• Tidak ada hasil yang ditemukan

03 Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "03 Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

I. PENDAHULUAN

Puji syukur akhirnya UU Perbankan Syariah yang merupakan inisiatif DPR RI telah ditandatangani oleh Presiden RI pada tanggal 16 Juli 2008, dengan nomor 21 Tahun 2008, setelah sebelumnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana diketahui kegiatan perbankan syariah di Indonesia baru di mulai sejak tahun 1992, dengan mulai beroperasinya PT Bank Muamalat Indonesia (yang didirikan pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah). Pengaturan mengenai perbankan syariah pada waktu itu memang masih sangat terbatas, dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum diatur secara tegas mengenai perbankan syariah. Dengan memperhatikan kebutuhan pengaturan yang lebih jelas mengenai perbankan syariah, maka dalam amandemen UU Perbankan, yaitu UU 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diakomodir beberapa pengaturan mengenai kegiatan perbankan syariah, antara lain pengertian bank

mencakup bank syariah, pengertian prinsip syariah, dan pembiayaan. Setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, yang diikuti dengan serangkaian langkah kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas perbankan, baik dari segi pengaturan, yaitu dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang menyangkut perbankan syariah, maupun dari sisi internal Bank Indonesia yaitu dengan membentuk direktorat tersendiri yang menangani perbankan syariah, membuka kemungkinan bank konvensional untuk melakukan kegiatan usaha syariah dengan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS), maupun penyediaan sarana pendukung, seperti Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, perbankan syariah telah menunjukkan pertumbuhan yang berarti.

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir perbankan syariah menunjukkan peningkatan dari segi total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 36.538 miliar pada Desember 2007

atau meningkat 74,9%,

penghimpunan dana meningkat 79,7% dari Rp 15.582 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 28.012 miliar pada Desember 2007 pembiayaan meningkat 83,4%, dari Rp 15.232 miliar pada Desember 2005 menjadi Rp 27.944

SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H.1

(2)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 miliar pada Desember 2007, namun

apabila ditinjau dari pangsa total aset perbankan syariah

dibandingkan perbankan

konvensional masih relatif kecil, yaitu baru mencapai 1,84% atau Rp36.538 miliar dibanding Rp1.986.501 miliar pada Desember 2007.

Terdapat pandangan bahwa belum berkembang pesatnya perbankan syariah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh :

a. Sumber Daya Manusia yang kompeten dan profesional masih belum optimal;

b. Pemahaman masyarakat terhadap perbankan Syariah belum merata;

c. Jaringan kantor pelayanan dan keuangan Syariah masih relatif terbatas;

d. Belum didukung dengan peraturan yang memadai (dalam bentuk Undang-Undang tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Perbankan konvensional);

e. Sinkronisasi kebijakan dengan institusi pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi

keuangan, khususnya

perpajakan belum maksimal.

Bank Indonesia berupaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi sebatas kewenangan yang dimiliki, antara lain dalam mengatasi

keterbatasan jaringan kantor pelayanan Bank Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 yang membolehkan bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah untuk membuka layanan syariah pada kantor cabang kovensional bank dimaksud. Melalui kebijakan tersebut diharapkan masalah jaringan pelayanan dan keuangan Bank Syariah dapat diatasi karena masyarakat dapat dilayani dimana saja saat membutuhkan layanan Bank Syariah.

Selain itu, untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya, maupun akademisi dan kalangan perbankan pada khususnya, Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan sosialisasi mengenai perbankan syariah. Upaya untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, tentunya tidak dapat dilakukan hanya oleh otoritas perbankan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama dengan Pemerintah maupun DPR, serta dukungan masyarakat.

(3)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 sehingga terbuka jalan untuk segera

menyelesaikan RUU Perbankan Syariah, dan akhirnya setelah melalui pembahasan intensif UU Perbankan Syariah berhasil diselesaikan, dan mulai diberlakukan per 16 Juli 2008, menyusul telah diberlakukannya UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara pada 7 Mei 2008. Dukungan yang begitu besar dari berbagai kalangan dapat dilihat dari proses penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perbankan Syariah yang dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Dengan adanya dukungan seperangkat aturan yang memadai di bidang perbankan syariah, serta semakin bertambahnya instrumen keuangan syariah diharapkan akan semakin menarik investor/pelaku bisnis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dapat berkembang lebih baik lagi. Terlebih-lebih di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip syariah, termasuk perbankan syariah. Hal ini mengingat di negara-negara yang mayoritas non muslim saja, seperti di Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura, kegiatan perbankan syariah pada

khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya banyak diterapkan dan berkembang cukup baik. Dengan demikian adalah keliru persepsi yang menganggap bahwa Bank Syariah hanya diperuntukan bagi penduduk yang muslim. Dalam praktiknya Bank Syariah adalah merupakan pilihan bagi masyarakat dalam memilih layanan perbankan dan tidak ada peraturan perundang-undangan yang membatasi pelayanan Bank Syariah hanya untuk penduduk yang beragama muslim saja. Pada kenyataannya memang terdapat banyak kalangan non muslim yang menjadi nasabah Bank Syariah.

II. MATERI UU PERBANKAN

SYARIAH

(4)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 berdasarkan prinsip syariah. Hal ini

menyebabkan bank konvensional di satu sisi tunduk pada UU Perbankan (bagi kantor bank yang beroperasi secara konvensional), dan di sisi lain tunduk pada UU Perbankan Syariah (bagi UUS dan KC Syariah dari bank konvensional dimaksud).

Pada umumnya sistematika pengaturan UU Perbankan Syariah sama dengan UU Perbankan, yaitu antara lain meliputi azas, tujuan dan fungsi; perizinan, bentuk badan hukum; jenis dan kegiatan usaha; rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa perbedaan prinsip di dalamnya khususnya yang menyangkut aspek syariah, di samping itu terdapat beberapa pengaturan baru yaitu mengenai tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko; penyelesaian sengketa; Komite Perbankan Syariah; self liquidation, serta perluasan kewenangan pengawasan Bank Indonesia, dengan ulasan singkat sebagai berikut:

Asas, Tujuan dan Fungsi

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2). Berbeda dengan UU Perbankan, pengaturan yang menyangkut asas ini, lebih menekankan pada frasa

“berasaskan Prinsip Syariah”. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik dari perbankan syariah. Adapun yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam hal ini adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12), dan lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Jika UU Perbankan konvensional tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, maka dalam UU Perbankan Syariah tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menekankan pada aspek kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility).

(5)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 menyalurkan dana masyarakat atau

melaksanakan fungsi intermediasi. Di samping fungsi tersebut, bank syariah (dan UUS) mempunyai kekhususan, yaitu dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

Perizinan dan bentuk badan hukum

Untuk dapat melakukan kegiatan usaha sebagai bank tentunya harus memperoleh izin terlebih dahulu dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini Bank Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim pengaturan yang menyangkut perizinan bank, yaitu yang diatur dalam bab mengenai perizinan, yang berlaku bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia (Pasal 5), dan dalam bab mengenai kegiatan usaha, yang berlaku bagi pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan atau investasi

(Pasal 22). Pengaturan mengenai perizinan atas kegiatan penghimpunan dana masyarakat lebih dimaksudkan untuk mencegah penghimpunan dana tanpa izin (umumnya disebut sebagai “bank gelap”), kecuali kegiatan penghimpunan dana tersebut diatur dengan UU tersendiri, seperti UU Asuransi, UU Koperasi, dan UU Dana Pensiun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang menyadari betapa pentingnya UU memberikan perlindungan terhadap kegiatan penghimpunan dana masyarakat yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang memiliki dana. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan sebagai lembaga yang didasarkan pada asas kepercayaan. Atas pelanggaran kedua ketentuan tersebut diancam dengan sanksi yang sama, yang diatur dalam Pasal 59. Sementara dalam UU Perbankan konvensional materi yang menyangkut izin usaha bank hanya berkaitan dengan penghimpunan dana (Pasal 16).

(6)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam

hal ini, badan hukum PT bank tersebut selain tunduk pada aturan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga tunduk pada UU Perbankan Syariah, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU PT yang menegaskan bahwa terhadap perseroan berlaku UU Perseroan Terbatas, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan perbankan. Dengan bentuk badan hukum berupa PT, diharapkan Bank Syariah dapat lebih mudah dalam memenuhi ketentuan di bidang perbankan, antara lain dalam hal penambahan modal mengingat dalam perseroan terbatas dikenal prinsip one share one vote, sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan badan hukum lain, misalnya koperasi yang menganut prinsip one man one vote. Selain itu, penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham juga relatif lebih gampang dibandingkan penyelenggaraan Rapat Anggota pada koperasi.

Jenis dan Kegiatan Usaha

Pembagian jenis bank dalam perbankan syariah dibedakan menjadi bank umum dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan perbedaan pokok BPRS

dilarang menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran. Pembagian jenis bank tersebut pada prinsipnya sama dengan perbankan konvensional.

Kegiatan usaha perbankan syariah, khususnya menyangkut produk dan jasa yang ditawarkan, pada prinsipnya memiliki cakupan yang relatif lebih luas (bersifat universal banking) dibandingkan dengan yang ditawarkan perbankan konvensional, karena selain melakukan kegiatan usaha seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga menawarkan jasa yang umumnya dijalankan oleh lembaga pembiayaan, seperti jasa leasing, serta pembiayaan bagi hasil yang umumnya ditawarkan oleh lembaga investasi, semacam modal ventura.

(7)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 dimaksud, UU mengamanatkan

Bank Indonesia untuk membentuk Komite Perbankan Syariah yang anggotanya berasal dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan masyarakat, yang memiliki keahlian di bidang syariah. Jumlahnya paling banyak 11 (sebelas) orang dengan komposisi yang seimbang.

Pemilik dan Pengurus Bank

UU Perbankan Syariah menegaskan bahwa ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah (pasal 28). Selanjutnya ditegaskan bahwa salah satu dari jajaran direksi tersebut berperan sebagai direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Demikian pentingnya sumber daya manusia di bidang perbankan, UU ini juga mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan bagi pengurus bank (Pasal 30), dan pemegang saham pengendali (Pasal 27). Pengaturan tersebut diperlukan mengingat perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat perlu dikelola oleh pengurus yang mempunyai

kemampuan/kompetensi dan kepatutan/integritas, serta dimiliki oleh pemegang saham yang mempunyai

kemampuan/kompetensi dan kepatutan/integritas. Dengan demikian tidak setiap orang dapat menjadi pengurus atau pemilik bank, hanya mereka yang telah lulus uji kemampuan dan kepatutanlah yang berhak.

Di samping Dewan Komisaris dan Direksi, UU ini juga mewajibkan dibentuknya Dewan Pengawas Syariah di setiap Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS, dengan tugas antara lain memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32). Dewan Pengawas Syariah tersebut diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

Rahasia Bank

(8)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 bank dan pihak terafiliasi. Beberapa

pengaturan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Syariah yang agak berlainan dengan UU Perbankan konvensional, antara lain: 1) Tidak diaturnya pengecualian

rahasia bank untuk kepentingan piutang yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN, seperti halnya yang diatur dalam UU Perbankan konvensional. Dengan demikian pengecualian rahasia bank yang dapat dimintakan izinnya ke BI terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, dan kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Di samping itu terdapat pengecualian lainnya yang tidak memerlukan izin dari BI, yaitu dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, dan atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, serta bagi ahli waris yang sah dalam hal nasabah telah meninggal dunia.

2) Pengaturan mengenai penyidik diperluas, tidak hanya terbatas pada jaksa atau polisi, tetapi berlaku juga bagi penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU (Pasal 43). Dengan demikian para penyidik di luar polisi atau jaksa dapat meminta keterangan mengenai rahasia bank, namun permintaan

tersebut tetap diajukan oleh pimpinan instansi/departemen atau setingkat menteri. Hal tersebut menunjukkan sikap masih dipertahankannya sifat kerahasiaan bank, walaupun diperluas kepada penyidik diluar polisi atau jaksa, tetapi hanya

tingkat pimpinan

instansi/departemen yang dapat mengajukan permintaan izin dimaksud.

Pembinaan dan Pengawasan

Bank

(9)

berkas-BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 berkas atas permintaan Bank

Indonesia. Di samping itu diatur pula penugasan kepada kantor akuntan publik atau pihak lain untuk melakukan pemeriksaan, serta beberapa kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan. Pengaturan yang relatif baru adalah pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan bank (pasal 52 ayat (3)), yaitu kewenangan untuk:

- Memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan bank;

- Memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian BI memiliki pengaruh terhadap bank;

- Memerintahkan bank melakukan pemblokiran rekening tertentu.

Pengaturan yang relatif baru lainnya adalah mengenai pencabutan izin usaha bank atas permintaan sendiri (self liquidation). Dalam rangka mengantisipasi adanya permintaan pencabutan izin usaha bank atas permohonan pemegang saham, telah diakomodir pasal yang mengatur mengenai hal tersebut sebagai payung hukum (Pasal 54 ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum diatur dalam UU Perbankan konvensional. Pengaturan mengenai pencabutan izin usaha atas

permintaan sendiri sejalan dengan

UU LPS yang membuka

kemungkinan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham. Dalam hal ini LPS tidak membayar klaim penjaminan nasabah penyimpan, karena penyelesaian seluruh kewajiban bank merupakan tanggung jawab bank yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengajuan pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri hanya dapat diajukan bank kepada Bank Indonesia setelah bank dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabahnya.

Penyelesaian Sengketa

(10)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 melalui Peradilan Agama (sesuai UU

No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), bisa juga memilih penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas, atau peradilan umum. Namun, Undang-Undang mensyaratkan bahwa penyelesaian sengketa di luar Peradilan Agaman tetap harus dilakukan dengan berpedoman pada Prinsip Syariah.

Sanksi

Pengaturan sanksi dibedakan antara sanksi administratif dan sanksi pidana, dengan pola pengaturan umumnya hampir sama dengan UU Perbankan (konvensional). Pengaturan sanksi yang relatif baru (Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi pidana bagi direksi atau pegawai Bank Syariah atau UUS yang dengan sengaja:

Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi bank;

Menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik;

Memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan

melanggar ketentuan yang berlaku;

Tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan Batas

Maksimum Pemberian

Penyaluran Dana;

diancam dengan pidana penjara 1 tahun - 5 tahun, dan pidana denda antara Rp1 miliar - Rp5 miliar.

Pengaturan mengenai pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana (BMPPD) tidak dikenakan secara langsung, sama seperti halnya dalam perbankan konvensional yang menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk menjaring pelanggaran BMPK, yaitu apabila bank tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan, dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. Dengan demikian diberikan kesempatan bagi bank untuk melakukan perbaikan/koreksi atas pelanggaran BMPK, hal ini mengingat terjadinya pelanggaran BMPK tidak selalu diketahui secara langsung pada saat pemberian kredit, tetapi bisa saja baru diketahui di kemudian hari.

(11)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 norma-norma yang telah ditetapkan,

yang seharusnya dipatuhi oleh direksi maupun pegawai bank.

Ketentuan Peralihan

Dalam Aturan Peralihan telah diatur mengenai batasan UUS beralih menjadi Bank Umum Syariah, mengingat UUS hanya bersifat sementara, yaitu :

(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah; atau

(2) 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib melakukan Pemisahan UUS yang dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah. Semangat dari pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan perbankan syariah yang murni di masa depan, sehingga kelak tidak dikenal lagi sistem campuran antara bank syariah dengan bank konvensional. Pengaturan lebih lanjut mengenai peralihan tersebut akan diatur dalam PBI. Guna mendukung efektivitas pengaturan tersebut, maka dalam PBI mengenai

hal tersebut perlu dibuat secara tegas pengaturan persyaratan dan tata cara peralihan dari UUS menjadi Bank Umum Syariah, serta sanksi bagi yang melanggar, di samping itu hal terpenting adalah penegakan hukum atas aturan tersebut.

PENUTUP

1. Dengan telah disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU, maka amanat UU tentang + 25 pengaturan lebih lanjut dalam PBI perlu segera disiapkan penyusunannya, termasuk di dalamnya penyesuaian beberapa PBI yang berlaku saat ini dengan materi UU Perbankan Syariah. 2. Untuk lebih memberikan

pemahaman yang memadai kepada perbankan dan masyarakat umum sebagai pengguna, maka sosialisasi UU Perbankan Syariah dan peraturan pelaksanaannya perlu dilakukan secara efektif, baik melalui seminar/ lokakarya maupun melalui media masa.

3. Dengan telah diberlakukannya UU Perbankan Syariah yang merupakan landasan hukum bagi kegiatan perbankan syariah di Indonesia, maka diharapkan

dapat mendorong

(12)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008 perbankan baik dari sisi jumlah

bank maupun jaringan pelayanan, sehingga peranan perbankan syariah sebagai salah satu pilihan di samping perbankan konvensional, dapat meningkat dengan pangsa yang cukup signifikan dibanding perbankan konvensional.

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi yang tampak dari matriks jenis ini adalah mempunyai entri pada diagonal yang positif dan diantara sifat penting dari matriks ini adalah perkalian antara

Sehingga dapat menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman masyarakat yang memiliki selera yang berubah dan daya beli konsumen menurun, hal

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis merekomendasikan kepada: (1) Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk menggunakan hasil penelitian ini sebagai salah satu

Kemampuan menjalankan peraturan pada permainan Siswa mampu melakukan permainan sesuai dengan instruksi tanpa pengarahan ulang Siswa mampu melakukan permainan sesuai aturan

fasilitas dan lama pelatihan berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kualitas kerja karyawan pada BMT Taruna Sejahtera, sedangkan variabel instruktur tidak berpengaruh

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa responden memiliki motif yang tinggi mengenai suatu program acara “Scary Job” di televisi sebab di dalam program acara

Buku Bantuan Diagram Interaksi. – Untuk

Tema yang digunakan dalam perancangan Lembaga Pemasyarakatan Narkoba di Bali adalah Arsitektur Tro- pis, Dengan tema Arsitektur Tropis diharapkan mampu menciptakan suasana nyaman