosial) yang mengacu pada struktur dari jaringan sosial yakni mengenai kesediaan, kuantitas, dan tipe dari hubungan, perceived social support (persepsi terhadap dukungan sosial) yang mengacu pada persepsi bahwa jaringan sosial akan menyediakan sumber dukungan seperti dukungan emosional atau informasi, dan supportive behaviors (perilaku mendukung) yang mengacu pada penerimaan perilaku yang bertujuan untuk membantu seseorang dalam menghadapi peristiwa stres. Definisi dukungan sosial menurut Cohen (2004, dalam Papalia et al., 2009) adalah mengacu pada sumber daya materi, informasi, dan psikologis yang berasal dari jaringan sosial dimana seseorang dapat meminta bantuan dalam mengatasi stres yang dialami.

2.1.1 Bentuk Dukungan Sosial

Menurut Cohen & Hoberman (1983), terdapat empat bentuk dukungan sosial, yakni :

1. Tangible support/instrumental support (dukungan instrumental) meliputi ketersediaan material dan bantuan langsung, seperti ketika memberikan atau meminjamkan uang pada seseorang.

2. Appraisal support/information support (dukungan informasi) meliputi ketersediaan seseorang untuk diajak berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.

3. Self esteem support (dukungan penghargaan) meliputi ekspresi positif, menghargai ide-ide atau perasaan seseorang, dan perbandingan positif orang dengan orang lain. 4. Belonging support/emotional support (dukungan emosional)

Dukungan emosional meliputi ketersediaan dengan siapa seseorang akan melakukan sesuatu, ekspresi empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perolehan Dukungan Sosial

Terdapat tiga faktor yang menentukan seseorang menerima dukungan (Broadhead et al., 1983; Connell & D’ Augelli, 1990; Wortman & Dunkel-Schetter, 1987 dalam Sarafino, 2006).

1. Potensi penerima dukungan

Seseorang tidak mungkin menerima dukungan jika ia tidak bersosialisasi, tidak membantu orang lain, dan tidak membiarkan orang lain tahu bahwa ia sedang

(6)

membutuhkan bantuan. Selain itu, seseorang dengan pendidikan yang tinggi, dapat merasakan menerima dukungan sosial yang tinggi pula.

2. Potensi penyedia dukungan

Penyedia dukungan mungkin tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan, atau mungkin mereka sedang berada dalam kondisi stres dan bahkan sedang membutuhkan bantuan untuk diri mereka sendiri, atau ada kemungkinan mereka tidak peka terhadap kebutuhan orang lain.

3. Komposisi dan struktur jaringan sosial

Komposisi dan struktur jaringan sosial berkaitan dengan bagaimana keterkaitan mereka di dalam keluarga dan masyarakat sekitar. Keterkaitan ini bervariasi dalam hal ukuran, frekuensi, komposisi, dan kedekatan.

2.2 Pola Pengasuhan

Baumrind (1991) mengemukakan konsep pola pengasuhan sebagai upaya orang tua untuk mengontrol dan bersosialisasi dengan anak mereka. Pola pengasuhan yang didefinsikan ini memiliki dua dimensi, yakni parental warmth dan parental control (Baumrind, 1991).

Parental warmth mengacu pada sejauh mana orang tua mendorong individualitas, pengaturan diri, dan self-assertion dengan selaras, mendukung, dan sepakat untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan anak. Orang tua yang tinggi pada parental warmth akan tersenyum pada anak, memberi semangat pada anak, dan mencoba untuk melihat sesuatu dari sudut pandang anak, sementara orang tua yang rendah pada parental warmth cenderung akan sering mengkritik, menghukum, dan mengabaikan anak-anak, serta tidak sensitif dengan kebutuhan emosional anak

Sementara parental control mengacu pada klaim orang tua yang membuat anak terintegrasi ke dalam keluarga dengan tuntutan, pengawasan, dan upaya disiplin dalam menghadapi anak yang tidak patuh. Orang tua yang tinggi pada parental control cenderung membuat tuntutan pada anak dan melakukan monitor yang ketat pada tingkah laku anak untuk memastikan bahwa mereka mengikuti aturan. Sementara orang tua yang rendah pada parental control, tidak terlalu banyak menuntut anak dan lebih longgar dalam menerapkan aturan, tidak membatasi, serta lebih banyak memberi kebebasan pada anak dengan sedikit bimbingan.

(7)

2.2.1 Tipe Pola Pengasuhan

Berdasarkan kedua dimensi tersebut kemudian teridentifikasi tipe pola pengasuhan (Baumrind, 1967, 1971, 1980, dalam Martin & Colbert, 1997)

1. Pola asuh otoritatif

Pola asuh otoritatif dimana orang tua memiliki kontrol dan kehangatan yang tinggi. Biasanya orang tua menetapkan standar yang fleksibel dan tidak bersikap memaksa, serta mereka cenderung memiliki prinsip demokratis. Pola asuh ini menimbulkan rasa saling menghargai antara orangtua dan anak.

2. Pola asuh otoriter

Pola asuh orotiter merupakan pola asuh dengan kehangatan yang rendah dan kontrol yang tinggi dimana terdapat aturan-aturan absolut yang harus dipatuhi tanpa terkecuali oleh anak. Anak-anak yang diasuh dengan pola seperti ini cenderung akan menjadi seseorang yang moody, tidak bahagia, penakut, penyendiri, unspontaneous dan mudah marah

3. Pola asuh permisif

Ini merupakan pola asuh di mana orang tua memiliki kehangatan yang tinggi dan kontrol yang rendah. Orang tua cenderung tidak mengontrol perilaku anak-anak mereka. Orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan perilaku mereka sendiri. Anak-anak yang diasuh pola asuh ini cenderung menjadi impulsif dan agresif.

2.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengasuhan

Martin dan Colbert (1997) mengemukakan tiga faktor yang memengaruhi pengasuhan, yakni :

1. Karakteristik anak, meliputi: peran gender, temperamen anak, kemampuan dan usia anak.

2. Karakteristik orang tua, meliputi: peran gender, beliefs yang dimiliki orang tua, sejarah perkembangan, dan kepribadian.

3. Faktor kontekstual, meliputi: struktur keluarga, hubungan pernikahan, status sosial dan ekonomi, jaringan sosial, serta budaya.

(8)

3. Metode Penelitian 3.1 Masalah Penelitian

Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja dari keluarga miskin?

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alterntif (Ha)

Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja dari keluarga miskin.

2. Hipotesis Null (Ho)

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja dari keluarga miskin.

3.3 Definisi dan Pengukuran Instrumen Penelitian 3.3.1 Dukungan Sosial

Dukungan sosial yakni adanya sumber daya materi, informasi, dan psikologis yang berasal dari jaringan sosialnya. Sumber daya materi, informasi, dan psikologis ini dapat membantu seseorang dalam menghadapi peristiwa stres apabila ia mempersepsi bahwa ketiga sumber daya tersebut merupakan suatu bentuk bantuan dan dukungan terhadapnya.

Alat ukur yang digunakan adalah The Interpersonal Support Evaluation List (ISEL) yang dikembangkan oleh Cohen, Mermelstein, Karmack, & Hoberman (1985, dalam Martin & Brantley, 2002). Alat ukur ini terdiri dari 4 dimensi yakni dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi. Total nilai dari empat dimensi tersebut akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total yang menunjukkan gambaran dukungan sosial yang dipersepsikan oleh partisipan. Semakin tinggi skor total dari keempat dimensi, maka semakin tinggi dukungan sosial yang dipersepsikan. Sementara itu peneliti melakukan uji coba pada alat ukur ini dan didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,776.

3.3.2 Pola Pengasuhan

Pola pengasuhan merupakan upaya orang tua dalam mengontrol perilaku anak dan bagaimana orang tua bersosialiasasi dengan anak mereka. Alat ukur yang digunakan adalah

Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) yang dikembangkan oleh Robinson, Mandelco, Olsen & Hart (1995, dalam Dix & Gershoff, 2000). Alat ukur ini bertujuan untuk

(9)

mengukur 3 tipe pola pengasuhan yang dikemukakan oleh Baumrind’s (1971, dalam Reitman, Rhode, Hupp, & Altobello, 2002) yakni pola pengasuhan otoritatif, otoriter, dan permisif. Skor rata-rata tertinggi berarti menentukan pola asuh tertentu. Kemudian, peneliti melakukan uji coba alat ukur dan didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,768 untuk item pola asuh otoritatif, 0,657 untuk item pola asuh otoriter, dan 0,356 untuk item pola asuh permisif.

3.4 Partisipan Penelitian

3.4.1 Karakteristik Partisipan Penelitian

Ibu yang memiliki anak usia remaja antara 11-20 tahun yang berasal dari keluarga yang memiliki pendapatan sebesar Rp 379.052,- per kapita sebulan. Pendapatan per kapita adalah jumlah seluruh penghasilan keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel di dalam penelitian ini adalah accidentalsampling, yaitu dengan mendatangi dan meminta kesediaan partisipan untuk terlibat dalam penelitian ini.

3.4.3 Jumlah Partisipan

Jumlah partisipan yang direncanakan di dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang, agar dapat memenuhi syarat penghitungan statistik dan diharapkan mampu memperkecil kemungkinan eror serta mendapatkan penyebaran skor yang mendekati distribusi normal.

3.5 Metode Analisis Data

Analisis One-Way Analysis of Variance (ANOVA) dengan bantuan program SPSS

(Statistical Package for Social Science) statistic 16.0. Peneliti juga menggunakan statistika deskriptif untuk melihat gambaran umum karakteristik partisipan, serta independent sample t-test dan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan nilai mean.

(10)

4. Hasil Penelitian

4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Total kuesioner yang disebar di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan adalah sebanyak 115 kuesioner, namun 23 kuesioner tidak dapat diolah, sehingga total partisipan yang dianalisis sebanyak 92 orang.

Tabel 4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian (N = 92) Karakteristik Partisipan Frekuensi Persentase Usia

Dewasa Awal (20-40 tahun) Dewasa Madya (40-65 tahun)

61 31 66,3 33,7 Status Pernikahan Menikah Janda 86 6 93,5 6,5 Jumlah Saudara

Tidak Memiliki Saudara Memiliki Saudara (1-10 orang)

9 83 9,8 90,2 Suku Bangsa Jawa Sunda Batak Bugis Betawi Lainnya 44 28 2 2 9 7 47,8 30,4 2,2 2,2 9,8 7,6 Tingkat Pendidikan SD SMP SMA 52 20 20 56,5 21,7 21,7 Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga Pedagang Buruh Karyawan Swasta Lainnya 81 4 3 1 3 88 4,3 3,3 1,1 3,3 Pekerjaan Suami Pedagang Buruh Karyawan Swasta Lainnya 10 60 8 8 10,9 65,2 8,7 8,7 Pendapatan Total

Kurang dari 500 Ribu 500 Ribu – 1 Juta 1 Juta – 1,5 Juta 1,5 Juta – 2 Juta 24 42 19 7 26,1 45,7 20,7 7,6

(11)

Berdasarkan tabel 4.1, sebagian besar (66,3%) partisipan penelitian berada pada tahap perkembangan dewasa muda (20-40 tahun). Dari segi status pernikahan, sebagian besar (93,5%) partisipan berstatus menikah. Selain itu, sebagian besar (90,2%) partisipan memiliki saudara (1-10 orang). Suku bangsa partisipan cukup bervariasi, dengan persentase terbesar (47,8%) adalah suku jawa. Sebagian besar (56,5%) pendidikan terakhir partisipan adalah pada jenjang pendidikan SD. Dilihat dari pekerjaan, sebagian besar (88%) partisipan adalah ibu rumah tangga. Ditambahkan juga sebagian besar (65,2%) suami partisipan bekerja sebagai buruh. Pendapatan total keluarga partisipan tiap bulan cukup bervariasi, dengan persentase terbesar (45,7%) adalah partisipan dengan pendapatan total tiap bulan sebesar 500 Ribu – 1 Juta.

Tabel 4.2 Gambaran Anak Remaja dari Partisipan Penelitian (N = 92) Karakteristik Anak Remaja Frekuensi Persentase Usia Anak

Remaja Awal (11-15 tahun) Remaja Akhir (15-20 tahun)

52 40 56 43,5 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 43 49 46,7 53,3

Dari tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (56%) partisipan memiliki anak remaja pada usia remaja awal (11-15 tahun). Jenis kelamin anak remaja tersebut sebagian besar (53,3%) adalah berjenis kelamin laki-laki.

4.2 Gambaran Dukungan Sosial Partisipan

Tabel 4.3 menunjukkan nilai dukungan sosial partisipan berkisar 81-118, dengan

mean 99,57 (SD = 9,110). Baik dukungan sosial maupun dimensi dari dukungan sosial diketahui memiliki nilai yang bervariasi dilihat dari besarnya nilai SD (simpang baku).

Tabel 4.3 Statistik Deskripsi Dukungan Sosial (N = 92)

Dukungan Sosial M SD Nilai

Minimum Nilai Maksimum Total 99,57 9,110 81 118 Dukungan Instrumental 28,77 3,613 20 37 Dukungan Informasi 27,98 3,322 20 36 Dukungan Penghargaan 16,78 2,075 12 22 Dukungan Emosional 26,03 2,670 21 33

(12)

4.3 Gambaran Pola Pengasuhan Partisipan

Pola pengasuhan ini didapatkan setelah menghitung rata-rata skor total masing-masing pola asuh, kemudian dilihat rata-rata skor yang paling tinggi. Skor paling tinggi berarti partisipan memiliki pola pengasuhan tersebut. Berdasarkan tabel 4.4, dapat diketahui bahwa sebagian besar (83,7%) partisipan menerapkan pola pengasuhan otoritatif.

Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Pola Pengasuhan (N = 92) Pola Pengasuhan Frekuensi Persentase

Otoritatif 77 83,7

Otoriter 4 4,3

Permisif 11 12,0

4.4 Hasil Analisis

Dari uji homogenitas varians diperoleh levene statistic sebesar 0,243 (p>0,05) menunjukkan bahwa ketiga kelompok pola asuh memiliki varians yang homogen sehingga ANOVA dapat digunakan meskipun masing-masing kelompok pola asuh memiliki jumlah partisipan yang berbeda.

Tabel 4.5 Perbedaan Dukungan Sosial dan Pola Pengasuhan (N = 92)

n M F Signifikansi Pola Pengasuhan Otoritatif Otoriter Permisif 77 4 11 99,90 96,25 98,45 0,392 p > 0,05

Tabel 4.5 menunjukkan tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan antara dukungan sosial dengan pola pengasuhan F(2, 89) = 0,392, p>0,05. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang tidak signifikan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan. Dengan kata lain, hipotesis nol pada penelitian ini diterima.

4.5 Perbedaan Dukungan Sosial Ditinjau dari Data Demografis

Berdasarkan tabel 4.6, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan antara dukungan sosial dengan usia t(90) = 2,057, p<0,05, dimana kelompok partisipan dewasa madya memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi (M =

102,26, SD = 10,165) daripada kelompok partisipan dewasa muda. Terdapat juga perbedaan

mean yang signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat pendidikan F(2,89) = 3,507, p < 0,05, dimana kelompok partisipan dengan tingkat pendidikan SMA memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi (M = 102,70, SD = 9,766) dibandingkan kelompok

(13)

partisipan dengan tingkat pendidikan SD dan SMP. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan

mean yang signifikan antara dukungan sosial dan status pernikahan, antara dukungan sosial dan jumlah saudara yang dimiliki, serta dukungan sosial dan status pekerjaan.

Tabel 4.6 Perbedaan Dukungan Sosial Ditinjau dari Data Demografis (N = 92)

Karakteristik n M SD F Signifikansi

Usia

Dewasa Awal (20-40 tahun) Dewasa Madya (40-65 tahun)

61 31 98,20 102,26 8,280 10,165 4,231 p < 0,05 Status Pernikahan Menikah Janda 86 6 99,17 105,17 9,028 9,196 2,465 p > 0,05 Tingkat Pendidikan SD SMP SMA 52 20 20 99,96 95,40 102,70 8,986 7,507 9,766 3,507 p < 0,05 Jumlah Saudara

Tidak Memiliki Saudara Memiliki Saudara 9 83 97,78 99,76 9,107 9,145 0,382 p > 0,05 Status Pekerjaan

Tidak Bekerja (Ibu RT) Bekerja 81 11 99,78 98,00 9,011 10,129 0,366 p > 0,05

4.6 Perbedaan Pola Pengasuhan Ditinjau dari Tingkat Pendidikan

Dari tabel 4.7 dapat dikatakan tidak terdapat kecenderungan pola pengasuhan tertentu yang diterapkan oleh partisipan ditinjau dari tingkat pendidikan. Hal ini diketahui dari sebagian besar partisipan menggunakan pola otoritatif, meskipun dengan tingkat pendidikan yang berbeda.

Tabel 4.7 Pola Pengasuhan Ditinjau dari Tingkat Pendidikan Pendidikan Pola Pengasuhan

Total Otoritatif Otoriter Permisif

SD SMP SMA 41 17 19 1 3 0 10 0 1 52 20 20 Total 77 4 11 92 4.7 Hasil Observasi

Peneliti menemukan adanya ketidaksesuaian antara apa yang diisi di dalam kuesioner dengan fakta di lapangan. Pada saat peneliti sedang mendampingi seorang ibu mengisi kuesioner, ibu tersebut menjawab tidak pernah pada item membentak anak ketika sedang

(14)

berteriak pada anaknya ketika anaknya tidak menuruti aturannya untuk segera ganti baju sekolah. Ada pula seorang ibu yang mengatakan bahwa ia tidak pernah melakukan hukuman fisik seperti memukul, tapi ia sering mencubit anaknya. Lalu peneliti mengatakan bahwa keduanya sama-sama merupakan hukuman fisik, namun kemudian ibu tersebut berkata bahwa ia jarang sebenarnya mencubit dan ia menganggap bahwa mencubit tidak termasuk kategori hukuman fisik seperti memukul. Jawaban yang diisi oleh ibu tersebut di dalam kuesioner pun cenderung menjadi faking good.

Selain itu, ketika mengisi kuesioner para ibu merasa seolah sedang dinilai oleh peneliti, sehingga mereka cenderung menjawab item-item yang sesuai dengan harapan umum di masyarakat bukan sesuai pada kondisi yang sebenarnya. Peneliti berasumsi demikian karena faktanya ketika para ibu mengumpulkan kuesioner yang telah diisi, mereka bertanya pada peneliti apakah yang mereka isi sudah dijawab dengan benar atau belum. Padahal peneliti telah menekankan sebelumnya jika di dalam pengisian kuesioner tersebut tidak ada jawaban benar ataupun salah.

Fakta-fakta di atas kemungkinan adalah sedikit dari sekian banyak ibu yang menjawab kuesioner yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Ada kemungkinan fakta dilapangan berbeda dengan apa yang para ibu isi di dalam kuesioner. Peneliti kemudian berasumsi bahwa ibu-ibu dari keluarga miskin cenderung memiliki social desirability yang tinggi pada item-item yang dianggap baik.

5. Kesimpulan

Dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan pola pengasuhan ibu terhadap remaja dari keluarga miskin. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa sebagian besar partisipan menerapkan pola pengasuhan otoritatif. Selanjutnya, dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan antara dukungan sosial yang ditinjau dari usia dan tingkat pendidikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok partisipan dengan usia dewasa madya memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi daripada kelompok partisipan dengan usia dewasa muda. Sementara itu, kelompok partisipan dengan tingkat pendidikan SMA memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi daripada kelompok partisipan dengan tingkat pendidikan SD dan SMP. Adapun, jumlah saudara, status pernikahan, dan status pekerjaan tidak memberikan perbedaan mean yang signifikan dari hasil analisisnya terhadap dukungan sosial. Selain itu, tidak terdapat kecenderungan pola pengasuhan tertentu yang diterapkan oleh partisipan ditinjau dari tingkat pendidikan.

(15)

6. Diskusi

Teori ecological systems yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1979,1989 dalam Martin & Colbert, 1997) mengasumsikan bahwa hubungan antara orang tua, anak, dan individu lain saling berkaitan. Individu lain ini terkait dengan dukungan sosial yang dimiliki orang tua, dimana dukungan sosial inilah yang dapat memengaruhi pengasuhan orang tua terhadap anak. Menurut Martin dan Colbert (1997), terdapat tiga cara dimana dukungan sosial dapat memengaruhi pengasuhan. Pertama, orang tua yang menerima dukungan emosional dari orang lain dapat berbagi mengenai pikiran dan perasaannya mengenai pengasuhan pada anak dan masalah kehidupan lainnya. Kedua, jaringan sosial dapat memberikan dukungan instrumental misalnya seperti membantu dalam mengasuh anak dan memberikan saran mengenai cara pengasuhan. Terakhir, teman dan keluarga dapat memberikan model pengasuhan yang baik pada orang tua.

Beberapa hal diatas menunjukkan adanya hubungan dukungan sosial dan pengasuhan pada anak. Perilaku pengasuhan ini salah satunya dapat dilihat dari konsep pola pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anak, dengan asumsi bahwa adanya hubungan dukungan sosial dan pola pengasuhan. Namun, pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata tidak terdapat hubungan dukungan sosial dan pola pengasuhan. Ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal yakni, untuk melihat hubungan dukungan sosial dan pengasuhan, tidak dapat hanya dilihat dari konsep pola pengasuhan saja. Pada dasarnya, pola pengasuhan sendiri tidak sepenuhnya memperhitungkan semua variabilitas yang terkait hubungan orangtua dan anak. Variabel lain seperti resiliensi dan empati juga harus dipertimbangkan (Martin dan Colbert, 1997).

Selain itu, Darling (1999) mengatakan bahwa pola pengasuhan sendiri merupakan sebuah aktivitas kompleks yang di dalamnya terdapat banyak sekali tingkah laku spesifik dari orang tua terhadap anaknya. Martin dan Colbert (1997) juga mengatakan bahwa konsep pola pengasuhan bersifat fleksibel dan tidak kaku. Orang tua dapat bereaksi secara berbeda dalam berbagai situasi dan kondisi pada anaknya, tergantung dari keadaan dan suasana hati mereka. Orang tua mungkin saja menerapkan pola pengasuhan yang dominan kepada anaknya, namun tidak ada orang tua yang benar-benar konsisten menerapkan satu jenis pola pengasuhan pada anak. Semakin bertambah usia anak, pola asuh yang diterapkan orang tua mungkin saja berubah.

Hal lain yang mungkin menjadi penyebab tidak terbuktinya hipotesis pada penelitian ini adalah karena adanya keterbatasan alat ukur pola pengasuhan. Item-item di dalam alat

(16)

asuh permisif. Item-item pola asuh ini memiliki koefisien relibilitas yang rendah. Hal lain yang juga ditemukan oleh peneliti bahwa sebagian besar ibu dari keluarga miskin menerapkan pola pengasuhan otoritatif. Hasil ini berbeda dengan pendapat dari Heterington dan Ross (1999) yang menyatakan bahwa orang tua dari kelas sosial bawah cenderung menerapkan pola asuh otoriter, mereka menuntut anak-anaknya untuk patuh dan hormat pada semua keputusan orang tua.

Padahal berdasarkan hasil observasi fakta dilapangan membuktikan bahwa ada dari ibu-ibu tersebut yang bersikap tidak sesuai dengan pola pengasuhan otoritatif, namun cenderung pada pola pengasuhan otoriter. Peneliti menduga partisipan ibu dari keluarga miskin cenderung menjawab item-item tersebut dikarenakan sesuatu yang dianggap baik dimata masyarakat umum dan bukan menjawab berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibu-ibu dari keluarga miskin memiliki tingkat social desirability yang tinggi pada item-item yang dianggap baik. Pada akhirnya, kuesioner saja mungkin tidak cukup untuk menggambarkan pola pengasuhan ibu dari keluarga miskin. Peneliti merasa perlu adanya metode wawancara dan observasi langsung terkait dengan pola pengasuhan ibu tersebut. Selain itu, perlu adanya pendekatan terlebih dahulu dengan ibu-ibu dari keluarga miskin agar mereka mau untuk lebih terbuka. Peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa ibu yang saling bekerjasama ketika mengisi kuesioner sehingga jawaban kuesioner bisa jadi tidak sesuai dengan keadaan diri ibu yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena pengambilan data diambil secara berkelompok besar.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan kelompok partisipan dengan usia dewasa madya memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi daripada kelompok partisipan dengan usia dewasa awal. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Shaw et al (2007, dalam Yang, Hawkley, & Christakis, 2009) yang menunjukkan bahwa adanya perubahan hubungan sosial sepanjang hidup seseorang, dimana ditemukan bahwa orang yang lebih tua cenderung untuk fokus pada jaringan sosial terdekat mereka, khususnya anggota keluarga. Oleh sebab itu, ada kemungkinan bahwa ketika seseorang merasa makin dekat dengan anggota keluarganya, maka persepsi dukungan sosial yang mereka terima pun akan semakin meningkat.

Selain itu, peneliti juga mendapatkan hasil perbedaan mean yang signifikan dimana kelompok partisipan dengan tingkat pendidikan SMA memiliki rata-rata skor dukungan sosial yang lebih tinggi daripada kelompok partisipan dengan tingkat pendidikan SD dan SMP. Hal ini sejalan dengan hasil dari sebuah penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa orang dewasa dengan pengalaman pendidikan rendah mengalami penurunan dalam hal kontak sosial

(17)

dengan teman (Shaw et al. 2007, dalam Yang, Hawkley, & Christakis, 2009). Selain itu, adanya efek tidak langsung tersedianya dukungan sosial bagi orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki keterampilan sosial yang lebih baik, membangun ikatan sosial, dan lebih sering terlibat di dalam organisasi yang bersifat sukarela daripada orang dengan tingkat pendidikan yang rendah (Fischer, 1982; Lin, Ensel, & Vaughn, 1981; Veroff, Douvan, & Kulka, 1981 dalam Simons, Beaman, Conger, & Chao, 1993). Oleh sebab itu, ada kemungkinan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dukungan sosial yang dipersepsikan pun bisa semakin meningkat.

Adapun, peneliti mendapatkan hasil perbedaan mean yang tidak signifikan pada dukungan sosial ditinjau dari jumlah saudara partisipan. Dengan kata lain, ada atau tidaknya saudara tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam peningkatan dukungan sosial. Peneliti menduga hasil yang tidak signifikan ini dikarenakan untuk melihat apakah seseorang memiliki dukungan sosial yang tinggi tidak cukup hanya melihat dari jumlah saudara yang dimiliki, melainkan juga harus mempertimbangkan hal-hal lain seperti kualitas kedekatan hubungan antara satu sama lain. Sarafino (2002) menyatakan bahwa jaringan sosial yang dimiliki individu satu dengan yang lain dapat saja berbeda-beda, tergantung dari jumlah, frekuensi pertemuan, dan kedekatan hubungan tersebut.

Peneliti juga menemukan hasil perbedaan mean yang tidak signifikan pada analisis dukungan sosial yang ditinjau dari status pernikahan. Dengan kata lain, ada atau tidak adanya pasangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi dukungan sosial partisipan. Peneliti mengasumsikan bahwa pasangan bukan menjadi satu-satunya penentu seseorang mempersepsi dukungan sosialnya tinggi. Menurut Sarafino (2002), dukungan sosial dapat bersumber dari orang tua, kakak atau adik, keluarga, teman, pasangan/suami/istri, tetangga, dan masih banyak lagi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa saudara dan pasangan bukan menjadi satu-satunya sumber utama dukungan sosial.

Tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan antara dukungan sosial dan status pekerjaan. Dengan kata lain, bekerja atau tidak bekerjanya partisipan tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi dukungan sosialnya. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian dari Matthews, Standsfeld, dan Power (1999) yang menemukan bahwa terdapat perbedaan dukungan sosial yang signifikan diantara para pekerja, dimana wanita yang bekerja lebih mendapat dukungan daripada ibu rumah tangga. Peneliti mengasumsi bahwa meskipun sebagian besar partisipan tidak bekerja (ibu rumah tangga),

(18)

Adapun, peneliti juga menemukan hasil bahwa tidak terdapat kecenderungan pola pengasuhan tertentu yang diterapkan oleh partisipan ditinjau dari tingkat pendidikan. Hasil ini tidak sejalan dengan pendapat Hurlock (1978) yang menyatakan bahwa orang tua dengan pendidikan lebih tinggi, lebih demokratis atau permisif daripada orang tua yang kurang berpendidikan.

7. Saran

Beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini:

1. Pada penelitian dengan partisipan ibu dari keluarga miskin, tidak cukup hanya dengan menggunakan kuesioner, sehingga dianggap perlu adanya metode wawancara serta observasi terhadap pengasuhan ibu pada anak untuk memeroleh gambaran yang lebih mendalam dan konsisten.

2. Dengan adanya keterbatasan alat ukur pola pengasuhan, disarankan untuk membuat alat ukur yang lebih valid dan reliabel, terutama untuk item-item pola asuh permisif. 3. Peneliti sebaiknya melakukan pendampingan pada masing-masing ibu ketika mengisi

kuesioner agar item-item dapat dipahami dengan baik. Hal ini disebabkan karena partisipan ibu dari keluarga miskin memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan tingkat pemahaman yang minim.

(19)

Daftar Pustaka

Alfiasari, Latifah, M., & Wulandari, A. (2011). Pengasuhan Otoriter Berpotensi Menurunkan Kecerdasan Sosial, Self Esteem, dan Prestasi Akademik Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling, (4)(1), 46-56.

Barnard, K. E., & Solchany, J. E. (2002). Mothering. In M. H. Bornstein (Ed.), Handbook of Parenting: vol. 3. Being and Becoming a Parent. Mahwah, NJ : Erlbaum.

Baumrind, D. (1991). The nfluence of parenting style on adolescent competence and substance use. Journal of Early Adolescence, (11)(1), 56-59.

Cohen, S., & Hoberman, H. M. (1983). Positive events and social supports as buffers of life change stress. Journal of Applied Social Psychology, (13)(2), 99-125.

Cohen, S. (1992). Stress, social support, and disorder. In H. O. F. Veiel dan U. Baumann (Eds). The meaning and measurement of social support. New York : Hemisphere Press.

Darling, N., & Steinberg, L. (1993). Parenting style as context : An integrative model.

Psychological Bulletin, (113)(3), 487-496.

Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates. The ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education Champaign IL.

Dix, T., & Gershoff, E. T. (2000). Measuring parent-child relations. In : John T., Barry F. P., Murray A. S, George W. H, Handbook of family measurement techniques, volume 2.

London : SAGE Publications Ltd.

Hashima, P., & Amato, P. R. (1994). Poverty, social support, and parental behavior. Child Develompment, (65) 394-403.

Heterington, E. M., & Ross, D. P. (1999). Child psychology : a contemporrary viewpoint.

Singapore : McGraw Hill.

Hurlock, E. (1978). Personality development. New Delhi : McGraw Hill

Jackson, A. P., Gyamfi, P., Gunn, J. B., & Blake, M. (1998). Employment status, psychological well being, social support, and physical discipline practices of single black mothers. Journal of Marriage and Family, (60)(4), 894-902.

Martin, P. D., & Brantley, P. J. (2002). Stress, coping, and social support in health and behavior. In Boll T.J., Raczynski, J.M., & Leviton L.C (Ed). Handbook of Clinical Health Psychology : vol. 2. Disorders of Behavior and Health. Washington DC : American Psychological Association.

Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting : Life span perspective. New York : The McGraw Hill Companies, Inc.

Matthews, S., Standsfeld, S., & Power, C. (1999). Social support at age 33 : the influence of gender, employment status and social class. Social Science & Medicine, (49), 133-142. Newman K., Harrison L., Dashiff C., & Davies S. (2008). Relationships between parenting

styles and risk behaviors in adolescent health: an integrative literature review. Rev Latino-am Enfermagem janeiro-fevereiro, (16)(1), 142-50.

Noya, Andy F. (2011). Ke tanah air kami kembali. Diunduh dari

(20)

McGraw-Hill.

Rathi, N., & Rastogi, R. (2007). Meaning in life and psychological well-being in pre-adolescents and pre-adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, (33)(1), 31-38.

Reitman, D., Rhode, P. C., Hupp, S. D. A., & Altobello, C. (2002). Development and validation of the parental authority questionnaire – Revised. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, (24)(2).

Sarafino, E. P. (2002). Health psychology. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Simons, R. L., Beaman J., Conger R. D., & Chao, W. (1993). Stress, support, and antisocial behavior trait as determinants of emotional well-being and parenting practices among single mothers. Journal of Marrige and Family, (55)(2), 385-398. doi : 10.2307/352809

Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York : The McGraw Hill Companies, Inc.

Steinberg, L., & Silk, J. S. (2002). Parenting adolescents. In M. H. Bornstein (Ed.), Handbook of Parenting: vol. 1. Children and Parenting. Mahwah, NJ : Erlbaum.

Taylor, S. E., Sherman, D. K., Jarcho, J., Takagi, K., & Dunagan, M. S. (2004). Culture and social support : Who seeks it and why?. Journal of Personality and Social Psychology, (87)(3), 354-362.

Yang, Y., Hawkley, L., & Christakis, N. (2009). Social support, networks, and happiness.

Today’s Research on Aging.

Young, K.W. (2006). Social support and life satisfaction. Inernational Journal of Psychosocial Rehabilitation, (10)(2), 155-164.

Windoro, C. (2010). Kemiskinan, penyebab kekerasan pada anak. http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/27/13224588/Kemiskinan..Penyebab.K ekerasan.pada.Anak

Gambar

Tabel 4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian (N = 92)  Karakteristik Partisipan  Frekuensi  Persentase  Usia
Tabel  4.3  menunjukkan  nilai  dukungan  sosial  partisipan  berkisar  81-118,  dengan  mean  99,57  (SD  =  9,110)
Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Pola Pengasuhan (N = 92)  Pola Pengasuhan  Frekuensi  Persentase
Tabel 4.7 Pola Pengasuhan Ditinjau dari Tingkat Pendidikan  Pendidikan  Pola Pengasuhan

Referensi

Dokumen terkait

Pengawas dalam melaksanakan kegiatan pembinaannya berpegang pada Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kep. 381/1999 dinyatakan bahwa pengawas

Jumlah pelabuhan sungai dan danau yang melayani trayek lintas Daerah kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi yang dikelola swasta. Jumlah pelabuhan pengumpan regional

[r]

Jika tidak terjadi kesalahan, maka akan tampil kembali daftar IKU yang

Ia berpura-pura menyambut Daud dengan penghormatan yang besar dan puji-pujian yang berlebih-lebihan namun dalam dadanya makin menyala-nyala api dendam dan kebenciannya,

Demikian pula apabila persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, keliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen

“Aduhai Tuhan Pemilik segala Sifat Yang Mahasempurna -Tiada ayat Al Qur’an yang sudah kami baca dan Engkau lipatgandakan pahalanya, tiada shalat yang kami lakukan yang

Demokrasi merupakan salah satu topik yang mendapat tempat dalam ilmu hubungan internasional karena proses demokratisasi sangat memakan waktu panjang, dan ini